Lima Alasan Seseorang
Membuat Hoaks menurut Sayyid Alwi Al-Maliki
Di zaman yang serba internet ini, semua
kejadian bisa dengan mudah tersebar dengan tempo yang cukup singkat dan dibaca
oleh semua orang di penjuru dunia. Bahkan berita yang seharusnya hanya boleh
dikonsumsi oleh lingkup kecil bisa dikonsumsi oleh semua orang. Masalah pribadi
bisa menjadi masalah bersama jika sudah ditayangkan di internet.
Kemudahan tersebut tidak diimbangi dengan
kesadaran para penggunanya. Akibatnya, tidak semua kejadian yang tersebar
sesuai dengan fakta, ada yang ditayangkan setengah-setengah, ada yang
disalahgunakan dengan pemberitaan yang berbeda, ada juga yang sengaja
dibuat-buat.
Hal-hal semacam ini sebenarnya sejak zaman
dahulu telah difikirkan oleh para ulama. Penyebaran berita bohong atau hoaks
secara prinsip tidak jauh berbeda dengan penyebaran hadits palsu dalam kajian
ilmu hadits.
Bedanya–mungkin–hanya sedikit atau bahkan
hampir tidak ada. Jika dulu yang dibuat-buat atau dipalsukan adalah hal-hal
yang berkaitan dengan Rasul SAW, yang meliputi perkataan, perbuatan, sifat
maupun ketetapan, saat ini lebih global dan semua hal berpotensi bisa
dipalsukan atau dibuat-buat.
Jika hal-hal yang berkaitan dengan Rasul Saw
saja bisa dipalsukan, lalu bagaimana jika hal yang sama sekali tidak berkaitan
dengan Rasul? Tentu akan lebih sering, bukan? Bahkan lebih parahnya, saat ini
ada yang sengaja menghubung-hubungkan kisah Rasul dengan kejadian yang menimpa
para idolanya, walaupun terlalu dipaksakan.
Sebagaimana hadits palsu, penyebaran dan
pembuatan berita bohong atau hoaks tentu memiliki latar belakang atau alasan
tertentu. Para ulama hadits berhasil mengidentifikasi alasan-alasan tersebut
dan merangkumnya menjadi beberapa hal. Tentu karena kajian penyebaran hadits
palsu ini secara prinsip sesuai dengan prilaku pembuatan dan penyebaran berita
bohong atau hoaks sekarang, maka hemat kami, tentu akan sesuai pula
alasan-alasan penyebaran hadits palsu tersebut dengan konteks pembuatan dan
penyebaran hoaks sekarang.
Salah satu ulama yang bisa dikatakan cukup
berhasil dalam mengidentifikasi alasan dan latarbelakang pembuatan dan
penyebaran hoaks tersebut adalah Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam
karyanya yang berjudul Al-Manhalul Lathif fi Ushulil Haditsis Syarif. Sayyid
Alawi Al-Maliki menjelaskan lima alasan dibuat dan disebarkannya hadits-hadits
palsu (Lihat Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Al-Manhalul Lathif fi Ushulil
Haditsis Syarif, [Madinah, Maktabah Malik Fahd: 1421 H], halaman 148), atau
dalam konteks sekarang bisa disebut hoaks:
Pertama, mempertahankan kepentingan pribadi
atau golongan. Sayyid Muhammad bin Alawi menyebutnya dengan “al-Intishar lil
Mazhab”. Zaman dahulu, kaum syiah yang Rafidhah sering membuat hadits palsu
untuk mendukung gerakan-gerakan politik mereka. Dalam konteks sekarang, bisa
jadi para simpatisan partai atau organisasi juga melakukan hal ini demi
mengangkat elektabilitas partai atau hanya sekadar membela partai atau
organisasinya dari serangan lawan.
Kedua, mendekatkan diri kepada pejabat
tertentu (orang-orang yang berkepentingan), atau dalam bahasa Sayyid Muhammad
disebut, “Thalabut Taqarrub ilal Muluk wal Umara’”. Dalam konteks hari ini,
alasan kedua ini bisa saja terjadi pada simpatisan calon-calon presiden yang
akan berkontestasi. Dengan adanya hoaks yang dibuat, harapannya sang pejabat
semakin dekat dengan orang tersebut dan lebih peduli dengan orang tersebut.
Tentu harapannya, agar orang tersebut dijadikan pejabat tertentu.
Ketiga, mencari rizki (Thalabul kasbi wal
irtizāq bil wadh’ī). Dalam konteks sekarang, banyak juga institusi atau
perorangan yang menyediakan jasa pembuatan hoaks dan penyebarannya, seperti
Saracen dan MCA (Muslim Cyber Army).
Keempat, membela pendapat tertentu walaupun
salah (al-Intiṣār ilāl futyā ʽIndal khaṭā’ fīhā). Hal ini tentu banyak kita
temukan sekarang. Banyak orang berbondong-bondong membela orang salah, tapi
yang digunakan untuk membela adalah hoaks.
Kelima, menarik simpati orang untuk
mengerjakan perbuatan-perbuatan baik (Ṭalabut targhībin nās fi afʽālil khair),
termasuk mengajarkan anak-anak tentang agama tapi dengan kisah-kisah hoaks.
Atau ajakan untuk membantu korban bencana alam, tapi foto-foto yang digunakan
adalah foto-foto hoaks.
Diakui atau tidak, lima hal itu terjadi di
masyarakat maya dan nyata kita. Tentu, dengan adanya indentifikasi dari Sayyid
Muhammad bin Alawi al-Maliki, memiliki harapan ganda, di satu sisi menjadikan
orang yang berpotensi membuat dan menyebarkan hoaks bisa sadar sebelum
melakukannya.
Di sisi lain, bagi para korban, agar bisa
berhati-hati dengan berita-berita yang berkaitan dengan lima hal di atas.
Alangkah baiknya jika seluruh berita yang diterima dicek terlebih dahulu
kebenarannya. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar