Selasa, 21 Januari 2020

Alissa Wahid: Haul dan Kerinduan


Haul dan Kerinduan
Oleh: Alissa Wahid

Wafat di pengujung tahun 2009, almarhum Gus Dur masih terus menggerakkan perubahan dalam masyarakat, sebagaimana dijalaninya sepanjang kehidupan. Penggal-penggal perjuangannya meninggalkan jejak perubahan yang signifikan dalam perjalanan bangsa.

Jejak gerakan Gus Dur pada dekade 1970-an di ranah pesantren dan Nahdlatul Ulama berpuncak di tahun 1984 saat terpilih menjadi Ketua Umum PBNU dibarengi penerimaan terhadap Pancasila sebagai ideologi organisasi.

Dasawarsa 1980-an, ia semakin kuat menjejak gerakan kebudayaan dan gerakan masyarakat sipil. Gus Dur bersama Romo Mangunwijaya, Th Sumartana, dan ibu Gedong Oka mendorong peran agama dan organisasi agama sebagai kekuatan pembebasan masyarakat dari ketidakadilan sosial.

Periode 1990-an adalah masa-masa gerakan Gus Dur di ranah politik dan negara dalam penguatan demokrasi dan HAM. Berbagai upaya rezim Orde Baru untuk membendung gerakan Gus Dur tak juga menyurutkan langkahnya. Masa ini diakhiri dengan reformasi dan terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden keempat.

Hanya menjabat selama hampir dua tahun, penguatan fondasi dan pilar demokrasi pada masa presidensi Gus Dur masih terasa menyangga proses demokratisasi Indonesia sampai saat ini. Beberapa di antaranya bibit lahirnya KPK, kelahiran lembaga-lembaga penyokong demokrasi, seperti Komisi Yudisial dan lembaga ombudsman, dan yang terpenting: menegakkan keputusan pemisahan TNI dan kepolisian demi membangun kedaulatan masyarakat sipil.

Terkalahkan dalam kontestasi politik di tahun 2001 dan menanggalkan gelar presiden demi menghindari pertumpahan darah antara ratusan ribu pendukungnya dan massa penentangnya tidak membuat Gus Dur pensiun dari perjuangan.

Jejak-jejaknya menebal dalam membela mereka yang dilemahkan: kelompok petani dan nelayan yang menolak agenda pembangunan yang tidak ramah wong cilik, kelompok minoritas agama yang mulai mengalami penyempitan hak beribadah, dan mereka-mereka yang menjadi korban kelompok pelaku kekerasan atas nama agama.

Karena itu, saat Gus Dur wafat, duka tertumpah tak hanya dari satu-dua kalangan yang merasa kehilangan. Dalam ketiadaan fisiknya, Gus Dur pun masih menggerakkan perubahan tradisi.

Makam Gus Dur, sebagaimana layaknya makam para ulama besar, ramai dikunjungi peziarah. Tiga ribuan orang di hari biasa atau sekitar 1,5 juta orang per tahunnya, dan bukan hanya kaum Nahdliyin. Tak aneh menemukan orang Papua, orang Tionghoa, anak-anak punk, artis dangdut sampai artis gedongan, biksu atau suster dan pendeta berbaur bersama rombongan jemaah ziarah ulama Nusantara. Makam Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng pun menjadi ruang perjumpaan lintas batas, tempat orang semakin tak asing dengan perbedaan.

Begitu pun haul. Tradisi ini ditujukan untuk mengenang sesepuh atau ulama, memanjatkan doa sambil mempelajari kembali sejarah sang tokoh. Setiap tahunnya, haul Gus Dur dilaksanakan di ratusan tempat atas inisiatif ratusan kelompok yang berbeda. Penyelenggaranya tak mengenal identitas kelompok: pesantren, pengurus NU, kelompok lintas iman, bahkan partai politik. Kegiatan diselenggarakan dalam berbagai ukuran: puluhan orang hingga puluhan ribu orang. Semua duduk bersama tanpa dibedakan oleh jabatan, jender, dan status sosial.

Acaranya pun tidak hanya tahlil, doa, dan tausiyah keagamaan, tetapi dilengkapi dengan storytelling jejak Gus Dur atau performance. Di berbagai tempat, haul Gus Dur bagaikan festival: rangkaian kegiatan berupa barongsai, lomba-lomba, sampai seminar gagasan-gagasan Gus Dur. Haul Gus Dur, memperingati kematian dengan merayakan jejak kehidupannya.

Di zaman ketika tradisi baru sering kali hanyalah komodifikasi oleh kepentingan kapitalistik ekonomi atau politik, termasuk munculnya tren berlabel istilah agamis, fenomena masifnya penyelenggaraan haul Gus Dur menjadi sebuah keunikan. Ia menandai munculnya sebuah gerakan organik yang seutuhnya dimiliki oleh masyarakat, tidak disponsori atau disetir.

Haul Gus Dur pun menjelma menjadi ruang perjumpaan dan berkumpul berserikat lintas batas. Haul Gus Dur menjadi kosakata yang diterima oleh semua elemen bangsa. Tak ada sikap saling klaim, bahkan orang bahu-membahu menyukseskannya. Dari dan untuk masyarakat.

Bisa jadi, haul Gus Dur adalah ruang untuk menumpahkan kerinduan akan pribadi Gus Dur. Memang sulit mencari tokoh dengan kompleksitas diri sekaligus kejernihan prinsip perjuangan seperti Gus Dur. Apalagi di Indonesia masa kini, yang kata Buya Maarif: surplus politisi, minus negarawan.

Bisa jadi, haul Gus Dur menjadi ruang untuk menumpahkan kerinduan akan nilai-nilai yang lekat dalam sosok Gus Dur. Nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan sejati tanpa mengenal sekat, serta keadilan demi kemanusiaan.

Dalam haul Gus Dur, setiap manusia dapat melebur dengan manusia lain tanpa takut dipersoalkan atributnya. Sesuatu yang makin berkurang di masa ini, di mana ruang-ruang publik disekat secara psikologis oleh eksklusivisme atas nama kelompok.

Dan bisa jadi, haul Gus Dur adalah ruang menumpahkan kerinduan atas Indonesia yang kita imajinasikan bersama. Indonesia yang penuh kearifan yang dijaga bersama. Indonesia yang penuh hikmat dalam persaudaraan. Indonesia yang dibangun dengan gotong royong dan dinikmati bersama. Indonesia yang tidak membeda-bedakan warganya. Indonesia yang aman dan nyaman untuk semua.

Bahkan dalam kematiannya, Gus Dur masih menggerakkan kita. Sebab, sebagaimana tulis penyair Zawawi Imron: …Gus Dur, cintamu akan terus merayap ke seluruh penjuru angin dan tak mengenal kata usai…. []

KOMPAS, 12 Januari 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar