Haul dan Kerinduan
Oleh: Alissa Wahid
Wafat di pengujung tahun 2009, almarhum Gus Dur masih terus
menggerakkan perubahan dalam masyarakat, sebagaimana dijalaninya sepanjang
kehidupan. Penggal-penggal perjuangannya meninggalkan jejak perubahan yang
signifikan dalam perjalanan bangsa.
Jejak gerakan Gus Dur pada dekade 1970-an di ranah pesantren dan
Nahdlatul Ulama berpuncak di tahun 1984 saat terpilih menjadi Ketua Umum PBNU
dibarengi penerimaan terhadap Pancasila sebagai ideologi organisasi.
Dasawarsa 1980-an, ia semakin kuat menjejak gerakan kebudayaan dan
gerakan masyarakat sipil. Gus Dur bersama Romo Mangunwijaya, Th Sumartana, dan
ibu Gedong Oka mendorong peran agama dan organisasi agama sebagai kekuatan
pembebasan masyarakat dari ketidakadilan sosial.
Periode 1990-an adalah masa-masa gerakan Gus Dur di ranah politik
dan negara dalam penguatan demokrasi dan HAM. Berbagai upaya rezim Orde Baru
untuk membendung gerakan Gus Dur tak juga menyurutkan langkahnya. Masa ini
diakhiri dengan reformasi dan terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden keempat.
Hanya menjabat selama hampir dua tahun, penguatan fondasi dan
pilar demokrasi pada masa presidensi Gus Dur masih terasa menyangga proses
demokratisasi Indonesia sampai saat ini. Beberapa di antaranya bibit lahirnya
KPK, kelahiran lembaga-lembaga penyokong demokrasi, seperti Komisi Yudisial dan
lembaga ombudsman, dan yang terpenting: menegakkan keputusan pemisahan TNI dan
kepolisian demi membangun kedaulatan masyarakat sipil.
Terkalahkan dalam kontestasi politik di tahun 2001 dan
menanggalkan gelar presiden demi menghindari pertumpahan darah antara ratusan
ribu pendukungnya dan massa penentangnya tidak membuat Gus Dur pensiun dari
perjuangan.
Jejak-jejaknya menebal dalam membela mereka yang dilemahkan:
kelompok petani dan nelayan yang menolak agenda pembangunan yang tidak ramah
wong cilik, kelompok minoritas agama yang mulai mengalami penyempitan hak
beribadah, dan mereka-mereka yang menjadi korban kelompok pelaku kekerasan atas
nama agama.
Karena itu, saat Gus Dur wafat, duka tertumpah tak hanya dari
satu-dua kalangan yang merasa kehilangan. Dalam ketiadaan fisiknya, Gus Dur pun
masih menggerakkan perubahan tradisi.
Makam Gus Dur, sebagaimana layaknya makam para ulama besar, ramai
dikunjungi peziarah. Tiga ribuan orang di hari biasa atau sekitar 1,5 juta
orang per tahunnya, dan bukan hanya kaum Nahdliyin. Tak aneh menemukan orang
Papua, orang Tionghoa, anak-anak punk, artis dangdut sampai artis gedongan,
biksu atau suster dan pendeta berbaur bersama rombongan jemaah ziarah ulama
Nusantara. Makam Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng pun menjadi ruang
perjumpaan lintas batas, tempat orang semakin tak asing dengan perbedaan.
Begitu pun haul. Tradisi ini ditujukan untuk mengenang sesepuh
atau ulama, memanjatkan doa sambil mempelajari kembali sejarah sang tokoh.
Setiap tahunnya, haul Gus Dur dilaksanakan di ratusan tempat atas inisiatif
ratusan kelompok yang berbeda. Penyelenggaranya tak mengenal identitas
kelompok: pesantren, pengurus NU, kelompok lintas iman, bahkan partai politik.
Kegiatan diselenggarakan dalam berbagai ukuran: puluhan orang hingga puluhan
ribu orang. Semua duduk bersama tanpa dibedakan oleh jabatan, jender, dan
status sosial.
Acaranya pun tidak hanya tahlil, doa, dan tausiyah keagamaan,
tetapi dilengkapi dengan storytelling jejak Gus Dur atau performance. Di
berbagai tempat, haul Gus Dur bagaikan festival: rangkaian kegiatan berupa
barongsai, lomba-lomba, sampai seminar gagasan-gagasan Gus Dur. Haul Gus Dur,
memperingati kematian dengan merayakan jejak kehidupannya.
Di zaman ketika tradisi baru sering kali hanyalah komodifikasi
oleh kepentingan kapitalistik ekonomi atau politik, termasuk munculnya tren
berlabel istilah agamis, fenomena masifnya penyelenggaraan haul Gus Dur menjadi
sebuah keunikan. Ia menandai munculnya sebuah gerakan organik yang seutuhnya
dimiliki oleh masyarakat, tidak disponsori atau disetir.
Haul Gus Dur pun menjelma menjadi ruang perjumpaan dan berkumpul
berserikat lintas batas. Haul Gus Dur menjadi kosakata yang diterima oleh semua
elemen bangsa. Tak ada sikap saling klaim, bahkan orang bahu-membahu
menyukseskannya. Dari dan untuk masyarakat.
Bisa jadi, haul Gus Dur adalah ruang untuk menumpahkan kerinduan
akan pribadi Gus Dur. Memang sulit mencari tokoh dengan kompleksitas diri
sekaligus kejernihan prinsip perjuangan seperti Gus Dur. Apalagi di Indonesia
masa kini, yang kata Buya Maarif: surplus politisi, minus negarawan.
Bisa jadi, haul Gus Dur menjadi ruang untuk menumpahkan kerinduan
akan nilai-nilai yang lekat dalam sosok Gus Dur. Nilai-nilai persaudaraan
kemanusiaan sejati tanpa mengenal sekat, serta keadilan demi kemanusiaan.
Dalam haul Gus Dur, setiap manusia dapat melebur dengan manusia
lain tanpa takut dipersoalkan atributnya. Sesuatu yang makin berkurang di masa
ini, di mana ruang-ruang publik disekat secara psikologis oleh eksklusivisme
atas nama kelompok.
Dan bisa jadi, haul Gus Dur adalah ruang menumpahkan kerinduan
atas Indonesia yang kita imajinasikan bersama. Indonesia yang penuh kearifan
yang dijaga bersama. Indonesia yang penuh hikmat dalam persaudaraan. Indonesia
yang dibangun dengan gotong royong dan dinikmati bersama. Indonesia yang tidak
membeda-bedakan warganya. Indonesia yang aman dan nyaman untuk semua.
Bahkan dalam kematiannya, Gus Dur masih menggerakkan kita. Sebab,
sebagaimana tulis penyair Zawawi Imron: …Gus Dur, cintamu akan terus merayap ke
seluruh penjuru angin dan tak mengenal kata usai…. []
KOMPAS, 12 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar