Dua Cara Menahan Amarah
Menurut Imam Al-Ghazali
Pernahkah anda marah? Di antara kita pasti
pernah marah. Punya perasaan marah adalah sesuatu yang wajar. Nabi, sahabat dan
para ulama juga pernah marah. Namun, yang paling penting diperhatikan adalah
atas dasar apa kita marah dan bagaimana kita menyikapi gejolak itu: menahannya
atau membiarkannya hingga memunculkan perlaku lanjutan, seperti berkata kasar,
melukai orang lain, merusak barang, dan semacamnya.
Ada beberapa penjelasan tentang sisi negatif
marah. Di antaranya:
وَرُوِيَ
أَنْ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مُرْنِي بِعَمَلٍ وَأَقْلِلْ، قَالَ:
لَا تَغْضَبْ، ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: لَا تَغْضَبْ
“Seorang laki-laki pernah meminta nasihat,
‘Wahai Rasulullah, perintahlah aku dengan sebuah perbuatan dan sedikitkanlah
(jangan banyak-banyak).’ Nabi menjawab, ‘Jangan marah.’ Laki-laki tersebut
mengulangi permintaannya, lalu Nabi tetap menjawab, ‘Jangan marah’.” (HR
al-Bukhari)
Dalam riwayat lain disebutkan:
وقال
ابن مسعود قال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَعُدُّونَ
الصُّرَعَةَ فِيكُمْ قُلْنَا الَّذِي لَا تَصْرَعُهُ الرِّجَالُ قَالَ لَيْسَ
ذَلِكَ وَلَكِنِ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغضب
“Ibnu Mas’ud berkata, Nabi bertanya, ‘Siapa
yang kalian anggap sebagai orang yang perkasa?’ Kami menjawab, ‘Dia yang tidak
bisa dikalahkan keperkasaannya oleh siapa pun.’ Nabi menimpali, ‘Bukan
demikian, akan tetapi yang perkasa adalah orang yang bisa menahan dirinya
ketika marah’.” (HR Muslim)
Jakfar bin Muhammad berkata:
الْغَضَبُ
مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ
“Marah adalah kunci dari setiap keburukan.”
Lalu bagaimana tips kita agar bisa menahan
amarah?
Al-Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Syekh
Jamaluddin al-Qasimi memaparkan bahwa ketika amarah memuncak, ada dua cara
luapan emosi itu bisa diredam. Pertama, dengan ilmu. Kedua,
dengan amal.
• Dengan Ilmu
Dari sisi ilmu, al-Imam al-Ghaazali
menjelaskan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
الْأَوَّلُ: أَنْ يَتَفَكَّرَ فِيمَا وَرَدَ فِي فَضْلِ كَظْمِ
الْغَيْظِ وَالْعَفْوِ وَالْحِلْمِ وَالِاحْتِمَالِ، فَيَرْغَبَ فِي ثَوَابِهِ،
وَتَمْنَعُهُ الرَّغْبَةُ فِي الْأَجْرِ عَنِ الِانْتِقَامِ، وَيَنْطَفِئُ عَنْهُ
غَيْظُهُ.
“Pertama berpikir tentang ayat atau hadits
Nabi tentang keutamaan menahan amarah, memaafkan, bersikap ramah dan menahan
diri, sehingga dirinya terdorong untuk menggapai pahalanya, dan mencegah
dirinya untuk membalas, serta dapat memadamkan amarahnya.”
الثَّانِي: أَنْ يُخَوِّفَ نَفْسَهُ بِعِقَابِ اللَّهِ لَوْ أَمْضَى
غَضَبَهُ، وَهَلْ يَأْمَنُ مِنْ غَضَبِ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهُوَ
أَحْوَجُ مَا يَكُونُ إِلَى الْعَفْوِ
“Kedua, menakut-nakuti diri dengan siksa
Allah bila ia tetap meluapkan amarahnya. Apakah ia aman dari murka Allah di
hari kiamat? Padahal ia sangat membutuhkan pengampunan.”
الثَّالِثُ: أَنْ يُحَذِّرَ نَفْسَهُ عَاقِبَةَ الْعَدَاوَةِ
وَالِانْتِقَامِ، وَتَشَمُّرَ الْعَدُوِّ لِمُقَابَلَتِهِ، وَالسَّعْيِ فِي هَدْمِ
أَغْرَاضِهِ، وَالشَّمَاتَةِ بِمَصَائِبِهِ، وَهُوَ لَا يَخْلُو عَنِ
الْمَصَائِبِ، فَيُخَوِّفُ نَفْسَهُ بِعَوَاقِبِ الْغَضَبِ فِي الدُّنْيَا إِنْ
كَانَ لَا يَخَافُ مِنَ الْآخِرَةِ.
“Ketiga, menakut-nakuti dirinya tentang
akibat dari permusuhan dan pembalasan, bagaimana sergapan musuh untuk
membalasnya, menggagalkan rencana-rencananya serta bahagianya musuh saat ia
tertimpa musibah, padahal seseorang tidak bisa lepas dari musibah-musibah.
Takut-takutilah diri sendiri dengan dampak (buruk) amarah di dunia, bila ia
belum bisa takut dari siksaan di akhirat kelak.”
الرَّابِعُ: أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي قُبْحِ صُورَتِهِ عِنْدَ الْغَضَبِ،
بِأَنْ يَتَذَكَّرَ صُورَةَ غَيْرِهِ فِي حَالَةِ الْغَضَبِ، وَيَتَفَكَّرَ فِي
قُبْحِ الْغَضَبِ فِي نَفْسِهِ، وَمُشَابَهَةِ صَاحِبِهِ لِلْكَلْبِ الضَّارِي
وَالسَّبُعِ الْعَادِي، وَمُشَابَهَةِ الْحَلِيمِ الْهَادِي التَّارِكِ لِلْغَضَبِ
لِلْأَنْبِيَاءِ وَالْأَوْلِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَالْحُكَمَاءِ، وَيُخَيِّرَ
نَفْسَهُ بَيْنَ أَنْ يَتَشَبَّهَ بِالْكِلَابِ وَالسِّبَاعِ وَأَرَاذِلِ
النَّاسِ، وَبَيْنَ أَنْ يَتَشَبَّهَ بِالْعُلَمَاءِ وَالْأَنْبِيَاءِ فِي
عَادَتِهِمْ؛ لِتَمِيلَ نَفْسُهُ إِلَى حُبِّ الِاقْتِدَاءِ بِهَؤُلَاءِ إِنْ
كَانَ قَدْ بَقِيَ مَعَهُ مُسْكَةٌ مِنْ عَقْلٍ
“Keempat, berpikir bagaimana buruknya muka
ketika marah. Bayangkan bagaimana raut muka orang lain saat marah, berpikirlah
tentang buruknya marah di dalam dirinya, berpikirlah bahwa saat marah ia
seperti anjing yang membahayakan dan binatang buas yang mengancam, berpikirlah
untuk menyerupai orang ramah yang dapat menahan amarah layaknya para nabi,
wali, ulama dan para bijak bestari. Berilah pilihan untuk dirimu, apakah lebih
memilih serupa dengan anjing, binatang buas dan manusia-manusia hina; ataukah
memilih untuk menyerupai ulama dan para nabi di dalam kebiasaan mereka? Agar
hatinya condong untuk suka meniru perilaku mereka jika ia masih menyisakan satu
tangkai dari akal sehat.”
الْخَامِسُ: أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي السَّبَبِ الَّذِي يَدْعُوهُ إِلَى
الِانْتِقَامِ وَيَمْنَعُهُ مِنْ كَظْمِ الْغَيْظِ، مِثْلَ قَوْلِ الشَّيْطَانِ
لَهُ: إِنَّ
هَذَا يُحْمَلُ مِنْكَ عَلَى الْعَجْزِ وَالذِّلَّةِ وَتَصِيرُ حَقِيرًا فِي
أَعْيُنِ النَّاسِ فَيَقُولُ لِنَفْسِهِ: «مَا أَعْجَبَكِ! تَأْنَفِينَ مِنَ الِاحْتِمَالِ الْآنَ، وَلَا تَأْنَفِينَ
مِنْ خِزْيِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَا تَحْذَرِينَ مِنْ أَنْ تَصْغُرِي عِنْدَ
اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّبِيِّينَ» .
“Kelima, berpikir tentang sebab yang
mendorongnya untuk membalas dan mencegahnya dari menahan amarah, semisal ketika
dalam hati terdapat bujuk rayu setan; ‘Sesungguhnya orang ini membuatmu lemah
dan rendah serta menjadikanmu hina di mata manusia’, maka jawablah dengan tegas
di hatimu ‘Aku heran denganmu. Kamu sekarang mencemoohku karena menahan diri,
sedangkan kamu tidak mencemooh dari kehinaan di hari kiamat. Kamu tidak
khawatir dirimu akan hina di sisi Allah, para malaikat dan para Nabi’.”
فَمَهْمَا
كَظَمَ الْغَيْظَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكْظِمَهُ لِلَّهِ، وَذَلِكَ يُعَظِّمُهُ
عِنْدَ الله
“Ketika ia menahan amarah, maka seyogiayanya
menahan amarah karena Allah. Yang demikian itu bisa membuatnya agung di sisi
Allah.” (Syekh Jamaluddin al-Qasimi, Mau’idhah al-Mu’mini Min Ihya’ Ulum
al-Din, hal. 208)
• Dengan Amal
Sedangkan dari sisi amal cara menahan amarah
adalah dengan berdzikir membaca ta’awudz, kemudian berusaha menenangkan diri.
Carilah posisi yang lebih rileks. Bila dalam keadaan berdiri, maka bisa
berganti posisi dengan duduk. Jika dalam keadaan duduk, bisa berganti posisi
dengan tidur miring. Dianjurkan pula berwudhu dengan air dingin.
Al-Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Syekh
Jamaluddin al-Qasimi mengatakan:
وَأَمَّا
الْعَمَلُ فَأَنْ تَقُولَ بِلِسَانِكَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيمِ، وَإِنْ كُنْتَ قَائِمًا فَاجْلِسْ، وَإِنْ كُنْتَ جَالِسًا
فَاضْطَجِعْ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِالْمَاءِ الْبَارِدِ؛ فَإِنَّ
الْغَضَبَ مِنَ النَّارِ، وَالنَّارُ لَا يُطْفِئُهَا إِلَّا الْمَاءُ.
“Adapun (mengatasi amarah dengan) amal,
katakanlah dengan lisanmu, A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm (aku
berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk). Bila engkau berdiri,
duduklah. Bila engkau duduk, tidurlah miring. Disunahkan berwudhu dengan air
yang dingin, sesungguhnya kemarahan adalah dari api, sedangkan api tidaklah
bisa dipadamkan kecuali dengan air.” (Syekh Jamaluddin al-Qasimi, Mau’ihhah
al-Mu’mini min Ihya’ Ulum al-Din, hal. 208).
Barangkali ekspresi kemarahan menurut
sebagian kalangan adalah sebuah perbuatan yang menunjukan ketegasan,
keberanian, dan keperkasaan. Mereka tidak sadar bahwa yang demikian tersebut
timbul dari kebodohannya, pelakunya tidak mengerti bahwa untuk menunjukan
keberanian tidak harus bersikap demikian. Bahkan menurut al-Ghazali perbuatan
tersebut menunjukan sakitnya hati dan kurangnya akal. Orang yang bodoh tentang
hal ini bisa diobati dengan dibacakan kepadanya hikayat-hikayat tentang ahli
pemaaf dan kebaikan-kebaikan yang didapatkan dari mereka.
Al-Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Syekh
Jamaluddin al-Qasimi mengatakan:
وَأَشَدُّ
الْبَوَاعِثِ لِلْغَضَبِ عِنْدَ أَكْثَرِ الْجُهَّالِ تَسْمِيَتُهُمُ الْغَضَبَ
شَجَاعَةً وَعِزَّةَ نَفْسٍ، حَتَّى تَمِيلَ النَّفْسُ إِلَيْهِ وَتَسْتَحْسِنَهُ،
وَهَذَا مِنَ الْجَهْلِ، بَلْ هُوَ مَرَضُ قَلْبٍ وَنُقْصَانُ عَقْلٍ، وَيُعَالَجُ
هَذَا الْجَاهِلُ بِأَنْ تُتْلَى عَلَيْهِ حِكَايَاتُ أَهْلِ الْحِلْمِ
وَالْعَفْوِ، وَمَا اسْتُحْسِنَ مِنْهُمْ مِنْ كَظْمِ الْغَيْظِ، فَإِنَّ ذَلِكَ
مَنْقُولٌ عَنِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ.
“Dan motifasi paling besar yang mendorong
untuk marah menurut mayoritas orang bodoh adalah apa yang mereka sebut kemarahan
sebagai keberanian dan kemuliaan diri, sehingga dianggap baik dan dicondongi
oleh nafsu. Ini adalah kebodohan, bahkan penyakit hati dan kurangnya akal.
Orang bodoh ini bisa diobati dengan cara dibacakan kepadanya cerita-cerita
orang yang ramah dan pemaaf, dan hal-hal yang dianggap baik dari mereka berupa
menahan amarah, sesungguhnya hal tersebut dikutip dari para Nabi dan Ulama.”
(Syekh Jamaluddin al-Qasimi, Mau’idhah al-Mu’mini Min Ihya’ Ulum al-Din,
hal. 207).
Demikian penjelasan mengenai tips menahan
amarah yang dijelaskan oleh al-Imam al-Ghazali. Semoga kita bisa
mengamalkannya. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina
Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar