Dampak Negatif Maksiat dan
Tips Menghindarinya
Allah menciptakan segala sesuatu berpasangan.
Kebaikan dan keburukan, kuat dan lemah, menang dan kalah, panjang dan pendek,
ketaatan dan kemaksiatan, dan seterusnya. Manusia tidak ada yang dapat
melepaskan diri dari kemaksiatan.
Perilaku maksiat tidak selalu diidentikkan
dengan tindakan yang melanggar asusila. Maksiat sendiri berasal dari bahasa
Arab, معصية asal katanya عصى يعصي yang maknanya menentang, mendurhakai, melanggar, dan
membangkang. Artinya jika kita durhaka kepada Allah dengan melanggar
larangan-larangan yang telah ditetapkan-Nya maka otomatis kita telah bermaksiat
kepada Allah subhanahu wata’ala.
Allah berfirman dalam Surat an-Nisa ayat 14:
وَمَنْ
يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا
فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan.” (QS an-Nisa:14)
Ayat di atas mencantumkan redaksi efek dari
perbuatan durhaka atau maksiat kepada Allah yang berupa kekekalan di dalam
neraka. Bentuk hukuman yang berat menunjukan suatu larangan yang wajib
dihindari.
Suatu hari seorang sahabat yang bernama
Wabishah mendatangi Rasulullah untuk bertanya apa yang dimaksud kebaikan dan
apa yang dimaksud dengan keburukan. Rasulullah mengatakan kepada Wabishah:
يَا
وَابِصَةُ اسْتَفْتِ نَفْسَكَ، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ،
وَاطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ،
وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ
“Wahai Wabishah, mintalah petunjuk dari
jiwamu. Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat menenangkan dan menenteramkan
hati dan jiwa. Sedangkan keburukan itu adalah sesuatu yang meresahkan hati dan
menyesakkan dada, meskipun manusia membenarkanmu dan manusia memberimu fatwa
(membenarkan).” (Musnad Ahmad)
Setiap larangan memiliki konsekuensi atau
akibat yang akan ditanggung oleh pelakunya, begitu pun kemaksiatan. Imam
al-Hârits al-Muhâsibi memperingati kita dalam kitabnya, Risalah
al-Mustarsyidîn:
وَاعْلَمْ
يَا أَخِي أَنَّ الذُّنُوْبَ تُوْرِثُ الْغَفْلَةَ وَالْغَفْلَةُ تُوْرِثُ
الْقَسْوَةَ وَالْقَسْوَةُ تُوْرِثُ الْبُعْدَ مِنَ اللهِ وَالْبُعْدُ مِنَ اللهِ
يُوْرِثُ النَّارَ وَإِنَمَا يَتَفَكَّرُ فِي هَذِهِ الأَحْيَاءُ وَأَمَّا
الأَمْوَاتُ فَقَد أمَاتَوْا أَنْفُسَهُمْ بِحُبِّ الدُّنْيَا
“Ketauhiilah wahai saudaraku, bahwa dosa-dosa
mengakibatkan kelalaian, dan kelalaian mengakibatkan keras (hati), dan keras
hati mengakibatkan jauhnya (diri) dari Allah, dan jauh dari Allah mengakibatkan
siksaan di neraka. Hanya saja yang memikirkan ini adalah orang-orang yang
hidup, adapun orang-orang yang telah mati, sungguh mereka telah mematikan diri
mereka dengan mencintai dunia.” (Imam al-Hârits al-Muhâsibi, Risâlah
al-Mustarsyidîn, Dar el-Salâm, hal. 154-155)
Syekh Abdul Fattah Abu Guddah meringkas
akibat-akibat dari maksiat dan dosa dari kitab al-Jawâb al-Kâfi liman Sa`ala
‘an ad-Dawâ asy-Syâfi:
Di antara akibat melakukan kemaksiatan adalah
terhalangnya ia dari ilmu dan rezeki; timbul perilaku menyimpang antara dirinya
dengan Allah, dan dirinya dengan orang lain; mempersulit urusan-urusannya;
gelapnya hati, wajah, dan kuburan; lalainya hati dan badan, terhalangnya dari
ketaatan, sia-sianya umur, menumbuhkan kemaksiatan sejenisnya, melemahkan
keinginannya untuk taat pada Allah subhanahu wata’ala.
Kemaksiatan menjadi sebab hinanya ia di sisi
Allah, merugikan orang-orang sekitarnya dan juga hewan-hewan, mewariskan
kehinaan, merusak hati, mengunci mati hati pelakunya, memasukkan pelakunya
kepada golongan yang akan dilaknat Rasulullah, dikeluarkannya ia dari golongan
yang mendapat doa dari Rasul dan malaikat bagi orang yang bertakwa (Imam
al-Hârits al-Muhâsibi, Risâlah al-Mustarsyidîn, Dar el-Salâm, hal. 158)
Di atas adalah beberapa akibat dari perilaku
maksiat. Selain itu masih banyak akibat-akibat yang tidak disebutkan di sini.
Cukuplah akibat-akibat di atas menjadi pengingat bagi kita agar kita lebih
berhati-hati.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauzi berkata dalam
kitabnya Shayd al-Khâthir, “Tidaklah merasakan kenikmatan maksiat melainkan
orang yang selalu lalai, adapun orang mukmin yang sadar, maka sesungguhnya ia
tidak merasakan kenikmatan dari maksiat, karena ilmunya akan menghentikan
perbuatan tersebut bahwa perilaku maksiat adalah haram. (Imam al-Hârits
al-Muhâsibi, Risâlah al-Mustarsyidîn, Dar el-Salâm, hal. 158)
Syekh Mushtofa as-Sibâ’i memberikan tips
untuk menghindar dari maksiat dalam kitabnya Hâkadzâ ‘Allamtanî al-Hayât:
إذا
همّت نفسك بالمعصية فذكرها بالله، فإذا لم ترجع فذكرها بأخلاق الرجال، فإذا لم
ترجع فذكرها بالفضيحة إذا علم بها الناس، فإذا لم ترجع فاعلم أنك تلك الساعة قد
انقلبت إلى حيوان.
“Apabila dirimu tergerak melakukan maksiat
maka ingatlah Allah. Apabila rasa itu belum hilang juga maka ingatlah akhlak
seseorang (yang mulia). Apabila belum hilang juga maka ingatlah dengan
terungkapnya maksiat tersebut apabila orang-orang mengetahuinya, apabila belum
hilang juga maka ketahuilah saat itu juga engkau telah berubah menjadi
binatang!” (Syekh Mushtafa as-Sibâ’i, Hâkadzâ ‘Allamtanî al-Hayât, hal.
13).
Semoga dengan pemaparan di atas, kita menjadi
hamba Allah yang lebih berhati-hati dari perilaku kemaksiatan. Âmîn. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar