Pesantren Miftahul
Huda Al-Azhar dan Perjuangan Laskar Hizbullah
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 27 Februari, belasan ribu orang terdiri dari kiai dan warga NU mendatangi Kota Banjar, Jawa Barat. Mereka berkumpul di satu titik, yaitu di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Desa Kujangsari, Kecamatan Langensari. Mereka mengikuti Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di tempat itu.
Menurut penelusuran,
pesantren tersebut bermula dari perjuangan seorang kiai muda bernama Marzuki
Mad Salam (wafat tahun 1968 dalam usia 93 tahun). Ia berasal dari Grumbul
Kelawan, Desa Gung Agung, Kecamatan Bulus, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
Ia merupakan kiai
yang turut merasakan keprihatinan umat Islam saat penjajahan kolonial Belanda.
Namun, ia tak bisa berbuat banyak, selain memohon kepada Allah SWT,
memperbanyak doa dan mujahadah. Pada suatu ketika ia mendapat petunjuk bahwa
dia harus keluar dari lingkungan mencari tempat yang tepat untuk nasrul ’ilmi
wad da’wah islamiyah.
Hal tersebut ia
lakukan di beberapa tempat di antaranya Gombong, Tambak, Sitinggil dan lain
lain. Dengan izin Allah SWT, ia sampai di Citangkolo sekarang pada tahun 1911.
Tempat tersebut merupakan hutan belantara yang konon angker dan banyak binatang
buas. Di tempat tersebut sebelumnya ada 3 keluarga dari Manonjaya, Rancah,
Cineam Tasikmalaya. Tapi kemudian mereka meninggalkan tempat tersebut.
Pada 10 Muharam 1911
Kiai Marzuki Mad Salam mendirikan mushala panggung ukuran 2x3 meter. Pada tahun
1916, ia memboyong keluarganya dari Grumbul ke Citangkolo dengan membawa bayi
laki-laki berumur 100 hari bernama Badrun, putra keenamnya. Karena membawa
keluarganya, ia memperbaiki mushalanya, yang semula panggung itu menjadi
lemprakan atau lesehan dengan ukuran 5x9 meter.
Tahun 1923 mushala
itu pun diperbaiki menjadi masjid jami’ dengan penunjukan dari Sinuhun Bupati
Tasikmalaya tahun 1926. Pada saat itu, ia mulai dikenal sebagai pemuka agama
sehingga pemuda-pemudi terdekat menjadi santri kalong. Hal itu menjadi
permulaan berdirinya Pondok Pesantren Citangkolo sekarang. Saat itu, aktivitas
mengajar dibantu putranya, Kiai Mad Sholeh (wafat tahun 1950) dan seorang
menantunya.
Pada masa prakemerdekaan
sampai dengan tahun 1950-an, masjid dan pondok pesantren Citangkolo menjadi
basis pergerakan membantu para pejuang merebut kemerdekaan dari tangan kolonial
Belanda. Dengan semangat Aswaja dan senjata bambu runcing yang telah disuwuk
kiai, mereka bergabung dengan laskar Hizbullah yang dikomandani anaknya
sendiri, seorang kiai muda, Badrun Bin Marzuki. Wilayah pergerakan Kiai Badrun
meliputi Ciamis, Tasikmalaya, dan daerah sekitarnya.
Pergerakan Badrun
menyebabkan masjid dan pesantren menjadi sasaran tembak meriam Belanda yang
dibidikan dari Banjar. Pasukan Belanda melakukan itu karena pasukan Hizbullah
menggulingkan kereta api di jembatan Cibeureum, Desa Mulyasari, Kecamatan
Pataruman. Letaknya 1,5 km sebelah utara pondok pesantren Citangkolo.
Dalam situasi seperti
itu, Kiai Badrun masih sempat mengatur waktu dan strategi agar perjuangan
ayahnya, KH Marzuki Mad Salam, dalam nasrul’ilmi wad da’wah islamiyah. Ia
sempat berguru ke beberapa pesantren dari wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur. Hal itu ia jalani sejak zaman prakemerdekaan sampai tahun 1950-an.
Pondok terakhir yang
didatangi Kiai Badrun adalah Kesugihan Cilacap yang dipimpin oleh KH Badawi
Hanafi pada tahun 1948. Ia kemudian dijadikan menantu pada tahun 1950 oleh
pemimpin pesantren tersebut. Saat itu ia mengubah namanya menjadi Abdurrohim.
Perkawinannya dengan putri kiai tersebut, Allah mengkaruniainya putra 13 orang.
Namun yang hidup sampai dewasa hanya ada 8 orang. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar