Rabu, 15 Januari 2020

Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar dan Perjuangan Laskar Hizbullah


Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar dan Perjuangan Laskar Hizbullah

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 27 Februari, belasan ribu orang terdiri dari kiai dan warga NU mendatangi Kota Banjar, Jawa Barat. Mereka berkumpul di satu titik, yaitu di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Desa Kujangsari, Kecamatan Langensari. Mereka mengikuti Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di tempat itu.

Menurut penelusuran, pesantren tersebut bermula dari perjuangan seorang kiai muda bernama Marzuki Mad Salam (wafat tahun 1968 dalam usia 93 tahun). Ia berasal dari Grumbul Kelawan, Desa Gung Agung, Kecamatan Bulus, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Ia merupakan kiai yang turut merasakan keprihatinan umat Islam saat penjajahan kolonial Belanda. Namun, ia tak bisa berbuat banyak, selain memohon kepada Allah SWT, memperbanyak doa dan mujahadah. Pada suatu ketika ia mendapat petunjuk bahwa dia harus keluar dari lingkungan mencari tempat yang tepat untuk nasrul ’ilmi wad da’wah islamiyah.

Hal tersebut ia lakukan di beberapa tempat di antaranya Gombong, Tambak, Sitinggil dan lain lain. Dengan izin Allah SWT, ia sampai di Citangkolo sekarang pada tahun 1911. Tempat tersebut merupakan hutan belantara yang konon angker dan banyak binatang buas. Di tempat tersebut sebelumnya ada 3 keluarga dari Manonjaya, Rancah, Cineam Tasikmalaya. Tapi kemudian mereka meninggalkan tempat tersebut.

Pada 10 Muharam 1911 Kiai Marzuki Mad Salam mendirikan mushala panggung ukuran 2x3 meter. Pada tahun 1916, ia memboyong keluarganya dari Grumbul ke Citangkolo dengan membawa bayi laki-laki berumur 100 hari bernama Badrun, putra keenamnya. Karena membawa keluarganya, ia memperbaiki mushalanya, yang semula panggung itu menjadi lemprakan atau lesehan dengan ukuran 5x9 meter.

Tahun 1923 mushala itu pun diperbaiki menjadi masjid jami’ dengan penunjukan dari Sinuhun Bupati Tasikmalaya tahun 1926. Pada saat itu, ia mulai dikenal sebagai pemuka agama sehingga pemuda-pemudi terdekat menjadi santri kalong. Hal itu menjadi permulaan berdirinya Pondok Pesantren Citangkolo sekarang. Saat itu, aktivitas mengajar dibantu putranya, Kiai Mad Sholeh (wafat tahun 1950) dan seorang menantunya.

Pada masa prakemerdekaan sampai dengan tahun 1950-an, masjid dan pondok pesantren Citangkolo menjadi basis pergerakan membantu para pejuang merebut kemerdekaan dari tangan kolonial Belanda. Dengan semangat Aswaja dan senjata bambu runcing yang telah disuwuk kiai, mereka bergabung dengan laskar Hizbullah yang dikomandani anaknya sendiri, seorang kiai muda, Badrun Bin Marzuki. Wilayah pergerakan Kiai Badrun meliputi Ciamis, Tasikmalaya, dan daerah sekitarnya.

Pergerakan Badrun menyebabkan masjid dan pesantren menjadi sasaran tembak meriam Belanda yang dibidikan dari Banjar. Pasukan Belanda melakukan itu karena pasukan Hizbullah menggulingkan kereta api di jembatan Cibeureum, Desa Mulyasari, Kecamatan Pataruman. Letaknya 1,5 km sebelah utara pondok pesantren Citangkolo.

Dalam situasi seperti itu, Kiai Badrun masih sempat mengatur waktu dan strategi agar perjuangan ayahnya, KH Marzuki Mad Salam, dalam nasrul’ilmi wad da’wah islamiyah. Ia sempat berguru ke beberapa pesantren dari wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hal itu ia jalani sejak zaman prakemerdekaan sampai tahun 1950-an.

Pondok terakhir yang didatangi Kiai Badrun adalah Kesugihan Cilacap yang dipimpin oleh KH Badawi Hanafi pada tahun 1948. Ia kemudian dijadikan menantu pada tahun 1950 oleh pemimpin pesantren tersebut. Saat itu ia mengubah namanya menjadi Abdurrohim. Perkawinannya dengan putri kiai tersebut, Allah mengkaruniainya putra 13 orang. Namun yang hidup sampai dewasa hanya ada 8 orang. []

(Abdullah Alawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar