Mengenal
Mubham, Sosok yang Tidak Disebut Namanya dalam Hadits
Suatu hari, Masjid
Nabawi kedatangan seorang Arab kampung. Tak dinyana, ia kencing di Masjid
Nabawi. Seusai kencing di area masjid, ia langsung pergi.
Para sahabat yang mengetahuinya
emosi. Kurang ajar, beraninya kencing di masjid? Barangkali demikian perasaan
yang berkecamuk di antara mereka. Nabi Muhammad setiba di lokasi, langsung
meminta bekas kencing tadi disiram sampai bersih.
Kita tak tahu siapa
nama orang Arab kampung yang kencing di masjid Nabawi. Dalam redaksi hadits,
hanya tertulis “rajulun” yang artinya seorang pria, atau dalam redaksi matan
yang lebih spesifik, rajul min a’rabiy, seorang pria dari kalangan Arab
kampung.
Namanya tak kita
ketahui hingga kini, kendati kisahnya demikian populer. Dalam hadits, rupanya
banyak sosok yang tidak disebutkan namanya, baik dalam sanad atau matan hadits.
Berdasarkan ilmu hadits, sosok yang tidak disebutkanya namanya ini disebut
mubham. Mubham berasal dari kata abhama-yubhimu yang artinya “tidak jelas”.
Sebagaimana
disinggung di atas, sosok yang mubham ini berada dalam matan hadits. Banyak
kisah Nabi didatangi pria atau perempuan yang tidak disebutkan siapa
identitasnya, atau hanya sekilas belaka.
Semisal pada
peristiwa Haji Wada’, Nabi Muhammad yang sedang dibonceng di unta oleh sahabat
Al Fadhl bin Abbas, didatangi oleh perempuan dari Bani Khats’am yang menanyakan
apakah ia boleh menghajikan bapaknya yang sudah renta. Siapakah nama perempuan
itu? Tidak disebutkan.
Kadang dalam matan
sendiri dijelaskan siapa orang yang dimaksud. Semisal hadits yang dikenal
sebagai hadits tentang Iman, Islam dan Ihsan. Dalam berbagai riwayat disebutkan
Nabi kedatangan seorang pria rupawan, rambutnya klimis, tiba-tiba muncul dari
padang pasir tanpa ada bekas perjalanan, dan duduk di depan Nabi menanyakan
seputar Iman, Islam, Ihsan dan tanda kiamat.
Kita tidak tahu
siapakah sang pria, sampai Nabi menjelaskannya kepada para sahabat di akhir
kisah: “Dia adalah Jibril, ia datang untuk mengabarkan tentang agama kalian.”
Secara garis besar,
cara mengetahui sosok mubham ini, menurut Mahmud Thahhan dalam Taysir
Musthalahil Hadits, dilakukan dengan membandingkan berbagai riwayat hadits yang
serupa, atau melalui keterangan ahli biografi dan sejarah.
Pada taraf yang lebih
lanjut, tentu sosok mubham diketahui lewat hubungan guru-murid, wilayah
tinggal, dan banyak lagi cara ulama “menemukan” nama mereka. Sebagai contoh,
hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas tentang seorang pria yang bertanya
kepada Nabi,
“Wahai Nabi, apakah
haji itu setiap tahun?” Pria yang disebutkan Abdullah bin Abbas ini, setelah
dilacak oleh para ulama ternyata bernama Al Aqra’ bin Habis.
Berikut hadits yang
juga diriwayatkan Abdullah bin Abbas, tentang seorang perempuan dari Bani
Juhainah yang menanyakan apakah ia bisa meng-qadhahaji ibunya yang telah wafat.
Imam an-Nasa’i menyebutkan bahwa ia adalah istri sahabat Sinan bin Salamah Al
Juhani, dan Imam Ahmad menyimpulkan ia adalah istri Sinan bin Abdullah Al
Juhani.
Demikianlah contoh
sosok mubham dalam matan. Menurut para ulama hadits, mengetahui nama yang
mubham pada matan akan menunjang pemahaman yang lebih baik akan suatu hadits.
Sementara ulama,
tanpa mengabaikan pentingnya mengetahui nama tokoh dalam hadits, memahami
tujuan disampaikannya hadits lebih penting dibanding debat seputar siapa orang
dalam hadits itu. Tentu dengan syarat persoalan penilaian sanad hadits sudah
rampung.
Bagaimana jika mubham
itu berada dalam rantai sanad? Ulama berbeda pendapat soal ini. Dikarenakan
penilaian sanad hadits memiliki standar ilmiah ketat dengan keharusan
identifikasi tiap profil perawi hadits, maka adanya sosok yang samar dalam
sanad, apalagi tidak diketahui namanya, bisa membikin penilaian akan suatu
hadits terhambat – atau malah mengurangi kualitasnya. Bagaimana para peneliti
hadits bisa menilai kualitas sanad dari beragam aspeknya, jika nama perawinya
saja tidak tahu?
Sebagai pengecualian,
oleh mayoritas ulama hadits, jika perawi yang sosoknya tidak disebutkan namanya
itu berasal dari kalangan sahabat, maka “rajulun” itu dinilai sebagai pribadi
tsiqoh kendati tidak diketahui siapa dia. Kaidahnya: setiap sahabat itu ‘udul
(berkepribadian baik – tidak mungkin berbohong atas nama Nabi).
Demikian sekilas
pembahasan perihal sosok-sosok yang tidak disebut namanya dalam hadits.
Memperhatikan detail nama tokoh dalam hadits, juga perawi yang belum atau tidak
tercatat namanya oleh para ulama, adalah kekayaan khazanah keilmuan Islam
khususnya bidang hadits, yang membikin ulama tidak terburu-buru dalam menelaah
ilmu agama.
Untuk lebih lanjut
soal sosok mubham dalam hadits, Anda bisa merujuk kitab al-Mustafad min
Mubhamatil Matn wal Isnad karya Syekh Al ‘Iraqi. Wallahu A’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar