Mengonsumsi Keong, Halal
atau Haram?
Keong merupakan salah satu hewan yang dapat
hidup dalam dua alam, yakni di perairan dan daratan. Salah satu ciri khas hewan
ini adalah memiliki tempurung atau cangkang yang berfungsi sebagai pelindung
dirinya dari ancaman luar. Tempurung keong ini selalu menyertainya di mana pun
hewan ini berjalan, seperti halnya tempurung yang dimiliki oleh siput dan
kura-kura.
Bagi masyarakat yang berada di sekitar
pesisir pantai, hewan keong ini sering mereka temukan. Kadang kita melihat
beberapa orang berburu keong, sebagian untuk tujuan dikonsumsi secara pribadi
dan ada pula yang menggunakan keong untuk diperjualbelikan.
Sedangkan bagi masyarakat pedesaan, terutama
mereka yang bermata pencaharian sebagai petani, banyak juga keong yang
berlalu-lalang di sekitar perairan sawah, hewan ini biasa dikenal dengan nama
tutut atau keong sawah. Sebagian masyarakat berburu hewan keong sawah ini untuk
dijadikan sebagai lauk-pauk, terkadang ada juga yang diperjualbelikan.
Melihat berbagai realitas di atas, sebenarnya
apakah memang hewan keong termasuk hewan yang halal untuk dikonsumsi, sehingga
tindakan sebagian masyarakat dapat dibenarkan?
Para ulama berbeda pendapat tentang status
hokum keong, apakah termasuk hewan yang halal atau haram dikonsumsi. Sebagian
ulama seperti Imam Ar-Ramli, Ad-Damiri dan Khatib Asy-Syirbini berpandangan
bahwa keong adalah hewan yang halal untuk dikonsumsi. Sedangkan ulama lain
seperti Imam Ibnu Hajar, Ibnu Abdissalam, dan Az-Zarkasyi berpandangan bahwa
keong adalah hewan yang haram untuk dikonsumsi. Perbedaan pendapat ini secara
tegas dijelaskan dalam salah satu kitab karya ulama Nusantara, Syekh Muhammad
Mukhtar bin Atharid al-Jawi al-Bughuri yang berjudul Shawaiq al-Muhriqah li
al-Awham al-Kadzibah:
فعلى
كلام المجموع وابن عدلان وأئمّة عصره والدميري والشهاب الرملي ومحمد الرملي
والخطيب فى المغني فالرميسى والتوتوت والكييوع حلال لأنّها مثل الدنيلس الذي
اتّفقوا على حله وداخل في أنواع الصدف الذي ظاهر كلام المجموع على حلّه . وعلى
كلام ابن عبد السلام والزركشى وابن حجر فى الفتاوى الكبرى والتحفة
فالمذكورات حرام فيجوز للناس أكلها تقليدا للذين قالوا بحلّه والأولى تركه إحتياطا.
“Berdasarkan penjelasan dalam kitab
Al-Majmu’, pendapat Ibnu ‘Adlan dan ulama semasanya, Imam Ad-Damiri, Syihab
Ar-Ramli, Muhammad Ar-Ramli, dan Khatib Asy-Syirbini dalam kitab Mughni
al-Muhtaj bahwa ramis, tutut (keong sawah) dan keong (laut) adalah hewan yang
halal, karena masih sama dengan danilas (sejenis hewan laut) yang disepakati
kehalalannya dan tergolong dalam jenis kerang yang secara eksplisit dijelaskan
dalam kitab al-Majmu’ kehalalannya. Namun jika berdasarkan pendapat Imam Ibnu
Abdissalam, Az-Zarkasyi, Ibnu Hajar dalam kitab al-Fatawa al-Kubra dan Tuhfah
al-Muhtaj bahwa semua hewan yang disebutkan di atas adalah haram, maka boleh
bagi seseorang untuk mengonsumsinya dengan bertaqlid pada ulama yang
berpendapat tentang kehalalannya, namun yang lebih utama adalah tidak
mengonsumsi hewan ini dalam rangka mengambil jalan hati-hati dalam mengamalkan
syariat.” (Syekh Muhammad Mukhtar bin Atharid al-Jawi, Shawaiq al-Muhriqah li
al-Awham al-Kadzibah, hal. 14-15)
Perbedaan pendapat tentang hukum mengonsumsi
keong di atas sebenarya bermula dari perbedaan pendapat di antara ulama tentang
status hukum hewan kerang, apakah termasuk hewan yang haram atau halal
dikonsumsi. Sebab keong adalah hewan yang mirip dengan kerang dari segi
kehalalan dan keharamannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
mengonsumsi keong, baik itu keong laut ataupun keong sawah adalah persoalan
yang diperdebatkan, sebagian ulama memperbolehkan, sebagian yang lain
mengharamkan. Bagi sebagian orang yang terbiasa mengonsumsi keong atau
menjadikan keong sebagai mata pencaharian diperbolehkan baginya mengikuti
(taqlid) pada ulama yang menghalalkan keong. Sehingga perbuatan yang
dilakukannya, baik itu mengonsumsi ataupun memperjual-belikan keong tidak
tergolong sebagai hal yang dilarang oleh syara’. Meski begitu, hal yang lebih
utama tetap menjauhi mengonsumsi keong ini dalam rangka mengambil jalan
kehati-hatian dalam mengamalkan syariat (ihtiyath) seperti yang dijelaskan
dalam kitab Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah di atas. Wallahu a’lam.
[]
Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok
Pesantren Kaliwining Jember Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar