China Berspekulasi di Laut Natuna Utara
Oleh: Bambang Soesatyo
RESPONS TNI menghadang dan menghalau kapal pencuri ikan asal China
di Laut Natuna memang cukup dibatasi pada konteks penegakan hukum pidana
perikanan. Kalau China coba mengeskalasi persoalan menjadi konflik pemilikan
atau penguasaan wilayah perairan Natuna, masyarakat Indonesia tak perlu
emosional menanggapi klaim sepihak itu, karena wilayah perairan Natuna sebagai
teritorial Indonesia sudah final, seturut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut alias United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) 1982 yang mulai berlaku sejak 1994.
Tidak hanya itu. Klaim China atas perairan Natuna bahkan sudah dimentahkan atau ditolak pengadilan. Seperti diketahui, Pengadilan Arbitrase Internasional tentang Laut China Selatan pada 2016 memutuskan bahwa klaim China tentang sembilan garis putus-putus di perairan Natuna sebagai batas teritorial Laut China tidak mempunyai dasar historis. Kemudian, bukan cerita baru kalau Beijing menolak atau menentang keputusan Arbitrase Internasional itu.
Provokasi China di perairan Natuna tampak nyata pada pekan kedua Desember 2019 itu. Puluhan kapal ikan mereka yang masuk perairan Natuna dikawal pasukan penjaga pantai (coast guard ) plus kapal perang fregat. Dalam konteks kepentingan nasional, Indonesia boleh menuduh China melindungi nelayan mereka mencuri di perairan Natuna. Nelayan, coast guard, dan kapal perang China nyata-nyata melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia serta melakukan kegiatan IUUF (illegal, unreported, and unregulated fishing).
Hingga Minggu (5/1), kapal-kapal China itu masih bertahan di Laut Natuna. TNI tetap persuasif dengan memperingatkan bahwa mereka sudah menerobos sekaligus menangkap ikan secara ilegal di Laut Natuna. Modus yang sama juga dilakukan China pada Maret 2016. Kapal ikan mereka masuk dengan cara ilegal ke perairan Natuna. Tujuannya tak lain mencuri ikan. Upaya penangkapan kapal itu lagi-lagi dihalang-halangi oleh kapal coast guard China. Jadi, semacam rencana bersama mencuri ikan yang diketahui dan melibatkan organ resmi pemerintah China.
China juga angkat bicara menentang inisiatif Indonesia mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara pada Juli 2017, ketika Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman meluncurkan peta baru Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peta baru itu fokus pada perbatasan laut Indonesia dengan negara lain, sekaligus membuat kejelasan hukum di laut dan mengamankan ZEE Indonesia. Inisiatif Indonesia ini dikecam Beijing. Waktu itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menilai penggantian nama itu tidak masuk akal.
Pencurian ikan yang direncanakan serta kecaman terhadap perubahan nama itu merefleksikan pendirian China menolak keputusan Arbitrase Internasional itu. "Posisi dan proposisi China mematuhi hukum internasional, termasuk UNCLOS. Apakah Indonesia terima atau tidak, penolakan tidak akan mengubah fakta objektif bahwa China memiliki hak dan kepentingan atas perairan terkait," kata Geng Shuang, Kamis (2/1).
China bahkan kembali menegaskan sikapnya menolak keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional dan menilai keputusan pengadilan itu yang justru ilegal dan tidak berlaku. "China tidak menerima atau mengakui putusan arbitrase tersebut. China dengan tegas menentang negara atau pihak mana pun yang menggunakan putusan arbitrase yang tidak sah itu untuk merugikan kepentingan China," ujar Geng Shuang.
Dengan pendirian China seperti itu, cukup jelas bagi Indonesia untuk bersikap. Berpijak pada UNCLOS 1982 yang legalitasnya diperkuat oleh keputusan Arbitrase Internasional pada 2016 itu, setapak pun Indonesia tidak akan mundur dari Laut Natuna Utara. Dan, untuk mempertahankan kedaulatan RI atas Laut Natuna Utara, tidak diperlukan lagi perundingan atau negosiasi dengan pihak mana saja, termasuk China sekali pun berlanjut Namun, persoalan tidak selesai sampai di situ. Untuk mewujudkan ambisinya menguasai perairan Natuna, boleh dipastikan bahwa China akan melanjutkan petualangannya di Laut Natuna Utara.
Mereka akan terus memprovokasi Indonesia, khususnya pasukan TNI yang bertugas di perairan itu. Mereka menargetkan terjadinya insiden diplomatik yang memungkinkan Beijing mengajukan gugatan baru atas perairan Natuna. Apresiasi setinggi-tingginya layak diberikan kepada elegansi pasukan TNI yang bertugas mengamankan Laut Natuna Utara. Alih-alih terpancing atau emosional, pasukan TNI malah mengajarkan sambil mengingatkan orang-orang China itu bahwa mereka telah melakukan kesalahan karena bertindak ilegal memasuki wilayah negara lain, apalagi untuk mencuri.
Memang, sebatas itulah respons yang layak bagi pelaku pidana perikanan. Sekadar persuasi untuk menegakkan pidana perikanan di dalam wilayah perairan RI. Karena konteksnya penegakan hukum pidana perikanan, peristiwa di Laut Natuna Utara itu tidak memenuhi syarat untuk disebut konflik dua negara, atau RI versus China. Konstruksi kasusnya kurang lebih sama dengan ketika Satuan Reserse dan Kriminal Polres Metro Jakarta Utara menangkap dan menahan tiga tersangka berkewarganegaraan China pelaku Fintech ilegal pada pekan keempat Desember 2019. Atau, ketika Aparat Polda Metro Jaya akhir November 2019 menangkap 85 WNA China dalam kasus penipuan daring melalui telepon genggam.
Dalam dua contoh kasus tersebut, tidak ada keributan karena WNA China yang ditangkap diasumsikan bergerak atas nama pribadi atau kelompok pelaku tindak kriminal. Sementara pada kasus kriminal di perairan Natuna, wajar jika Indonesia mengajukan protes kepada Beijing karena niat mencuri ikan itu melibatkan organ resmi Negeri Tirai Bambu itu, sebagaimana tecermin dari kehadiran atau pengawalan oleh kapal pengawas pantai dan pengawalan oleh kapal perang China.
Menyuarakan protes yang proporsional tidak harus berujung konflik, apalagi sampai menghembuskan isu perang. Menghadapi dan menyikapi petualangan China di Laut Natuna Utara, Indonesia tidak cukup hanya bersikap. Pemerintah bersama TNI wajib bertindak tegas melaksanakan penegakan hukum pidana perikanan, ketentuan pidana di laut dan ketentuan hukum yang berkait dengan pelanggaran terhadap ZEE Indonesia.
ZEE mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat seturut UNCLOS. Dan, dalam konteks penegakan hukum pidana perikanan, pemerintah memiliki payung hukum untuk bertindak tegas, termasuk menenggelamkan kapal pencuri ikan. UU Nomor 45/2009 Tentang Perikanan (Perubahan atas UU No.31/2004) sudah memberi wewenang kepada aparatur negara untuk bertindak tegas. Wewenang menenggelamkan kapal asing pencuri ikan diatur dalam Pasal 69 ayat (4) UU Perikanan. Pasal ini menegaskan bahwa penyidik atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan penenggelaman kapal ikan berbendera asing, sejauh bukti permulaannya cukup.
Pencurian ikan atau illegal fishing di perairan Indonesia tetap marak kendati telah diberlakukan Peraturan Menteri No 56/Permen-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia pada November 2014. Pemerintah pun meresponsnya dengan sikap tegas pula, yakni menenggelamkan kapal yang mencuri ikan. Sikap tegas Indonesia ini diapresiasi komunitas internasional. Semasa menjabat menteri kelautan dan perikanan, Susi Pudjiastuti pada Desember 2018 sempat beraudiensi dengan Paus Fransiskus di Vatikan. Keduanya sempat mendiskusikan isu illegal fishing.
Kepada pers, Susi menuturkan bahwa Paus tidak hanya mendukung inisiatif Indonesia memerangi pencurian ikan, tetapi juga memberikan dukungan moral dan spiritual untuk pemerintah Indonesia. Artinya menghadapi petualangan China di Laut Natuna Utara, Indonesia tidak akan sendirian. Pada akhirnya, untuk merespons petualangan China itu, pemerintah dan DPR harus memperkuat gugus tugas TNI di Laut Natuna Utara. Tak cukup dengan penguatan armada laut dan alat utama sistem persenjataan, TNI juga harus didukung teknologi pengintaian yang mumpuni. []
KORAN SINDO, 8 Januari 2020
Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI/ Kepala Badan Bela Negara FKPPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar