Hukum Mengonsumsi Daging
Kuda
Kuda merupakan salah satu jenis hewan yang
disebutkan di berbagai tempat dalam Al-Qur’an. Penyebutan kata “al-khayl” yang
merupakan nama kuda dalam bahasa Arab umumnya disebutkan dalam Al-Qur’an ketika
menerangkan tentang suatu kenikmatan. Misalnya seperti yang terdapat dalam
Surat An-Nahl:
وَالْخَيْلَ
وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً
“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan
keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan.” (QS An-Nahl, Ayat: 8)
Dalam ayat lain juga dijelaskan bahwa kuda
merupakan salah satu harta dunia yang disenangi oleh manusia:
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ
الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ
وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِندَهُ
حُسْنُ الْمَأَبِ
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan
manusia cinta terhadap apa yang di inginkan, berupa perempuan-perempuan,
anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan,
hewan ternak dan shallallahu ‘alaihi wasallamah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran,
Ayat: 14)
Meski menyebutkan hewan kuda secara khusus,
ayat-ayat tersebut tidak secara langsung menjelaskan perihal tentang kehalalan
mengonsumsi daging kuda, sebab secara umum hal yang paling dominan dalam hal
ketertarikan pada hewan kuda adalah tatkala hewan ini dijadikan sebagai
kendaraan, hiasan atau koleksi bagi seseorang.
Tentang hukum mengonsumsi kuda, secara tegas
dijelaskan dalam hadits:
عن
جابر بن عبد الله أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى يوم خيبر عن لحوم الحمر
الأهلية وأذن في لحوم الخيل
“Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdullah
radliyallahu ‘anh bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang pada
saat perang Khaibar mengonsumsi daging keledai yang jinak dan memperbolehkan
mengonsumsi daging kuda.” (HR Muslim)
Berdasarkan hadits di atas dapat dipahami
bahwa mengonsumsi daging kuda adalah hal yang diperbolehkan. Namun memutuskan
tentang hukum mengonsumsi kuda belum selesai hanya berdasarkan satu hadits di
atas saja. Kita perlu menengok pandangan para ulama Madzahib al-Arba’ah tentang
hukum mengonsumsi daging kuda, sebab pijakan para ulama jelas berdasarkan
pertimbangan berbagai macam dalil secara matang, tidak hanya berdasarkan
satu-dua dalil saja.
Hal ini misalnya seperti yang dijelaskan
dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah bahwa tentang hukum mengonsumsi
daging kuda, para ulama terjadi perbedaan pendapat, di antaranya ada yang
menghalalkan, memakruhkan, dan mengharamkan. Berikut perincian tentang
perbedaan pendapat tersebut:
ذهب
الشافعية والحنابلة وهو قول للمالكية إلى إباحة أكل لحم الخيل لحديث جابر قال :
نهى النبي صلى الله عليه وسلم يوم خيبر عن لحوم الحمر الأهلية ورخص في لحوم الخيل
وذهب
الحنفية - وعليه الفتوى عندهم - وهو قول ثان للمالكية إلى حل أكلها مع الكراهة
التنزيهية لاختلاف الأحاديث المروية في الباب لاختلاف السلف
والمذهب
عند المالكية أن أكل لحم الخيل محرم
“Ulama Syafi’iyah, Hanabilah, dan sebagian
pendapat Malikiyah berpandangan bahwa boleh mengonsumsi daging kuda,
berdasarkan hadits sahabat Jabir: ‘Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
melarang daging keledai yang jinak pada saat perang Khaibar dan memberi
keringanan (kehalalan) pada daging kuda.’ Ulama Hanafiyah berpandangan halalnya
mengonsumsi daging kuda disertai hukum makruh tanzih—pendapat ini adalah
pendapat kedua dalam Mazhab Malikiyah. Hal tersebut dikarenakan berbeda-bedanya
hadits yang diriwayatkan tentang kehalalan daging kuda dan berbeda dengan
pengamalan ulama salaf. Sedangkan pendapat yang kuat dalam mazhab Malikiyah
bahwa mengonsumsi daging kuda adalah hal yang diharamkan.” (Kementrian wakaf
dan urusan keagamaan Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz 35, hal.
210)
Kehalalan daging kuda menurut para ulama yang
menghalalkan tetap harus berdasarkan syarat-syarat yang mu’tabar seperti harus
disembelih secara syar’i, masih terdapat sisa nyawa yang menetap (hayat
al-mustaqirrah) dalam kuda dan menyembelih dengan mengucapkan basmalah menurut
tiga mazhab selain mazhab Syafi’iyah.
Walhasil, kuliner daging kuda yang biasa kita
temukan di berbagai sudut jalanan dengan menu sate kuda dan berbagai masakan
lainnya adalah hal yang masih diperselisihkan di antara para ulama. Bagi orang
yang terbiasa mengonsumsi daging ini hendakanya bertaqlid pada ulama yang
memperbolehkan yakni menurut mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Hanafi. Namun jika
ingin memilih jalan hati-hati (ihtiyath) dengan tidak mengonsumsi daging kuda,
juga merupakan hal yang baik, selama tetap menghormati dan menghargai pandangan
yang dianut oleh orang lain. Wallahu a’lam. []
Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok
Pesantren Kaliwining Jember Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar