Ketika Nabi Daud Bingung Cara Bersyukur
kepada Allah
Dalam kitab al-Zuhd, terdapat dua riwayat yang bercerita tentang Nabi Daud dan pertanyaannya kepada Allah tentang bagaimana caranya bersyukur. Berikut riwayatnya:
حدثنا
عبد الله حدثني أبي حدثنا عبد الرحمن حدثنا جابر بن زيد عن المغيرة بن عيينة قال:
قال داود عليه السلام يا رب هل بات أحد من خلقك الليلة أطول ذكرًا لك مني فأوحي
الله عز وجل إليه نعم الضفدع وأنزل الله عليه: اعلموا آلَ دَاوُدَ شكرًا وقليل
مِنْ عِبَادِيَ الشّكور (سورة سبأ: 13)
قال:
يا رب كيف أطيق شكرك وأنت الذي تنعم عليّ ثم ترزقني علي النعمة ثم تزيدني نعمة
نعمة فالنعم منك يا رب والشكر منك فكيف أطيق شكرك يا ربّ, قال: الآن عرفتني يا داود حق معرفتي
Abdullah bercerita, ayahku bercerita
kepadaku, Abdurrahman bercerita, Jabir bin Zaid bercerita dari al-Mughirah bin
‘Uyainah, ia berkata: Nabi Daud ‘alaihissalam berujar: “Wahai Tuhan, apakah ada
salah satu makhluk-Mu yang banyak berdzikir kepada-Mu di malam hari melebihi
aku?”
Kemudian Allah memberitahu Daud: “Ya, (ada),
yaitu katak.”
Dan Allah menurunkan (firman-Nya) kepada Daud
(QS. Saba’: 13):
“Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur
(kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.”
Nabi Daud berkata: “Duh Tuhan, bagaimana
mungkin aku mampu bersyukur kepada-Mu sementara Kau yang memberiku nikmat,
kemudian Kau yang memberi rezeki kepadaku atas nikmat itu, kemudian Kau yang
menambahiku nikmat demi nikmat. Karena (segala) nikmat berasal dari-Mu, wahai
Tuhan, dan syukur berasal dari-Mu. Maka, bagaimana mungkin aku mampu bersyukur
kepada-Mu, wahai Tuhan.” Allah berfirman: “Sekarang kau telah mengenal-Ku,
wahai Daud, benar-benar mengenal-Ku.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo:
Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 88-89)
عن
أبي الجلد، عن مسلمة أَنَّ دَاوُدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عليه وَسَلَّمَ قَالَ:
إِلَهِيْ، كَيْفَ لِيْ أَنْ أَشْكُرَكَ، وَأَنَا لَا أَصِلُ إِلَى شُكْرِكَ إِلَّا
بِنِعْمَتِكَ؟ فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ: يَا دَاوُدُ، أَلَسْتَ تَعْلَمُ أَنَّ
الَّذِيْ بِكَ مِنَ النِّعَمِ مِنِّيْ؟ قَالَ: بَلَى، أَيْ رَبِّ، قَالَ:
فَإِنِّيْ أَرْضَى بِذَلِكَ مِنْكَ شُكْرًا
Dari Abu al-Jald, dari Maslamah, sesungguhnya
Nabi Daud shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tuhanku, bagaimana mungkin aku
bisa bersyukur kepada-Mu, sementara aku tidak akan sampai bersyukur kepada-Mu
kecuali dengan nikmat-Mu juga?” Kemudian Allah memberitahu Daud: “Wahai Daud,
bukankah kau tahu bahwa yang ada pada dirimu merupakan bagian dari nikmat-nikmat-Ku?”
Nabi Daud menjawab: “Benar, wahai Tuhanku.” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku
telah meridhai syukurmu itu.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar
al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 91-92)
****
Memiliki kesempatan bersyukur adalah nikmat,
dan mensyukuri nikmat adalah nikmat. Begitulah gambaran sederhana dari riwayat
di atas, bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Tidak ada satu pun di dunia
ini yang tidak berasal dari-Nya. Namun, manusia kadang lalai dengan
kemakhlukannya. Ia lupa bahwa dirinya makhluk yang diadakan oleh Allah, bukan
ada dengan sendirinya. Ketika manusia melupakan kemakhlukannya, ia akan mudah
dilalaikan oleh sesuatu. Untuk lebih jelasnya, simak uraian singkatnya berikut
ini.
Riwayat di atas dimulai dengan Nabi Daud yang
selalu terjaga sepanjang malam untuk berdzikir kepada Allah. Meski demikian, ia
diingatkan bahwa ada makhluk lain yang dzikirnya lebih banyak darinya, yaitu
katak. Kemudian Allah memerintahkan Daud dan keluarganya untuk memperbanyak
syukur kepada-Nya.
Artinya, sebanyak apapun ibadah seseorang,
harus dibarengi dengan syukur. Tanpa itu, ibadahnya dikhawatirkan hanya akan
menghasilkan bibit takabur dan ujub. Ini menunjukkan bahwa bersyukur adalah
pengingat akan kemakhlukan kita, bahwa kita harus berterima kasih dengan apapun
yang Allah berikan kepada kita. Dengan melupakan terima kasih (syukur), kita
akan terjebak dalam lingkaran ujub dan takabur. Itulah kenapa Allah menyuruh
Daud dan keluarganya untuk bersyukur.
Di sisi lain, katak dalam riwayat di atas
perlu kita pahami sebagai simbol pengingat, bahwa kita tidak lebih mulia dari
siapapun, bahkan dengan makhluk Tuhan non-manusia. Simbol yang mengajarkan kita
agar tidak mudah membandingkan amal ibadah kita dengan makhluk Tuhan lainnya.
Karena perbandingan amal seringkali berujung pada anggapan mulia diri
(takabbur/ujub) yang akan menjebak kita.
Inilah yang perlu kita hindari. Salah satu
caranya dengan memperbanyak syukur kita kepada Allah. Pintu pembukanya adalah
pemahaman bahwa sebanyak apapun syukur kita, tidak mungkin mendekati, apalagi
menyamai nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Seperti yang diungkapkan Nabi
Daud ‘alaihissalam di atas, bahwa bersyukur sendiri adalah nikmat dari Tuhan,
maka ‘bagaimana mungkin ia mampu bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya
itu’.
Hal ini menunjukkan adanya ketidak-seimbangan antara anugerah yang diterima dan syukur yang dirasakan dan dipanjatkan oleh seseorang. Kebanyakan dari kita lalai akan kehadiran nikmat Allah. Kita lalai bahwa waktu adalah nikmat; sehat adalah nikmat; merasa adalah nikmat, dan semuanya adalah nikmat. Kelalaian ini sudah diperingatkan oleh Nabi Muhammad jauh-jauh hari, terutama soal nikmat sehat dan waktu luang. Beliau bersabda (HR. Imam al-Bukhari):
نِعْمَتَانِ
مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia
lalai; nikmat sehat dan nikmat waktu luang.”
Kembali ke soal ketidak-seimbangan anugerah
dan syukur. Untuk memahaminya, kita harus memperhatikan munajat indah Nabi Daud
berikut ini:
إِلَهِيْ،
لَوْ أَنَّ لِكُلِّ شَعْرَةٍ مِنِّيْ لِسَانَيْنِ، يُسَبِّحَانِ اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ، وَالدَّهْرَ كُلَّهُ، مَا قَضَيْتُ حَقَّ نِعْمَةٍ
“Ilahi, sungguh, andai saja setiap rambutku
memiliki dua lidah yang selalu bertasbih siang dan malam, dan (bertasbih) setiap
waktu, aku belum menunaikan satu pun hak nikmat (yang Kau berikan kepadaku).”
(Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, h. 88)
Artinya, bertasbih sepanjang hidup, dengan
dibantu setiap helai rambut yang memiliki dua lidah, dan keduanya bertasbih
siang-malam dan setiap saat, itu masih jauh dari cukup untuk memenuhi hak satu
nikmat yang Allah berikan. Bayangkan saja, rambut manusia yang jumlahnya sukar
dihitung, dikalikan dua (lidah), dan bertasbih sepanjang waktu sampai mati,
masih tidak cukup untuk memenuhi hak satu nikmat dari Allah.
Karena itu, kerendahan hati (tawaddu’) sangat
dibutuhkan dalam bersyukur kepada Allah. Kebingungan Nabi Daud dalam bersyukur
menunjukkan kerendahan hatinya, bahwa tidak mungkin mensyukuri nikmat Tuhan
dengan hitungan matematis, atau dengan menghitung amal ibadah yang
dilakukannya. Sebab, bisa beribadah sendiri adalah nikmat, sehingga mustahil
menghitung anugerah Allah dengan angka. Jika seseorang melakukan perhitungan
itu, dan merasa dirinya sebagai orang yang banyak ibadahnya, bisa jadi ia akan
kehilangan makna syukur.
Maka dari itu, dalam riwayat di atas, Allah
menjawab kebingungan dan ketidak-mampuan Nabi Daud dengan mengatakan,
“Sesungguhnya Aku telah meridhai syukurmu itu,” dan di riwayat lain, “Sekarang
kau telah mengenal-Ku, wahai Daud, benar-benar mengenal-Ku.”
Pertanyaannya, pernahkah kita bersyukur
dengan kerendahan hati? Wallahu a’lam bish shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar