Belajar dari Tidak Adanya
‘al-Kalim’ dalam 99 Asmaul Husna
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لِلَّهِ
تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ اسْمًا، مَنْ حَفِظَهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَإِنَّ اللهَ
وِتْرٌ، يُحِبُّ الْوِتْرَ
Artinya: “Allah memiliki sembilan puluh
sembilan nama, barang siapa yang menghafalnya ia masuk surga. Dan sesungguhnya
Allah itu ganjil, menyukai yang ganjil.”
Hadits di atas banyak diabadikan oleh para
ulama perawi hadits termasuk di antaranya oleh Imam Muslim dalam kitab
Shahih-nya.
Sembilan puluh sembilan nama Allah itu
kemudian dikenal dengan nama al-asmâ’ al-husnâ (publik umum biasa menyebut,
asmaul husna, red), artinya nama-nama yang baik. Merujuk pada satu ayat wa
lillâhil asmâul husnâ fad’ûhu bihâ (Allah memiliki asmaul husna, maka berdoalah
dengannya).
Kesembilan puluh sembilan nama-nama Allah itu
selain yang tersebar di dalam Al-Qur’an juga bisa didapati di berbagai tulisan
seperti sampul mushaf Al-Qur’an, hiasan dinding, poster dan sebagainya. Anda
mungkin pernah membacanya, atau bahkan telah menghafalnya.
Cobalah baca asmaul husna keseluruhan. Bila
telah selesai coba bacalah kembali. Cermatilah, adakah nama Allah al-Kalim di
dalamnya?
Kiranya kita tak akan pernah mendapati nama
al-Kalim di dalam asmaul husna. Al-Kalim berarti Yang Maha Berbicara. Ya, di
dalam asmaul husna ada nama as-Sami’ dan al-Bashir yang berarti Allah Maha
Mendengar dan Allah Maha Melihat. Lalu mengapa tidak ada al-Kalim? Apakah Allah
tidak Maha Berbicara? Padahal kita tahu bahwa di dalam 20 sifat wajibnya Allah
di antaranya ada sifat kalam dan mutakalliman yang menunjukkan bahwa Allah itu
berbicara.
Kiranya hanya Allah dan Rasulullah yang tahu
tentang hal itu. Hanya saja ada hikmah yang bisa diambil dari tidak adanya nama
al-Kalim di dalam asmaul husna.
Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam—sebagaimana termaktub di dalam kitab al-Mafâtih fî Syarhil
Mashâbîh—pernah bersabda:
تخلَّقُوا
بأخلاق الله
Artinya: “Berperilakulah kalian sebagaimana
perilakunya Allah.”
Terhadap sabda Rasulullah ini penulis kitab
tersebut Hasan bin Mahmud Al-Mudhhiri menuturkan:
يعني: ليكنْ فيكم صفاتُ الله مما يمكن أن يكونَ في المخلوق، يعني:
كونوا رحماءَ على عباد الله، كما كان الله رحيمًا على عباده، وكذلك باقي الصفات من
الكرم والُّلطْف وغير ذلك
Artinya: “Yakni, semestinya di dalam diri
kalian ada sifat-sifat Allah yang memungkinkan ada pada diri seorang makhluk.
Jadilah kalian orang-orang yang menyayangi hamba-hamba Allah sebagaimana Allah
menyayangi para hamba-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat lainnya seperti
dermawan, lemah lembut, dan lainnya.” (Hasan bin Mahmud Al-Mudhhiri, al-Mafâtih
fî Syarhil Mashâbîh, Kuwait, Darun Nawadir, 2012, jilid I, halaman 417)
Dari hadits dan penjelasannya di atas bisa
diambil satu kesimpulan bahwa setiap hamba dituntut untuk meniru
perilaku-perilakunya Allah yang tersirat di dalam setiap asmaul husna selama
perilaku tersebut memungkinkan dan layak dilakukan oleh seorang hamba. Bila
Allah berperilaku welas asih (ar-Rahmân – ar-Rahîm), mudah mengampuni
(al-Ghaffâr – al-Ghafûr), mudah dan suka memaafkan (al-‘afuw) dan lain
sebagainya kepada para hamba-Nya, maka seorang hamba dituntut untuk berperilaku
demikian kepada sesama makhluk Allah subhanahu wa ta’ala.
Tidak adanya nama al-Kalim (Maha Berbicara) di
dalam asmaul husna bisa jadi karena Allah tidak ingin para hamba-Nya menirunya
dengan berperilaku suka berbicara. Ini bisa kita lihat, Rasulullah dalam
berbagai sabdanya menekankan kepada umatnya untuk tidak banyak berbicara,
sedikit berbicara, dan berbicara dalam hal yang jelas manfaatnya saja. Pada
kesempatan yang lain beliau juga pernah menuturkan bahwa kebanyakan orang yang
dimasukan ke dalam api neraka adalah karena hasil perbuatan mulutnya. Sementara
para ulama dalam tulisan-tulisan hikmah mereka sangat menekankan arti
pentingnya diam.
Berikutnya, ada tiga perilaku pokok dalam
diri manusia yakni melihat, mendengar, dan berbicara. Di dalam asmaul husna
kepada dzat-Nya Allah menyematkan nama as-Samî‘ dan al-Bashîr yang berarti Ia
Maha Mendengar dan Maha Melihat. Tetapi kepada Dzat Allah tidak menyematkan
nama al-Kalim (Maha Berbicara) meskipun sejatinya Allah bersifat mutakallim.
Ini seakan Allah ingin menyampaikan bahwa Allah lebih suka mendengar dan
melihat bagaimana kondisi para hamba-Nya daripada membicarakan perihal
hamba-Nya.
Sebagai Yang Maha Mendengar, Allah ingin
mendengar setiap keluh kesah para hamba-Nya baik yang disampaikan di dalam
doa-doa maupun dalam pembicaraan mereka. Sebagai Tuhan yang Maha Melihat Allah
lebih suka melihat dan memperhatikan hal ihwal kehidupan para hamba-Nya. Dari
mendengar dan melihat inilah kemudian Allah bertindak dengan nama-nama luhur
lainnya. Dengan as-Shamad, Dia sampaikan dan penuhi kebutuhan para hamba yang
mengeluhkan susahnya menjalani kehidupan. Dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahim Ia
curahkan belas kasih kepada setiap yang lemah. Bagi para hamba yang mengakui
kesalahan dan kealpaan Ia berikan ampunan dengan namanya al-Ghaffâr dan
al-Ghaffûr. Dengan ar-Razzâq Allah berikan rezeki kepada mereka yang berupaya
mencari anugerah-Nya. Dan sebagainya.
Dari ini lah kita sebagai hamba dituntut
untuk lebih mendengar, melihat, dan memperhatikan apa yang terjadi di
lingkungan sekitar untuk kemudian mengambil tindakan yang semestinya untuk
memberikan sebanyak-banyak manfaat dan maslahat.
Terlebih bagi mereka yang di pundaknya ada
amanat untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat di semua tingkat daerah.
Semestinya lebih melihat dan mendengar hal ihwal sesungguhnya yang terjadi di
masyarakat untuk kemudian dengan kewenangannya melakukan langkah-langkah yang
jelas memberikan manfaat dan maslahat bagi mereka.
Bukan sebaliknya, semua orang justru lebih
suka banyak bicara mengomentari apa-apa yang sesungguhnya bukan menjadi
tanggangujawab, kewenangan, dan kapasitasnya.
Kiranya cukuplah apa yang ajarkan oleh
Rasulullah untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di dunia nyata
maupun di dunia maya, bahwa barang siapa yang beriman kepada Alah dan hari
akhir maka bicaralah yang baik-baik saja, atau (kalau tidak bisa) diamlah. Wallahu
a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar