Hati-hati, Cacat Iman Tanpa
Sadar!
Sejarah mencatat ada banyak cara yang
dilakukan manusia untuk mengekspresikan keimanan mereka. Ada yang melakukannya
dengan cara menyembah Allah saja, tetapi ada juga yang mengekspresikannya
dengan cara menyembah berhala. Ada yang mengekspresikannya dengan meyakini
bahwa Allah adalah salah satu dari tiga oknum dalam Trinitas. Ada juga yang
menyembah Allah tetapi meyakini bahwa segala sesuatu tergantung sepenuhnya pada
usahanya sendiri. Semuanya saling mengklaim bahwa keyakinannya dapat menjadikan
mereka selamat di akhirat. Akhirnya Allah menurunkan firmannya:
وَمَنْ
أَحْسَنُ دِينًۭا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌۭ
وَٱتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًۭا ۗ وَٱتَّخَذَ ٱللَّهُ إِبْرَٰهِيمَ
خَلِيلًۭا
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari
pada orang yang sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada Allah sedang dia pun
mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah
mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (QS. An-Nisa’: 125)
Ketika menafsirkan ayat tersebut, Imam
ar-Razi dalam tafsirnya yang berjudul Mafâtîh al-Ghaib menjelaskan bahwa
kesempurnaan iman kepada Allah yang dituntut dalam penyerahan diri pada Allah
di ayat itu hanya dapat dicapai dengan melepas semua ketergantungan pada selain
Allah. Ar-Razi menjelaskan:
أَنَّ
كَمَالَ الْإِيمَانِ لَا يَحْصُلُ إِلَّا عِنْدَ تَفْوِيضِ جَمِيعِ الْأُمُورِ
إِلَى الْخَالِقِ وَإِظْهَارِ التَّبَرِّي مِنَ الْحَوْلِ وَالْقُوَّةِ
“Sesungguhnya kesempurnaan iman tidaklah bisa
didapat kecuali dengan memasrahkan segala hal kepada yang Maha-Pencipta dan
menampakkan ketiadaan daya dan kekuatan." (Fakhr ar-Razi, Mafâtîh
al-Ghaib, XI: 229).
Kemudian Imam ar-Razi menjelaskan kesalahan
berbagai pihak yang menyangka dirinya telah beriman padahal keimanannya masih
bermasalah tanpa dia sadari. Ia menjelaskan:
وَأَيْضًا
فَفِيهِ تَنْبِيهٌ عَلَى فَسَادِ طَرِيقَةِ مَنِ اسْتَعَانَ بِغَيْرِ اللَّه،
فَإِنَّ الْمُشْرِكِينَ كَانُوا يَسْتَعِينُونَ بِالْأَصْنَامِ وَيَقُولُونَ:
هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّه، وَالدَّهْرِيَّةُ وَالطَّبِيعِيُّونَ
يَسْتَعِينُونَ بِالْأَفْلَاكِ وَالْكَوَاكِبِ وَالطَّبَائِعِ وَغَيْرِهَا،
وَالْيَهُودُ كَانُوا يَقُولُونَ فِي دَفْعِ عِقَابِ الْآخِرَةِ عَنْهُمْ:
أَنَّهُمْ مِنْ أَوْلَادِ الْأَنْبِيَاءِ، وَالنَّصَارَى كَانُوا يَقُولُونَ:
ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ، فَجَمِيعُ الْفِرَقِ قَدِ اسْتَعَانُوا بِغَيْرِ اللَّه.
“Selain itu ayat tersebut memperingatkan
kesalahan orang yang meminta pertolongan kepada selain Allah. Kaum musyrikin
meminta pertolongan dengan para berhala dan berkata: ‘Mereka itu para pembela
kami di sisi Allah’. Sedangkan orang ateis dan para saintis-agnostik
(thabi’iyûn) meminta tolong kepada bintang-bintang, hukum alam atau hal
lainnya. Adapun Yahudi, untuk menolak siksa akhirat mereka berkata:
‘Kami adalah keturunan para nabi’. Adapun Nasrani, mereka berkata:
‘Kristus adalah pihak ketiga’. Maka seluruh golongan tersebut telah
meminta tolong pada selain Allah.” (Fakhr ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, XI,
229).
Demikianlah, tak ada satu pun dari berbagai
pihak yang disebutkan di atas murni beriman pada Allah. Mereka masih meyakini
bahwa ada kekuatan di luar Allah yang dapat memberikan pengaruh pada realitas,
entah itu berupa sosok tertentu, benda tertentu atau bahkan hukum alam
sekalipun. Meyakini bahwa api secara independen punya kemampuan untuk membakar
atau pisau secara independen punya kemampuan untuk mengiris adalah sebuah cacat
dalam keimanan, meskipun itu adalah hukum alam yang berlaku sehari-hari.
Dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah
(Aswaja), tak ada yang dapat memberi pengaruh apa pun kecuali kehendak Allah
semata. Dengan demikian, api pun diyakini tak kan bisa membakar apabila tak
dikehendaki oleh Allah, seperti yang terjadi pada kasus Nabi Ibrahim. Demikian
juga seluruh hal lain di dunia juga tak dapat melakukan apa pun atau memberi
pengaruh apa pun dengan sendirinya.
Kemudian, ar-Razi menjelaskan bahwa kesalahan
yang sama berlaku pada Muktazilah yang meyakini bahwa perbuatan manusia adalah
patokan pahala dan siksa di akhirat. Ia menjelaskan:
وَأَمَّا
الْمُعْتَزِلَةُ فَهُمْ فِي الْحَقِيقَةِ مَا أَسْلَمَتْ وُجُوهُهُمْ للَّه
لِأَنَّهُمْ يَرَوْنَ الطَّاعَةَ الْمُوجِبَةَ لِثَوَابِهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ،
وَالْمَعْصِيَةَ الْمُوجِبَةَ لِعِقَابِهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، فَهُمْ فِي
الْحَقِيقَةِ لَا يَرْجُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَلَا يَخَافُونَ إِلَّا
أَنْفُسَهُمْ،
“Adapun Muktazilah, maka secara hakikat
sesungguhnya mereka belum memasrahkan diri mereka kepada Allah sebab mereka
berpendapat bahwa ketaatan mengharuskan adanya pahala untuk diri mereka,
sedangkan kemaksiatan mengharuskan adanya siksa atas mereka. Maka
pada hakikatnya mereka tidak mengharap kecuali pada diri mereka sendiri dan
tidak takut kecuali pada diri mereka sendiri.” (Fakhr ar-Razi, Mafâtîh
al-Ghaib, XI, 229).
Selanjutnya, ar-Razi menjelaskan aqidah Ahlussunnah
wal Jama’ah (Aswaja) sebagai berikut:
وَأَمَّا
أَهْلُ السُّنَّةِ الَّذِينَ فَوَّضُوا التَّدْبِيرَ وَالتَّكْوِينَ
وَالْإِبْدَاعَ وَالْخَلْقَ إِلَى الْحَقِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَاعْتَقَدُوا
أَنَّهُ لَا مُوجِدَ وَلَا مُؤَثِّرَ إِلَّا اللَّه فَهُمُ الَّذِينَ أَسْلَمُوا
وُجُوهَهُمْ للَّه وَعَوَّلُوا بِالْكُلِّيَّةِ عَلَى فَضْلِ اللَّه، وَانْقَطَعَ
نَظَرُهُمْ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَى اللَّه.
“Adapun Ahlussunnah yang memasrahkan
kemampuan untuk mengatur, membuat dan mencipta hanya kepada Allah
subhanahu wa ta'ala dan meyakini bahwa tidak ada pencipta ataupun yang bisa
memberi pengaruh kecuali Allah, maka mereka adalah yang betul-betul memasrahkan
dirinya kepada Allah dan bergantung sepenuhnya terhadap kemurahan Allah serta telah
hilang perhatian mereka dari selain Allah.” (Fakhr ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib,
XI, 229).
Mereka inilah yang berhak disebut memasrahkan
diri sepenuhnya pada Allah (aslama wajhahu lillâh) sebab meyakini tak ada daya
dan kuasa apa pun kecuali dengan kehendak Allah (lâ haula walâ quwwata
illâ billâh). Penjelasan ini juga membantah anggapan sebagian orang yang
mengatakan bahwa berislam cukup dengan “pasrah pada Tuhan” saja sehingga apa
pun agamanya asalkan “pasrah pada Tuhan” akan diterima. Kepasrahan pada Tuhan
yang dituntut oleh al-Qur’an adalah kepasrahan total sebagaimana dijelaskan di
atas, bukan asal pasrah tetapi sebenarnya hatinya masih mendua sebagaimana
dipraktekkan oleh non-muslim atau ahli bid’ah dari kalangan kaum
muslimin.
Dan tentu saja, dalam perspektif agama Islam,
keimanan harus juga memenuhi keenam rukun iman yang ditetapkan dalam al-Qur’an
dan hadits, yakni: Iman pada Allah, pada para Malaikat, pada kitab suci yang
diturunkan Allah, pada para Rasul, pada adanya hari kiamat dan beriman bahwa
kebaikan dan keburukan semuanya dapat terjadi atas ketentuan Allah. Sama sekali
tak relevan menyebut suatu golongan sebagai “orang beriman” dari perspektif
Islam bila golongan tersebut masih belum memenuhi salah satu rukun iman atau
pun belum pasrah secara total pada Allah semata. Wallahu a'lam. []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU
Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar