Hukum Mengharapkan Mati di
Tanah Suci
Kematian tidak dapat diduga kapan akan tiba,
tidak ada yang mengetahui kapan ajal menjemput kita. Sebagaimana difirmankan
oleh-Nya, maut tidak bisa maju, tidak pula dapat mundur. Tugas manusia adalah
mempersiapkan bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan setelah mati, bukan
berputus asa dengan mengharapkan kematian.
Nabi Muhammad SAW melarang umatnya
mengharapkan kematian karena musibah yang menimpa. Nabi mengajarkan untuk
berdoa agar diberikan hal yang terbaik, mati atau hidup, bukan dengan
mengharapkan kematian.
Nabi SAW bersabda:
لا
يتمنين أحدكم الموت لضر أصابه فإن كان لا بد فاعلا فليقل اللهم أحيني ما كانت
الحياة خيرا لي وتوفني إذا كانت الوفاة خيرا لي
Artinya, “Sungguh janganlah kalian berharap
kematian karena bahaya yang menimpa. Bila tidak bisa menghindar, maka
berdoalah, ya Allah hidupkanlah aku bila kehidupan lebih baik bagiku,
matikanlah aku bila kematian lebih baik bagiku,” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam penjelasannya atas hadits tersebut,
Syekh Muhammad bin Abdil Hadi As-Sindi berkata:
قوله
: (لا يتمنينّ أحدكم الخ) أي : لأنه كالتبرّي عن قضاء الله في أمر ينفعه في آخرته
Artinya, “Sabda Nabi, sungguh janganlah
kalian mengharapkan kematian, karena sesungguhnya hal tersebut seperti terbebas
dari kepastian Allah dalam perkara yang bermanfaat untuk akhiratnya,” (Lihat
Syekh Muhammad bin Abdil Hadi As-Sindi, Hasyiyah As-Sindi ‘alal Bukhari,
juz IV, halaman 50).
Dari keterangan hadits tersebut, para pakar
fiqih merumuskan bahwa mengharapkan kematian karena musibah yang menimpa
hukumnya makruh.
Saat terkena cobaan, manusia tidak
sepantasnya untuk berburuk sangka kepada Allah atau berputus asa, bisa jadi
musibah yang menimpa merupakan sesuatu yang terbaik untuk dunia dan urusan
akhiratnya, adakalanya menghapus dosa-dosa yang lalu dan mensucikan
kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.
Saat Nabi menyambangi laki-laki berusia senja
yang tengah mengalami sakit panas, ia bersabda, “thahurun, insya Allah” (tidak
apa-apa, insya Allah sakit ini mensucikan kesalahan-kesalahan).
Namun demikian, tidak selamanya berharap
kematian merupakan hal yang buruk. Mengharapkan kematian hukumnya bisa menjadi
sunnah apabila karena tujuan yang baik, misalkan berharap mati syahid di jalan
Allah, berharap mati di tiga kota suci (Mekah, Madinah dan Baitul Maqdis) atau
karena khawatir terfitnah agamanya. Disamakan dengan anjuran berharap mati di
tiga kota suci, berharap mati di tempatnya orang-orang saleh.
Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami menegaskan:
وفي
المجموع يسن تمنيه ببلد شريف أي مكة أو المدينة أو بيت المقدس وينبغي أن يلحق بها
محال الصالحين
Artinya, “Di dalam Kitab Al-Majmu’, sunnah
mengharapkan kematian di tempat mulia, yaitu Mekah, Madinah dan Baitul Maqdis,
seyogianya disamakan juga dengan tiga tempat tersebut, tempatnya orang-orang
saleh,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, juz III,
halaman 182).
Ada perbedaan istilah apakah berharap syahid
atau mati di tempat suci termasuk mengharapkan kematian atau bukan. Menurut
Syekh Sayyid Al-Bashri, mengharapkan kematian di tempat yang mulia sebenarnya
bukan termasuk mengharapkan kematian, namun mengaharapkan sifat atau kondisi
tertentu saat kematian tiba.
Syekh Ali Syibramalisi dan Syekh Abdul Hamid
Al-Syarwani tidak menyetujui kemutlakan pendapat Syekh Sayyid Al-Bashri di
atas, namun harus diperinci. Bila harapan tersebut dikhususkan dengan
perjalanan atau tahun tertentu, semisal saat berihram haji atau umrah berharap
mati di tanah suci dan tidak kembali ke tanah air, maka termasuk berharap
kematian.
Bila harapannya dimutlakan, maka bukan
termasuk berharap kematian, namun mengharapkan kondisi tertentu saat kematian
tiba, seperti berdoa menjadi syahid atau berada di tanah suci saat ajal
menjemput.
Dalam titik harapan yang dimutlakan ini, pada
hakikatnya seperti doa-doa pada umumnya, yaitu berdoa diberi kondisi yang
terbaik saat meninggal dunia. Seakan-akan ia berdoa “Bila engkau mematikanku, matikanlah
aku sebagai syahid atau di kota Mekah”, sebagaimana doa yang diteladankan Nabi
Yusuf “Matikanlah aku dalam keadaan Muslim dan susulah aku dengan orang-orang
saleh.”
Meski demikian, ulama-ulama tersebut sepakat
bahwa berharap mati di tanah suci hukumnya sunah, mereka hanya berbeda sudut
pandang dalam sebuah istilah “harapan kematian.” Namun sepakat secara hukum,
yaitu sunnah.
Penjelasan demikian sebagaimana keterangan
referensi di bawah ini:
قوله
)يسن تمنيه ببلد إلخ) بالتأمل الصادق يظهر أن تمني الشهادة
وتمني الموت بمحل شريف ليس من تمني الموت بل تمني صفة أو لازم له عند عروضه بصري
أقول وهذا فيما إذا تمنى ذلك وأطلق وأما إذا تمنى ما ذكر وقيده بنحو سفر أو عام
مخصوص فظاهر أنه من تمني الموت
Artinya, “Ucapan Syekh Ibnu Hajar, sunah
berharap kematian di tempat mulia, dengan pemikiran yang benar, tampak jelas
bahwa sesungguhnya berharap mati syahid dan mati di tempat mulia bukan termasuk
mengharapkan kematian, tetapi mengharapkan sifat atau kondisi yang menetapi
kematian saat ia tiba, keterangan dari Syekh Sayyid Al-Bashri. Aku (Syekh
Syarwani) berkomentar, yang demikian ini bila berharap kematian dan
memutlakannya. Adapun bila berharap mati sebagaimana demikian dan dibatasi
dengan perjalanan atau tahun tertentu, maka jelas bahwa hal tersebut termasuk
berharap kematian. Keterengan dari Syekh Ali Syibramalisi.”
عبارة
ع ش ولا يتأتى أن ذلك من تمني الموت إلا إذا تمناه حالا أو في وقت معين أما بدون
ذلك فيمكن حمله على أن المعنى إذا توفيتني فتوفني شهيدا أو في مكة إلخ كما قيل به
في الجواب عن قول سيدنا يوسف صلى الله وسلم على نبينا وعليه { توفني مسلما وألحقني
بالصالحين } ا هـ .
Artinya, “Teks lengkap pernyataan Syekh Ali
Syibramalisi, hal yang demikian tidak dapat masuk kategori berharap kematian
kecuali berharap mati saat itu atau pada waktu tertentu. Bila tidak demikian,
maka mungkin diarahkan bahwa arti dari harapan tersebut adalah, bila engkau
matikan aku, maka matikanlah sebagai syahid atau di kota Mekah, dan lain-lain,
seperti diucapkan dalam jawaban doanya Sayyidina Yusuf, ya Allah, matikanlah
aku sebagai muslim dan susulah aku dengan orang-orang saleh,” (Lihat Syekh
Abdul Hamid As-Syarwani,Hasyiyatus Syarwani ‘ala Tuhfatil Muhtaj, juz
III, halaman 182).
Demikian penjelasan mengenai hukum
mengharapkan mati di kota suci. Pada kesimpulannya hukumnya sunah, namun tetap
harus disertai dengan semangat untuk menjaga kualitas hidup menjadi lebih baik,
bukan justru menjadikannya putus asa. Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar