Kisah Nabi Sulaiman dan Semut yang Berdoa
Minta Hujan
Dalam kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Imam Ibnu Katsir mengutip sebuah riwayat dari Imam Ibnu Abu Hatim. Berikut riwayatnya:
وقد
قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبي، حدثنا محمد بن بشار، حدثنا يزيد بن هارون، أنبأنا
مسعر، عن زيد العمي، عن أبي الصديق الناجي قال: خرج سليمان عليه السلام يستسقي،
فإذا هو بنملة مستلقية على ظهرها، رافعة قوائمها إلى السماء، وهي تقول: اللهم إنا
خلق من خلقك، ولا غنى بنا عن سقياك، وإلا تسقنا تهلكنا. فقال سليمان عليه السلام:
ارجعوا فقد سقيتم بدعوة غيركم
Ibnu Abu Hatim berkata, ayahku bercerita
kepadaku, Muhammad bin Basysyar bercerita, Yazid bin Harun bercerita, Mis’ar
bercerita, dari Zaid al-‘Ama, dari Abu al-Shiddiq al-Naji, ia berkata:
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam keluar (dari
istananya) untuk meminta hujan. Tiba-tiba ia menjumpai seekor semut yang
berbaring dengan punggungnya (terlentang), (dan) semua kakinya diangkat
menghadap langit. Semut itu berdoa:
“Ya Allah, sesungguhnya kami adalah salah
satu dari makhluk-Mu. Kami sangat memerlukan guyuran air (hujan)-Mu. Jika Kau
tidak mengguyuri kami (dengan air hujan-Mu), Kau akan membuat kami binasa.”
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata:
“Pulanglah, sudah ada (makhluk lain) selain kalian yang berdoa meminta hujan.”
(Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyadh: Dar Thayyibah, 1999, juz
6, h. 184)
****
Kisah di atas cukup menarik, karena
menjelaskan banyak hal, terutama soal pengaruh tasbih dan doa makhluk Allah
lainnya kepada alam semesta. Untuk lebih mudah memahaminya, kita perlu menengok
riwayat lain yang membicarakan kisah di atas.
Dalam Tarîkh Madînah Dimasyq terdapat beragam
riwayat dengan redaksi yang berbeda-beda. Salah satu contohnya adalah ucapan
Nabi Sulaiman di akhir riwayat. Di jalur periwayatan Ghalib bin Abdullah, dari
al-Suddi, Nabi Sulaiman mengucapkan:
إرجعوا
فقد استُجِيب لكم بدعاء غيركم
“Kembalilah, sungguh telah dikabulkan untuk
kalian doa (meminta hujan yang dipanjatkan) oleh selain kalian (semut).” (Imam
Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, juz 22, h.
288)
Di riwayat lain, jalur periwayatan
Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari al-Zuhri, Nabi Sulaiman mengatakan pada para
sahabatnya (li ashâbihi):
إرجعوا
فقد سُقيتم إن هذه النملة استسقت فاستجيب لها
“Pulanglah, sungguh telah ada yang memintakan
hujan untuk kalian. Sesungguhnya semut ini telah berdoa meminta hujan, kemudian
doanya dikabulkan.” (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, 1995, juz 22,
h. 288)
Perkataan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
menunjukkan bahwa peran makhluk Allah non-manusia sangat besar untuk alam
semesta. Selama ini kita mengabaikan peran mereka, baik dalam keseimbangan alam
maupun keseimbangan lainnya. Keseimbangan alam yang dimaksud di sini adalah,
misalnya populasi cicak, ikan, atau kadal berkurang secara drastis, maka
populasi nyamuk akan semakin besar, karena keseimbangan telah berubah dengan
semakin berkurangnya binatang pemakan jentik nyamuk. Ini sekedar contoh.
Dengan membaca perkataan Nabi Sulaiman, kita
jadi tahu peran lain mereka yang tidak kalah dengan manusia. Bisa jadi, merujuk
kisah di atas, hujan yang turun di lingkungan kita hasil dari doa mereka,
ibadah mereka dan tasbih mereka. Dalam salah satu riwayat diceritakan, ketika
meminta diturunkan hujan, semut itu berdoa (riwayat Ka’b al-Akhbar):
اللهم
إنَّا خلق من خلقك ولا غني لنا عن رزقك فأنزل علينا غيثك ولا تؤاخذنا بذنوب عبادك
“Ya Allah, sesungguhnya kami salah satu dari
makhluk-Mu. Kami sangat membutuhkan rezeki-Mu. Mohon turunkanlah kepada kami
hujan-Mu, dan jangan hukum kami dengan dosa-dosa hamba-hamba-Mu.” (Imam Ibnu
‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, 1995, juz 22, h. 287)
Di riwayat lain, semut itu berdoa (riwayat
Abu al-Shiddiq al-Naji):
اللهم
إنا خلق من خلقك لا غني بنا عن رزقك فلا تهلكنا بذنوب بني آدم
“Ya Allah, sesungguhnya kami salah satu dari
makhluk-Mu yang sangat memerlukan rezeki-Mu. Maka, jangan Kau binasakan kami
sebab dosa-dosa anak cucu Adam (manusia).” (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah
Dimasyq, 1995, juz 22, h. 287)
Dalam doanya, semut tersebut memilih diksi
yang menarik, yaitu, “jangan hukum kami dengan dosa-dosa hamba-Mu” dan, “jangan
binasakan kami sebab dosa-dosa anak cucu Adam.” Ini artinya, bisa jadi semut
atau binatang lain adalah penolong kita dari kesusahan. Karena kita sebagai
manusia membawa beban dosa, yang mungkin saja dosa tersebut menjadi penghalang
terkabulnya doa kita. Atas dasar ini, kita harus memperlakukan makhluk hidup
non-manusia dengan baik. Andaipun mereka tidak memiliki empati terhadap
manusia, paling tidak dengan kebutuhan mereka sebagai makhluk hidup, mereka
akan memohon kepada Allah, dan kita manusia turut mendapatkan berkahnya.
Di sisi lain, diksi doa tersebut seharusnya
membangunkan kita dari kelalaian. Kita harus malu bahwa di taraf tertentu,
semut atau binatang lain menganggap kesengsaraan mereka disebabkan oleh
manusia. Karena sebagai makhluk terbaik, manusia lebih sering berdosa daripada
beramal; lebih sering menuntut daripada memohon ampun; lebih sering meminta
daripada memberi, dan seterusnya. Melihat manusia yang sedemikian kacau,
semut-semut itu enggan menanggung beban hukuman yang mereka tidak terlibat di
dalamnya, sehingga mereka memilih diksi doa yang membawa-bawa dosa manusia.
Karena itu, sebagai manusia, kita harus
buktikan pada semut-semut itu bahwa kita adalah khalifah Allah di muka bumi,
pemegang amanat Tuhan untuk melestarikan bumi dan menjaganya dari kerusakan.
Buktikan bahwa kita bisa menghindari banyak dosa, dari mulai dosa individu,
dosa sosial, sampai dosa ekologis. Karena merusak alam adalah dosa, dan
membiarkan kerusakannya adalah dosa, meski bukan kita yang melakukannya. Allah
berfirman (QS. Al-A’raf: 56)
وَلَا
تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ
إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan janganlah kalian membuat kerusakan di
muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa
takut (tidak akan diterima) dan harapan (dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah
sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Pertanyaannya, sudahkah kita berusaha?
Wallahu a’lam bish shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar