Senin, 13 Januari 2020

Konferensi Ulama 1954: Cara Ulama Hadapi Pemberontak Atas Nama Agama


Konferensi Ulama 1954: Cara Ulama Hadapi Pemberontak Atas Nama Agama

Sejak akhir 1940, pemimpin Darul Islam (DI) menyatakan bahwa kepemimpinan Soekarno tidak islami. Di sisi lain, mereka telah mendirikan negaranya sendiri. NU, menurut Greg Fealy pada buku Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, sebetulnya ingin sekali menggunakan pendekatan nonmiliter untuk melawan pemberontakan itu.

Karena itulah, NU, memutuskan untuk menggunakan hukum Islam untuk menghadapinya. Kiai Masykur misalnya, tokoh NU yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Agama, meminta ulama-ulama di daerah untuk membujuk orang yang memberontak atas nama agama tersebut.

Namun, gerakan mereka tidak berhenti. Maka, pada 1953, NU merespons semakin gencarnya propaganda DI melalui usulan agar presiden diberi gelar amirul mukminin (pemimpin orang-orang yang beriman). Cara ini, menurut Greg, ditolak oleh Masyumi.

Kemudian Menteri Agama KH Masykur yang berada di Kabinet dengan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengadakan Konferensi Ulama 3 sampai 6 Maret 1954, di Cipanas Bogor Jawa Barat. Salah satu hasil Konferensi itu adalah menetapkan Soekarno sebagai waliyyul amri (pemegang pemerintahan), adl dlaruri bi syaukah (dalam keadaan dharuri, belum dipilih rakyat) atau pemegang kekuasaan sementara de facto.

Wakil Perdana Menteri saat itu KH Zainul Arifin (tokoh NU) berdasarkan Konferensi Ulama itu menyatakan bahwa, “presiden, pemerintah, dan parlemen”, keberadaan mereka sah dan otoritas mereka harus dipatuhi. Dengan demikian, bagi yang memberontak terhadap pemerintah sudah jelas hukumnya.

Dalam pembekalan yang diberikan kepada para peiabat senior di Kementerian Agama dalam kaitannya dengan masalah waliyul Amri, KH Masykur juga menjelaskan bahwa pemberian gelar itu adalah inisiatif melakukan kampanye anti-DI.

Selepas kegiatan tersebut, para peserta konferensi alim ulama berdoa bersama presiden soekarno. Selepas itu mengadakan konferensi pers. Menurut Greg, pada konferensi itu dinyatakan pemberian gelar waliyul amri bukan untuk Soekarno, tapi untuk pemegang jabatan presiden. Siapa pun itu. Karena kebetulan saat itu Soekarno yang menjadi presiden, maka ia yang mendapatkannya. Namun, menurut Greg, di koran-koran waktu itu perbedaan tersebut diabaikan pemberitaan.

Pada konferensi itu, NU mengirimkan delegasinya yang dipimpin KH Wahab Hasbullah. Sebelumnya, Kiai Wahab juga mengikuti kegiatan pra-konferensinya di Jakarta yang dihadiri Perti dan Muhammadiyah. Pada saat itu telah dikemukakan istilah waliyyul amri adl dlaruri bi syaukah. Tiga ulama Muhammadiyah, menurut Greg, tidak sepakat dengan istilah itu. Karena itulah mereka meninggalkan forum tersebut.

Konferensi Ulama tersebut tidak bisa dikatakan sebagai kegiatan NU. Namun, tokoh-tokoh NU terlibat di dalamnya, baik sebagai penyelenggara maupun sebagai peserta. Menurut Abdul Mun'im Dz, kegiatan tersebut bisa dikatakan sebagai Munas Umat Islam karena diikuti para ulama dari seluruh provinsi waktu itu, kecuali dari DI Yogyakarta.

Munas yang diselenggarakan NU dan ini biasanya berbarengan dengan Konferensi Besar, pertama kali dilakukan pada tahun 1981 di Kaliurang, Yogyakarta. Masalah-masalah yang dibicarakan, selain mengukuhkan KH Ali Maksum sebagai Rais Am, juga memutuskan persoalan-persoalan yang dijawab peserta Munas, di antaranya: bayi tabung, cangkok mata, bank mata, cangkok ginjal dan jantung, dan lain-lain.

Munas berikutnya diadakan di Situbondo pada 1983. Dalam munas bersejarah ini diputuskan Deklarasi Situbondo, yang merespons tentang Pancasila. Setelah itu, Munas diadakan di Cilacap tahun 1987; di Bandar Lampung tahun 1992 yang memutuskan sistem pengambilan hukum di lingkungan NU boleh menggunakan pola manhaji dengan syarat-syarat tertentu; di Bagu, Lombok Tengah, NTB tahun 1997; dan di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta tahun 2002; serta Munas 2012 di Kempek, Cirebon. Dan yang terbaru dilaksanakan di Lombok tahun 2017. []

(Abdullah Alawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar