Sains
Versus Agama
Oleh:
Komaruddin Hidayat
INI serial cerita lama yang masih bersambung, bahkan semakin menarik bagi yang senang membaca perkembangan sains modern yang melancarkan kritik terhadap agama. Di lingkungan saintis Barat, muncul empat pemikir atheisme yang dijuluki “Four Musketeers of the Mind”.
Ada lagi yang memberi label: The Four Horsemen. Buku-buku mereka dinilai tajam membongkar kelemahan fondasi pemikiran dan dalil-dalil teologis semua agama. Empat orang itu ialah: Sam Haris, seorang pakar neurosains; Daniel Dennet, filsuf; Richard Dawkin, ahli biologi; dan Christopher Hitchens, jurnalis.
Keempat pemikir ini melanjutkan pemikir atheis abad lalu, dengan pengayaan argumen dan penjelasan sains modern, terutama biologi. Mereka telusuri asal-usul dan perkembangan emosi serta pemikiran manusia, termasuk dalam pemikiran keagamaan.
Dikatakan, sikap percaya (believe) pada Tuhan dan objek-objek yang gaib itu penuh paradoks. Sebuah kepercayaan dan keyakinan yang tidak memiliki fondasi rasional yang solid, namun orang beriman justru berpandangan dalam “ketidakrasionalan” itulah tanda keimanan yang sesungguhnya.
Ini sebuah paradoks. Bukti bahwa orang beragama tidak yakin akan apa yang diyakininya, maka setiap hari mereka berdoa untuk mendapatkan bimbingan hidup dan meraih kebenaran.
Menurut mereka, beda sekali dengan tradisi sains dan filsafat. Mereka merasa jujur dan rendah hati dalam mencari dan membangun kebenaran. Ketika pemikiran merasa mentok, tidak sampai, mereka berhenti.
Bahkan
mengundang kritik dan sumbangan pemikiran baru agar jalan kebenaran semakin
luas terbuka. Namun, lagi-lagi kata mereka, sikap rendah hati dan kepolosan
saintis akan dianggap sebagai serangan terhadap pemikiran agama ketika
diterapkan untuk mengkritisi bangunan pemikiran agama.
Para teolog justru yang menunjukkan sikap sombong. Antikritik. Meskipun tidak rasional, keyakinan sakral itu jangan diganggu oleh penalaran sains. Percaya adalah inti keberagamaan.
Jadi, baik saintis maupun teolog kadang memandang yang lain angkuh, sombong, tidak rendah hati menerima pemikiran yang berbeda. Berikut ini kutipan komentar Stephen Fry, sebagai pendukung “Four Horsemen”: ...empowering humanism and secularization for a new generation, and giving voice to the always lurking and now growing suspicion that the worst aspects of religion, from faith-healing fakery to murderous martyrdom, could not be separated from the essential of religion itself. (The Four Horsmen, Bantam Press, 2019).
Kiprah mereka itu telah memberikan amunisi pada paham humanisme dan sekularisasi bagi generasi baru, dan mengungkap kecurigaan pada agama yang tadinya masih diam-diam, sekarang muncul ke permukaan mengenai sisi buruk agama. Sejak dari penyembuhan palsu melalui jalan iman sampai tindakan bunuh diri atas nama agama, kesemuanya tidak bisa dilepaskan dari ajaran dan keyakinan agama.
Sesungguhnya dua arus pemikiran yang percaya Tuhan dan mengingkari Tuhan bukanlah hal yang baru, dan akan selalu ada. Hanya, argumennya semakin berkembang. Di antara mereka yang percaya dan tidak percaya, terdapat gradasi. Ada yang bersikap “anti-tuhan”, “tidak bertuhan”, “tidak mau peduli tentang tuhan”, “percaya pada tuhan”, “taat pada perintah tuhan”. Ketaatan ini pun masih bisa dibedakan lagi gradasinya.
Perbedaan pemikiran sains dan agama yang sangat menonjol adalah: sains sangat memuja kreativitas dan inovasi berdasarkan penelitian dan uji coba yang bisa diukur, transparan, dalam hal proses dan hasilnya. Oleh karena itu, saintis cenderung bersikap terbuka terhadap kritik.
Capaian sains bersifat “open ended". Ini berbeda dari agama yang selalu melihat rujukan ke belakang yang dianggap autentik, dan jangan sampai dirusak autentisitasnya itu.
Inti ajaran agama bersifat doktrinal untuk dipercayai. Silakan membangun argumentasi dan rasionalisasi, untuk memperkuat iman yang ujungnya “closed ended”.
Dalam konteks ini, saintis menganggap pemikiran teologis itu tidak rasional namun sombong. Sebaliknya, teolog memandang saintis itu sombong, tidak mau menghargai pintu dan ruang untuk beriman pada realitas metafisik. []
KORAN
SINDO, 27 Desember 2019
Komaruddin
Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar