Umur
Berapa Anak Boleh Belajar Hadits?
Maraknya semangat
belajar Islam di beberapa kalangan masyarakat, tak lepas dari keinginan pula
menjadikan anak-anak generasi saleh-salehah, yang mengenal dan mencintai agamanya.
Pendidikan agama masuk dalam kegiatan-kegiatan sekolah – bahkan ada yang
menjadikannya sebagai “nilai plus” institusi pendidikan.
Sekolah secara
mandiri turut memberikan pelajaran agama mencakup tata cara ibadah sehari-hari,
misalnya seperti shalat atau puasa. Bahkan ada pula yang menambahkan program
hafalan Al-Qur’an dan hadits sedari dini.
Tentu memperkenalkan,
membaca bahkan menghafal Al-Qur’an dan hadits sedari dini tidaklah buruk. Di
beberapa bagian dunia dan dalam sejarah, kita kenal para ulama yang sudah hafal
Al-Qur’an 30 juz pada usia belia. Terlepas dari plus-minus pendidikan keislaman
sebagai nilai tambah lembaga sekolah formal, hal yang menarik dicermati adalah
soal bagaimana anak-anak belajar hadits.
Hadits adalah bidang
ilmu keislaman yang terhitung kompleks. Kompleksitas ini didapat tidak hanya
dari persoalan konten hadits, tapi juga tentang sejarah dan cara periwayatannya,
yang akan berimbas pada kualitas dan penggunaannya dalam hukum Islam.
Semisal kita waktu
kecil, mengaji di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA/TPQ) atau madrasah. Kita
diajarkan hadits-hadits pendek yang mudah dihafal, yang dipilihkan dari
kitab-kitab dasar seperti 101 Hadits Budi Luhur atau Al-Arbain an-Nawawiyah
karya Imam an-Nawawi.
Hadits kerap
diajarkan kepada anak untuk dihafal, atau dipahami sebagai pedoman bertata
krama sehari-hari. Kendati sedari awal sudah diajarkan etika kebersihan,
menjenguk orang sakit, atau mendahulukan kaki kanan dalam ibadah, “alasan”
mengapa harus begitu menurut Islam dijelaskan dalam hadits. Selain itu,
biasanya hadits diperkenalkan pada anak-anak yang sudah cukup cakap membaca
Al-Qur’an.
Menurut saya, tentu
bangga – juga nggemesin – ketika anak-anak sudah pandai menyitir satu dua
hadits, dan mereka memahami isinya. Bagaimana anak-anak baiknya belajar hadits?
Pada usia berapa mereka diperkenankan, atau sudah dianggap pantas?
Para ulama klasik,
mengingat ilmu hadits cukup kompleks terkait matan dan sanad, sebagaimana
dicatat oleh Syekh Mustafa Al Azami dalam Studies in Hadith Methodology and
Literature, mempelajarinya perlu kecakapan ilmu-ilmu keislaman dasar seperti
Al-Qur’an dan bahasa Arab. Syekh Azami, mengutip keterangan Imam ar-Ramahurmuzi
dalam kitab al Muhaddits al Fashil bayna ar Rawi wal Wa’i, para ulama
kebanyakan baru join belajar hadits sekitar usia 20-an.
Salah satu ulama
hadits terkemuka bernama Sufyan bin ‘Uyaynah, disebutkan belajar hadits mulai
usia 15 tahun. Sufyan ats-Tsauri, mulai belajar hadits pada usia 20 tahun, dan
pendiri mazhab Hanbali, Ahmad bin Hanbal, mulai belajar dan menghafal hadits di
usia 16 tahun.
Tidak ada kesimpulan
tertentu mengenai batasan umur minimal seorang anak boleh belajar hadits. Usia
Imam Ahmad bin Hanbal yang belasan tahun – kita dapat nilai sebagai orang yang
beranjak dewasa – dengan kecerdasannya yang luar biasa, kemudian Imam Syafii
misalnya, yang belajar Al-Muwaththa’ kepada Imam Malik bin Anas pada usia
remaja bisa menjadi catatan.
Usia belasan atau
dewasa muda itu menunjukkan bahwa pada usia itu mereka belajar hadits secara
fokus sebagai sebuah ilmu, setelah mapan dengan ilmu-ilmu lain seperti
Al-Qur’an, kaidah bahasa Arab, dan persoalan-persoalan fiqih yang pelik.
Ulama dengan
penilaian hadits yang cenderung ketat menyatakan bahwa orang yang meriwayatkan
hadits ketika masih anak-anak, riwayatnya bisa dinilai dla’if (lemah). Namun
ada juga yang mengomentari bahwa jika seorang anak sudah mampu membedakan sapi
dan keledai, maka ia sudah diperkenankan belajar dan meriwayatkan hadits.
Bahkan salah satu murid Imam Abdur Razzaq al Shan’ani, salah satu ulama
pendahulu yang membukukan hadits, disebutkan masih berusia 7 tahun.
Tapi seiring masa,
meriwayatkan hadits dari ulama, meski hanya membacakan atau mendengarkan saja
demi suatu sanad, menjadi hal yang istimewa. Para ulama klasik , barangkali
juga tetap dilestarikan di masa sekarang, kerap membawa anak-anaknya, bahkan
yang masih bayi, ke majelis-majelis ijazah dan semaan hadits. Mencari berkah
toh tak ada salahnya.
Tapi bagaimana
kaitannya dengan tradisi belajar hadits? Saat anak sudah mampu membaca teks
hadits, maka di masa yang akan datang, setidaknya mereka dipandang memiliki
legitimasi untuk meriwayatkannya kepada orang lain. Demikianlah, dalam tradisi
periwayatan hadits dengan ijazah, murid tidak dituntut paham atau menjelaskan
konten hadits yang didapatnya.
Legitimasi, atau
ijazah sanad hadits bagi anak-anak, oleh para ulama dinilai akan merawat
kualitas sanad sehingga bisa lebih dekat kepada Nabi (isnad ‘ali), yang
menambah keistimewaan suatu hadits. Ijazah dalam periwayatan sanad, juga
berfungsi untuk menjaga otoritas tersambungnya riwayat sampai Kanjeng Nabi.
Dari keterangan di
atas, setidaknya berikut bisa kita simpulkan. Pertama, untuk mengenal hadits,
seorang anak yang sudah bisa mengenal bahasa Arab bisa diperkenankan untuk itu.
Mungkin tidak ada salahnya memperkenalkan ajaran Nabi Muhammad dalam bentuk teksnya
sedari dini.
Karena itu, hemat
penulis, hadits-hadits yang sesuai untuk mereka adalah yang mudah diingat, dan
terkait tata krama sehari-hari. Jelas bukan kompetensi yang pantas untuk mereka
tahu hadits-hadits seputar hukum, apalagi yang redaksinya panjang. Selain itu,
di masa sekarang, mengajak anak ke majelis semaan hadits untuk ngalap berkah
juga bisa menjadi bentuk pengenalan hadits yang baik.
Kedua, jika tujuannya
adalah fokus pembelajaran hadits, terlebih soal ilmu hadits dan sanad, serta
fiqih atau akidah, tentu perlu usia dan penguasaan ilmu yang lebih mapan. Hal
ini berkaitan erat dengan kebijaksanaan guru, atau orang tua yang memahami
kepentingan belajar hadits sebagai dasar hukum Islam.
Usia remaja atau
beranjak dewasa tentu lebih pantas karena dinilai mapan secara penguasaan diri.
Di samping itu, jika disertai pemahaman kaidah bahasa Arab dan ilmu-ilmu
keislaman dasar lain, menjadikannya pantas untuk mulai belajar hadits dengan
tujuan untuk memperdalam ajaran Islam.
Hadits adalah ilmu dan
khazanah keislaman yang kini mudah ditemukan dalam keseharian kita. Namun
belajar Islam tentu tidak terbatas pada hadits yang terbatas. Banyak sekali
riwayat hadits, keterangan ulama, serta cara memahami hadits yang menjadikan
perkenalan dan pembelajaran kita akan hadits sejalan dengan tujuan untuk
mengenal sosok Nabi yang welas asih.
Melihat kondisi
tersebut, perkenalan dan belajar hadits untuk anak, tentu adalah tantangan
tersendiri. Persoalannya bukan masalah boleh tidaknya anak-anak belajar hadits.
Tapi untuk anak-anak yang memiliki dunianya sendiri, persoalannya adalah mereka
sudah mampu dan sesuai atau belum untuk hal itu. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar