Menolak
"Berkumpul" dengan Suami yang Mabuk
Pertanyaan:
Bagaimana hukum istri menolak dikumpul /
jima’ oleh suaminya yang dalam keadaan mabuk minuman keras, dan bolehkah ia
mengunci pintu, dengan alasan menganggap merendahkan martabat wanita, dan
mengkhawatirkan suami melakukan tindak kekerasan rumah tangga yang tidak bisa
diduga sebelumnya karena di bawah pengaruh mabuk. Dan bukankah permintaannya
bukan dari keinginan pikiran sadar yang menjadi dasar hukum? Trimakasih atas
jawabannya.
Abdullah Hamid, Jl.Karanganyar RT 12B/5 Desa
Dorokandang Lasem Rembang Jateng
Jawaban:
Pada dasarnya ketika seorang suami meminta
berhubungan badan, maka sang istri harus memenuhi keinginannya karena itu
merupakan haknya. Sedang kewajiban istri adalah memenuhi kewajibannya. Jika
sang istri menolak maka penolakan tersebut merupakan tindakan yang akan
mendapatkan kutukan para malaikat sampai waktu pagi.
Yang demikian ini jika penolakan tersebut
dilakukan dengan inisiatif penuh dari pihak istri dan tanpa alasan yang bisa
dibenarkan (al-‘udzr asy-syar’i). Hal ini berarti jika terdapat alasan (‘udzr)
seperti suami dalam keadaan mabuk, maka sang istri boleh menolak ajakan suami
untuk melakukan hubungan badan, bahkan mengunci pintu kamar karena diyakini
akan menyakitinya.
وَعَلَى
الزُّوْجَةِ طَاعَةُ زَوْجِهَا إِذَا دَعَاهَا إِلَى الْفِرَاشِ، وَلَوْ كَانَتْ
عَلَى التَّنُّوْرِ أَوْ عَلَى ظَهْرِ قَتَبٍ، كَمَا رَوَاهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ،
مَا لَمْ يُشْغِلْهَا عَنِ الْفَرَائِضِ، أَوْ يَضُرَّهَا؛ لِأَّن الضَّرَرَ
وَنَحْوَهُ لَيْسَ مِنَ الْمُعَاشَرَةِ بِالْمَعْرُوْفِ (وهبة الزحيلي، الفقه
الإسلامي وأدلته، دمشق-دار الفكر، الطبعة الثانية، 1405 هــ/ 1985 م، ج، 7، ص. 335
“Seorang isteri wajib mentaati suaminya
ketika sang suami mengajaknya untuk melakukan hubungan badan meskipun ia sedang
memanggang roti di tannur (alat memanggang roti) atau ia sedang di atas
punggung pelana onta sebagimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dan selainyna,
sepanjang hal itu tidak membuatnya mengabaikan kewajiban agama atau tidak
menyakitinya. Sebab, sesuatu yang menyakiti dan semisalnya bukanlah termasuk
dari mu’asyarah bil ma’ruf” (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-2, 1405 H/1985 M, juz, VII, h. 335).
Selanjutnya apabila suami sudah tidak mabuk
dan kondisi sudah membaik maka hendaknya sang istri memberikan nasehat dengan
cara yang baik dan santun kepada sang suami. Disamping itu juga berdoa agar diberi
kesabaran serta mendoakan suami agar segera mengakhiri kebiasaan buruknya. []
Mahbub Ma'afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar