Jumat, 29 Mei 2020

(Do'a of the Day) 06 Syawwal 1441H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma adzhib 'annil hamma wal huzna.

 

Ya Allah, hilangkanlah kesedihan dan duka dariku.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 49.

(Khotbah of the Day) Melepas Kepergian Ramadhan

KHUTBAH JUMAT

Melepas Kepergian Ramadhan


Khutbah I

 

اَلْحَمْدُ للهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

 

أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ في مُحْكَمِ كِتَابِهِ: مَنْ عَمِلَ صَـٰلِحًا فَلِنَفْسِهِ، وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّـٰمٍ لّلْعَبِيدِ (فصلت: ٤٦)

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Mengawali khutbah yang singkat ini, khatib berwasiat kepada kita semua, terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan ketakwaan dan keimanan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menjalankan semua kewajiban dan menjauhkan diri dari segala yang dilarang dan diharamkan.

 

Hadirin yang dirahmati oleh Allah,

 

Waktu berjalan sangat cepat. Seakan baru kemarin Ramadhan datang menyapa kita. Tanpa terasa, saat ini kita sudah berada di penghujung Ramadhan. Tidak lama lagi, Ramadhan akan pergi meninggalkan kita. Kita lepas kepergian Ramadhan dengan kepedihan hati. Mungkin Ramadhan akan kembali pada tahun depan, akan tetapi Allah belum tentu menakdirkan kita bisa berjumpa kembali dengan Ramadhan. Mungkin ini Ramadhan terakhir bagi kita.

 

Sungguh beruntung orang yang telah berpuasa Ramadhan dengan dilandasi iman dan niat semata mengharap ridha Allah. Sungguh berbahagia orang yang menghidupkan malam-malam Ramadhan dengan berbagai ibadah dengan dilandasi keimanan dan niat semata mengharap ridha Allah. Sungguh mujur orang yang menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan dilandasi keimanan dan niat semata mengharap ridha Allah.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Hari-hari yang indah bersama Al-Qur’an di bulan Ramadhan, jangan sekali-kali di luar Ramadhan kita lupakan. Hari-hari yang indah ketika beramal kebaikan di bulan Ramadhan, maka sehabis Ramadhan jangan dihentikan. Hari-hari yang indah pada saat kita selalu mendatangi masjid di bulan Ramadhan, maka sehabis Ramadhan jangan kita tinggalkan. Hari-hari yang indah sewaktu kita selalu berusaha untuk menghiasi diri dengan akhlakul karimah di bulan Ramadhan, maka selepas Ramadhan jangan sampai kita nodai dengan keburukan. Sebaik-baik keberagamaan seseorang adalah apa yang ia istiqamahkan.

 

Diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah radliyallahu ‘anha bahwa Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

كَانَ أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)

 

Maknanya: “Perilaku keberagamaan seseorang yang paling dicintai oleh Nabi adalah yang diistiqamahkan dan senantiasa dilestarikan” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

 

Jangan sampai pelajaran-pelajaran berharga yang kita petik dari madrasah Ramadhan tidak terlihat bekasnya selepas Ramadhan. Jangan sampai kita menjadi seperti perempuan yang memintal benang kemudian mengurainya kembali.

 

وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا (النحل: ٩٢)

 

Maknanya: “Dan janganlah kalian seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya setelah dipintal dengan kuat menjadi bercerai-berai kembali” (Q.S. an-Nahl: 92).

 

Hadirin yang berbahagia,

 

Para ulama mengatakan bahwa salah satu tanda diterimanya amal kebaikan seseorang adalah melakukan amal kebaikan setelahnya. Artinya, jika seseorang diberi kemudahan untuk melakukan amal-amal kebaikan setelah bulan Ramadhan, tetap semangat melakukan berbagai kebaikan meski telah meninggalkan Ramadhan, maka hal itu pertanda bahwa ibadah puasanya dan berbagai ibadah lainnya selama Ramadhan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Hadirin yang dirahmati Allah,

 

Setelah kita menempa diri di madrasah Ramadhan, maka semestinya hati kita telah bersih dari penyakit-penyakit hati yang membahayakan, diri kita terbiasa melakukan berbagai ketaatan dan kebaikan, keimanan kita semakin kokoh tak tergoyahkan.

 

Mudah-mudahan madrasah Ramadhan menjadikan dosa-dosa kita diampuni oleh Allah, kebaikan kita semakin bertambah, derajat kita semakin tinggi, dan kita dibebaskan dari api neraka.

 

Jangan lupa untuk menyempurnakan puasa Ramadhan dengan berzakat fitrah bagi yang mampu. Dan jangan lupa untuk mengiringi puasa Ramadhan dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal sehingga kita dicatat sebagai orang-orang yang mendapatkan keutamaan seperti berpuasa selama setahun penuh.

 

Hadirin yang dirahmati Allah,

 

Demikian khutbah yang singkat ini. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.

 

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

 

Khutbah II

 

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

 

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

 

 

Ustadz Nur Rohmad, Pemateri/Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Ketua Biro Peribadatan & Hukum, Dewan Masjid Indonesia Kab. Mojokerto

(Ngaji of the Day) Benarkah Allah Menjanjikan Kembalinya Khilafah?

Benarkah Allah Menjanjikan Kembalinya Khilafah?


Tafsir Surat an-Nur ayat 55

 

Belakangan ini kembali para pendukung khilafah mengelabui publik dengan mengklaim bahwa “Kembalinya khilafah sebagai wujud kekuasaan umat Islam merupakan janji Allah SWT dalam QS an-Nur ayat 55:

 

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

 

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS An-Nur: 55)

 

Bahkan ada dari kalangan mereka yang berani mengklaim siapa yang tidak percaya dengan janji Allah akan kedatangan kembali Khilafah telah murtad. Benarkah klaim Pro-Khilafah ini? Kajian komparasi sejumlah kitab tafsir klasik dan kontemporer nyata-nyata menunjukkan bahwa pemahaman mereka keliru besar.

 

Kita mulai dengan asbabun nuzul ayat ini. Tafsir al-Munir karya Syekh Wahbah az-Zuhayli menyebutkan:

 

Ketika Rasulullah SAW bersama para sahabatnya sampai ke Madinah, dan disambut serta dijamin keperluan hidupnya oleh kaum Ansar, mereka tidak melepaskan senjatanya siang dan malam, karena selalu diincar oleh kaum kafir.

 

Mereka berkata kepada Nabi: “Kapan engkau dapat melihat kami hidup aman dan tenteram tiada takut kecuali kepada Allah.” Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, sebagai jaminan dari Allah SWT bahwa mereka akan dianugerahi kekuasaan di muka bumi.

 

Pertanyaannya kapankah janji Allah ini terpenuhi? Pelacakan saya terhadap sejumlah kitab tafsir menunjukkan ada 3 pendapat.

 

Pertama, janji Allah ini telah tertunaikan pada masa Nabi Muhammad dalam peristiwa Fathu Makkah, dimana Nabi dan pasukannya memasuki kota Mekkah dengan tanpa perlawanan. Tafsir generasi awal cenderung memahaminya seperti ini. Lihat Tafsir Ibn Abbas (1/298) dan Tafsir Muqatil (3/206).

 

Kedua, sebagian kitab Tafsir mengatakan janji ini telah tuntas dipenuhi Allah pada masa Nabi Muhammad dan al-Khulafa ar-Rasyidun (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Lihat Ibn Katsir (6/77), Bahrul Ulum (2/52), al-Baghawi (3/426), al-Kasyaf (3/521), al-Baydhawi (4/112), an-Nasafi (2/515), Dar al-Mansur(6/215). Alasan mereka adalah adanya Hadits Sahih dimana Nabi mengatakan kekhilafahan itu hanya berlansung selama 30 tahun. Dan itu terpenuhi dalam periode al-Khulafa ar-Rasyidun.

 

Tafsir at-Thabari menyebutkan ada yang membatasi periode janji Allah terpenuhi sampai tiba masa pembunuhan Khalifah Utsman. Karena kekacauan (fitnatul kubra) mulai terjadi sejak periode akhir Sayidina Utsman itu.

 

Tafsir ar-Razi malah menyebutkan pendapat yang membatasinya hanya pada 3 Khalifah pertama karena pada masa inilah ekspansi Islam meluas, namun pada masa Sayidina Ali disibukkan oleh perpecahan dan perang saudara.

 

Tafsir ar-Razi juga menyebutkan adanya pendapat yang menentang memasukkan period el-Khulafa ar-Rasyidun dalam kandungan ayat ini karena penggalan ayat selanjutnya “sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa,” padahal kekuasaan sebelum Islam itu tidak datang lewat kekhilafahan.

 

Jadi ayat ini cukup hanya pada periode Nabi Muhammad saja. Penggalan ayat ini dimaknai sebagaimana kekuasaan Bani Israil dan para Nabi sebelumnya seperti Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman.

 

Ketiga, ada beberapa kitab tafsir yang meluaskan lagi kandungan ayat ini, yang tidak hanya terbatas pada masa Nabi Muhammad dan/atau al-Khulafa ar-Rasyidun, tapi juga pada masa-masa selanjutnya termasuk masa sekarang dan akan datang.

 

Tafsir Fathul Qadir (4/55) memaknai kekuasaan sebelum Nabi itu tidak hanya terbatas pada Bani Israil, dan karenanya juga tidak membatasi makna ayat ini pada masa Nabi di Mekkah dan khalifah yang empat, tapi menggunakan keumuman ayat. Tafsir al-Qurthubi (12/299) juga menyetujui keumuman ayat ini.

 

Namun, apa implikasi dari keumuman ayat ini? Sa’id Hawa dalam Asas at-Tafsir (7/3802) menganggap janji Allah dalam ayat ini akan terus berlangsung sampai semua akan masuk Islam. Tafsir al-Wasith (6/1457) karya Majma’ al-Bunuts Islamiyah di al-Azhar Mesir juga mengisyaratkan bahwa janji Allah ini terwujud ketika Islam tersebar di penjuru dunia timur dan barat. Jadi tidak dibatasi pada masa lalu saja. Berarti ini masalah dakwah, bukan soal kekhilafahan.

 

Nah, yang menarik, semua kitab tafsir di atas, termasuk mereka yang menganggap ayat ini berlaku umum, tidak satupun menyinggung akan kembalinya Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah seperti yang sering digelorakan oleh kelompok Pro-Khilafah. Para ulama tafsir itu bahkan tidak mengutip riwayat Musnad Ahmad soal ini, yang amat populer di kalangan HTI, namun sudah pernah saya jelaskan dengan tuntas dan detil bahwa sanadnya pun lemah dan bermasalah.

 

Kesimpulannya: QS an-Nur ayat 55 tidak bicara soal institusi atau sistem pemerintah khilafah. Al-Qur’an memang tidak pernah menyinggung sistem kenegaraan dengan detil. Ayat ini juga tidak bicara tentang akan kembalinya khilafah setelah bubar. Tidak ada janji Allah akan kembalinya sistem khilafah. Ini hanya halusinasi kaum HTI saja yang tidak bisa menerima kenyataan kita hidup damai dan aman di NKRI.

 

Umat Islam bisa berkuasa menurut ayat ini dan ayat selanjutnya dengan jalan beriman dan beramal soleh, tidak menyekutukan-Nya, menegakkan Shalat, membayar zakat dan taat pada Rasulullah SAW. Dengan jalan inilah Allah akan meridhai, memberi rasa aman dan memberi kita rahmat. Namun siapa yang kufur terhadap nikmat yang Allah berikan mereka itulah orang yang fasiq, sebagaimana dinyatakan dengan jelas oleh ayat ini.

 

Janganlah kita kufur terhadap nikmat Allah berupa hidup yang damai dan tentram di NKRI. Kita tinggal mensyukurinya dengan terus bekerja mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945. Wa Allahu a’lam bish shawab. []

 

Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Ini Jalan Ibadah Almarhum Al-Faqih KHM Syafi’i Hadzami

Ini Jalan Ibadah Almarhum Al-Faqih KHM Syafi’i Hadzami


"Zulfa, shalat sunahku sedikit. Wiridku sedikit. Puasa sunahku juga sedikit,” kata almarhum KHM Syafi’i Hadzami.

 

Ia kemudian mengutip satu bait dalam Qashidah Al-Burdah

 

وما تزودت قبل الموت نافلة # ولم أصل سوى فرض ولم أصم

 

“Tapi moga-moga wiridku dari muda, muthalaah kitab dari jam 10 sampai jam 2 malam, bisa menolongku di akhirat nanti,” kata guru kami KH Syafi’i Hadzami dengan suara lirih.

 

Larik dalam qashidah ini kalau diterjemahkan berbunyi, “Aku tidak berbekal sebelum meninggal ibadah sunnah#Aku tidak sembahyang selain shalat wajib, dan aku tidak puasa (selain shalat wajib).”

 

Kalimat itu terasa seperti baru kemarin mendengarnya. Padahal kalimat ini disampaikan hampir 23 tahun yang lalu saat kami bersilaturahmi di bulan Syawwal. Kami teringat ucapan dan kerendahan hati guru mulia kami karena nasihat Imam Ibnu Athaillah Al-Iskandari:

 

تنوعت أجناس الأعمال بتنوع واردات الأحوال

 

Artinya, "Bermacam-macam jalan ibadah seseorang itu, sesuai dengan keadaan yang datang menghampirinya."

 

Begitu biasanya para guru mursyid menerjemahkannya. Nasihat di atas diambil dari Kitab Al-Hikam karya Imam Ibnu Athaillah yang biasa kami baca setiap Shubuh Bulan Ramadhan sebagai kajian rutin di masjid dekat rumah.

 

Secara tidak langsung Ibnu Athaillah mengajak kita untuk tidak rendah diri dan merendahkan orang lain dalam mengukur standar suatu ibadah karena ibadah, jalan menghamba kepada Allah itu banyak. Ibadah ditempuh tidak hanya lewat ibadah jasadiyah atau fisik seperti shalat, puasa, dan lain-lain.

 

Ibadah dapat berbentuk ibadah aqliyah atau akal misalnya, bertafakur atas kebesaran Allah dalam ayat kauniyah (alam semesta dan kehidupan) yang merupakan ibadahnya para filsuf dan cendekiawan; atau mengkaji dan memahami ayat Allah dalam Al-Quran dan hadits serta menyampaikannya (ibadah para ahli ilmu).

 

Ibadah dapat juga berbentuk ibadah qalbiyyah atau ibadah hati, misalnya melatih diri untuk ikhlas dan ridha, zuhud terhadap dunia, bersyukur atas nikmat, bersabar dan tidak mengeluh atas keinginan/harapan yang tidak tercapai. Ibadah ini biasanya menjadi concern para ahli tasawuf.

 

Dari penjelasan di atas kita bisa memahami bahwa jalan untuk ibadah atau mendekatkan diri itu sangat banyak. Siapapun kita, dengan profesi dan latar belakang apapun, bisa menjadi kekasih Allah dengan jalan yang mudah, banyak, dan terbuka lebar tanpa perlu pesimis, rendah diri, atau bahkan merendahkan orang lain atas ibadahnya.

 

Begitulah kata seorang ulama:

 

ولكل واحدهم طريق من طرق # يختاره فيكون من ذا واصلا

 

Artinya, “Masing-masing hamba boleh memilih jalan ibadah yang Allah mudahkan baginya untuk bisa wushul (sampai menuju Allah).”

 

Singkat cerita, guru kami berkata, “Banyak wali di luar sana yang kau temui tapi kau tidak pernah menyadarinya bahwa dia adalah kekasih Allah. Karena kau mungkin melihat orang itu hanya tukang sol sepatu, pedagang pasar, guru TPQ/madrasah, kuli bangunan, atau bahkan sopir, tapi mereka menjadi kekasih Allah karena kesabaran, keikhlasan, dan kezuhudannya atau karena yang lainnya yang kau tidak pahami.”

 

Tulisan ini dibuat pada 1 Ramadhan 1444 Hijriyah/6 Mei 2019 M. Al-Fatihah untuk guru kami, almarhum KHM Syafi’i Hadzami.

 

***

 

Almarhum KHM Syafi‘i Hadzami (1931-2006 M) dikenal sebagai ahli agama. Penguasaannya atas sumber-sumber keislaman cukup memadai. Ia bertempat tinggal di Kebayoran Lama Utara sejak tahun 1975. Sebelumnya almarhum KHM Syafi‘i Hadzami sekeluarga tinggal di Senen. Almarhum KHM Syafi‘i Hadzami pernah menjadi Ketua MUI DKI Jakarta dan Rais Syuriyah PBNU 1994-1999 M.

 

Di usia yang begitu muda, ia sudah mengasuh banyak majelis taklim di seantero Jakarta. Pengajiannya sempat mengudara di radio Cenderawasih dalam bentuk tanya-jawab agama dengan pendengar seputar permasalahan keseharian masyarakat pada 1971 M.

 

Bentuk audionya lalu dibukukan dengan judul Taudhihul Adillah yang terdiri dari 7 jilid, sejenis Buku Ahkamul Fuqaha, kumpulan putusan keagamaan NU sejak 1926. []

 

Penulis adalah turabul aqdam KH Zulfa Mustofa MY, Katib Syuriyah PBNU (2015-2020 M). Ia kini diamanahi sebagai Ketua MUI Jakarta Utara.