Kamis, 30 Juni 2011

(Ngaji of the Day) Mukjizat Shalat Lima Waktu

Mukjizat Shalat Lima Waktu

“Amal yang pertama kali akan diperhitungkan mengenai diri seorang hamba kelak pada hari Kiamat ialah salat; Jika salatnya baik, maka baik pulalah seluruh amalnya, dan jika salatnya rusk, maka rusak pulalah seluruh amalnya.”(HR. Tirmidzi dan Ibn Majah)


Dari Hadis ini, agaknya salat merupakan‘suplemen’ atas keseluruhan ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau sari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan, sehingga salat oleh Allah Idijadikan barometer untuk ibadah lainnya. Buktinya, salat dijadikan tolok ukur baik dan tidaknya bermacam-macam kebajikan dan bentuk kegiatan yang telah ditetapkan oleh Allah I; jika salatnya baik, maka baik pulalah segala amalnya, dan jika salatnya rusak, maka rusak pulalah segala amalnya. Di satu sisi salat menuntut pelakukanya untuk meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Allah I menjelaskan dalam al-Qur’an, "Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS al-Ankabut [29]: 45).


Diberlakukannya kewajiban salat lima waktu mungkin masih menyisakan pertanyaan, apa hikmah yang terkandung di dalamnya? Mengapalima waktu harus kerjakan dengan cara dicicil, tidak sekaligus dalam satu waktu? Pertanyaan itu tentunya harus dijawab meskipun dengan jawaban yang bersifat rabaan, karena menyangkut hikmah. Namun, baiklah di sini penulis akan memberikan sedikit gambaran mengenai mengapa umat Islam diwajibkan salat lima waktu?


Sebelumnya, kita coba untuk mengingat kembali tujuan dari salat, yang merupakan tindakan intraktif antara hamba dan Tuhannya, sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah e bahwa salat sebagai mi‘râjul Mu’minîn. Di satu sisi, sebagai seorang hamba tentunya manusia dituntut untuk selalu mengingat Allah I setiap waktu. Maka di sini Allah I menfasilitasi hamba-Nya untuk menghadap setiap waktu-waktu yang telah ditentukan. Sebab, dengan melaksanakan salat lima waktu sehari semalam, seorang hamba akan selalu ingat kepada Tuhannya setiap saat, sehingga hubungan itu terus terjalin. Jika salat lima waktu hanya dikerjakan satu kali dengan diropel, tentunya lebih banyak nganggurnya daripada mengingat Allah I, sehingga kontinuitas pengaruh ibadah berupa pertemuan dengan Allah I tidak tercapai.

Asy-Sya’rani dalam Mîzânul-Kubrâ-nya menyatakan, justru dijadikannya salat lima waktu secara berulang-ulang setiap hari adalah salah satu nikmat yang diberikan oleh Allah I. Setiap kali seseorang melakukan wudhu, maka ia akan mengingat dosa-dosa yang telah diperbuatnya hari itu, kemudian bersimpuh di hadapan Allah I untuk memperoleh ampunan-Nya. Di sisi lain, saat wudhu, secara khusus seseorang dapat memohon ampunan dari-Nya dari dosa-dosa yang telah diperbuat melalui doa-doa yang diajarkan. Kemudian dilanjutkan dengan salat secara intens dan berharap ampunan-Nya, maka dosa-dosanya akan rontok satu persatu setelah mendapat ampunan dari Allah I. Mungkin kenyataan seperti ini kelihatannya konyol, namun orang-orang yang diberi kemampuan lebih oleh Allah (al-Kasyfu) pasti akan melihat rontoknya dosa-dosa seorang hamba yang melakukan ibadah. Dan, merupakan nikmat dan rahmat dari Allah I agar manusia tidak selalu menumpuk-menumpuk dosa.


Imam Bujairami mengakui bahwa ketentuan liwa waktu dalam sehari semalam sifatnya ta‘abbudiy (peribadatan) yang tidak perlu dicari alasan rasionalitasnya, karena ini bukan bidang nalar. Namun, menurut sebagian ulama hikmah, di balik ketentuan lima waktu ini ada kaitannya dengan siklus kehidupan manusia. Sebab, kelahiran manusia yang diawali oleh kesempurnaan penciptaan Allah I sewaktu di dalam perut ibunya, seperti halnya watu matahari terbit, yang diawali oleh fajar shadiq (waktu salat Subuh). Masa pertumbuhannya diibaratkan matahari yang meninggi, dan dewasanya ibarat waktu istiwak (awal waktu salat Zhuhur). Sedangkan ketika berumur 30-50, diibaratkan matahari yang condong ke ufuk barat (akhir waktu salat Zhuhur). Dilanjutkan masa tuanya yang diibaratkan matahari yang hampir terbenam (waktu salat Ashar). Matinya ibarat matahari yang terbenam (waktu salat Maghrib), dan hancurnya tubuh manusia seperti hilangnya mega merah di ufuk barat (waktu untuk salat Isya’).


Lebih dari itu, jika dikaji lebih lanjut, justru dengan disyariatkan limawaktu melalui tahapan yang telah ditentukan, manusia bisa menjalankan aktivitas kerja dengan efektif, sehingga seseorang bisa mengatur waktu sesuai dengan aturan menegemen Ilahi, sesuai dengan peredaran matahari. Pada akhinya, selain memperoleh kebaikan dunia juga dapat meraih kebahagiaan akhirat, dengan menunaikan ibadah secara sempurna. Apalagi salat adalah aktifitas fisik yang paling besar yang dapat membangkitkan spirit serta mengembalikan stamina tubuh yang kurang tenaga. Di saat tubuh lelah akibat bekerja keras, salat berfungsi sebagai suplemen tubuh. Di samping itu, salat yang diharuskan tepat waktu mengajarkan manusia untuk hidup dengan budaya on time (tepat waktu). Menyelaraskan diri dengan gerakan-gerakan planet, perubahan-perubahan musim dari beberapa variasi geografis, harmonis dengan siklus alam.


Kemudian, dari sisi jumlah rakaat, kalau kita hitung dalam sehari semalam umat Islam mengerjakan kewajiban salat sebanyak 17 rakaat. Apakah hikmah di balik 17 rakaat? Sama halnya dengan salat lima waktu yang ditentukan waktunya, Imam Bujairami mengatakan jumlah ini bersifatta‘abbudiy. Namun sebagian ulama ada yang menafsirinya dengan mengaitkan angka 17 itu dengan kehidupan keseharian manusia. Sebab,biasanya dalam sehari semalam manusia berada dalam keadaan terjaga selama 17 jam; 12 jam di siang hari, 3 jam di permulaan malam, dan 2 jam di akhir malam. Di saat terjaganya, bisa jadi manusia melakukan tindakan dosa yang dilarang oleh agama, sehingga Allah I memberikan fasilitas kepada manusia untuk menghapus dosa tersebut dengan diwajibkannya salat lima waktu yang berjumlah 17 rakaat. Dengan demikian, setiap satu rakaat dalam salat memiliki fungsi menghapus dosa dalam satu jamnya. Hal tersebut selaras dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah:


إنَّ الْعَبْدَ إذَا قَامَ يُصَلِّي أُتِيَ بِذُنُوبِهِ فَوُضِعَتْ عَلَى رَأْسِهِ أَوْ عَلَى عَاتِقِهِ فَكُلَّمَا رَكَعَ أَوْ سَجَدَ تَسَاقَطَتْ عَنْهُ (رواه ابن حبان)


Sesungguhnya seorang hamba di kala berdiri mengerjakan salat, akan didatangkan dosa-dosanya, lalu diletakkan dosa-dosa itu di atas kepalanya atau di atas pundaknya. Bila ia rukuk atau sujud, maka dosa-dosa itu berguguran darinya. (HR. Ibnu Hibban).


Rasulullah e juga menjelaskan dalam Hadis yang lain:


الصَّلَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ (رواه مسلم)


Salat lima waktu, begitu pula salat Jumat hingga Jumat berikutnya, adalah pelebur dosa antara satu salat dengan yang lain, selama tidak dilakukan dosa besar. Puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya adalah pelebur dosa antara keduanya apabila dosa besar dijauhi. (HR. Muslim).


Pada akhirnya, salat dengan lima kali dalam sehari semalam, mengajarkan kepada manusia untuk dapat membersihkan diri dengan mengerjakan syarat yang harus dipenuhi sebelum salat, yaitu bersuci. Di samping itu, salat lima waktu mengajarkan kontinuitas pada pelakunya, baik dalam segi peribadatan maupun pekerjaan. []


Buletin Ponpes Sidogiri

(Do'a of the Day) 28 Rajab 1432H

Bismillah irRahman irRaheem
In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Bismikallaahumma ahyaa wa bismika amuutu.
Dengan menyebut nama-Mu ya Allah aku hidup dan Dengan menyebut nama-Mu pulalah aku mati.
Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 60.

Selasa, 28 Juni 2011

(Masjid of the Day) Kesejukan di inspeksi kalimalang, Cibitung, Kab. Bekasi

Jl. Inspeksi kalimalang antara cibitung dan grand wisata, kab bekasi. Panas dan keringnya kalimalang, seketika sirna saat memasuki tempat ini.


lukisan indah di plafon kubah...

Mahfud MD: Operasi Caesar Penegakan Hukum

Operasi Caesar Penegakan Hukum
Korps hakim kita terserang paranoid solidarity. Kalau ada hakim yang diributkan terlibat penyuapan atau mafia peradilan, maka para hakim yang lain ramai-ramai melakukan pembelaan dengan mengatasnamakan independensi lembaga peradilan. Itulah yang saya kemukakan kepada Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) ketika pimpinan organisasi profesi itu berkunjung ke Komisi III DPR pada tanggal 22 November 2005

Mereka berkunjung ke sana ketika sedang terjadi pro dan kontra tentang penggeledahan dan penyitaan adviesblaad kasus Probosutedjo di kantor ketua Mahkamah Agung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Normatifnya mereka mendukung pemberantasan KKN dan pembersihan dunia peradilan dari berbagai kolusi, tapi mereka menyesalkan tindakan KPK yang dianggapnya tak menghormati sesama lembaga negara, melanggar prosedur, dan mencederai independensi lembaga peradilan. Atas nama kemandirian lembaga peradilan dan keharusan prosedural, secara halus Ikahi memprotes tindakan KPK.
Paranoid penegak hukum
Saya katakan kepada mereka bahwa dalam situasi yang tidak normal bisa saja dilakukan tindakan yang secara prosedural tidak normal pula, asalkan dibuat alasan- alasan yang tepat. Sama halnya dengan orang yang mau melahirkan, jika tak bisa dilakukan secara normal, ya dilakukan bedah atau operasi caesar. Artinya, sang bayi tak harus dikeluarkan dari jalan yang biasa, melainkan dibuatkan lubang lain dengan pembedahan agar bayi dan ibunya sama-sama selamat.
Tampaknya upaya menegakkan hukum di Indonesia ini memang sudah memerlukan operasi caesar alias cara-cara yang tidak konvensional, bahkan untuk tahap tertentu dan dalam waktu yang "sangat sementara" mengabaikan prosedur-prosedur formal. Sebab, upaya memerangi mafia peradilan yang sudah sangat kronis selama ini selalu mental karena para pelakunya selalu berlindung di bawah prosedur-prosedur formal. Belantara mafia peradilan di negara kita sudah sangat sulit diperbaiki dengan prosedur-prosedur normal. Salah satu penyebabnya adalah berkembangnya paranoid solidarity atau solidaritas kalap di kalangan aparat penegak hukum.
Di dalam solidaritas paranoid yang seperti itu secara korps mereka selalu berusaha membela habis-habisan jika ada anggota korpsnya yang disorot karena terlibat penyuapan atau mafia peradilan. Mereka berteriak agar independensi lembaga peradilan tidak diintervensi oleh siapa pun. Mereka juga berteriak bahwa tuduhan-tuduhan untuk para hakim itu harus ada buktinya. Atas nama independensi dan pembuktian formal mereka membela anggota korps yang menurut rasa keadilan dan logika umum memang harus ditindak.
Kebebasan jadi kenekatan
Atas nama jargon-jargon itu pula mereka menghukum seseorang yang melaporkan adanya hakim agung yang menerima suap darinya. Dia dihukum dengan alasan tak punya bukti dan karenanya dikenakan pasal pencemaran nama baik. Sementara hakim-hakim yang dilaporkan dibebaskan tanpa pernah dikonfrontasi di suatu forum dengan si pelapor yang kemudian dihukum itu.
Mereka melakukan mafia dan mengumbar paranoid dengan berlindung di bawah jargon independensi dan pembuktian prosedural. Padahal, sebenarnya mereka ingin melindungi diri juga dari efek domino jika teman sejawatnya diadili karena kolusi. Dan kita tahu bahwa sekarang ini independensi yang sering diartikan sebagai kebebasan hakim untuk mengadili telah banyak dibelokkan menjadi kenekatan untuk berkolusi dan memperjualbelikan perkara.
Begitu pun soal bukti dan saksi. Mana ada hakim yang begitu bodoh memberi tanda terima (kuitansi misalnya) atau mau disaksikan orang ketika menerima suap? Yang banyak justru serah terima uang suap tersebut dilakukan melalui seseorang yang sangat dipercaya oleh hakim, tetapi jika transaksi itu bocor si hakim sendiri menyatakan tak tahu-menahu dan menyatakan tidak ada hubungan dengannya. Makanya, akan sangat sulit membuktikan secara formal-prosedural tentang penyuapan dan berbagai kolusi itu.
Keadaan ini membawa perkembangan sangat buruk pada dunia peradilan kita. Sekarang ini jika orang berperkara di pengadilan yang dicari bukan hanya dalil-dalil hukum untuk bisa mengungkap kebenaran, melainkan mencari uang untuk membayar hakim agar menang. Banyak juga pengacara yang dalam menangani perkara bukan hanya mengandalkan kepiawaian mengonstruksi argumen hukum, melainkan juga menyiapkan langkah lobi dan minta uang kepada kliennya untuk menyuap aparat penegak hukum. Situasi ini sungguh mengerikan.
Caesar untuk normalkan
Karena upaya menegakkan hukum yang terkait dengan kebejatan para penegaknya sangat sulit dilakukan melalui prosedur normal, maka tindakan caesar bisa dimaklumi. Yakni tindakan yang secara prosedural tidak normal tetapi terpaksa dilakukan karena jalan yang normal tak bisa digunakan untuk memperbaiki.
Tindakan caesar dalam dunia hukum bukanlah ahistorik. Dalam banyak babak perubahan ketatanegaraan dan kepemimpinan nasional kita pun banyak melakukannya melalui operasi caesar. Bahkan, pembentukan KPK dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) dilatarbelakangi oleh tak bisa bekerjanya dengan baik prosedur dan lembaga-lembaga reguler yang normal seperti kejaksaan dan kepolisian.
Meski begitu, langkah-langkah caesar harus dilakukan dalam keadaan yang sangat luar biasa dan dalam waktu yang sangat sementara. Sebab, tindakan caesar hanya dipakai untuk menormalkan keadaan. Banyak yang melihat bahwa kebobrokan dunia peradilan di Indonesia sekarang ini sudah sangat luar biasa sehingga diperlukan langkah-langkah caesar untuk mengatasinya. []
Ketua Mahkamah Konstitusi

(Ngaji of the Day) Refleksi Isra’ Mi’raj

Refleksi Isra’ Mi’raj

Apakah Kita Sudah Shalat?


Isra’ mi’raj merupakan perjalanan terbesar dan terhebat sepanjang sejarang peradaban manusia. Tiada manusia lain yang dianugerahi sedemikian agungnya oleh Allah SWT selain rasulullah Muhammad SAW.


Isra’ mi’raj adalah sebuah pengakuan Rasulullah yang berdampak sangat besar pada zamannya. Bahkan hingga saat ini, pernyataan tersebut menjadi bagain yang masih dianggap kontroversial dalam catatan sejarah. Hanya keimanan yang dapat menelaah peristiwa ini dengan sepenuh penerimaan dan keyakinan yang dilandasi oleh kataqwaan. Tanpa keyakinan dan ketaqwaan, maka isra’ mi’raj akan menjadi bahan perdebatan dan saling berbantahan.


Hanya orang-orang yang menerima pengakuan Rasulullah dengan penuh keyakinan dan kepasrahan kepada Allah inilah yang akan dapat menerima anugerah isra’ mi’raj hingga saat ini. Hanya merekalah yan dapat menjadikan isra’ mi’raj sebagai momentum untuk terus memperbaiki kekurangan diri, baik dari sisi duniawi maupun ukhrowi.


Dari sisi duniawi, isra’ mi’raj menjadi sebuah bahan telaah untuk pengembangan-pengembangan penelitian ilmiah dan dan teknologi yang memungkinkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Baik dalam lingkup masyarakat berbangsa maupun bangsa-bangsa dan Negara-negara dunia.


Dari sisi ukhrowi, jelas bahwa isra’ mi’raj, merupakan keberkahan tersendiri bagi umat Muslim hingga saat ini. Bila kita menginginkan peristiwa ini memiliki dampak signifikan terhadap kehidupan kita maka mestinya kita meneliti kembali pernyataan sikap dan tindakan kita terhadap oleh-oleh terindah peristiwa isra’ mi’raj. Sudahkah kita menerima dan membenarkan peristiwa ini dengan segala keimanan dan ketulusan hati? Apakah kita telah membuktikannya dengan mendirikan shalat secara berkualitas?


Karena hidup senantiasa memiliki dua sisi yang berlawanan, yakni nikmat atau musibah, kebahagiaan atau kesedihan. Memang terkadang persoalannya tidak mudah, karena manusia memiliki kecenderungan kufur pada saat meraih nikmat dan berkeluh kesah pada saat meraih musibah, dan inilah yang terjadi pada manusia secara umum, kecuali orang-orang yang dapat melaksanakan shalat dengan khusyu’.


Mereka yang mendirikan shalat dengan khusyuk berarti memiliki kepercayaan bahwa shalat adalah buah dari anugerah yang maha agung bagi umat Islam, yakni isra’ mi’raj. Adalah sama sekali bohong jika kita mengakui mengimani isra’ mi’raj namun senantiasa meninggalkan shalat tanpa merasa bersalah sedikitpun juga.


Siti Fatimah Minta Penjelasan Rasulullah


Pada suatu hari, Sayyidina Ali RA masuk ke dalam rumah Rasulullah SAW bersama isterinya, Siti Fatimah binti Rasulillah. Maka tatkala aku (Sayyidina Ali) dan isterinya telah dekat dengan pintu, Rasulullah SAW segera menyapa mereka dengan ramah, ”Siapa kah yang berada di depan pintu?”


Demi menerima sapa dari ayahandanya, baginda Rasulullah SAW, maka Siti Fatimah RA segera menyahut dengan lembut, ”Kami ya Rasul, Anaknda bersama suami, Ali. Kami datang untuk menghadap engkau ya Rasul”. Dari dalam rumah, Rasulullah segera menyahut pula, ”Baik masuklah.”


Ketika Rasulullah SAW membuka pintu, tiba-tiba Ali dan Fatimah mendapati keadaan rasulullah yang sedang menangis. Melihat hal; ini maka Sayyidina Ali RA segera menghaturkan salam ta’dzim, ”Wahai Rasulullah, kami rela menjadi penebusmu, apakah gerangan yang menyebabkan engkau menangis?”


Mendengar salam ta’dzim dari menantu dan puterinya ini, Rasulullah SAW segera beranjak menyambut mereka sembari bersabda, ”Wahai kedua putera-puteriku, sesungguhnya aku telah melihat pada malam Mi'raj, beberapa perempuan umatku sedang menerima siksa yang amat sangat memprihatinkan.


Kondisi mereka benar-benar menyedihkan. Karena itulah aku masih selalu menangis bila mengingat merekadalam keadaan yang tersangat tersiksa.”


Mendengar sabda Rasulullah SAW ini, lantas kedua puteri dan menantunya ini tampak sangat sedih. Mereka pun kemudian melanjutkan pertanyaan, ”Ya, Rasulullah, bagaimanakah engkau lihat akan keadaan mereka itu?”


Nabi pun bersabda, ”Telah aku lihat seorang perempuan yang tergantung dengan lidah terikat sebagai tali gantungan sementara api neraka yang sangat panas dituangkan ke dalam leher mereka.”


Mendengar pernyataan demikian, Sayyidah Fatimah segera berdiri menyambut Rasulullah seraya menghaturkan sembah dan berkata, ”Wahai Rasul kekasih dan cahaya mataku, ceritakanlah kepada kami mengapa mereka (perempuan-perempuan itu) sampai mendapat siksa demikian?”


Rasulullah SAW kemudian bersabda,”Perempuan-perempuan akan mendapat siksaan demikian, jika mereka adalah isteri-isteri yang mengingkari kepercayaan atau menyakiti suaminya dengan berlaku serong.”


Dewan Asaatidz NU Online

(Do'a of the Day) 26 Rajab 1432H

Bismillah irRahman irRaheem
In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma innii a'uudzu bi ridhaaka min sakhathika, wa a'uudzu bi mu'aafaatika min 'uquubatika, wa a'uudzu bika minka. Laa uhshii tsanaa'an 'alaika anta, kamaa atsnaita 'alaa nafsika.
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu, aku berlindung dengan maaf-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu daripada-Mu. Aku tidak menghitung puji atas-Mu sebagaimana Engkau memuji Diri-Mu.
Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 59.

Senin, 27 Juni 2011

Obat Ngantuk

(Ngaji of the Day) Shirath, Setipis Rambut Setajam Pedang

Shirath, Setipis Rambut Setajam Pedang

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa kelak di Hari Kiamat, setelah manusia ditimbang amalnya di atas Mizan, akan digiring menuju tempat gelap yang disebut Mauqif. Kemudian mereka diperintah untuk melintasi Shirath (jembatan) yang dibentangkan di antara tempat itu dengan Surga. Tepat di bawahnya ada Neraka Jahanam yang siap melahap siapa saja yang jatuh dari jembatan tersebut dengan kobaran apinya. Setiap orang akan melintasinya dengan cara mereka masing-masing. Ada yang cepat, ada yang lambat, ada yang sampai ke surga, ada pula yang terjatuh ke neraka. Semuanya tergantung amal mereka di masa hidup mereka.


Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an yang artinya: “Dan tak ada seorangpun dari kalian melainkan akan mendatanginya (Neraka). Hal itu bagi Tuhan merupakan sebuah kemestian yang sudah ditetapkan” (QS Maryam [19]: 71). Menurut pendapat yang disahihkan Imam Nawawi
t, seperti dikutip Imam al-Malibari dalam al-Isti’dâd lil-Mauti wa Su’âlil-Qabri, bahwa yang dimaksud dengan kata wâriduhâ dalam ayat di atas adalah melintasi Shirath yang berada di atas Neraka Jahanam sebelum masuk Surga.


Definisi Shirath


Secara bahasa, Shirath adalah jalan yang membentang luas dan begitu jelas. Sedangkan secara Syar’i adalah jalan yang membentang di atas Neraka Jahanam yang akan disebrangi oleh manusia mulai dari zaman dahulu sampai zaman akhir. Ia terletak di antara Mauqif dan Surga. Ukurannya lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Kadar luas dan sempitnya tergantung kadar amal dan perbuatan orang yang akan melintasinya. Orang yang berhasil melintasinya berarti berhasil melintasi Neraka Jahanam, karena Neraka terletak di bawah Shirath.


Imam Ghazali dan Izzuddin bin Abdissalam tidak setuju kalau Shirath itu dikatakan lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Menurut pandangan keduanya, Shirath itu bentuknya lebar, seperti penjelasan Hadis riwayat Imam al-Baihaqi dan lainnya, yang menerangkan bahwa malaikat dan besi-besi pengait (kalâlib) berada di tepi jembatan tersebut. (Syi’bil Imân: 1/149). Dengan dalil ini, bisa disimpulkan bahwa Shrath itu bentuknya lebar, karena jika Shirat dikatakan setipis rambut, tidak masuk akal. Sedangkan Hadis yang menerangkan bahwa Shirath itu lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang merupakan kiasan dari sulitnya melintasi jembatan itu.


Sebagai orang muslim, kita wajib meyakini bahwa Shirath benar-benar ada dan kita semua akan melintasinya kelak di hari pembalasan. Berdasarkan al-Qur’an, Hadis dan Ijma’ (konsensus) ulama. Hanya saja ulama berbeda pendapat mengenai yang dimaksud “Shirath”. Mayoritas ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah mengartikan Shirath dengan arti denotatif (hakikat). Yakni jembatan yang dibentangkan antara Mauqif dan Surga, yang tepat berada di atas Neraka Jahanam. Berbeda dengan yang dikemukakan Muktazilah, yang lebih cendererung mengartikannya secara konotatif (majas). Artinya, Shirath itu bukanlah jembatan, melainkan jalan yang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, atau jalan yang bisa mengantarkan seseorang ke neraka.


Pendapat kedua diusung oleh Abdul Jabbar al-Muktazili beserta pengikutnya. Hal itu didasarkan pada pemikiran bahwa jika Shirath diartikan jembatan yang membentang di atas neraka, maka sangat tidak masuk akal, karena tidak akan ada seseorang yang mampu melintasinya. Kalaupun masuk akal, ini tentu cukup menyiksa kepada orang mukmin. Semestinya tidak ada siksaan di hari pembalasan untuk orang-orang mukmin. Ada juga sebagian dari Muktazilah yang mengartikannya sebagai bukti yang nyata, atau perbuatan buruk. Namun pendapat-pendapat tersebut tidak dapat diterima, karena sudah ada nahs yang sharîh (jelas), yang menerangkan bahwa Shirath adalah jembatan.


Panjang Shirath


Panjang Shirath sekitar tiga ribu atau lima belas ribu tahun perjalanan normal. Ibnu Arabi berkata: “Shirath mempunyai tujuh jembatan lengkung (qantârah). Jarak antara satu qantârah dengan yang lain sekitar tiga ribu tahun; seribu tahun untuk menaikinya, seribu tahun untuk lewat di atasnya, dan seribu tahun turun. Pada saat memasuki qantârah pertama seorang hamba akan ditanyakan perihal imannya. Jika ia mampu menjawab dengan baik, maka ia boleh meneruskan perjalanannya hingga ke qantârah kedua, dan selanjutnya. Dan pada qantârah kedua ia akan ditanyakan tentang salat yang dilakukannya setiap hari. Jika dia mampu menjawabnya dengan tepat, maka ia boleh melanjutkan perjalanannya menuju qantârah ketiga.


Pada saat berada di qantârah ketiga, hamba akan ditanyakan mengenai zakat. Jika ia berhasil menjawab pertanyaan itu dengan cepat dan tepat, maka ia akan melanjutkan pada qantârah keempat. Kemudian ia akan ditanyakan seputar ibadah puasa yang ia kerjakan. Pada qantârah kelima, ia akan ditanyakan mengenai haji dan umrahnya. Pada qantârah keenam, ia akan di tanyakan mengenai thahârah (sesuci)nya. Kemudian pada qantârah ketujuh, ia akan di tanyakan prihal kezaliman yang pernah ia kerjakan. Bila ia berhasil melintasinya, maka ia bisa masuk Surga. Namun apabila ia tak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan pada setiap qantârah dengan baik, maka ia akan ditahan dulu selama seribu tahun perjalanannya, hingga Allah SWTmemutuskannya nasibnya.


Siapakah yang Akan Melintasinya?


Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang kali pertama akan melintasi Shirath adalah Nabi Muhammad
r, disusul kemudian ummat-umatnya, kemudian Nabi Isa udan ummatnya, kemudian Nabi Musa udan ummatnya, dan seterusnya. Dan yang terakhir adalah Nabi Nuh u bersama kaumnya. Sedangkan yang akan melintasi Shirath kelak di akhirat adalah semua manusia, mulai dari yang hidup di zaman dahulu sampai yang hidup di akhir zaman, termasuk orang-orang kafir.


Akan tetapi Ibnu Rajab al-Hanbali dan didukung beberapa ulama lain berpendapat, bahwa orang kafir dan orang musyrik tidak akan melintasinya. Sebab mereka sudah digiring terlebih dahulu ke Neraka bersama tuhan-tuhan mereka setelah hari Hasyr, sebelum sampai di Shirath, sebagaimana tercantum dalam ayat al-Qur’an yang artinya; “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah; maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka”. (QS ash-Shâffât [37]: 22-23).


Orang-orang menyebrangi Shirath dengan bermacam cara; ada yang menyebrang secepat kedipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang seperti hembusan angin, ada seperti terbangnya burung, ada yang sepeti larinya kuda, ada yang berlari biasa, ada yang seperti berjalan kaki, ada merangkak. Semua itu tergantung amalnya saat di dunia. Bila amal seseorang itu baik, maka akan melintasinya dengan lebih cepat. Demikian sebaliknya. Karena itu, para ulama menganjurkan kita agar istikamah menjalani ‘Shirath’ yang ada di dunia (agama), agar kelak kita bisa selamat saat melintasi Shirath di akhirat. Wallahu 'A'lam.


Refrensi:

1. Tanwîrul-Qulûb

2. Fathul-‘Allâm

3. Bashâ’ir wa Basyâ’ir

4. Al-Qiyâmatul-Kubrâ

5. Fatâwâ al-Azhâr

6. Syarah Jawâhirut-Tauhîd


*) Penulis adalah Santri Sidogiri

(Do'a of the Day) 25 Rajab 1432H

Bismillah irRahman irRaheem
In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Yaa muqallibal quluubi, tsabbit quluubanaa 'alaa diinika.
Wahai Tuhan Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami berpegang atas agama-Mu.
Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 58.

Jumat, 24 Juni 2011

(Khotbah of the Day) Perintah Shalat di Bulan Rajab

Perintah Sholat di Bulan Rojab
الحمد لله الذى أمرنا بالعدل والاحسان, أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له. وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الذى بصرنا من العمى وهدانا من الضلال. اللهم صل وسلم وبارك على رسول الله محمد ابن عبدالله وعلى اله واصحابه ومن تبعه باحسان الى يوم القيامة.أما بعد فياعبادالله أوصيكم واياي بتقوى الله وطاعته وافعلوا الخيرات واجتنبوا السيئات لعلكم تفلحون. قال الله تعالى فى القرأن العظيم أعوذ بالله من الشيطان الرجيم ان الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا تتنزل عليهم الملائكة الا تخافوا ولاتحزنوا وابشروا بالجنة التي كنتم توعدون
Ma’asyiral Muslimin Rohimakumullah

Bulan Rajab, sungguh mengajarkan kepada kita bahwa Allah pasti memiliki rencana. Kelak kita akan mensyukuri sebuah karunia setelah berbagai cobaan kita rasakan. Beraneka kejadian dan peristiwa terus berlalu silih berganti. Berbagai kondisi kita lalui dari tahun ke tahun. Tanpa terasa, beberapa hari lagi, kita akan melewati bulan Rajab di tahun ini.

Ada kebahagiaan yang kita rayakan, dan ada kesedihan yang kita rasakan, namun kita harus tetap hidup tanpa penyesalan. Kita mesti senantiasa optimis, meski berbagai rintangan senantiasa menghimpit dan menguras keimanan.

Bagaimana pun juga masa yang akan datang harus dihadapi dengan keimanan dan ketakwaan yang melimpah. Apapun pun kondisi yang telah menimpa dalam waktu-waktu yang lalu, baik yang telah lama maupun yang baru saja terjadi; yang masih begitu segar dalam ingatan kita, namun esok hari tetaplah misteri. Mungkin kemarin kita sangat berat dan mengalami kesulitan dalam hidup, namun bukan berarti kita boleh takut menghadapi fajar esok hari.

Para Jama’ah Jum’ah yang Diberkahi Allah

”Paket perjalanan” Rasulullah di bulan Rajab merupakan sebuah pelajaran sangat berharga bagi kita bahwa setiap kesusahan dan rintangan dalam menjalankan misi dakwah pasti digantikan dengan anugerah yang menjadikan hidup kita lebih berkualitas.

Terlebih bahwa setiap anugerah juga sebenarnya selalu mengandung ujian bagi kita untuk semakin mengintensifkan segala potensi kita demi mengupayakan keridhoan Allah SWT. Sejarah seputar peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan palajaran berharga, bagaimana kesusahan dan kesedihan tergantikan dengan sebuah pesan (berupa sholat lima waktu) sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Pesan Isra’ Mi’raj ini mengindikasikan bahwa sebelum menerima sebuah tugas yang lebih berat, tentu terlebih dahulu kita akan diuji. Jika sukses melewati ujian yang diberikan Allah, tentu kita akan menerima anugerah sebagai karunia dan kemahamurahan Allah SWT. Maka jika ingin meningkatkan derajat ketaqwaan, mestinya kita mempersiapkan diri menghadapi berbagai ujian.

Ma’asyiral Muslimin Rohimakumullah

Diantara hasil paket itu Nabi mendapatkan hadiah dan anugrah yang luar biasa. Anugrah itu Allah titipkan melalui Malaikat Jibril. Sejak masa-masa pertama ketika Nabi diangkat sebagai Rasul kepada kaumnya, Malaikat Jibril adalah perantara wahyu sekaligus teman Nabi SAW yang sangat setia. Banyak hadits dan sunnah meriwayatkan bahwa malaikat Jibril seringkali menjelma menjadi manusia untuk sekedar mengajarkan kepada Muhammad SAW dan para pengikutnya untuk melakukan berbagai bentuk ibadah, diantaranya, Jibril juga mengajarkan waktu sholat yang lima.

Suatu ketika Jabir bin Abdullah RA menceritakan bahwa pada suatu siang sebelum matahari benar-benar di atas titik atas tertinggi, Rasulullah Muhammad SAW kembali didatangi oleh malaikat Jibril AS seraya berkata kepadanya, ”bersiaplah wahai Rasulullah dan lakukan shalat.”

Mendengar panggilan ini, Maka Nabi Muhammad pun segera melakukan shalat Dzuhur ketika matahari telah mulai tergelincir.

Ketika bayang-bayang tampak telah mulai lebih panjang dari sosok asli benda-benda, malaikat Jibril berkata, ” lakukanlah shalat lagi.”

Demi mendengar perintah ini pun, Rasulullah SAW kemudian segera melakukan shalat Ashar ketika panjang bayangan segala benda melebihi panjang benda-benda. Kemudian waktu Maghrib menjelang dan Jibril berkata, ”berdirilah dan lakukan shalat.” Maka beliau SAW melakukan shalat Maghrib ketika matahari terbenam.

Kemudian waktu Isya` menjelang dan Jibril berkata, ” lakukanlah shalat.” Maka Rasulullah SAW pun segera melakukan shalat Isya` ketika syafaq (mega senja merah) menghilang. Waktu sholat Isya’ ini menjadi waktu sholat terpanjang karena Jibril baru membangunkan kembali nabi Muhammad ketika fajar kedua telah mulai menjelang.

Kemudian waktu Shubuh menjelang dan Jibril berkata, ”Bangunlah wahai Rasulullah dan lakukanlah shalat.” Maka Rasulullah SAW melakukan shalat Shubuh ketika waktu fajar menjelang. (HR Ahmad, Nasai dan Tirmidzy)

Sementara tentang waktu sholat Shubuh ini Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW bersabda, ”Orang yang mendapatkan satu rakaat dari shalat shubuh sebelum tebit matahari, maka dia termasuk orang yang mendapatkan shalat shubuh. Dan orang yang mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia termasuk mendapatkan shalat Ashar.” (HR Muslim)

Demikianlah para hadirin jama’ah jum’ah yang berbahagia. Betapa berharganya sholat dalam Islam, sehingga Allah memanggil langsung Rasulullah saw berlikunya
بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ,وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Sumber: NU Online

(Do'a of the Day) 22 Rajab 1432H

Bismillah irRahman irRaheem
In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma haadzaa iqbaalu lailika wa idbaaru nahaarika wa ashwaatu du'aatikaghfir lii.
Ya Allah, inilah saat menghadapi malam ciptaan-Mu, akhir siang ciptaan-Mu, dan suara-suara para pemanggil nama-Mu, maka ampunilah aku.
Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 57.

Kamis, 23 Juni 2011

Menghitung Kencleng


(Do'a of the Day) 21 Rajab 1432H

Bismillah irRahman irRaheem
In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Alhamdulillaahil ladzii wahaba lanaa haadzal yauma wa aqaalanaa fiihi 'atsaraatinaa.
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan hari ini bermanfaat bagi kami dan melenyapkan kesalahan kami padanya.
Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 53.

Rabu, 22 Juni 2011

(Ngaji of the Day) Ilmu dan Kebodohan

Ilmu dan Kebodohan

Sayyidina Ali K.W berkata:

1. Orang yang bodoh adalah yang menganggap dirinya tahu tentang makrifat ilmu yang sebenarnya tidak diketahuinya, dan dia merasa cukup dengan pendapatnya saja.

2. Orang yang alim mengetahui orang yang bodoh karena dia dahulunya adalah orang yang bodoh, sedangkan orang yang bodoh tidak mengetahui orang yang alim karena dia tidak pernah menjadi orang alim.

3. Orang bodoh adalah kecil meskipun dia orang tua, sedangkan orang alim besar meskipun dia masih remaja.

4. Allah tidak memerintahkan kepada orang bodoh untuk belajar sebelum Dia memerintahkan terlebih dahulu kepada orang alim untuk mengajar.

5. Sesuatu menjadi mudah bagi dua macam orang: orang alim yang mengetahui segala akibat dan orang bodoh yang tidak mengetahui apa yang sedang terjadi padanya.

6. Ada dua orang yang membinasakanku: orang bodoh yang ahli ibadah dan orang alim yang mengumbar nafsunya.

7. Imam `Ali a.s. menjawab pertanyaan seorang yang bertanya kepadanya tentang kesulitan, dia berkata, “Bertanyalah engkau untuk dapat memahami, dan janganlah engkau bertanya dengan keras kepala. Sebab, sesungguhnya orang bodoh yang terpelajar serupa dengan orang alim, dan orang alim yang sewenang-wenang serupa dengan orang bodoh yang keras kepala.”

8. Engkau tidaklah aman dari kejahatan orang bodoh yang dekat denganmu dalam kekerabatan dan ketetanggaan. Sebab, yang paling dikhawatirkan terbakar nyala api adalah yang paling dekat dengan api itu.

9. Alangkah buruknya orang yang berwajah tampan, namun dia bodoh. la seperti rumah yang bagus bangunannya, tetapi penghuninya orang yang jahat, atau seperti taman yang penghuninya adalah burung hantu, atau kebun kurma yang penjaganya adalah serigala.

10. Janganlah engkau berselisih dengan orang bodoh, janganlah engkau mengikuti orang pandir, dan janganlah engkau memusuhi penguasa.

11. Yang engkau lihat dari orang yang bodoh hanyalah dua hal: melampaui batas atau boros.

12. Sebodoh-bodoh orang adalah orang yang tersandung batu dua kali.

13. Menetapkan hujah terhadap orang bodoh adalah mudah, tetapi mengukuhkannya yang sulit.

14. Tidak ada kebaikan dalam hal diam tentang suatu hukum, sebagaimana tidak ada kebaikan dalam hal berkata dengan kebodohan.

15. Tidak ada penyakit yang lebih parah daripada kebodohan.

16. Dan tidak ada kefakiran yang sebanding dengan kebodohan.


KH. Muhammad Luqman Hakim

(Do'a of the Day) 20 Rajab 1432H

Bismillah irRahman irRaheem
In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma ashlih lii diinii, al ladzii huwa 'ishmatu amrii, wa ashlih lii dun-yaaya allatii fiiha ma'iisyati, wa ashlih lii aakhiratii, allatii ilaiha munqalibii.
Ya Allah, perbaikilah agamaku, yang merupakan dasar utama bagi terpeliharanya urusanku. Perbaikilah duniaku, di mana di sana kehidupanku. Dan perbaikilah akhiratku karena di sanalah tempat aku berpindah.
Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 53.

Selasa, 21 Juni 2011

(Ngaji of the Day) Tausiyah untuk Bangsa

Tausiyah untuk Bangsa
Dibacakan oleh KH Said Aqil Siroj dalam peringatan Harlah ke-85 NU
Sabtu, 18 Juni 2011 di Gedung PBNU
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, hingga saat ini kita diberi kesehatan jasmani dan rohani serta kesehataan akal dan pemikiran. Hari ini, 16 Rajab 1432 H, bertepatan dengan 18 Juni 2011, adalah Hari Lahir Nahdlatul Ulama. Dalam perhitungan Hijriyah kali ini merupakan peringatan yang ke-88 karena NU lahir pada 16 Rajab tahun 1344 H atau dalam perhitungan Miladiyah adalah yang ke-85, karena NU lahir bertepatan dengan 31 Januari 1926 M . Dalam waktu kurang lebih 15 tahun lagi NU akan sampai di usia seabad.

Sejak awal kelahirannya NU tak pernah lepas dari perkembangan kesadaran nasional dan kebangsaan. Mengacu pada perjalanan sejarah tersebut NU mempunyai keyakinan bahwa di dalam membangun masyarakat Islam tidak mengharuskan menempuh jalan politik kekuasan, melainkan lebih mengedepankan perjuangan kultural. Sejak awal, tujuan perjuangan NU adalah melaksanakan syari’ah Islam di tingkat masyarakat, dan bukan Islamisasi negara.
Logika ini pun pernah dipakai KH Abdul Wahid Hasyim, salah satu dari panitia sembilan, yang tidak ragu mengambil keputusan untuk menghapus “Tujuh Kata” (“Dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya”) dalam Piagam Jakarta. Hingga sekarang pun NU masih tetap menggunakan strategi ini di dalam merumuskan hubungan antara Islam dan negara di dalam memperkokoh NKRI. Bagi NU penghapusan tujuh kata tersebut bukanlah kekalahan umat Islam dalam berpolitik, melainkan merupakan bentuk kesadaran perjuangan bahwa Indonesia haruslah menjadi rumah yang nyaman bagi siapapun, tanpa melihat latar belakang agama, suku, ras dan budaya.

Dalam kesempatan ini NU ingin menyampaikan hasil renungan keprihatinan sekaligus saran-saran untuk mengatasi masalah-masalah yang dirasakan strategis dan mendasar yang dihadapi bangsa dan negara ini.

Kemerosotan Moralitas

Keprihatinan pertama berkaitan dengan kemerosotan moral. Kita mencatat belakangan ini makin intensif terjadinya proses kemerosotan moralitas sehingga masyarakat dapat dikategorikan: sudah dilanda sebuah bencana moral yang serius. Bencana ini ditandai dengan maraknya pornografi, perilaku korup dan manipulatif serta pelanggaran berbagai nilai-nilai dan norma agama, adat-istiadat, nilai-nilai budaya serta etika kemanusiaan. Betapa makin banyak orang yang dengan bebasnya membuka aib dan rahasia pribadi serta menyebarluaskan fitnah secara tidak bertanggungjawab.

Semua ini menjadi bahan pergunjingan yang kontraproduktif di tengah masyarakat. Hal ini menandakan telah mengendornya kontrol sosial, dan semakin permisifnya masyarakat terhadap berbagai penyimpangan sosial. Pudarnya ikatan keluarga telah mengakibatkan semakin merenggangnya ikatan sosial, sementara merenggangnya ikatan sosial telah semakin memperlemah kontrol sosial, sehingga dengan demikian berbagai pelanggaran tata nilai dan norma-norma sosial sulit diatasi.

Memudarkan ikatan sosial menjadi lahan subur bagi tumbuhnya individualisme, lebih-lebih karena di tengah masyarakat berkembang dengan subur paham liberalisme. Berkaitan dengan krisis moral ini, NU mengajak semua elemen bangsa untuk memperkuat tiga hal dasar. Pertama, memperkuat kembali tatanan keluarga dengan mengacu pada ajaran-ajaran agama. Kedua, menumbuhkan kembali nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan. Ketiga, merevitalisasi sistem sosial yang lebih berorientasi kolektivisme sebagaimana yang secara filosofis diletakkan oleh para pendiri bangsa dan negara Indonesia.

Krisis Kebangsaan

Di tengah persaingan antar negara yang semakin ketat akibat globalisasi, muncul imperialisme ekonomi sebagai bentuk ancaman paling nyata yang mengikis nilai-nilai kebangsaan. Nasionalisme bagi bangsa ini tetap penting, bahkan makin penting, karena seharusnya menjadi pijakan untuk merumuskan kepentingan nasional. Secara retorika kebangsaan ini tetap menggema dari waktu ke waktu, namun hanya sebatas pembicaraan, dan tidak dihayati maknanya serta tidak tampak pada perilakunya. Oleh karena itu tidak aneh jika ada orang yang lantang berbicara nasionalisme namun perilaku dan tindakannya menghancurkan bangsa.

Dalam kaitan itu NU mengajak semua elemen bangsa untuk memperkokoh kembali identitas dan komitmen kebangsaan dalam rangka mengatasi imperialisme ekonomi dan kebudayaan sebagai dampak negatif globalisasi.

Demokrasi

Demokrasi merupakan pilihan paling logis sebagai sistem politik untuk mengelola kepentingan bersama dalam negara berbentuk Republik seperti Negara Indonesia. Dengan demokrasi, aspirasi dan kepentingan yang beragam dapat diperdebatkan dan diolah menjadi kebijakan negara. Namun, demokrasi yang dibangun dalam sepuluh tahun terakhir sangat mengecewakan masyarakat. Kebebasan yang tanpa batas, tidak menyejahterakan rakyat, melahirkan politik uang, menghasilkan pemimpin yang korup. Kebebasan yang dirasakan tanpa batas, tidak menyejahterakan rakyat, menyuburkan politik uang, menghasilkan pemimpin yang tidak amanah, semua itu merupakan hasil dari sistem demokrasi yang semata-mata menekankan prosedur dan tidak berorientasi pada pengembangan nilai-nilai luhur serta tidak mengedepankan kepentingan rakyat.
Bagi NU, demokrasi adalah alat untuk menyejahterakan rakyat, bukan tujuan, demokrasi bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Demokrasi bukan sekadar prosedur tetapi demokrasi adalah nilai-nilai. Karena itu pelaksanaan demokrasi harus dibatasi oleh moral, hukum, kesepakatan pendiri bangsa dan disangga oleh budaya bangsa. NU mengajak elemen bangsa untuk mengevaluasi demokrasi yang sedang berlangsung dengan prinsip: Pertama, demokrasi haruslah mampu menjaga keutuhan bangsa. Kedua, mampu menciptakan keadilan, dan memberikan kesejahteraan pada rakyat. Ketiga, demokrasi mampu menjaga kebersamaan dalam kebhinekaan. Keempat, demokrasi memperhatikan prinsip permusyawaratan/perwakilan yang mencerminkan keragaman bangsa, dan tidak semata-mata berdasarkan mekanisme pemilihan. Kelima, harus mampu menjamin kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pendidikan
Terkait dengan masalah mendasar di bidang pendidikan kita seyogyanya jangan sekali-kali meninggalkan konstitusi. Dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa salah satu tujuan terpenting membentuk Pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” ini kemudian dielaborasi pada pasal 31 UUD 1945 yang berisi tentang hak-hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, serta kewajiban negara/pemerintah untuk menyelenggarakannya.
PBNU merasa berkepentingan mengemukakan substansi masalah pendidikan dalam UUD 1945 karena ingin mengingatkan semua pihak, terutama penyelenggara negara di bidang pendidikan, bahwa penyelenggaraan pendidikan adalah ranah publik yang merupakan tanggungjawab negara, bukan ranah privat seperti barang dan atau jasa yang diperjualbelikan. Bila pendidikan sudah dipersamakan dengan barang dan jasa yang diperjualbelikan, maka yang berlaku adalah hukum pasar: siapa yang punya uang akan memperoleh pendidikan bermutu, sementara rakyat yang tak punya uang tak akan memperoleh pendidikan bermutu.

Fenomena seperti ini sekarang sudah sangat menggejala, baik di lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah (negeri) maupun lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat (swasta). Adanya tekanan dari WTO (organisasi Perdagangan Dunia) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah sejenis jasa atau barang dagangan yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia ini telah menambah runyamnya soal pendidikan nasional. Perkembangan ini amat memprihatinkan karena makin menjauhkan kita, terutama penyelenggara negara yang bertanggungjawab di bidang pendidikan, dari rel konstitusi serta semakin jauh dari cita-cita para pendiri republik ini mengenai pendidikan. Oleh karena itu, PBNU mengajak semua pihak untuk terus berjuang agar penyelenggaraan pendidikan nasional dikembalikan ke rel semula sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi kita.

Ekonomi
NU melihat bahwa kebijakan ekonomi negara dalam dekade terakhir ini cenderung berorientasi pasar bebas atau yang biasa disebut fundamentalisme pasar. Di berbagai negara berkembang, kebijakan ekonomi semacam itu tidak pernah berhasil menyejahterakan masyarakat. Kebijakan ekonomi seperti ini adalah kebijakan yang bersifat ekstrem yang selalu mengundang reaksi yang ekstrem pula. Jika keadaan ini terus dipertahankan akan menyuburkan paham-paham ekstrem atau radikal, termasuk radikalisme agama.
Dalam sistem ekonomi pasar yang tak terkendali seperti ini, hanya menguntungkan pelaku ekonomi besar atau konglomerat, dan meminggirkan pelaku ekonomi kecil. Kebijakan semacam ini hanya akan membesarkan yang besar, sementara yang kecil semakin tersisihkan. Oleh sebab itu, NU memandang perlu untuk mengingatkan bahaya kebijakan semacam itu. Hendaknya kebijakan ekonomi negara dikembalikan pada amanat pasal 33 UUD 1945 tentang ekonomi berkeadilan. Dalam sistem tersebut peran negara amatlah penting untuk menciptakan keseimbangan antara pemberian kesempatan terhadap yang besar dan pemihakan terhadap yang kecil. Untuk memainkan peran itu negara harus serius dan tegas.

Kedaulatan Negara
Masalah kedaulatan negara merupakan persoalan strategis yang perlu memperoleh perhatian. Sejauhmana kita sebagai bangsa merdeka dapat menggunakan kedaulatan secara penuh dalam menentukan kebijakan tanpa disubordinasikan oleh kepentingan negara lain. Hubungan dengan negara lain, tidak boleh menghilangkan kemandirian kita.

Kita tidak boleh menukar kedaulatan negara dengan bantuan yang diberikan negara lain, perusahaan multinasional dan lembaga multilateral. Kebutuhan terhadap utang luar negeri, seharusnya tidak membuat kita tunduk dan kehilangan kemandirian di hadapan negara dan lembaga donor internasional. Sejarah mencatat negara kita berkali-kali tidak berdaya menghadapi intervensi politik asing, pemimpin negara yang mencoba menjalankan kedaulatan negara secara mandiri harus menghadapi berbagai gangguan pemberontakan sampai pada tingkat penggulingan.
Pengaruh kepentingan asing di negeri ini merupakan hal yang nyata terutama dalam rangka merebut kesempatan untuk mengelola kekayaan alam Indonesia yang melimpah.

Masalah kedaulatan menjadi keprihatinan NU. Rakyat merasakan betapa besar pengaruh asing ini melalui kebijakan negara sepanjang kekuasaan negeri ini. Menyusutnya kedaulatan negara ini terlihat dari berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah. Itulah sebabnya di negari ini tidak ada kedaulatan pangan dan begitu dominannya penguasaan asing atas sumber daya alam kita.

Negeri ini tampak menjadi begitu penurut terhadap aturan lembaga multilateral seperti WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), IMF (Dana Moneter Internasional), dan lain-lain yang merugikan hampir seluruh sektor ekonomi, terutama di sektor pertanian yang tidak memperoleh perlindungan yang cukup sebagaimana dilakukan di negara-negara maju. Kuatnya pengaruh neo-liberalisme, yang mengharuskan pengurangan peran negara dan anggaran untuk kesejahteraan rakyat, semakin memprihatinkan NU karena sudah sangat melemahkan kedaulatan negara untuk menjalankan kewajibannya menciptakan kesejahteraan rakyat. Sekali lagi NU mengajak seluruh elemen bangsa untuk menegakkan kembali kedaulatan negara kita.

Korupsi
Dalam waktu kurang lebih sepuluh tahun terakhir, korupsi di negeri ini begitu menyebar. Tidak hanya terjadi di pusat, tetapi juga di seluruh daerah tanpa kecuali, dengan skala yang makin besar. Tindakan negatif ini juga tidak hanya dilakukan oleh aparat negara atau pengusaha tetapi sudah dilakukan aparat penegak hukum dan politisi.

Maraknya korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum dan politisi menjadi ukuran paling tinggi, betapa parahnya tingkat korupsi di negeri ini. NU merasa prihatin karena merasuknya korupsi di kalangan penegak hukum dan politisi membuat penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi menjadi mandul dan pengawasan terhadap penggunaan anggaran negara akan semakin lemah. Makin memprihatinkan karena disinyalir bahwa masyarakat pun sudah sangat permisif, kurang peduli, terhadap persoalan korupsi. Parahnya tingkat korupsi ini dengan sendirinya akan makin menggerogoti moral bangsa dan mempercepat pengeroposan pilar-pilar NKRI, yang ujungnya akan menghancurkan bangsa dan negara ini.

NU berkewajiban mengajak semua elemen bangsa untuk tergerak dan pro-aktif sesuai kedudukan, kompetensi dan kemampuan masing-masing untuk ikut dalam gerakan pemberantasan korupsi yang membahayakan kelangsungan negara ini. Sejarah menunjukkan banyak negara besar di dunia seperti Kekaisaran Romawi, Babilonia, dan lain-lain, kemudian hancur, antara lain, karena tidak mampu mengatasi wabah korupsi. Masih membekas dalam ingatan kita, bahwa imperium Uni Sovyet pun hancur, dan bertahan hanya dalam kurun waktu 70 tahun, antara lain, karena gagal memberantas wabah korupsi yang merasuk tokoh-tokoh pemerintahan dan birokrasi negara.

Kepemimpinan

Masalah kepemimpinan di negara yang selalu dalam proses mencari bentuk baik dari segi nation building maupun state building menjadi sangat penting dan menentukan. Indonesia pernah melahirkan figur-figur pemimpin yang kuat dan berkarakter baik pemimpin yang membangun solidaritas maupun pemimpin yang bersifat teknokratis. Namun, dalam satu dan dua dekade terakhir ini kita selalu dihadapkan pada kesulitan dalam menentukan figur pemimpin yang dianggap layak pada saat menghadapi pergantian kepemimpinan di semua level.

NU mengajak semua kekuatan sosial dan politik untuk memikirkan sistem rekrutmen dan penggemblengan calon-calon pemimpin nasional. Ada dua ironi yang dihadapi oleh bangsa ini, Pertama, organisasi-organisasi sosial politik mandul dalam menjalankan fungsi rekrutmen dan kaderisasi kepemimpinan yang efektif. Kedua, sebagai bangsa besar tidak cukup hanya memiliki lembaga-lembaga atau institusi yang diberi fungsi mengembangkan kepemimpinan nasional seperti Lemhanas, lembaga di lingkungan TNI, Polri dan PNS. Kita memerlukan sebuah sistem nasional untuk rekrutmen dan kaderisasi kepemimpinan nasional yang inklusif sekaligus tidak diskriminatif.

Sebagai negara dengan wilayah yang sangat luas dan berpenduduk yang besar dengan latar belakang budaya yang sangat beregam, Indonesia perlu membangun budaya kepemimpinan yang berorientasi pada terbuka dan demokratis. membangun kultur kepemimpinan yang bertanggungjawab, amanah dan mengedepankan kepentingan bersama.

Sebagai sebuah bangsa yang besar Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang efektif di berbagai level organisasi politik maupun sosial kemasyarakatan. Kepemimpinan yang efektif dan terpercaya akan mampu menggerakan segenap dinamika sosial di tengah masyarakat menuju masyarakat yang modern, terbuka dan demokratis. NU berpandangan bahwa saat ini terjadi krisis kepemimpinan di berbagai level kehidupan sosial pilitik kemasyarakatan sehingga kelompok-kelompok masyarakat sering bergerak tanpa arah, mengedepankan kekerasan dalam penyelesaian konflik dan lemahnya solidaritas sosial antar kelompok. Jalan untuk memperbaiki semua itu adalah dengan membangun kesadaran melakukan kaderisasi, membangun kultur kepemimpinan yang bertanggungjawab, amanah dan mengedepankan kepentingan bersama. []