Jumat, 31 Desember 2021

(Do'a of the Day) 27 Jumadil Awwal 1443H

اللّهُمَّ اخْتِمْ هَذِهِ السَّنَة بِمَا يَفْرَح قَلْبِي

 

Yaa gusti Allah... semoga Engkau tutup akhir tahun ini dengan sesuatu yang menyenangkan hatiku.

(Khotbah of the Day) Mengevaluasi Syukur Kita

KHUTBAH JUMAT PERGANTIAN TAHUN

Mengevaluasi Syukur Kita


Khutbah I

 

الحَمْدُ لِلّٰهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

 

أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ: اِنَّ اللّٰهَ لَذُوْ فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُوْنَ (غافر: ٦١)

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala dengan melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan.

 

Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

 

Sungguh, nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan kepada umat manusia sangatlah melimpah dan tidak dapat dihitung. Kesehatan, harta, mata, telinga, lisan, anak yang berbakti, istri yang shalihah, teman yang setia, tetangga yang baik dan masih banyak lagi yang lain adalah nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita. Meskipun demikian, kebanyakan manusia tidak bersyukur. Bahkan banyak di antara kita yang tidak menyadari bahwa hal-hal tersebut adalah nikmat dan anugerah dari Allah ta’ala. Banyak pula di antara kita yang tidak mengetahui hakikat syukur dan bagaimana cara bersyukur. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

 

اِنَّ اللّٰهَ لَذُوْ فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُوْنَ (غافر: ٦١)

 

Maknanya: “Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang memberikan anugerah pada umat manusia. Hanya saja kebanyakan umat manusia tidak bersyukur (kepada-Nya)” (QS Ghafir: 61)

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Syukur ada dua macam. Ada syukur yang wajib dan ada syukur yang sunnah. Syukur yang wajib adalah tidak menggunakan nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita untuk berbuat maksiat kepada-Nya. Jadi bersyukur kepada Allah atas nikmat lisan adalah tidak mengatakan perkataan yang diharamkan oleh Allah. Bersyukur kepada Allah atas nikmat telinga adalah dengan tidak mendengarkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Bersyukur kepada Allah atas nikmat mata adalah dengan tidak melihat sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Bersyukur kepada Allah atas nikmat harta adalah dengan tidak membelanjakannya untuk perkara yang haram.

 

Adapun syukur yang sunnah adalah mengucapkan dengan lisan pujian yang menunjukkan bahwa Allah-lah Sang Pemberi nikmat dan yang menganugerahkannya kepada para hamba-Nya, semisal dengan ucapan alhamdulillah. Pemberian nikmat kepada hamba adalah murni anugerah dan karunia dari Allah, bukan kewajiban bagi-Nya. Karena memang tidak ada sesuatu pun yang wajib bagi-Nya. Allah ta’ala berfirman:

 

وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيْهِ تَجْـَٔرُوْنَۚ (النحل: ٥٣)

 

Maknanya: “Dan nikmat apa pun yang ada pada kalian adalah dari Allah. Kemudian jika kalian terkena mara bahaya, maka hanya kepada-Nya-lah hendaknya kalian memohon” (QS an-Nahl: 53).

 

Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

 

Sebagian orang sama sekali tidak bersyukur. Dan sebagian yang lain bersyukur tetapi tidak secara sempurna. Orang-orang yang sama sekali tidak bersyukur kepada Allah adalah mereka yang takabur sehingga tidak mau menerima kebenaran yang dibawa oleh para nabi. Mereka tidak mau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para utusan-Nya dan juga hari akhir. Mereka meyakini kekufuran dan menolak tauhid. Mereka ini tidak bersyukur kepada Allah ta’ala sama sekali. Karena mereka telah meninggalkan kewajiban yang paling dasar dan paling utama, yaitu iman yang Allah jadikan sebagai syarat diterimanya amal kebaikan. Mereka ini termasuk yang dimaksud dengan firman Allah ta’ala:

 

وَقَدِمْنَآ اِلٰى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنٰهُ هَبَاۤءً مَّنْثُوْرًا (الفرقان: ٢٣)

 

Maknanya: “Dan Kami (Allah) menghukumi amal (yang mereka anggap baik) yang mereka lakukan (dalam keadaan tidak beriman), maka Kami jadikan amal mereka seperti debu yang bertebaran (tidak berguna dan tidak diterima)” (QS al Furqan: 23).

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Allah telah memuji Nabi Ibrahim dalam firman-Nya:

 

اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ كَانَ اُمَّةً قَانِتًا لِّلّٰهِ حَنِيْفًاۗ وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ شَاكِرًا لِّاَنْعُمِهِ ۖ (النحل: ١٢٠-١٢١)

 

Maknanya: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam panutan nan taat kepada Allah serta berpaling pada agama yang lurus. Dan ia tidak pernah termasuk orang-orang musyrik. Dia adalah orang yang bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya” (QS an-Nahl: 120-121).

 

Dalam kitab tafsirnya, ath-Thabari mengatakan:

 

“Maknanya Ibrahim tulus bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Dan dalam bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya tersebut, Ibrahim tidak menjadikan sekutu bagi-Nya.”

 

Artinya, syukur Nabi Ibrahim kepada Allah diwujudkan dengan beriman kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Sedangkan orang-orang yang syukur mereka tidak sempurna adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tapi masih meninggalkan kewajiban dan melakukan perkara yang diharamkan. Keadaan mereka di akhirat tergantung kehendak Allah. Jika Ia berkehendak, mereka diampuni oleh-Nya dan langsung dimasukkan surga. Dan jika Ia berkehendak, mereka tidak diampuni oleh-Nya lalu dimasukkan ke dalam neraka beberapa lama. Akan tetapi walau bagaimanapun, seseorang yang mati dalam keadaan beriman, pada akhirnya semuanya akan dimasukkan ke dalam surga.

 

Hadirin rahimakumullah,

 

Jika keluhuran budi dan akhlak yang terpuji menuntut kita untuk membalas sesama hamba yang berbuat baik kepada kita dengan berterima kasih dan berbuat baik kepadanya, maka lebih utama bagi kita untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang dikaruniakan-Nya kepada kita. Imam al Junaid pernah ditanya tentang apa itu syukur. Beliau menjawab:

 

أَنْ لَا يُعْصَى اللهُ بِنِعَمِهِ

 

“(Syukur yang wajib adalah) tidak bermaksiat kepada Allah dengan nikmat-nikmat-Nya.”

 

Seseorang yang menunaikan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh perkara yang diharamkan, maka ia adalah hamba yang syaakir. Kemudian, jika ia tidak disibukkan dengan nikmat sehingga melalaikan syukur kepada Sang Pemberi nikmat, dan ia menyadari betapa agungnya nikmat Allah yang selalu melingkupinya dan perasaan itu semakin kokoh dalam dirinya serta ia memperbanyak amal-amal kebaikan lebih dari kewajibannya, maka ia disebut hamba yang syakuur (pandai bersyukur). Hamba yang syakuur lebih sedikit jumlahnya daripada hamba yang syaakir. Allah ta’ala berfirman:

 

وَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ (سبأ: ١٣)

 

Maknanya: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mencapai derajat syakuur” (QS Saba’: 13)

 

Jadi, orang-orang bertakwa yang bersih dari dosa dan tidak disibukkan dengan nikmat sehingga melalaikan syukur kepada Dzat Pemberi nikmat, adalah orang-orang yang sangat jarang dan sedikit di antara kaum Muslimin.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

النَّاسُ كَإِبِلٍ مِائَةٍ لَا تَكَادُ تَجِدُ فِيْهَا رَاحِلَةً (رواه مسلم)

 

Maknanya: “Umat manusia itu ibarat seratus ekor unta. Hampir tidak kamu dapati di antara mereka yang layak untuk ditunggangi dalam perjalanan jauh” (HR Muslim).

 

Dalam hadits ini terdapat sebuah isyarat bahwa kebanyakan orang memiliki kekurangan. Sedangkan orang-orang mulia yang zuhud terhadap dunia, mengejar kebahagiaan akhirat dan memenuhi syukur dengan sempurna, jumlah mereka sangat sedikit. Orang-orang pilihan tersebut ibarat satu unta yang layak dijadikan sebagai hewan tunggangan, di antara sekelompok unta yang ada. Satu unta ini yang bagus dan layak dikendarai untuk perjalanan jauh di antara sekelompok unta tersebut.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin.

 

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

 

Khutbah II

 

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

 

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

 

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

 

 

Ustadz Nur Rohmad, Katib Syuriyah MWCNU Dawarblandong, Mojokerto dan Pengasuh Majelis Ta’lim Nurul Falah, Mojokerto

 

(Ngaji of the Day) Hukum Membaca Al-Qur’an secara Berjamaah

Pertanyaan:


Assalamu 'alaikum wr. wb.

Redaksi NU Online, masyarakat Indonesia kerap berkumpul bersama untuk berbagai acara. Mereka biasanya membaca Al-Qur’an secara bersama-sama. Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. Wb.

 

Abdul HadiJakarta

 

 

Jawaban:

 

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Pembacaan Al-Qur’an secara bersama-sama atau berjamaah dianjurkan berdasarkan sejumlah dalil. Kita dapat menemukan anjuran tersebut dari hadits Rasulullah SAW dan praktik sejumlah sahabat. Imam An-Nawawi menyebutkan hal ini dalam karyanya, At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an:

 

اعلم أن قراءة الجماعة مجتمعين مستحبة بالدلائل الظاهرة وأفعال السلف المتظاهرة

 

Artinya, “Ketahulah, pembacaan Al-Qur’an secara berjamaah dianjurkan berdasarkan dalil yang nyata dan tindakan ulama salaf yang saling mendukung,” (Imam An-Nawawi, At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, [Kairo, Darus Salam: 2020 M/1441 H], halaman 87).

 

Adapun berikut ini adalah keutamaan pembacaan Al-Qur’an secara berjamaah dari berbagai riwayat:

 

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا يَذْكُرُونَ اَللَّهَ إِلَّا حَفَّتْ بِهِمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

 

Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidaklah suatu kaum duduk pada sebuah majelis berzikir kepada Allah, melainkan malaikat menaungi mereka dan rahmat-Nya menyelimuti mereka. Allah menyebut mereka di tengah orang yang ada di sisi-Nya (para malaikat, para rasul, dan para wali),’” (HR Muslim dan Imam At-Timidzi dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri).

 

Adapun berikut ini adalah riwayat Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Al-Baihaki secara tersurat menyebut pembacaan Al-Qur’an secara berjamaah:

 

عَن أَبِي هُرَيْرَةَ عَن النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ تَعَالَى يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللَّهِ ويَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

 

Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi Muhammad SAW, ia bersabda, ‘Tidaklah satu kelompok orang berkumpul di sebuah rumah ibadah, membaca Al-Qur’an dan mempelajarinya di tengah mereka, melainkan ketenteraman turun di tengah mereka, rahmat menyelimuti mereka, malaikat menaungi mereka, dan Allah menyebut mereka di tengah orang yang ada di sisi-Nya,’” (HR Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Al-Baihaki).

 

Imam An-Nawawi juga mengutip riwayat keutamaan pembacaan Al-Qur’an yang didengarkan oleh orang lain dalam sebuah majelis.

 

عن بن عباس قال : من استمع إلى آية من كتاب الله كانت له نورا

 

Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA, ‘Siapa saja yang mendengarkan satu ayat Al-Qur’an, niscaya ada baginya cahaya,’” (HR Ad-Darimi).

 

Praktik pembacaan Al-Qur’an secara berjamaah bukan hal baru. Abu Darda RA, salah seorang sahabat, pernah melakukan pembacaan dan kajian Al-Qur’an bersama sekelompok orang.

 

وروى ابن أبي داود أن أبا الدرداء يدرس القرآن مع نفر يقرأون جميعا

 

Artinya, “Ibnu Abi Dawud meriwayatkan, sahabat Abud Darda mempelajari Al-Qur’an bersama sejumlah orang. Mereka membaca Al-Qur’an secara bersama-sama.’”

 

Imam An-Nawawi mengangkat pandangan beberapa ulama yang mengingkari praktik pembacaan Al-Qur’an secara berjamaah. Mereka berasumsi, kata An-Nawawi, praktik ini bid’ah yang tidak ditemukan pada kalangan salaf. Seorang sahabat pun tidak pernah melakukan ini, kata mereka. Tetapi imam An-Nawawi menjawab sebagai berikut:

 

فهذا الإنكار منهما مخالف لما عليه السلف والخلف ولما يقتضيه الدليل فهو متروك والاعتماد على ما تقدم من استحبابها لكن للقراءة في حال الاجتماع شروط قدمناها ينبغي أن يعتنى بها والله أعلم

 

Artinya, “Pengingkaran keduanya bertentangan dengan perilaku ulama salaf dan dengan tuntutan dalil. Pengingkaran itu ditinggalkan. Dasar patokannya adalah anjuran sebagaimana keterangan sebelumnya. Tetapi pembacaan Al-Qur’an secara berjamaah memiliki syarat yang perlu diperhatikan sebagai yang telah kami sebutkan,’” (An-Nawawi, 2020 M/1441 H: 89).

 

Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

 

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.

 

Alhafiz Kurniawan

Tim Bahtsul Masail NU

Kamis, 30 Desember 2021

(Do'a of the Day) 26 Jumadil Awwal 1443H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahummaghfirlii dzanbii, wa wassilii fii daarii wa baarik lii fii rizqii.

 

Ya Allah, ampunilah dosaku, lapangkan rumah tanggaku, dan berilah keberkahan pada rezekiku.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 16.

(Ngaji of the Day) Ragam Pendapat Ulama soal Peringatan Hari Ibu

Hari Ibu atau Mother’s Day adalah hari peringatan terhadap peran dan jasa seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak, maupun lingkungan sosialnya. Peringatan hari ibu biasanya dilakukan dengan membebastugaskan ibu dari tugas sehari-hari, seperti memasak dan mencuci pakaian, memberinya hadiah, atau sekadar menyampaikan ucapan terima kasih kepadanya atas pengabdian yang selama ini telah dia berikan.


Berbeda dengan negara-negara lain yang merayakan Hari Ibu pada hari Minggu di pekan kedua bulan Mei atau tanggal 8 Maret, di Indonesia hari ibu dirayakan pada tanggal 22 Desember. Tanggal ini dipilih dengan merujuk pada hari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama, yang diselenggarakan pada 22 sampai 25 Desember 1928. Kongres ini diselenggarakan di Yogyakarta, dan dihadiri sekitar 30 organisasi wanita dari berbagai kota di Jawa dan Sumatera. Kongres ditujukan untuk meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan.


Oleh karena itu, di Indonesia hari ibu diperingati pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional. Lalu, bagaimanakah hukum peringatan hari ibu dalam Islam?


Para ulama berbeda pendapat tentang hukum permasalahan ini. Pertama, sebagian ulama meliputi Syekh Syauqi Allam (mufti Mesir), Syekh Ali Jum’ah (mantan mufti Mesir), Syekh Abdul Fattah Asyur, Syekh Muhammad Ismail Bakar, dan Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta’ Al-Mishriyyah) mengatakan bahwa peringatan hari ibu diperbolehkan. Mereka beralasan bahwa peringatan hari ibu merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orang tua. Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orang tua:

 

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا


“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS Al-Isra’: 23).


Peringatan hari ibu juga merupakan salah satu bentuk bersyukur kepada orang tua, terutama kepada ibu. Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kita untuk bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala dan kepada kedua orang tua:


وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ 


“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS Luqman: 14).


Di samping itu, peringatan hari ibu dengan memberinya hadiah, membebastugaskannya dari tugas domestik seperti mencuci pakaian dan memasak, atau sekadar mengucapkan terima kasih atas pengabdiannya, masuk dalam kategori adat atau tradisi, bukan ibadah. Karenanya, hal itu tidak termasuk bid’ah, sebab bid’ah itu hanya dalam urusan ibadah (agama) semata. Imam Syathibi berkata:

 

فَالْبِدْعَةُ إِذَنْ عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ، يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ للهِ سُبْحَانَهُ


“Bid’ah merupakan ungkapan tentang cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at, dengan mengikuti cara itu dimaksudkan untuk lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala” (Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi, Al-I’tisham, juz I, h. 26).


Kedua, sebagian ulama yang lain, seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Shalih al-Fauzan, Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, dan Lembaga Fatwa Arab Saudi (Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Fatwa) menyatakan bahwa peringatan hari ibu diharamkan. Mereka berpedoman pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:


مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

 

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR Bukhari dan Muslim).


Mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu anha yang lain, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:


مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ


“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR Muslim). 


Peringatan hari ibu tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, para sahabat radhiyallahu anhum, dan kaum muslimin terdahulu (salaful ummat), maka termasuk bid’ah yang dilarang dalam agama Islam berdasarkan kedua hadist di atas.


Selain itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:


مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ


“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Dawud).


Peringatan hari ibu merupakan tradisi orang kafir. Memperingati hari ibu berarti menyerupai orang kafir, dan termasuk bagian dari mereka. Karenanya, memperingati hari ibu diharamkan dalam Islam.


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum peringatan hari ibu. Sebagian ulama, seperti Syekh Syauqi Allam, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Abdul Fattah Asyur, Syekh Muhammad Ismail Bakar, dan Lembaga Fatwa Mesir membolehkan peringatan hari ibu, karena merupakan bentuk dari berbuat baik dan bersyukur kepada orang tua, khususnya ibu. Sedangkan, sebagian ulama yang lain seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Shalih al-Fauzan, Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, dan Lembaga Fatwa Arab Saudi mengharamkannya, sebab tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad, para sahabat, serta umat Islam terdahulu, dan menyerupai tradisi orang kafir. 


Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat yang memperbolehkan peringatan hari ibu merupakan pendapat yang kuat, sebab peringatan tersebut merupakan salah satu bentuk dari berbakti dan bersyukur atas jasa-jasa seorang ibu. Meskipun demikian, dalam Islam, berbakti dan bersyukur atas jasa ibu tidak terbatas pada saat peringatan hari ibu saja, melainkan setiap saat dan sepanjang hayat, bahkan ketika ibu sudah meninggal dunia. Abu Usyaid Malik bin Rabi’ah radhiyallahu anhu meriwayatkan sebuah hadits: 


بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلِمَةَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا، قَالَ: «نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا، وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا، وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا، وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا


“Suatu ketika kami berada di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya. Yaitu mendo’akan keduanya, meminta ampunan untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan memuliakan teman dekat keduanya” (HR Abu Daud).


Semoga keragaman pendapat para ulama tentang hukum peringatan hari ibu di atas dapat kita sikapi dengan dewasa, dan dapat membuat kita semakin toleran dalam menyikapi setiap perbedaan. Wallahu A’lam. []


Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung, dan Dosen IAIN Tulungagung.

Rabu, 29 Desember 2021

(Do'a of the Day) 25 Jumadil Awwal 1443H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma tsabbit qadamii 'alashshiraathi.

 

Ya Allah, tetapkanlah kakiku agar tidak tergelincir di atas shirathal (titian).

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 16.

(Ngaji of the Day) Mengenal Macam-macam Sistem Bunga Bank dalam Pinjaman

Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) NU Tahun 2002 menyatakan bahwa hukum bunga bank dibagi menjadi tiga, yaitu haram, boleh dan syubhat. Keputusan boleh didasarkan karena perbankan syariah sepenuhnya belum tersebar secara merata di semua wilayah Indonesia. Masyarakat masih didominasi oleh pembiayaan yang bersumber dari perbankan konvensional, bahkan hingga kini.

 

Demikian juga dengan status syubhat disebabkan harus ada pemilahan antara pinjaman konsumtif dan pinjaman produktif. Untuk skala produktif, maka bunga bank sebagai risiko kredit bank adalah diperbolehkan, tapi bila untuk pinjaman konsumtif, maka statusnya dihukum haram. Di satu sisi diputus haram, sementara di sisi yang lain diputus boleh menjadikan secara umum hukum bank adalah syubhat. Keputusan ini diputus kurang lebih tahun 2002.

 

Sebenarnya, bagaimana sih bunga bank itu ditetapkan oleh perbankan? Mari kita pelajari seputar wawasan 5 praktik sistem bunga perbankan sehingga mempengaruhi besarnya pinjaman dan pencairan dana pinjaman serta angsuran!

 

Bagi pembaca yang sudah biasa melakukan kontak pinjam meminjam dengan perbankan, misalnya sebagian besar masyarakat kecil warga negara kita yang tinggal di pedesaan, kadang bingung ketika berhadapan dengan perbankan. Ada yang mengeluh, kog cicilannya besar, kog dana yang cair tidak utuh, dan lain sebagainya. Sudah pasti hal ini banyak mengundang tanya oleh mereka disebabkan orang pinjam uang 3 juta, tapi yang cair hanya 2,75 juta. Ke mana yang 250 ribunya? Kebingungaj ini mungkin terjadi akibat ketidaktahuan dan ketidakmengertian akan maksud dari bunga pinjaman. Untuk itu, penting kiranya penulis hadirkan dalam tulisan ini sebagai bahan pengetahuan. Soal hukum, penulis kira sudah final untuk sementara waktu.

 

Perlu pembaca ketahui bahwa besarnya cicilan pengembalian tidak hanya dipengaruhi oleh tenor (jangka waktu pelunasan) dan besarnya suku bunga yang diberikan perbankan, akan tetapi kadang juga dipengaruhi oleh sistem bunga yang diberlakukan oleh kreditur (perbankan). Jadi, catat baik-baik, ya! "Sistem Bunga"!

 

Sebagai seorang debitur, hendaknya pembaca tidak hanya terpaku pada melihat lamanya tenor pinjaman atau besarnya bunga! Pembaca hendaknya memperhatikan dengan seksama dan menghitung-hitung sistem bunga yang berlaku dan diterapkan oleh bank tersebut. Apa saja sistem bunga itu? Mari kita telusuri!

 

Ada 5 model sistem bunga yang dipergunakan oleh bank dalam memperhitungkan bunga atas suatu pinjaman.

 

1. Sistem Sliding Rate

 

Melalui sistem ini, perbankan memberikan pembebanan atas pinjaman "semakin menurun" dari periode ke periode cicilan dalam rentang jangka waktu pelunasan (tenor). Biasanya pembebanan bunga dihitung berdasarkan saldo pinjaman setelah dikurangi cicilan setiap periode. Istilah lain dari sistem sliding rate ini adalah bunga efektif (BE). Karakteristik dari penerapan sistem ini yang paling mudah dikenali adalah, besaran cicilan yang dari waktu ke waktu semakin menurun.

 

2. Sistem Flat Rate

 

Ciri khas dari metode ini adalah besarnya angka pembebanan bunga ditambah pokok pinjaman yang selalu sama dari waktu ke waktu. Misalnya jika cicilan ditetapkan 300 ribu rupiah per bulan, maka sampai akhir tenor pinjaman besarannya akan selalu segitu. Berbeda dengan sliding rate. Jika bulan ini cicilannya 300 ribu, bulan depan bisa jadi akan berkurang menjadi 295 ribu, bulan depannya lagi berkurang, demikian seterusnya sampai akhir masa cicilan dan penurunan jumlah saldo pinjaman. Jadi, jika misalnya Anda pinjam uang misalnya 120 juta dengan tingkat suku bunga sebesar 10% per annual (flat rate) dengan tenor 12 bulan, maka cicilan Anda setiap bulannya mungkin akan berkisar sebagai berikut:

 

a. Pokok hutang = 120 juta : 12 bulan = 10 juta/bulan

b. Bunga per bulan = (10% × 120 juta)/12 bulan = 1 juta/bulan

c. Besaran cicilan pinjaman setiap bulan akan menjadi: 10 juta + 1 juta = 11 juta per bulan

 

Jadi, jika perbankan menerapkan sistem bunga flat rate, maka besaran cicilan yang harus disiapkan oleh debitur adalah sebesar 11 juta per bulan selama satu tahun

 

3. Sistem Floating Rate

 

Sistem ini juga sering disebut sebagai sistem bunga mengambang. Simak baik-baik pada makna dari mengambang!

 

Tahukah Anda bahwa pergerakan suku bunga bank dipengaruhi oleh pergerakan bunga di tingkat pasar uang (pasar modal)? Nah, sistem floating rate ini berjalan secara fleksibel mengikuti pergerakan rasio suku bunga di pasaran itu. Akibatnya, besaran cicilan setiap waktu tidak sama karena pasar senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya sistem ini tidak diberlakukan pada bunga pinjaman ke nasabah. Sistem ini biasanya diberlakukan untuk bunga obligasi (surat utang). Bank syariah kadang menerapkannya untuk pembiayaan KPR. Ah yang benar?

 

Anda akan tahu persisnya penerapan ini saat Anda mengajukan pembiayaan KPR di perbankan syariah dan Anda keberatan dengan margin awal lalu minta penurunan margin.

 

Misalnya margin awal ditetapkan berbunyi 11.2% p.a Eff berlaku sampai dengan tanggal 14 Juni 2020. Kemudian Anda mengajukan permohonan perubahan menjadi margin baru. Lalu diputuskan 8.5% p.a floating rate. Ini artinya bahwa yang dimaksud dengan "p.a Eff" artinya adalah bunga per tahun efektif. Maksud dari tahun efektif adalah tahun yang ditunjuk oleh transaksi itu, yaitu 14 Juni 2020. Adapun bunga yang ditawarkan oleh perbankan syariah saat itu adalah sliding rate (bunga menurun). Dengan Anda mengajukan bunga 8.5% floating rate, itu artinya selama periode sampai 14 Juli 2020, Anda akan dikenakan bunga yang berbasis pasar.

 

Apa yang barusan kita bahas ini dapat ditemukan tidak hanya pada bank konvensional. Bahkan apa yang penulis sampaikan di atas berdasarkan term klausul perbankan syariah pada pengajuan pembiayaan KPR.

 

4. Sistem Add-on

 

Menurut pakar dunia perbankan, sistem add-on sering dipergunakan untuk paket produk perbankan perkreditan konsumtif dan perdagangan, misalnya repurchase agreement (Repo), SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan Sertifikat Deposito.

 

Bagaimana pola sistem add on ini diberlakukan? Berikut ini ilustrasinya:

 

Misalnya seorang nasabah mengajukan kredit sebesar 100 juta dengan tingkat suku bunga sebesar 12% per annual dengan add-on. Dari sini, maka kalkulasi kredit tersebut menjadi sebagai berikut:

 

Besaran uang yang harus dibayar oleh nasabah adalah sebesar 100 juta ditambah dengan 100 juta kali 12% sehingga total sama dengan 100 juta ditambah 12 juta rupiah sama dengan 112 juta rupiah.

 

Karena sistem add-on adalah berbasis bunga tahunan, maka angka 112 juta dibagi menjadi 12 bulan sehingga sama dengan 9.333.333 rupiah. Dengan demikian sistem bunga add-on ini menyerupai sistem flat rate. Cirinya adalah cicilan setiap bulannya sama besarnya. Yang membedakan antara keduanya adalah jika flat rate, ada pemisahan antara bunga dengan cicilan pokok, sementara sistem bunga, langsung diglobalkan sehingga tidak ada pemisahan.

 

5. Sistem Discount Rate

 

Pada bentuk pinjaman sistem discount rate, uang yang diberikan ke nasabah peminjam biasanya dipotong terlebih dahulu dengan akumulasi bunga yang harus dibayar. Misalnya, jika seorang nasabah meminjam uang 100 juta dengan suku bunga sebesar 10% per annual (per tahun), maka besaran uang yang diterimakan ke nasabah adalah sebesar:

 

100 juta - (100 juta x 10%) = 100 juta - 10 juta = 90 juta.

 

Uang sebesar 10 juta dianggap sebagai cicilan pertama dari nasabah perbankan. Dengan demikian, besaran pinjaman yang harus dibayarkan oleh nasabah adalah tinggal pinjaman pokok saja, yakni 100 juta. Cicilan per bulan ditentukan dengan membagi 100 juta dengan 12 bulan, sehingga sebesar 8.33 juta rupiah.

 

Bagaimanakah lembaga pembiayaan rakyat syariah memodifikasi kelima model suku bunga ini ke dalam produknya, semoga ke depan bisa dihadirkan dalam forum kanal ekonomi syariah ini. Intinya bahwa, semua bentuk pinjaman perbankan, besar kecilnya margin keuntungan (dalam lembaga keuangan syariah) dan suku bunga (dalam lembaga komvensional) memiliki akar kebijakan yang sama. Wallâhu a'lam bish shawab. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur