Jumat, 28 April 2017

(Do'a of the Day) 01 Sya'ban 1438H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma innii astahfidhuka wa astaudi'uka nafsii, wa dinii, wa ahlii, wa aqaaribii, wa kulla maa an'amta 'alayya wa 'alaihim bihii min aakhiratin wa dun-yaa.

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pemeliharaan dan penjagaan kepada-Mu terhadap diriku, agamaku, anak isteriku, keluargaku dan segala sesuatu yang Kau berikan berupa nikmat kepadaku dan kepada mereka baik di akhirat maupun di dunia.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 11, Bab 3.

(Khotbah of the Day) Khutbah Jumat Menyambut Hari Buruh 1 Mei



KHOTBAH JUM'AT
Khutbah Jumat Menyambut Hari Buruh 1 Mei

Khutbah I

الحمد لله  الحمد لله الذي هدانا سبل السلام، وأفهمنا بشريعة النبي الكريم، أشهد أن لا اله إلا الله وحده لا شريك له، ذو الجلال والإكرام، وأشهد أن سيدنا ونبينا محمدا عبده و رسوله، اللهم صل و سلم وبارك على سيدنا محمد وعلى اله وأصحابه والتابعين بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد: فيايها الإخوان، أوصيكم و نفسي بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون، قال الله تعالى في القران الكريم: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم: يايها الذين امنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا، يصلح لكم  أعمالكم ويغفرلكم ذنوبكم، ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما. وقال تعالى: يايها الذين امنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون، صدق الله العظيم

Sidang Jum’ah rahimakumullah

Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh. Kita biasa mengenalnya dengan sebutan “May Day”. Buruh adalah elemen masyarakat yang memiliki peran sama pentingnya dengan majikan itu sendiri. Tidak ada majikan jika tidak ada buruh; demikian pula sebaliknya, tidak ada buruh jika tidak ada majikan. Islam memiliki perhatian yang cukup besar terhadap masalah perburuhan. Beberapa ayat di dalam Al-Qur’an berbicara tentang orang-orang lemah (mustadl’afin), yang bisa kita identifikasi salah satunya adalah para buruh. Demikian juga beberapa hadits Nabi juga membahas tentang hak-hak mereka.

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Istilah mustadh’afiin adalah istilah yang terdapat dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan sekelompok masyarakat yang lemah, dalam arti tidak memiliki kedaulatan penuh atas dirinya sendiri. Ketergantungan hidupnya pada orang lain cukup kuat. Ketergantungan itu bisa secara ekonomi, sosial dan politik. Menurut Fiqih, orang yang digolongkan sebagai kaum lemah antara lain adalah fakir miskin yang banyak dari mereka bekerja sebagai buruh. Mereka berhak untuk mendapatkan pembagian zakat sebagaimana termaktub dalam surah At-Taubah ayat 60 sebagai berikut:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya:“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Ayat tersebut menegaskan bahwa buruh sebagai kelompok fakir miskin berhak atas hak-hak sosial guna mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Apalagi kalau dilihat dari urutan redaksi dari ayat diatas dimana fakir miskin berada di urutan pertama, maka secara jelas dapat diketahui bahwa mereka adalah kelompok yang harus diprioritaskan dalam daftar penerima hak-hak sosial berupa zakat.  

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Jika Islam memberikan perhatian yang cukup besar terhadap hak-hak buruh, itu  bisa dimengerti karena sejarah Nabi Muhammad SAW tidak bisa dilepaskan dari perburuhan. Nabi Muhammad SAW lahir dalam suasana sosial politik yang dzalim. Keadaan keluarga juga sulit  karena ayah beliau meninggal ketika  beliau masih dalam kandungan. Kemudian ibunya meninggal tatkala usia beliau baru 6 tahun. Keadaan ini memaksa beliau terlibat dalam kehidupan sosial ekonomi yang keras karena harus bekerja sebagai buruh gembala kambing dalam usianya yang masih anak-anak.  

Dari pengalaman seperti itulah, maka bisa dimengerti mengapa Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada para majikan untuk segera memberikan kepada para buruh hak-hak mereka ketika kewajiban telah mereka laksanakan sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Ibnu Umar RA:

أعطُوا الأجِير أجْرَه قبل أن يَجفَّ عِرْقُه

Artinya:“Berikanlah upah kepada buruh sebelum keringatnya kering”

Hadits tersebut secara jelas melarang para majikan, termasuk disini adalah para majikan pekerjaan rumah tangga (PRT/ART), menunda-nunda dalam memberikan upah atau gaji yang telah disepakati. Penundaan dalam memberikan gaji bisa menyulitkan para buruh dan keluarganya dalam memenuhi kebutuhan mereka. Tentu saja yang dimaksud dengan buruh dalam konteks ini  sangat luas dan mencakup semua orang yang bekerja sebagai karyawan, baik itu di rumah-rumah pribadi, perusahaan-perusahaan, maupun di lembaga-lembaga atau kantor-kantor lain seperti lembaga pendidikan, tempat-tempat ibadah, dan sebagainya.

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah berfrman:

ثلاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ".

Artinya: “Ada tiga golongan orang yang kelak pada hari kiamat akan menjadi musuh-Ku. Barangsiapa menjadi musuhKu maka Aku memusuhinya. Pertama, seorang yang berjanji dengan menyebut nama-Ku, lalu dia ingkar (berkhianat). Kedua, seorang yang menjual orang merdeka (bukan budak) lalu memakan uang hasil penjualannya. Ketiga, seorang yang mempekerjakan seorang buruh tapi setelah menyelesaikan pekerjaannya orang tersebut tidak memberinya upah.” (HR. Ibnu Majah)

Hadits diatas secara jelas mengecam keras praktik-praktik perbudakan atau semacamnya di mana seseorang dipekerjakan tanpa mendapat bayaran. Dengan kata lain, pembayaran atau upah yang terlalu rendah memiliki kedekatan dengan perbudakan tersebut. Padahal dalam Islam sangat ditekankan hubungan kerja sama atau kemitraan dan tolong menolong sehingga seorang buruh tidak sebaiknya dilihat sebagai lawan dari majikan, atau sebaliknya majikan dilihat sebagai lawan dari buruh sebagaimana dalam teori perjuangan kelas yang  digagas sosiolog ateis bernama Karl Marx.  Teori ini tidak sejalan dengan sistem sosial dan ekonomi Islam.

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Ketika Nabi Muhammad SAW telah memasuki masa remaja dan kemudian menjadi pemuda dewasa, beliau tetap bekerja sebagai buruh atau karyawan. Tetapi kali ini, beliau tidak lagi bekerja di bidang pertanian atau sebagai penggembala hewan ternak. Kali ini beliau bekerja di bidang bisnis pada seorang majikan bernama Khadijah. Hubungan buruh dan majikan antara Muhammad dengan Khadijah RA luar biasa. Beliau sebagai karyawan selalu bekerja keras dan penuh kejujuran dan ketulusan untuk memajukan usaha majikannya. Dalam waktu yang relatif singkat, usaha Khadijah RA mengalami kemajuan pesat setelah dikelola Nabi Muhammmad SAW.

Melihat prestasi kerja Nabi Muhammad yang sedemikian baik,  maka Khadijah RA tidak segan-segan memberikan gaji yang layak kepada beliau. Mereka saling menguntungkan karena menjalankan prinsip kerja sama atau kemitraan dan tolong menolong. Puncak dari hubungan ini adalah terjadinya hubungan pribadi, yakni perkawinan antara beliau dengan Khadijah RA karena saling percaya dan saling menghormati antara satu dengan yang lain. Ini terjadi ketika beliau telah mencapai usia 25 tahun, sedangkan Khadijah berusia 40 tahun. Dengan perkawinan ini,  maka leburlah hubungan buruh dan majikan karena telah menjadi hubungan suami dan istri dimana masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban.

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW dan Khadijah RAsangat penting dalam Islam sehingga Al Qur’an merekam hubungan itu. Dalam Surah Ad-Dhuha, ayat 8, Allah berfirman:

 وَوَجَدَكَ عَآئِلًا فَأَغْنَىٰ

Artinya:“ Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”

Ayat ini menceritakan bahwa keadaan ekonomi Nabi Muhammad mengalami perubahan berarti dari kekurangan menjadi kecukupan. Beberapa ahli tafsir menjelaskan bahwa perubahan itu terjadi setelah Rasulullah SAW bekerja di perusahaan Khadijah RAdan kemudian Khadijah RA meminta beliau menjadi suaminya. Status Nabi Muhammad pun juga mengalami perubahan  dari buruh atau karyawan menjadi majikan. Mereka secara bersama memimpin perusahaan itu dengan memabawahi para buruh atau karyawan. Di sinilah Nabi Muhammad SAW memberikan keteladanannya bagaimana menjadi majikan yang baik sebagaimana dahulu beliau juga memberikan keteladanannya bagaimana menjadi buruh atau karyawan yang baik. Nabi Muhammad memang oleh Allah SWT telah dijadikan suri tauladan bagi  kita semua dalam banyak hal sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Ahzab, ayat 21:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik...”

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Hubungan baik antara Nabi Muhammad SAW dan Khadijah RAdalam konteks hubungan kerja telah menjadi simbol hubungan baik dan saling menguntungkan antara buruh atau karyawan dengan majikan. Barangsiapa ingin menjadi majikan yang baik, hendaklah meniru Khadijah RA. Barangsiapa ingin menjadi buruh atau karyawan yang baik, hendaklah meniru Nabi Muhammad SAW. Barang siapa ingin menjadi karyawan sekaligus majikan yang baik, hendaklah meniru Nabi Muhammad SAW.

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ.  إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ


Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
.

Muhammad Ishom, dosen  Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta

Gus Ipul: Belajar dari Spirit Perubahan RA Kartini



Belajar dari Spirit Perubahan RA Kartini
Oleh: Saifullah Yusuf

JUMAT (21/4) saya dan beberapa akademisi, wartawan, dan pimpinan OPD Provinsi Jatim bersama-sama melihat film Kartini karya Hanung Bramantyo. Film tersebut layak ditonton semua kalangan, semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Berikut catatan saya setelah melihat film tersebut:

Hari kelahiran seorang perempuan yang menginspirasi perubahan bagi bangsa Indonesia. Dia adalah Raden Ajeng Kartini, putri seorang bupati Jepara yang lahir pada 1879, jauh hari sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Seorang perempuan terpelajar yang hidup di dalam tradisi kebangsawanan zaman itu.

Kelahiran Kartini sangat penting karena dia dianggap sebagai tokoh emansipasi di tengah tradisi yang menempatkan kaum perempuan di bawah subordinasi kaum pria. Ia dianggap sebagai tokoh yang dengan gigih memperjuangkan perlunya pendidikan bagi kaum miskin. Perempuan yang dengan berani memperjuangkan kesetaraan perempuan di tengah tradisi yang sama sekali tidak mendukungnya. Tokoh yang menjadikan perempuan lebih bermakna di saat perempuan hanya dilihat sebagai konco wingking alias seseorang yang harus di belakang.

Tapi, apakah seluruh perjalanan hidup Kartini sekadar memperjuangkan emansipasi perempuan? Menurut saya tidak. Kartini adalah lebih sebagai tokoh perubahan. Perubahan dari pola berpikir tentang tradisi, tentang pandangan hidup, tentang keluarga, dan tentang kehidupan yang lebih luas. Ia adalah sosok perempuan yang mendorong perubahan dalam keluarganya, kaumnya, dan masyarakat pada umumnya.

Memanfaatkan Akses Kebangsawanan

Pada abad ke-19, saat Kartini hidup, perempuan tidak boleh memperoleh pendidikan tinggi. Bahkan untuk kaum bangsawan sekali pun. Perempuan Jawa, di mana Kartini tumbuh, perempuan hanya diharapkan menjadi raden ayu dan menikah dengan pria ningrat untuk menghasilkan keturunan ningrat pula. Dia menjadi saksi bagaimana ibunya sendiri, Ngasirah, menjadi orang terbuang di rumah sendiri dan bahkan dianggap sebagai pembantu karena tidak menjadi darah ningrat.

Kenyataan yang dihadapi sehari-hari itulah yang membuat dia berontak. Ia tak mau menyerah dengan tradisi yang membelenggunya. Kartini pun memperkuat diri dengan membaca buku. Kebetulan, sebagai anak bupati, ia berhak memperoleh pendidikan dasar dan bisa berbahasa Belanda. Kemampuannya itulah yang kemudian memperluas wawasan sekaligus mampu membangun komunikasi dengan guru-guru Belanda.

Kartini tidak hanya berjuang mendobrak tradisi untuk kepentingan diri sendiri. Ia juga memperjuangkan perlunya pendidikan bagi kaum perempuan dan orang miskin. Karena itu, ia bersama dua adiknya mendirikan sekolah yang mengajari mereka huruf Latin. Huruf yang diajarkan kaum Barat. Huruf yang hanya dimengerti kaum bangsawan.

Selain itu, ia memanfaatkan akses kebangsawananya yang bisa berkomunikasi dengan bangsa Belanda untuk meningkatkan harkat hidup warganya. Yang tidak banyak diketahui orang selama ini, Kartini melatih para perajin ukiran untuk membuat produk yang sesuai dengan pasar. Ia bikinkan gambar desain sesuai kesukaan pasar dan menjualkannya ke pasar global. Langkahnya itulah yang mengangkat ekonomi warga Jepara yang hidup dari kerajinan tersebut.

Karena itu, bagi saya, Kartini bukan hanya seorang pahlawan bagi kaum perempuan. Ia adalah tokoh perubahan yang memikirkan kemajuan bagi kaum dan bangsanya. Dan semua perjuangan yang dilakukan saat itu adalah sesuatu yang melompat jauh ke depan. Sesuatu yang ternyata tetap menjadi persoalan umat manusia hingga sekarang.

Spirit perubahan yang diperjuangkan Kartini itulah yang seharusnya kita pegang terus hingga sekarang. Hanya dengan berpegang teguh pada spirit perubahan, kita akan bisa menjadi masyarakat yang maju. Hanya keberanian untuk berubahlah yang akan mendorong kita pada kehidupan yang lebih baik dan sejahtera.

Peran Seorang Ayah

Yang juga selama ini kurang diketahui kita semua, segala perjuangan dan kemajuan Kartini sebagai perempuan bisa terwujud karena peran ayahnya, Raden Mas Ario Sosroningrat. Karena rasa sayangnya kepada Kartini, ia memberikan ruang lebih luas kepada anaknya untuk belajar. Memberikan ruang gerak untuk berbuat lebih banyak, meski dalam batas-batas tertentu ia tidak bisa mengelak dengan tradisi yang berkembang saat itu.

Hal tersebut meyakinkan kepada saya bahwa keluargalah yang menjadi inti dari segala perubahan. Keluarga harus kita jadikan simpul dari segala tujuan pembangunan. Keluarga harus menjadi basis bagi pembangunan peradaban bangsa ini. Keluarga harus menjadi tempat anak-anak kita berkembang menjadi generasi yang punya mimpi, cita-cita, dan tujuan hidup yang lebih baik di masa depan.

Jika kemarin saya mengajak para pria, para suami, dan para kepala keluarga untuk menonton film Kartini bukan tanpa tujuan, saya ingin kawan-kawan dan bapak-bapak ini bisa mengambil pelajaran bagaimana ayah Raden Ajeng Kartini memberikan ruang kepada anaknya untuk menjadi orang berpendidikan, punya semangat perubahan, dan perhatian pada persoalan di lingkungannya.

Mengapa demikian? Bagi saya, perjuangan emansipasi Kartini kini sudah menjadi kenyataan. Kesetaraan antara perempuan dan pria sudah bisa dinikmati bersama. Akses perempuan terhadap pendidikan, dunia kerja, ekonomi, dan politik sudah sama. Dalam hal prestasi juga sudah tidak kalah oleh kaum pria. Perempuan berprestasi telah tersebar di berbagai sektor kehidupan.

Namun, yang masih sering kita dengar dan saksikan adalah masih banyaknya kekerasan dalam rumah tangga. Masih tingginya angka perceraian yang diakibatkan kegagalan dalam membangun kebersamaan dalam rumah tangga. Kegagalan banyak orang dalam membangun keluarga yang bahagia. Dalam hal inilah, kaum pria menjadi sangat penting untuk belajar dari spirit perjuangan Kartini.

Kita semua harus mulai melihat kaum perempuan bukan hanya dalam kacamata emansipatoris. Tapi, juga melihat perempuan sebagai bagian penting dari upaya membentuk keluarga bahagia dan sejahtera untuk menciptakan generasi baru yang lebih baik. Keluarga yang mampu menginternalisasi nilai-nilai kamajuan bagi anak-anak kita. Keluarga yang memberikan ruang kepada anak kita agar lebih maju dari diri kita sekarang.

Belajar Perubahan

Pada akhirnya, marilah kita jadikan Hari Kartini ini sebagai upaya kita belajar tentang spirit perubahan. Perubahan tidak hanya untuk kaum perempuan. Tapi, juga untuk keluarga kita, untuk masyarakat kita, dan bangsa kita. Perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Perubahan yang berbasis pada nilai-nilai tradisi yang baik dan menempatkan keluarga sabagai unit terkecil dalam komunitas kita.

Perjuangan emansipasi Kartini rasanya sudah cukup kita nikmati saat ini. Kini saatnya kita (kaum perempuan dan kaum pria) bergandengan tangan untuk membangun keluarga yang baik dalam menciptakan generasi unggul. Pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan akses pendidikan, mengurangi angka kemiskinan, dan membantu keluarga kurang mampu dalam menggapai kehidupan yang lebih sejahtera. []

JAWA POS, 25 April 2017
Saifullah Yusuf | Wakil gubernur Jawa Timur, ketua PB NU

Buya Syafii: Malala: Oase di Bumi Muslim yang Tandus (VII-habis)



Malala: Oase di Bumi Muslim yang Tandus (VII-habis)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Kontroversi tentang Malala ini demikian seru di Pakistan: sikap pro-kontra sia-sia yang menguras energi. Penilaian yang lebih bersifat teoretik diberikan oleh penulis perempuan Pakistan Afiya Sheherbano Zia pada 13 Oktober 2014 di bawah judul “Being Malala”:

Dalam pandangan dunia konservatif, juga di mata mereka yang disebut ‘kiri baru radikal’ yang hidup di jantung Emperiumnya sendiri, seorang Muslimah seharusnya pasif, jika sebaliknya dia hanya jadi semacam agen—agen asing, the “other.” Dan hanya yang pantas mendapat simpati, dukungan, dan penghargaan adalah yang jadi korban bukan yang bertahan hidup. Sebagaimana seorang wartawan yang sangat jeli mengamati begini: “Hadiah Nobel begitu keras dan buruk di kalangan mulla Pakistan, pertama seorang pengikut Ahmadiyah sekarang seorang bocah perempuan.” Sayang sekali, harga kedua jenis warga negara itu tetap saja dipertanyakan, bahkan oleh mereka yang bukan ulama konservatif (lih. https://www.opendemocracy.net/5050/afiya-shehrbano-zia/being-malala)

Dengan kata lain, khusus untuk perempuan, dunia Muslim yang selama ratusan tahun dikuasai kaum Adam, nyaris tidak ada tempat terhormat bagi kaum perempuan, sesuatu yang amat berlawanan dengan diktum Alquran dan ajaran kenabian. Bersyukurlah kita di Indonesia. Sekiranya ada warga negara Indonesia, perempuan atau pun laki-laki yang dapat hadiah Nobel, pasti akan diarak dan disanjung ke mana-mana sebagai simbol kebanggaan seluruh rakyat.

Apa kegiatan Malala sekarang? Sejauh sumber yang dapat ditelusuri sampai 17 Maret 2017 Malala baru saja merampungkan SMA-nya dan telah direrima di Universitas Oxford untuk belajar filsafat, politik dan ekonomi, di samping memenuhi undangan dari berbagai lembaga dunia. Berkat “jasa” peluru Taliban, Malala dan keluarganya sekarang telah jadi miliarder, hasil royalti autobiografinya yang laris manis. Dan harap dicatat pula bahwa pada 10 April 2017 oleh sekjen PBB yang baru Antonio Guterres Malala telah dilantik sebagai Utusan Perdamaian PBB yang termuda sepanjang sejarah badan dunia itu.
   
Seperti telah disebut sebelumnya Malala bersama Christina Lamb telah menulis otobiografinya I am Malala. Sampai bulan Agustus 2015, buku itu telah terjual sedikitnya 1.8 juta eks di seluruh dunia dengan keuntungan sekitar US$ 3 juta. Ayah-bundanya adalah juga pemegang saham pada perusahaan yang mereka dirikan, yaitu PT Salarzai.

Patut juga dicatat, melalui Yayasan Amal “Malala Fund,” bocah pejuang kemanusiaan ini telah membantu pendidikan untuk anak-anak puteri di kamp-kamp pengungsi di Yordan dan Lebanon, mendirikan lembaga informasi teknologi dan life skills (ketrampilan) untuk anak perempuan di kawasan kumuh Nairobi (Afrika), dan juga membantu pendidikan sekolah menengah di Pakistan. Menimbang semua kegiatan mulia di ranah pendidikan ini, saya gagal memahami ukuran apa yang digunakan oleh sebagian rakyat Pakistan yang memusuhi bocah ini. Sebagai seorang pengagum Benazir Bhutto, Malala sudah punya mimpi untuk terjun ke dunia politik dengan membidik kursi perdana menteri. Hanya waktulah yang bisa menjawab sampai di mana mimpi nanti ini akan berujung.

Info terakhir yang saya baca dari tulisan Christina Lamb dari Koran The Sunday Times (London): “My Year With Malala,” ternyata ibu bocah ini buta huruf dari keluarga miskin, konservatif, dan tidak bisa berbahasa Inggris, sangat kontras dengan ayahnya, seorang intelektual yang gaul. Sang ibu tidak suka menonjol, tetapi biasa beri makan orang miskin. Kerinduan mereka terhadap Lembah Swat tidak pernah pudar.

Sedikit ke belakang. Ketika Donald Trump dalam kampanyenya mengobarkan semangat anti-Muslim, pada 16 Desember 2016, Malala memberikan reaksi telak, disampaikan melalui Britain’s Channel 4: “The more you speak about Islam and against all Muslims, the more terrorists we create.” Diteruskan: “So it’s important that whatever politicians say, whatever the media say, they should be really, really careful about it. If your intention is stop terrorism, do not try to blame the whole population of Muslims for it because it cannot stop terrorism”(Semakin banyak anda mengumbar pernyataan tentang Islam dan anti-Muslim, semakin banyak teroris yang kita ciptakan…Maka menjadi demikian penting bahwa apa pun yang dikatakan politisi, apa pun yang diberitakan media, mereka wajib bersikap ekstra hati-hati tentang hal itu. Jika niat anda untuk menghentikan terorisme, jangan coba menyalahkan seluruh penduduk Muslim untuk kepentingan itu, karena cara semacam itu tidak mungkin menghentikan terorisme).
   
Inilah Malala, oase yang mengilhami mereka yang punya nalar tajam dan intuisi kemanusiaan universal! []

REPUBLIKA, 25 April 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah