Rabu, 05 April 2017

Kwik: Negarawan dan Politikus



Negarawan dan Politikus
Oleh: Kwik Kian Gie

Pada umumnya, semua orang yang pekerjaannya penyelenggaraan negara dan yang jenjangnya di atas birokrasi disebut "politikus". Politikus adalah nama generik atau istilah umum yang mempunyai banyak karakter. Karakter itu bisa dibedakan antara yang dinamakan "negarawan",  "political animal", dan "political idiot".

Negarawan berkecimpung dalam dunia penyelenggaraan negara, yang merupakan arena dengan peserta atau pemain yang bagian terbesarnya adalah binatang politik (poltical animal). Apa yang membedakan negarawan dengan political animal ?

Negarawan, binatang politik, idiot politik

Negarawan adalah orang yang tujuannya murni ingin  menyejahterakan rakyatnya secara berkeadilan. Kita dapat mengenali sosok negarawan sejak muda. Sadar atau tak sadar, para calon negarawan sejak muda sudah sangat peduli dengan lingkungannya. Mereka sudah socially engaged; keterikatannya pada anggota masyarakat lainnya sudah sangat kasat mata.

Ada yang keterkaitannya terbatas pada satu RT, satu RW, satu kota. Akan tetapi, ada yang dengan seluruh bangsanya. Kalau kita mempelajari sikap dan perilaku para pendiri bangsa kita, dalam zaman kolonial mereka sudah merasakan bahwa bangsanya ditindas bangsa lain, bahwa kekayaan alam yang diberikan Tuhan kepada bangsanya diisap bangsa lain. Pencuatan yang pertama kalinya dari kepedulian sekelompok elite bangsa untuk seluruh bangsanya adalah Sumpah Pemuda 1928.

Bangsa pengisap ini mempertahankan kedudukannya dengan kekerasan. Walaupun demikian, para negarawan kita berani menyatakan sikap dan pendapat melawan dan ingin menumbangkan penjajahnya. Karuan saja, nasibnya keluar-masuk penjara dan pembuangan. Dari waktu ke waktu bahkan diculik dan dibunuh. Apa sikap mereka ketika dihadapkan pada kekerasan senjata yang mengancam kebebasan dan jiwanya? Terus berjuang tanpa dibayar dan tanpa ada konglomerat menyuapnya.

Namun, seorang negarawan dengan tujuan mulia ini dihadapkan pada political animal yang menggunakan arena penyelenggaraan negara untuk kepentingan diri sendiri, dengan prinsip tujuan menghalalkan segala cara, sekotor apa pun. Maka biasanya, mereka munafik, pandai mencitrakan diri sebagai orang hebat. Keterampilannya berorasi dan sok akrab dengan bagian terbesar dari rakyatnya yang masih sangat miskin sangat meyakinkan.

Buat rakyat yang pendidikannya kurang memadai, sosok political animal seperti ini sangat impresif. Rakyat yakin betul mereka memang akan menyejahterakan dirinya secara berkeadilan. Dalam demokrasi sangat liberal yang liberalnya kebablasan, mereka ini kebanyakan menang dalam pemilu yang asasnya adalah 50 persen plus satu. Terutama dalam era digital dan hampir setiap orang punya ponsel, media sosial (medsos) sudah menjadi sarana sangat ampuh buat mereka yang bisa memanfaatkannya. Penguasaan teknis dalam bentuk keterampilan menggunakan peralatannya tidak sulit.

Yang sulit adalah pendanaan yang besar guna menyewa para penulisnya. Mereka mengagungkan yang membayarnya bagaikan malaikat dan merundung lawan-lawannya dengan dahsyat. Maka harus bermodal besar dan untuk itu  political animal  dituntun oleh naluri animal-nya.

Ada political animal  yang sangat canggih, sophisticated, berpendidikan tinggi, gagah, penampilannya diatur ahli busana, perilaku dan gerak geriknya diatur konsultan semacam Joan Robert Powers. Bagi para intelektual, kuasi intelektual, orang kaya, pendeknya apa yang dinamakan "elite bangsa", political animal kelas ini sangat meyakinkan. Mereka sangat sulit dikenali sebagai animal. Masyarakat papan atas pun bisa terkecoh.

Kalau rakyatnya sangat kurang pendidikannya, tim dari konsultan politik, ahli busana dan ahli perilaku mengaturnya justru yang gambarannya sebaliknya. Politisi ini harus digambarkan persis seperti rakyat yang menjadi target perolehan suaranya. Pakaiannya dibuat seperti rakyat yang masih sederhana, mengenakan kemeja yang sengaja dibuat agak kedodoran, lengan panjang kemejanya digulung sedikit untuk menandakan yang bersangkutan pekerja keras, makan bersama secara lesehan, mengunjungi rakyat jelata, mendengarkan keluhannya, menggendong dan mengelus-elus bayi lusuh. Sebelumnya yang bersangkutan tak pernah terlihat seperti ini.

Dengan penampilan dan perilaku demikian, rakyat yang akan memberikan suaranya merasa sang calon adalah salah satu dari mereka. Dia saudara, bukan ndoro. Rakyat jelata yang tak paham arti ideologi, arah negara, visi, misi, dan jargon-jargon seperti itu biasanya miskin. Mereka sangat bergembira jika diberi sesuatu sekadarnya, asalkan konkret. Lambat laun para political animal menggunakan uang tunai, politik uang. Jika untuk periode 2009-2014 seseorang baru bisa menjadi anggota DPR dengan biaya rata-rata Rp 300 juta, dalam periode berikutnya, Pemilu 2014, biaya menjadi rata-rata Rp 3 miliar.

Uang itu untuk membeli suara. Rakyat yang sangat awam dalam asas-asas penyelenggaraan negara memberikan suaranya kepada mereka yang bersedia membayar lebih mahal. Itulah sebabnya, DPR dipenuhi orang berduit atau yang mendapat dukungan para hartawan. Para hartawan ini tentunya tidak tanpa pamrih.

Bukan hanya anggota legislatif. Dalam domain eksekutif, korupsi atau politik uang juga sangat marak. Kita saksikan betapa besar uang yang harus dikeluarkan untuk bisa terpilih menjadi bupati, wali kota, dan gubernur. Setelah terpilih, mereka harus mengembalikan uang yang dikeluarkan. Jelas tak mungkin dari gajinya yang sah. Maka digunakanlah kekuasaan untuk meraih sebanyak mungkin uang guna mengembalikan yang telah dikeluarkannya.

Banyak dari uang ini berasal dari pinjaman yang harus dikembalikan dan mungkin dengan bunga. Kalau tanpa uang pinjaman, dana diperoleh dari sponsor, yaitu orang, kelompok orang-orang kaya atau perusahaan-perusahaan besar yang mendukung dengan dana besar, dengan tujuan agar kalau sudah berkuasa, bisa didikte untuk kepentingannya.

Akhirnya, para pengusaha besar itu menjadi penyelenggara negara pada jenjang yang tinggi dan tertinggi sehingga muncul julukan golongan atau kelas "Peng-Peng", singkatan dari "Penguasa-Pengusaha" (diciptakan Rizal Ramli).

Dengan gambaran demikian, apa lantas tak ada tempat sama sekali buat negarawan? Ada, tetapi medannya sangat berat. Sang negarawan harus cukup kuat untuk bertahan, tak merasa jijik sehingga menyingkir. Sang negarawan juga harus bisa dan mampu menerapkan taktik, melakukan apa yang dinamakan "manuver politik" dan "komunikasi politik", mampu membiayai lembaga survei dan lebih banyak lagi. Buat political animal, hal-hal itu dihalalkan untuk mencapai tujuan.

Namun, bagi negarawan, adalah strategi dan taktik untuk tak terlempar dari arena oleh political animal. Maka, walaupun mereka terlihat ikut-ikutan berperilaku sebagai political animal, negarawan tak pernah kehilangan tujuannya yang mulia. Hanya tujuan yang mulia ini sering kali tak tampak bagi sebagian besar masyarakat.

Sayang sekali dalam penyelenggaraan negara pada jenjang di atas birokrasi atau dalam bidang politik berlaku hukum yang mengatakan "bad leaders drive out good leaders". Kata-kata ini berasal dari teori ekonomi moneter yang mengatakan "bad money drives out good money". kebanyakan dari good leaders memilih menyingkir saja karena merasa jijik, merasa berkubang dalam lumpur perpolitikan, yang juga disebut pure politicking. Istilah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan konotasi cerdik, lihai, yaitu "manuver politik".

Political idiot  mirip dengan political animal, tetapi tak tahan terlampau lama. Sosok ini gebrakannya mengejutkan. Popularitasnya melejit dalam waktu sangat singkat. Demikian impresifnya sehingga keseluruhan rekam jejaknya yang sangat tak lazim, justru dianggap hebat. Dalam bidang politik yang normalnya gonta-ganti partai dianggap pengkhianatan, idiot  yang lihai atau ligiat, gonta-ganti partai dianggap hebat. Parpol yang mana pun membutuhkannya. Walaupun diultimatum, diadu domba dengan teman-temannya, tetap saja setia pada sang idiot.

Kalaupun ada yang mengulas, langsung dirundung oleh teman-temannya yang mengendalikan medsos. Sosok seperti ini juga tak kuat mempertahankan ketenaran dan kekuasaan yang diperolehnya. Maka dia mulai menggebrak-gebrak lebih hebat dan lebih kasar lagi sehingga sama sekali keluar dari jalur yang normal dan kebiasaan-kebiasaan sebagai pemimpin penyelenggara negara yang merupakan panutan, yang sopan dan santun dan yang perilakunya sesuai dengan perasaan serta tata nilai yang diemban oleh rakyatnya.

Demokrasi yang kebablasan

Kondisi perpolitikan seperti yang digambarkan di atas sudah sangat-sangat parah karakter political animal-nya. Kita harus melihatnya dari awal mengapa menjadi seperti ini? Jelas sekali bahwa kondisi ini terjadi setelah UUD 1945 diamandemen empat kali menjadi UUD 2002. Sejak itu terjadi kebebasan beserta euforia yang luar biasa. Sangat banyak orang menjadi politisi dadakan, menjadi pengamat politik, merasa dan bersikap lebih mengetahui tentang apa yang akan dilakukan oleh parpol tertentu ketimbang apa yang diketahui oleh kader yang aktif.

Perubahan yang menjadi serba bebas, dan apa saja boleh, mengakibatkan masuknya orang-orang dalam arena politik, yang sama sekali tak paham tentang apa itu penyelenggaraan negara. Mereka merasa sekarang bisa menjadi orang penting tanpa bersusah payah berjuang lewat wadah yang secara universal memang dirancang sebagai infrastruktur politik buat penyelenggaraan negara yang benar. Juga demikian banyaknya parpol bermunculan, yang kemudian bersaing dengan calon independen yang didukung organisasi tanpa bentuk (OTB), yang namanya diawali dengan kata "Teman A B C..dsb".

Faktor lain yang sangat fundamental adalah cara mengambil keputusan yang didasarkan atas 50 persen plus 1. Kalau menangnya dengan 51 persen, yang 51 persen ini dalam praktiknya mengabaikan total yang 49 persen. Ini bukan jumlah rakyat pemilih yang kecil. Dalam pengambilan keputusan jumlah yang 49 persen diperlakukan sebagai nol. Demokrasi yang kebablasan menjadi tirani minoritas. Mengembalikan ke jalur sebagaimana mestinya makan waktu lama dengan biaya sangat mahal dan pengorbanan sangat besar. Kesemuanya dapat kita lihat dari anarki dan kaos setelah revolusi Perancis menjadi republik yang normal. Dalam era kontemporer kita saksikan penderitaan rakyat China sebelum menjadi teratur seperti sekarang.

Kita mengalami tahun 1950 ketika yang diberlakukan UUD 1950 dengan sistem parlementer. Presiden Soekarno hanya simbol bagaikan raja. Kekuasaan ada pada berbagai parpol yang memberikan kekuasaannya kepada perdana menteri yang setiap waktu bisa dijatuhkan oleh suara 50 persen plus 1 dari jumlah anggota DPR. Setiap enam bulan kabinet jatuh. Kondisi ini berlangsung sembilan tahun, sampai tahun 1959 Soekarno nekat, secara tak konstitusional mendekritkan kembali berlakunya UUD 1945. Kekuasaan diambilnya kembali sebagai presiden presidensial. Bagaimana bisa tanpa gejolak, tidak jelas.

Sekarang lain. "Demokrasi" ala Amerika sudah merasuk. Kita sudah punya Economic Council, punya Security Council, punya Senat, punya Chief of Staff Istana. Siapa mereka itu? Benar-benar qualified? Kesemuanya ini makan biaya besar, dan apa benar ada gunanya? Apa benar Presiden mendapatkan pikiran dan konsep yang olehnya dianggap memang bagus, bermanfaat dan bisa diterapkan? Bukankah mereka itu sarjana-sarjana yang seumur hidupnya berkutat di dalam kamar? Tak pernah mengetahui dan mengalami kehidupan nyata dalam kaitan dengan penyelenggaraan negara?

Yang bisa dilakukan (kalau masih mau), MPR berkumpul mengubah UUD 2002 menjadi UUD 1945 lagi. Dibutuhkan jiwa besar dari para anggota MPR untuk mengganti dirinya sendiri dengan orang-orang yang memang pantas mengemban kekuasaan tertinggi. Kalau ini sudah terjadi, pembenahan yang sifatnya teknokratik mudah. Konsep sudah banyak yang disusun dalam era kemerdekaan selama lebih dari 70 tahun.

Dengan UUD 1945 yang asli, kekuasaan tertinggi yang ada pada MPR terdiri dari tiga bagian. Sepertiga dari DPR anggotanya dipilih langsung oleh rakyat. Jadi tetap ada demokrasinya yang 50 persen plus 1, tetapi hanya sepertiga. Sepertiga adalah Utusan Golongan yang tak dipilih, tetapi diajukan oleh para profesional setelah mereka mencari yang terbaik di kalangan mereka. Sepertiga lain Utusan Daerah yang juga tak dipilih. Mereka dijaring dari daerah-daerah, terdiri dari mereka yang di daerahnya masing-masing jelas-jelas pemimpin sejati yang dikenali oleh rakyat setempat dan dihormati serta dianggap paling pantas mewakili mereka.

Pemilihan secara langsung oleh rakyat atas dasar 50 persen plus 1 tak mungkin diterapkan untuk bangsa yang pendidikan, pengetahuan, kematangan jiwanya danwisdom-nya belum memadai. Maka Pak Jokowi yang dipilih langsung oleh rakyat atas dasar 50 persen plus 1 sekarang merasakan dan menyatakan secara terbuka bahwa "Demokrasi kita telah kebablasan". []

KOMPAS, 3 April 2017
Kwik Kian Gie | Pengamat Ekonomi dan Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar