As-Saffah
(Sang Penumpah Darah): Khalifah Pertama Abbasiyah
Oleh:
Nadirsyah Hosen
Transisi
kekuasaan dari Dinasti
Umayyah ke Dinasti Abbasiyah terjadi lewat
pertumpahan darah. Gonjang-ganjing kekuasaan mencapai puncaknya sehingga rezim
lama digantikan oleh rezim yang baru. Apakah rezim baru akan membawa perubahan
terhadap relasi rakyat dan penguasa? Mari kita Ikuti kisah Khalifah Abbasiyah
pertama di bawah ini, dengan berdasarkan sejumlah kitab tarikh yang dijadikan
rujukan utama dalam literatur Islam.
Imam
Thabari mengisahkan Abul Abbas (721-754), yang dibai’at sebagai Khalifah
pertama Dinasti Abbasiyah, naik mimbar Jum’at dan berpidato di depan penduduk
Kufah. Berikut ini petikan pentingnya:
يا أهل الكوفة، أنتم محل محبتنا
ومنزل مودتنا
أنتم الذين لم تتغيروا عن ذلك، ولم
يثنكم عن ذلك تحامل أهل الجور عليكم، حتى أدركتم زماننا، وأتاكم الله بدولتنا،
فأنتم أسعد الناس بنا، وأكرمهم علينا، وقد زدتكم في أعطياتكم مائة درهم، فاستعدوا،
فأنا السفاح المبيح، والثائر المبير.
“Wahai penduduk Kufah, kalian adalah tempat berlabuh kecintaan
kami, dan rumah idaman kasih sayang kami. Dan tidaklah kalian melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan itu, dan kalian tidak tergoda oleh tindakan para
pembangkang sampai Allah mendatangkan kekuasaan kami. Kalian adalah orang yang
paling berbahagia dengan adanya kekuasaan kami di tengah kalian. Kalian adalah
orang yang paling mulia di mata kami. Dan kami telah menambah gaji kalian
seratus dirham. Bersiaplah kalian, karena saya adalah penumpah darah yang halal
(al-saffah al-mubih) dan pembalas dendam yang siap membinasakan siapa pun juga
(al-tsa’ir al-mubir).”
Sejak
itu, Abul Abbas dikenal dengan julukan al-Saffah. Padanya berkumpul dua hal:
kedermawanan dan sang penjagal. Kepada penduduk Kufah, tak segan-segan dia
meningkatkan pendapatan mereka untuk membeli loyalitas penduduk Kufah yang
lebih dari 80 tahun di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah. Pada saat yang sama,
siapa saja yang berani melawan kekuasaan Abbasiyah, penguasa rezim baru, akan
dibunuh dengan kejam.
Dalam
awal pidatonya, Abul Abbas As-Saffah menyitir berbagai kezaliman dan
kesewenang-wenangan Dinasti Umayyah, dan mengutip berbagai ayat Qur’an mengenai
keluarga Nabi (QS 33:33 dan QS 42:23). Ini menggambarkan pijakan teologis yang
jelas: pengambil-alihan kekuasaan terjadi untuk menegakkan keadilan dan
sekaligus mengembalikan hak keluarga Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, Abul
Abbas berusaha memberi landasan teologis terhadap pengambil-alihan kekuasaan
ini.
Abul
Abbas memang memiliki nasab yang berasal dari Abbas, paman Nabi Muhammad. Ini
berbeda dengan Syi’ah yang menjadikan keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah
sebagai jalur nasab keluarga Nabi. Boleh saja secara umum dianggap kekuasaan
Abbasiyah ini merupakan Ahlul Bait yang Sunni. Tapi problem teologis yang
dialami Syi’ah mengenai legitimasi keimamahan mereka juga dihadapi oleh
Abbasiyah: “Apa dasarnya keluarga Nabi mewarisi kekuasaan atas umat?”
Berbeda
dengan Syi’ah yang mengambil argumen yang ketat soal imamah, Abbasiyah tetap
menggunakan jalur khilafah melanjutkan tradisi Sunni, tapi dengan tambahan
justifikasi bahwa kekuasaan khilafah berada di tangan keluarga Nabi dari jalur
Abbas. Maka, beredarlah sejumlah riwayat yang meneguhkan posisi teologis
Abbaisyah ini. Dengan kata lain, sekali lagi, agama telah dijadikan sebagai
alat politisasi kekuasaan.
Imam
Thabari memulai pembahasan tentang kekhalifahan Abbasiyah dengan mengutip
riwayat ini:
وكان بدء ذلك- فيما ذكر عن رسول
الله ص- انه اعلم العباس ابن عبد المطلب انه تؤول الخلافة إلى ولده، فلم يزل ولده
يتوقعون ذلك، ويتحدثون به بينهم
“Awal
mula kekhilafahan Bani Abbas adalah bahwa Rasulullah memberitahukan kepada
Abbas, pamannya, bahwa khilafah akan ada di tangan anak cucunya. Sejak itulah
Bani Abbas membayangkan datangnya khilafah tersebut, dan mereka menyampaikan
riwayat ini di kalangan mereka.”
Tapi Imam
Thabari, yang dikenal sebagai ahli sejarah, ahli tafsir dan ahli fiqh, tidak
menyebutkan sanad dan matan Hadits yang dimaksud. Imam Suyuthi menyebutkan
sejumlah riwayat yang berkenaan dengan ini tapi, seperti bisa kita duga,
menurut Imam Suyuthi sendiri riwayat-riwayat tersebut cukup lemah.
Misalnya,
riwayat dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda kepada pamannya, Abbas: “Dari
kalangan kamu ada kenabian dan kerajaan.” Namun dalam perawinya ada nama
al-Amiri yang dianggap lemah oleh Imam Suyuthi.
Atau
beredar riwayat lain, Nabi bersabda kepada Abbas: “Sesungguhnya Allah membuka
agama ini denganku dan menutupnya dengan keturunanmu.” Lagi-lagi Imam Suyuthi
memandang riwayat ini lemah.
Serangan
juga ditujukan terhadap legitimasi keluarga Nabi dari jalur Abbas. Ini
dikarenakan jalur ini bukan keturunan Nabi Muhammad, tapi lebih pada keturunan
paman Nabi. Maka, kita dapati berbagai riwayat di Sunan al-Tirmidzi, misalnya,
“Abbas adalah bagian dariku dan aku (Nabi Muhmamad) adalah bagian darinya”;
“Siapa pun yang menyakiti pamanku (Abbas) berarti dia telah menyakitiku”; dan
“Paman seseorang adalah saudara kandung ayahnya atau termasuk dari bagian
ayahnya”.
Imam
Tirmidzi meriwayatkan berbagai keutamaan Abbas, dan dalam satu riwayat Nabi
mendoakan agar Allah mengampuni keturunan Abbas. Riwayat ini seolah hendak
melegitimasi bahwa apa pun kekejaman dan pertumpahan darah yang dilakukan
Dinasti Abbasiyah akan diampuni Allah.
Hadits
hasan gharib ini hanya satu-satunya yang diriwayatkan oleh Sunan al-Tirmidzi
dan tidak dijumpai riwayat senada dalam kitab hadits utama lainnya. Toh, meski
begitu, ada ulama yang menambahi riwayat doa Nabi di atas dengan kalimat tendensius:
“… dan jadikanlah kekhilafahan tetap di pundak keturunan Abbas.” Luar biasa,
bukan?
Imam
Ahmad dalam kitab Musnad-nya (Hadits Nomor 11333) juga meriwayatkan seolah
kehadiran kekuasaan as-Saffah sudah dinubuwatkan oleh Nabi: “Di penghujung
zaman dan tersebarnya fitnah akan keluar seorang lelaki yang disebut dengan
as-Saffah. Dia akan memberikan harta dengan dermawannya.” Riwayat yang
tercantum dalam Musnad Ahmad ini tidak terdapat dalam kitab hadits utama
lainnya (kutubut tis’ah).
Ibn
Katsir dalam al-Bidayah juga mencantumkan sejumlah riwayat lemah mengenai
kekuasaan Dinasti Abbasiyah ini, utamanya berdasarkan riwayat dari Baihaqi.
Sekali lagi kita melihat upaya luar biasa untuk melegitimasi kekuasan politik
lewat penampakan berbagai riwayat hadits. Dan luar biasanya riwayat-riwayat
berbau politik ini terus beredar dan ada saja, bahkan banyak, yang mudah
percaya dengan hal-hal semacam ini.
Di atas
telah saya kisahkan bagaimana Abul Abbas mendapatkan legitimasi sebagai
keluarga Nabi. Lalu, bagaimana dengan kelompok Syi’ah? Semula Syi’ah mendukung
Abbasiyah menyingkirkan Dinasti Umayyah. Tragedi kekalahan politik Syi’ah di
masa Umayyah seolah menemukan harapan untuk kembali bangkit dengan datangnya
pemerintahan Abbasiyah, sebagai sesama keluarga Nabi. Namun, ternyata Abul
Abbas berpaling dari mereka. Nasib Syi’ah tidak berubah. Tetap marjinal.
Salah
satu bentuk kekejaman Abul Abbas adalah dengan mengundang jamuan makan kepada
keluarga Bani Umayyah yang tersisa. Abul Abbas membunuh Sulaiman bin Hisyam bin
Abdul Malik dengan tangannya sendiri, dengan cara menariknya keluar dari meja
makan. Ini juga dilakukan terhadap 90 orang Bani Umayyah lainnya: dijamu makan,
lantas dibantai habis. Bahkan tubuh mereka yang masih menggelepar ditutup dengan
permadani, dan as-Saffah dan keluarganya melanjutkan makan malam di atas
permadani. Begitu Ibn al-Atsir dalam al-Kamil fit Tarikh menceritakan kekejian
ini.
Gubernur
Madinah yang diangkat Khalifah Abul Abbas, yaitu Dawud bin Ali, juga membantai
semua keluarga Umayyah yang masih tersisa di Mekkah dan Madinah. Politik balas
dendam dan pertumpahan darah menjadi ciri dari pemerintahan Abul Abbas.
Abul
Abbas as-Saffah hanya berkuasa 4 tahun. Pada 10 Juni tahun 954 Masehi, dia
wafat saat masih berusia cukup muda, yaitu 33 tahun. Sebelum wafat, Abul Abbas
telah menunjuk saudaranya, Abu Ja’far, dan keponakannya, Isa bin Musa, sebagai
satu paket penerus kekhilafahan Abbasiyah.
Ini
artinya kekuasaan boleh berganti rezim, namun metode pemilihan khalifah tetap
tidak berubah: suara umat tetap tidak berarti. Kekhilafahan hanya berputar di
keluarga elite tertentu saja, lewat wasiat penunjukan khalifah sebelumnya.
Insya
Allah, kita akan lanjutkan mengaji sejarah politik Islam pada Jum’at berikutnya
dengan membahas kisah Khalifah kedua Abbasiyah: Abu Ja’far al-Manshur. []
GEOTIMES,
6 Oktober 2017
Nadirsyah
Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan dosen senior di Faculty
of Law, Monash University