Selasa, 14 Juli 2015

(Do'a of the Day) 27 Ramadlan 1436H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Alhamdulillaahi wash shalaatu was salaamu 'alaa rasuulillaahi shallalaahu 'alaihi wa sallama, uushii bi taqwallaahi.

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah SAW, aku berwasiat kepadamu agar bertakwa kepada Allah.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 14, Bab 3.

Mahfud MD: Politik Dinasti Kotor, tapi MK Benar



Politik Dinasti Kotor, tapi MK Benar
Oleh: Moh Mahfud MD

Benar, politik dinasti itu kotor dan ikut menyuburkan korupsi di Indonesia. Tapi menurut saya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 8 Juli 2015 yang membatalkan larangan politik dinasti (Pasal 72 huruf r) di dalam UU No 8 Tahun 2015 adalah benar juga.

Politik dinasti memang harus diperangi, tetapi pelarangan politik dinasti dengan begitu saja di dalam UU bisa melanggar hak konstitusional warganegara. Maka itu perlu instrumen hukum lain untuk mengaturnya. Sebagai mantan ketua MK, saya tahu persis banyak petahana (incumbent) yang menyalahgunakan kedudukannya dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilukada).

Penyalahgunaan kekuasaan itu bisa dilakukan untuk dirinya sendiri yang akan mencalonkan diri lagi, bisa juga dilakukan untuk memenangkan anggota keluarganya yang ikut kontes dalam pemilukada, entah anaknya, istrinya, saudaranya, atau bahkan orang lain yang satu geng politik dengannya. Bentuk penyalahgunaan jabatan itu bisa bermacam-macam.

Ada yang menggunakan jaringan struktural pemerintahan daerah secara sistematis guna memenangkan kepentingan politik sang petahana, ada pula yang menggunakan dana APBD yang dibelokkan untuk pemenangan. Dana bakti sosial (baksos) dan bantuan sosial (bansos) yangmemang resmi ada di APBD bisa dikucurkan secara rapel persis menjelang pelaksanaan pemilukada dengan pesan harus memenangkan petahana atau calon tertentu.

Kaki tangan petahana sering mengatakan, baksos atau bansos itu diberikan sebagai kemurahan hati petahana kepada rakyat atau kepada aparat desa dan karenanya petahana atau orang yang didukungnya harus dipilih dalam pemilukada. Kunjungan kerja pejabat petahana juga sering meningkat volumenya menjelang pemilukada dan kunjungan-kunjungan yang dibiayai uang negara (pemda) itu diselenggarakan dalam suasana kampanye.

Terkadang disertai dengan peresmian proyek yang didahului yel-yel kampanye dan dekorasi panggung untuk dukungan kepada petahana. Terkadang ada bantuan pembangunan rumah ibadah bahkan tak jarang ada yang terangterangan menyebar amplopamplop yang berisi uang dengan pesan agar mendukung petahana atau keluarganya.

Banyak juga petahana yang menggusur pejabat daerah dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari kedudukan atau tempat tugasnya. Ada PNS yang dipindah sampai sejauh 200 km, melintasi laut, dari tempat tugas semula sehingga harus berpisah dari suami dan anak-anaknya karena dinilai tidak mendukung petahana. Ada juga yang melakukan demosi besar-besaran, menurunkan pejabat struktural daerah dari jabatannya sampai lebih dari 120 orang karena mereka dinilai tidak mau mendukung keluarga seorang petahana.

Jadi, politik dinasti itu memang kotor, menyuburkan korupsi, merusak birokrasi, danmerusak moral masyarakat. MK tahu betul tentang itu karena kerusakan-kerusakan yang seperti itulah yang selalu muncul di dalam setiap sengketa pemilukada di MK. Harus diingat, data yang dimiliki MK tentang ini sangatlah banyak karena lebih dari 80% pemilukada diperkarakan ke MK.

Tapi MK tak bisa serta-merta membatalkan hasil pemilukada yang curang karena tidak ada bukti nyata atau melihat bahwa yang diberi uang atau diberi proyek itu benar-benar memilih petahana berhubung pemilihan bersifat rahasia. MK hanya menyatakan ada bukti penyalahgunaan kekuasaan tapi tidak membatalkan kemenangannya karena tidak ada bukti bahwa orang-orang yang disuap itu benar-benar memilih petahana.

Maka itu MK kemudian hanya meneruskan itu ke aparat penegak hukum, misalnya, ke Polri atau ke KPK untuk diteruskan ke proses hukum pidana. Itulah sebabnya ada petahana yang menang pemilukada dan dikukuhkan kemenangannya oleh MK, tetapi tak lama sesudah dilantik langsung digelandang ke penjara, bahkan ada yang dilantik di penjara untuk kemudian langsung diberhentikan.

Jadi, meskipun MK tahu persis betapa merusaknya politik dinasti ini tetapi dalam konteks pelarangan pencalonan keluarga petahana di dalam UU, MK tak bisa membiarkannya. MK memang harus mencabut ketentuan itu dari UU karena ia melanggar hak konstitusional warga negara. Di dalam UUD disebutkan bahwa hak politik untuk menjadi calon (to be candidate) adalah hak ”setiap orang”, tak terkait dengan keluarga atau dinasti.

Saya tahu bahwa kawan-kawan di MK tidak suka, bahkan ikut geram dan mengelus dada atas kekotoran politik dinasti, tetapi MK memang tidak bisa melanggengkan ataupun membatalkan isi UU, hanya atas dasar suka atau tidak suka pada isi UU. Akan berbahayalah bagi perlindungan konstitusional ”setiap orang” warga negara jika MK membiarkan pelarangan pencalonan hanya karena ”seseorang” itu adalah keluarga petahana.

Harus diingat, ada juga keluarga petahana yang mencalonkan diri karena kapasitasnya yang memang bagus atau justru karena ingin menggantikan petahana yang, meskipun keluarganya sendiri, dinilai tidak bagus. Kemungkinan ini harus dilihat sebagai fakta. Oleh sebab itu, pascaputusan MK ini, perlu dibuat instrumen hukum lain untuk mengatasi kotornya politik dinasti ini.

Misalnya, dibuat sebuah Peraturan Pemerintah (PP) yang memuat ketentuan, petahana atau keluarganya yang menyalahgunakan jabatan dalam pemilukada dinyatakan batal pencalonan maupun kemenangannya.

Ketentuan PP yang demikian bisa dijadikan pedoman oleh pengadilan dalam mengadili perkara pemilukada. Jangan lupa juga, dalam pengalaman perkara-perkara di MK, banyak fakta bahwa KPU (provinsi/ kabupaten/kota) ikut melakukan kecurangan. []

Koran SINDO, 11 Juli 2015
Moh Mahfud MD | Guru Besar Hukum Konstitusi

(Ngaji of the Day) Sisi Lain dari Perang Badr



Sisi Lain dari Perang Badr
Oleh: Taufiq Zubaidi

Di pertengahan bulan Ramadhan yang mulia ini, insya Allah kita sebagai umat Islam akan dipertemukan satu hari dimana pada hari tersebut mengingatkan kita pada 14 abad yang lalu; yaitu pertempuran Badr (Ghozwah Badr). Tepatnya pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke dua Hijriyyah.

Dinamakan perang Badr tidak hanya karena bertempat di Badar, melainkan karena posisi peperangan Badr diantara peperangan lainnya seperti posisi bulan badr atau purnama di antara bintang-bintang. Perang Badr disebut sebagai hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan (alAnfal: 41). Perang Badr merupakan pertolongan agung dari Gusti Allah Ta'ala untuk meninggikan kalimat haq dan menghancurkan dominasi kekufuran.

Kalau kita mengamati kembali sejarah, terdapat beberapa sisi yang tak tampak dalam pertempuran Badr, yaitu sebagaimana tersirat dari Firman Allah Ta'ala:

}أَلَّا يَسْجُدُوا لِلهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ} [النمل: 25[

"Agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi"

"Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi". Ayat tersebut memberi isyarat kepada kita semua bahwa di langit terdapat kunuz (harta benda) dan khobaya (sesuatu yang tersimpan dalam langit) sebagaimana di dalam bumi. Harta benda langit keluar dalam bentuk bermacam-macam. Di antaranya adalah sebagaimana yang tersurat dalam firmanNya:

}يُرْسَلُ عَلَيْكُمَا شُوَاظٌ مِنْ نَارٍ وَنُحَاسٌ فَلَا تَنْتَصِرَانِ} [الرحمن: 35[

"Kepada kalian, (jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga maka kalian tidak dapat menyelamatkan diri".

Cairan tembaga tersebut turun dari langit sehingga ia termasuk bagian dari khob'a samawat (sesuatu yang terpendam di langit). Bentuk lain dari khobaya assamawat (benda-benda simpanan langit adalah; di saat para malaikat turun dalam rangka menolong Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pada peperangan Badr. Mereka saat itu turun dengan menunggangi kuda.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa di langit tidak terdapat kuda, bighol atau jenis-jenis hewan lainnya. Para ulama bersepakat bahwa di langit hanya ada satu jenis hewan yaitu buroq. Hewan buroq adalah makhluk langit yang tidak memiliki kaitan dengan bumi beserta isinya. Adapun selain buroq, tidak ada satupun makhluk berupa hewan di langit. Akan tetapi, yang menakjubkan adalah; dalam peperangan Badr para malaikat turun dengan menaiki kuda, memakai pakaian hijau, membawa pedang dan perisai (lengkap menggunakan fasilitas peperangan manusia).

Pertanyaannya adalah; dari manakah perlengkapan perang tersebut? Tidak lain perlengkapan-perlengkapan tersebut datang dari khobaya (gudang penyimpan sesuatu di langit), dimana itu semua termasuk bagian dari ayat:


}وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (8)} [النحل: 8[

"Dan Allah menciptakan apa yang tidak kalian ketahui."

Tidak lain pula semua peralatan tersebut datang dari khozain (tempat penyimpanan) di bawah ilmu-Nya yang tersembunyi. Dimana ketika Gusti Allah Ta'ala menghendaki sesuatu tersebut hanyalah berkata kepadanya: "Wujudlah!" maka wujudlah sesuatu tersebut.

Hal tersebut juga memberi isyarat kepada kita; bahwa para malaikat alaihimussalam sebenarnya tidak membutuhkan kuda, pedang atau panah, walaupun pada kenyataannya mereka membawa itu semua. Tidak lain, isyarat tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang bertawakkal kepada Gusti Allah Ta'ala, maka Allah Ta'ala dengan Kuasa-Nya memberikan kepada orang tersebut sesuatu yang dibutuhkan.

Barangkali muncul pertanyaan berikutnya: Apakah semua peralatan perang malaikat yang disebutkan di atas tercipta dari asal muasal yang sama dengan jisim malaikat? Apakah semua peralatan tersebut asal muasalnya adalah mailakat sendiri yang merubah wujud? Dimana mungkin saja malaikat berubah menjadi dua makhluk yang berbeda dalam waktu yang sama? Jawabannya adalah tidak demikian.

Pertama karena isyarat awal mengatakan bahwa semua peralatan perang yang dipakai oleh malaikat adalah dari khozain Gusti Allah Ta'ala. Kedua di antara para shohabat telah mendengar suara malaikat yang berbunyi: Aqdim Haizuum, Aqdim haizuum. Haizum adalah lafadh arobi sesuai dengan wazan Fai'uul yaitu dari kalimat Hazm yang bermakna ikatan kuat. Hal ini pula menunjukkan isyarat bahwa para malaikat alaihimussalam yang mengikuti perang Badar telah dipilihkan oleh Allah Ta'ala kepada mereka nama-nama yang sama dengan bahasanya Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam.

Dalam peristiwa Badr, para shohabat Rodliyallahu anhum bertanya kepada Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam: "Bagaimana kita membedakan antara hasil bunuhan kita dengan bunuhan malaikat, wahai Rosulullah?" "Apabila diantara kalian menjumpai tubuh mereka terdapat luka bakar, maka yang membunuh orang tersebut adalah malaikat, dan apabila kalian tidak menjumpai luka bakar mereka, maka yang pembunuhnya adalah diantara kalian sendiri" Jawab Rosulullah.

Jawaban Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam tersebut memberikan isyarat bahwa pedang dan panahnya para malaikat alaihimussalam terbuat dari api. Sebab apabila senjata tersebut adalah bagian dari malaikat, tentunya tidak berbentuk api, melainkan cahaya. Karena api bukanlah bagian dari tabiat malaikat. Daripada itu, senjata tersebut adalah termasuk dari khozanat samawat.

Di antara sisi tersirat yang paling agung dalam perang Badr adalah; kita semua pastinya pernah mendengar bahwa ada salah satu shohabat ketika Fathu Makkah telah menulis surat yang berisi memberi kabar kepada penduduk Makkah terkait rencana kedatangan pasukan Rosulullah shollallahu alaihi wasallam. Secara dzohir tindakan -memberi tahu musuh- tersebut adalah bentuk dari khianat, baik kepada Gusti Allah Ta'ala dan Rosulullah shollallahu alaihi wasallam.

Dan ketika shohabat tersebut tertangkap telah membocorkan rahasia kepada musuh, sebagian shohabat usul agar kepalanya dipenggal. Namun apa tanggapan Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam dalam menghadapi shohabat tersebut? Beliau shollallahu alaihi wasallam mengingatkan para shohabat; "bahwa dia adalah pasukan badr (Badriy), bukankah kalian semua telah mengetahui bahwa Gusti Allah Ta'ala telah dawuh kepada ahlu Badr: "Lakukanlah semua keinginan kalian, Aku telah mengampuni kalian."

Dari dawuh tersebut menunjukkan bahwa Gusti Allah Ta'ala telah memberi keistimewaan berupa maghfiroh kamilah (ampunan yang sempurna) kepada Ahlu Badr dan tidak melihat apa yang mereka perbuat setelah itu. Walaupun telah mendapatkan keistimewaan tersebut, para shohabat Badr tetap berpegang teguh dengan syari'atnya Rosulullah shollallahu alaihi wasallam. Mereka Rodliyallahu anhum tetap dalam keistiqomahan beribadah, sebab ibadah mereka kepada Gusti Allah Ta'ala bukan dalam rangka ingin meraih maghfiroh belaka, melainkan ibadah mereka kepadaNya karena memang Gusti Allah-lah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah. Bukan karena mereka takut pada api neraka dan berharap surga. Wallahu a'la wa a'lam. []

Taufiq Zubaidi, A'wan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) Sudan

Shambazy: Seputar Dekrit 5 Juli 1959



Seputar Dekrit 5 Juli 1959
Oleh: Budiarto Shambazy

Tanggal 5 Juli 2015 pas 56 tahun pember- lakuan Dekrit Presiden yang diumumkan Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 di tangga Istana Merdeka. Intisari dekrit: kita kembali ke UUD 1945 dari UUD Sementara 1950, pembubaran Konstituante, dan pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.

Dekrit itu membuka peluang bagi Bung Karno untuk menerapkan Demokrasi Terpimpin. Inilah eksperimentasi demokrasi ala Indonesia—kelak Presiden Soeharto melakukan hal sama melalui Demokrasi Pancasila—yang ironisnya justru berwatak anti demokrasi.

Bung Karno mengumumkan dekrit berdasarkan pertimbangan negara ini sepanjang dekade 1950 berada dalam krisis politik, sosial, dan ekonomi. Meski sudah merdeka, publik agaknya merasa hidup tidak lagi senyaman ”zaman normal” saat masih dijajah Belanda dan Jepang.

Untuk menangkap sedikit saja kondisi ”krisis” pada dekade 1950-an itu, silakan saksikan film Krisis (1953) dan lanjutannya, Lagi-lagi Krisis (1955) karya Usmar Ismail. Di kedua film itu terdapat ilustrasi mengenai kondisi murung ekonomi, frustrasi sosial, dan kemunafikan politik.

Suka atau tidak, Indonesia dekade 1950, atau lima tahun setelah proklamasi, memang bergolak. Ada sejumlah provinsi yang sukarela bergabung dengan republik, sebaliknya ada pula beberapa malah membangkang terhadap pemerintahan pusat.

Kita baru saja kembali ke NKRI setelah Bung Karno membubarkan federalisme Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri atas tujuh negara bagian per 17 Agustus 1950. Belanda masih menyusahkan pada berbagai perundingan bilateral ataupun yang dipayungi Perserikatan Bangsa-Bangsa, terutama perundingan pembebasan Irian Barat.

Benih-benih pemberontakan dimulai oleh tokoh/pihak seperti Kartosuwirjo (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), Kolonel Kahar Muzakkar, atau Republik Maluku Selatan (RMS). Pimpinan teras TNI, terutama TNI AD, juga mulai mengeluhkan program demobilisasi ”reorganisasi dan rasionalisasi” (RERA) yang merugikan kehidupan ketentaraan.

Tak heran terjadi upaya kudeta terhadap Bung Karno pada 17 Oktober 1952. Keluh kesah sejumlah tokoh/faksi TNI AD tersebut mencapai puncak pada upaya kudeta gagal ketika Bung Karno melawat ke Uni Soviet dan Tiongkok, Mei 1956.

Ketika kembali dari lawatan itu, Bung Karno menyampaikan pidato terkenal ”saya akan mengubur partai hidup-hidup” sebagai gelagat awal praktik Demokrasi Terpimpin. Dalam kondisi politik makin kalut itu, sejumlah faksi di Divisi Siliwangi kembali coba melancarkan kudeta yang akhirnya gagal pula.

Republik tak hanya menghadapi pembangkangan militer terhadap supremasi sipil, tetapi juga terpecah secara internal. Itulah lebih kurang yang terjadi pada pemberontakan PRRI-Permesta yang dimulai akhir 1956 di Padang oleh Kolonel Ahmad Hussein dan di Medan oleh Kolonel Maludin Simbolon.

Dan, puncak dari krisis dekade 1950 adalah pengunduran diri Wapres Mohammad Hatta pada 1 Desember 1956. Hatta kecewa terhadap Demokrasi Terpimpin dan menyindir ”Dwi Tunggal” telah berubah menjadi ”Dwi Tanggal” (dua gigi tanggal/copot sehingga ompong).

Pada pertengahan dekade 1950 itu Bung Karno benar-benar mengalami situasi krisis yang sulit. Namun, dia agaknya memiliki jalan keluar yang lumayan jitu berkat ”jam terbang” sebagai pejuang, politisi, sekaligus negarawan.

Untungnya pada 1957 pemerintah membungkam pemberontakan PRRI-Permesta yang nyaris membangkrutkan keuangan negara. Untung juga Bung Karno memperkenalkan gagasan ”kabinet karya”, yakni kabinet tanpa politisi, yang berorientasi kerja.

Untungnya pula mantan Wapres Hatta membantu Bung Karno mengadakan rekonsiliasi melalui ”musyawarah nasional” yang diikuti semua wakil kekuatan politik, termasuk yang pernah memberontak. Mungkin Bung Karno mendapat simpati rakyat karena kiprah dia sebagai salah seorang pemimpin internasional.

Jangan lupa pula ia adalah salah satu proklamator. Dengan rasa percaya diri yang mungkin agak berlebihan, Bung Karno memulai petualangan Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit 5 Juli 1959.

Konstituante dibubarkan, digantikan oleh MPRS yang jumlahnya 281 anggota Konstituante plus 94 anggota yang mewakili provinsi-provinsi dan 200 golongan fungsional. Bayangkan, sebagian besar dari total 575 anggota MPRS dipilih sendiri oleh Bung Karno.

Beberapa hari kemudian, ia mengumumkan Kabinet Kerja. Selain itu, Bung Karno memulai pengorganisasian pemerintahan lebih banyak melalui penunjukan/pengangkatan pejabat. Yang berlaku adalah sistem ”seleksi” (bukan ”eleksi”) dan PNS dilarang menjadi anggota partai politik.

Agar kelihatan bekerja efektif, Bung Karno menunjuk dirinya sebagai perdana menteri (merangkap pula sebagai presiden). PM sebelumnya, Djoeanda Kartawidjaja, dia tunjuk sebagai menteri pertama.

Pada pidato 17 Agustus 1959, Bung Karno menyebut sistem pemerintahan berdasarkan Dekrit 5 Juli ini sebagai ”Manifesto Politik” (Manipol). Meski apa maksudnya masih belum jelas, Bung Karno mengancam akan membredel koran/majalah yang tidak mendukung Manipol.

Memasuki dekade 1960, Demokrasi Terpimpin bisa dibaca sebagai dominasi Bung Karno sebagai aktor utama yang memainkan politik perimbangan kekuatan TNI AD versus PKI. Namun, ketegangan politik yang berpuncak pada Gerakan 30 September 1965 menghentikan eksperimentasi Demokrasi Terpimpin.

Demokrasi Terpimpin, yang sebagian dari versinya sempat dijiplak PM Malaysia Mahathir Mohamad dan PM Singapura Lee Kuan Yew, menjadi eksperimentasi demokrasi yang khas Indonesia. Sejarah dan perjalanan demokrasi kita sesungguhnya kaya! []

KOMPAS, 11 Juli 2015
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior Kompas