Seputar
Dekrit 5 Juli 1959
Oleh:
Budiarto Shambazy
Tanggal 5
Juli 2015 pas 56 tahun pember- lakuan Dekrit Presiden yang diumumkan Presiden
Soekarno pada 5 Juli 1959 di tangga Istana Merdeka. Intisari dekrit: kita
kembali ke UUD 1945 dari UUD Sementara 1950, pembubaran Konstituante, dan
pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
Dekrit
itu membuka peluang bagi Bung Karno untuk menerapkan Demokrasi Terpimpin.
Inilah eksperimentasi demokrasi ala Indonesia—kelak Presiden Soeharto melakukan
hal sama melalui Demokrasi Pancasila—yang ironisnya justru berwatak anti
demokrasi.
Bung
Karno mengumumkan dekrit berdasarkan pertimbangan negara ini sepanjang dekade
1950 berada dalam krisis politik, sosial, dan ekonomi. Meski sudah merdeka,
publik agaknya merasa hidup tidak lagi senyaman ”zaman normal” saat masih
dijajah Belanda dan Jepang.
Untuk
menangkap sedikit saja kondisi ”krisis” pada dekade 1950-an itu, silakan
saksikan film Krisis (1953) dan lanjutannya, Lagi-lagi Krisis (1955) karya
Usmar Ismail. Di kedua film itu terdapat ilustrasi mengenai kondisi murung
ekonomi, frustrasi sosial, dan kemunafikan politik.
Suka atau
tidak, Indonesia dekade 1950, atau lima tahun setelah proklamasi, memang
bergolak. Ada sejumlah provinsi yang sukarela bergabung dengan republik,
sebaliknya ada pula beberapa malah membangkang terhadap pemerintahan pusat.
Kita baru
saja kembali ke NKRI setelah Bung Karno membubarkan federalisme Republik
Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri atas tujuh negara bagian per 17 Agustus
1950. Belanda masih menyusahkan pada berbagai perundingan bilateral ataupun
yang dipayungi Perserikatan Bangsa-Bangsa, terutama perundingan pembebasan
Irian Barat.
Benih-benih
pemberontakan dimulai oleh tokoh/pihak seperti Kartosuwirjo (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia), Kolonel Kahar Muzakkar, atau Republik Maluku
Selatan (RMS). Pimpinan teras TNI, terutama TNI AD, juga mulai mengeluhkan
program demobilisasi ”reorganisasi dan rasionalisasi” (RERA) yang merugikan
kehidupan ketentaraan.
Tak heran
terjadi upaya kudeta terhadap Bung Karno pada 17 Oktober 1952. Keluh kesah
sejumlah tokoh/faksi TNI AD tersebut mencapai puncak pada upaya kudeta gagal
ketika Bung Karno melawat ke Uni Soviet dan Tiongkok, Mei 1956.
Ketika
kembali dari lawatan itu, Bung Karno menyampaikan pidato terkenal ”saya akan
mengubur partai hidup-hidup” sebagai gelagat awal praktik Demokrasi Terpimpin.
Dalam kondisi politik makin kalut itu, sejumlah faksi di Divisi Siliwangi
kembali coba melancarkan kudeta yang akhirnya gagal pula.
Republik
tak hanya menghadapi pembangkangan militer terhadap supremasi sipil, tetapi
juga terpecah secara internal. Itulah lebih kurang yang terjadi pada
pemberontakan PRRI-Permesta yang dimulai akhir 1956 di Padang oleh Kolonel
Ahmad Hussein dan di Medan oleh Kolonel Maludin Simbolon.
Dan,
puncak dari krisis dekade 1950 adalah pengunduran diri Wapres Mohammad Hatta
pada 1 Desember 1956. Hatta kecewa terhadap Demokrasi Terpimpin dan menyindir
”Dwi Tunggal” telah berubah menjadi ”Dwi Tanggal” (dua gigi tanggal/copot
sehingga ompong).
Pada
pertengahan dekade 1950 itu Bung Karno benar-benar mengalami situasi krisis
yang sulit. Namun, dia agaknya memiliki jalan keluar yang lumayan jitu berkat
”jam terbang” sebagai pejuang, politisi, sekaligus negarawan.
Untungnya
pada 1957 pemerintah membungkam pemberontakan PRRI-Permesta yang nyaris
membangkrutkan keuangan negara. Untung juga Bung Karno memperkenalkan gagasan
”kabinet karya”, yakni kabinet tanpa politisi, yang berorientasi kerja.
Untungnya
pula mantan Wapres Hatta membantu Bung Karno mengadakan rekonsiliasi melalui
”musyawarah nasional” yang diikuti semua wakil kekuatan politik, termasuk yang
pernah memberontak. Mungkin Bung Karno mendapat simpati rakyat karena kiprah
dia sebagai salah seorang pemimpin internasional.
Jangan
lupa pula ia adalah salah satu proklamator. Dengan rasa percaya diri yang
mungkin agak berlebihan, Bung Karno memulai petualangan Demokrasi Terpimpin
melalui Dekrit 5 Juli 1959.
Konstituante
dibubarkan, digantikan oleh MPRS yang jumlahnya 281 anggota Konstituante plus
94 anggota yang mewakili provinsi-provinsi dan 200 golongan fungsional.
Bayangkan, sebagian besar dari total 575 anggota MPRS dipilih sendiri oleh Bung
Karno.
Beberapa
hari kemudian, ia mengumumkan Kabinet Kerja. Selain itu, Bung Karno memulai
pengorganisasian pemerintahan lebih banyak melalui penunjukan/pengangkatan
pejabat. Yang berlaku adalah sistem ”seleksi” (bukan ”eleksi”) dan PNS dilarang
menjadi anggota partai politik.
Agar
kelihatan bekerja efektif, Bung Karno menunjuk dirinya sebagai perdana menteri
(merangkap pula sebagai presiden). PM sebelumnya, Djoeanda Kartawidjaja, dia
tunjuk sebagai menteri pertama.
Pada
pidato 17 Agustus 1959, Bung Karno menyebut sistem pemerintahan berdasarkan
Dekrit 5 Juli ini sebagai ”Manifesto Politik” (Manipol). Meski apa maksudnya
masih belum jelas, Bung Karno mengancam akan membredel koran/majalah yang tidak
mendukung Manipol.
Memasuki
dekade 1960, Demokrasi Terpimpin bisa dibaca sebagai dominasi Bung Karno
sebagai aktor utama yang memainkan politik perimbangan kekuatan TNI AD versus
PKI. Namun, ketegangan politik yang berpuncak pada Gerakan 30 September 1965
menghentikan eksperimentasi Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi
Terpimpin, yang sebagian dari versinya sempat dijiplak PM Malaysia Mahathir
Mohamad dan PM Singapura Lee Kuan Yew, menjadi eksperimentasi demokrasi yang
khas Indonesia. Sejarah dan perjalanan demokrasi kita sesungguhnya kaya! []
KOMPAS,
11 Juli 2015
Budiarto
Shambazy | Wartawan
Senior Kompas