Kamis, 30 Juni 2016

(Do'a of the Day) 25 Ramadlan 1437H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma inni as-aluka bi rahmatikal latii wasi'at kulla syai'in an taghfiralii.

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang luas meliputi segala sesuatu, agar Kau ampuni aku.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 8, Bab 3.

(Ngaji of the Day) Sejumlah Pandangan Perihal Keistimewaan Lailatul Qadar



Sejumlah Pandangan Perihal Keistimewaan Lailatul Qadar

Kehadiran lailatul qadar ditunggu oleh siapapun. Bahkan orang sekaliber Nabi Muhammad pun menanti kedatangannya. Namun sayangnya, tidak ada seorang pun yang tahu kapan kepastian harinya. Tampaknya, Allah SWT sengaja merahasiakannya agar manusia senantiasa melanggengkan ibadah di bulan Ramadhan.

Dalam surat Al-Qadar ayat 3 disebutkan bahwa lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan (khairun min alfi syahrin):

ليلة القدر خير من ألف شهر

Artinya, “Malam kemuliaan (lailatul qadar) itu lebih dari seribu bulan,” (QS: Al-Qadar: 3).

Ulama berbeda pendapat terkait maksud “lebih baik dari seribu bulan” dalam ayat ini. Ibnu Bathal misalnya, dalam Syarah Shahih al-Bukhari mengatakan sebagai berikut:

فإنها خير من ألف شهر، يعنى بذلك أن عملاً فيها بما يرضى الله ويحبه من صلاة ودعاء وشبهه خير من عمل فى ألف شهر ليس فيها ليلة القدر

Artinya, “Maksud dari ‘lebih baik dari seribu bulan’ ialah mengerjakan amalan yang diridhai dan disukai Allah SWT di malam tersebut, seperti shalat, do’a, dan sejenisnya, lebih utama ketimbang beramal selama seribu bulan yang tidak ada lailatul qadhar di dalamnya.”

Al-Mawardi di dalam kitab tafsirnya An-Nukat wal ‘Uyun memaparkan lebih lengkap tafsiran ulama terkait maksud ayat di atas. Terdapat lima penafsiran populer mengenai maksud “lebih baik dari seribu bulan”: Pertama, Ar-Rabi’ berpendapat bahwa lailatul qadar lebih baik dari umur seribu bulan. Kedua, menurut Mujahid, beramal di lailatul qadar lebih utama dari beramal seribu bulan di selain lailatul qadar. Ketiga, Qatadah mengatakan, lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan yang tidak terdapat di dalamnya lailatul qadar.

Keempat, Ibnu Abi Najih dan Mujahid mengisahkan, seorang dari Bani Israil pernah mengerjakan shalat malam hingga shubuh. Pada waktu paginya, dia berperang sampai sore. Rutinitas ini dilakukannya selama seribu bulan. Kemudian Allah SWT mengabarkan bahwa beribadah pada lailatul qadar lebih baik dari amalan yang dilakukan laki-laki tersebut, meskipun selama seribu bulan. Kelima, ada pula yang berpendapat, beribadah saat  lailatul qadar lebih baik dari kekuasan Nabi Sulaiman selama lima ratus bulan dan kekuasaaan Dzul Qarnain selama lima ratus bulan.

Kendati ulama berbeda pendapat, namun pada hakikatnya semuanya sepakat bahwa  lailatul qadar adalah malam mulia yang sangat baik digunakan untuk beribadah. Dalam sebuah tafsiran dikatakan, kata “seribu bulan” dalam ayat di atas sebenarnya mengisyaratkan sepanjang hari. Artinya, sampai kapanpun keutamaan lailatul qadar tidak tergantikan. Semoga kita diizinkan untuk beramal saleh tepat pada malam yang sarat kemuliaan ini. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

(Hikmah of the Day) Yang Lebih Buruk dari Fir’aun dan Iblis



Yang Lebih Buruk dari Fir’aun dan Iblis

Dalam kitab an-Nawâdir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Mishri al-Qulyubi asy-Syafi‘i dikisahkan, suatu kali Iblis mendatangi Fir’aun dan berkata, “Apakah kau mengenaliku?”

“Ya,” sahut Fir’aun.

“Kau telah mengalahkanku dalam satu hal.”

“Apa itu?” Tanya Fir’aun penasaran.

“Kelancanganmu mendaku sebagai tuhan. Sungguh, aku lebih tua darimu, juga lebih berpengetahuan dan lebih kuat ketimbang dirimu. Tapi aku tidak berani melakukannya.”

“Kau benar. Tapi aku akan bertobat,” kata Fira’un.

“Jangan buru-buru begitu,” bujuk Iblis la’natullah ‘alaih, “Penduduk Mesir sudah menerimamu sebagai tuhan. Jika kau bertobat, mereka akan meninggalkanmu, merangkul musuh-musuhmu, dan menghancurkan kekuasaanmu, hingga kau tesungkur dalam kehinaan.”

“Kau benar,” jawab Fir’aun, “Tapi, apakah kau tahu siapa penghuni muka bumi ini yang lebih buruk dari kita berdua?”

Kata Iblis, “Ya. Orang yang tidak mau menerima permintaan maaf orang lain. Ia lebih buruk dariku dan darimu.” []

Dari kitab an-Nawâdir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Mishri al-Qulyubi asy-Syafi‘i (Surabaya: Al-Haramain), h. 57

(Mahbib/Sindikasi Media)

Kang Komar: Bakhil Membawa Sengsara



Bakhil Membawa Sengsara
Oleh: Komaruddin Hidayat

Dalam Alquran terdapat berbagai ayat yang mengingatkan orang yang bersikap bakhil atau pelit, ujungnya malah menyengsarakan diri sendiri. Bahkan orang yang enggan bersyukur, yaitu memanfaatkan anugerah Allah di jalan kebaikan, Alquran menyebutnya sebagai kekufuran (14:7).

Kufur atau kafir artinya orang menutupi (cover) atau enggan mengakui kebaikan Allah kepadanya. Makna ini juga sejalan dengan pengertian kafir, yaitu orang yang menutup hati dan pikirannya dari cahaya kebenaran yang terlihat di depan matanya.

Mereka tahu kebenaran, tetapi mengingkarinya. Bahkan memusuhinya, seperti yang dilakukan Abu Jahal dkk terhadap Rasulullah, karena ego dan kepentingan pribadinya terancam.

Dalam Alquran Surat Al Lail (92), Allah berfirman: "Siapapun orangnya yang senang berbagi semata karena mengharap rida Allah, maka Allah akan melapangkan jalan hidupnya. Dan barang siapa kikir, merasa dirinya kaya, dan tidak memerlukan lagi pertolongan Allah, maka Allah akan mendekatkan pada pintu kesempitan dan kesulitan hidupnya."

Kalimat ini merupakan ancaman dan janji dari Allah berupa akibat buruk dan baik bagi mereka yang suka berderma dan yang kikir. Ayat‑ayat serupa mudah dijumpai dalam Alquran dan Hadist.

Mari kita bahas sekilas secara psikologis‑empiris. Orang yang bakhil, pelit, akan selalu merasa dirinya miskin sekalipun berkecukupan atau bahkan berlebih dibanding orang lain. Kekayaan yang dimiliki takut berkurang sehingga tanpa disadari dia telah berperan sebagai pesuruh atau penjaga hartanya, bukannya harta yang menjadi penjaga dirinya.

Orang yang pelit, posisi hartanya yang menjadi majikan, bukan sebaliknya. Padahal Alquran menyebutkan, sesungguhnya semua yang ada ini hakikatnya milik Allah, manusia hanya dipinjami dan diberi kewenangan untuk mengelolanya dalam jumlah amat sangat sedikit.

Jika kita selalu memandang ke atas, di atas langit masih ada langit. Jika seseorang tidak pernah mensyukuri rezeki dan kekayaan yang ada, pasti akan lelah, selalu merasa miskin, karena di sana banyak orang yang lebih kaya.

Orang yang selalu menghitung‑hitung dan membanding‑bandingkan hartanya ibarat berjalan dengan mata dan muka memandang ke atas. Tidak menikmati perjalanan. Leher sakit dan kaki mudah kesandung.

Maka pandanglah ke depan dan sedikit ke bawah. Sekali‑sekali saja boleh ke atas agar muncul dorongan semangat berusaha.

Yang lebih bahaya dari orang pelit adalah jika menempatkan kekayaan sebagai status sosial dan identitas diri, sehingga berlaku formula: I am what I have (saya adalah apa yang saya punya) Penyakit having mode ini menggeser jati diri seseorang yang sesungguhnya lebih tinggi dan bersifat immateri mengingat misi kehidupan tertinggi manusia itu bersifat ruhani.

Kemuliaan di mata Allah dan di mata manusia yang dinilai bukanlah berapa banyak harta dan kedudukan, melainkan derajat ketaqwaan hidupnya, termasuk bagaimana jalan mendapatkan kekayaan dan untuk apa harta dibelanjakan. Harta yang abadi adalah yang telah dibelanjakan di jalan Allah, sedangkan yang belum dibelanjakan kita tidak tahu akan ke mana larinya.

Allah berjanji harta yang senantiasa dikeluarkan zakat serta shodaqohnya justru akan senantiasa diberkati dan dilipatgandakan pahalanya, akan dirasakan sejak di dunia maupun di akhirat kelak. Berapapun banyaknya harta dimiliki, seseorang akan tetap merasa miskin kecuali mereka yang bersyukur dan berbagai rezeki bersama mereka yang mesti dibantu.

Fenomena masyarakat Barat yang menarik direnungkan adalah kesukaan mereka berderma, antara lain berupa Corporate Social Responsibility (CSR), dan membantu lembaga‑lembaga sosial kemanusiaan serta pendidikan. []

TRIBUNNEWS, 21 Juni 2016
Prof Dr Komaruddin Hidayat | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

(Ngaji of the Day) Hukum Buka Puasa dengan yang Manis Seperti Kue Lupis atau Es Campur



Hukum Buka Puasa dengan yang Manis Seperti Kue Lupis atau Es Campur

Pertanyaan:

Assalamu ’alaikum wr. wb.
Pengasuh Bahtsul Masail NU Online yang terhormat. Saya sering mendengar tetangga saya mengatakan bahwa kita disunahkan berbuka puasa dengan kurma. Alasannya karena Rasulullah SAW sendiri membatalkan puasanya dengan kurma.

Sementara istri saya di rumah menyediakan hidangan berbuka puasa lebih sering dengan es campur dan kue-kue basah yang manis seperti kue lupis, kue putu, dan kue lain yang dibelinya dari tetangga penjual kue basah dibanding menghidangkan kurma. Mohon penjelasannya. Terima kasih ustadz. Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Hamba Allah – Jakarta

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman, semoga Allah selalu merahmati kita semua di manapun berada. Berbuka puasa ini memang dianjurkan dengan kurma dan air putih. Karena berdasarkan pandangan medis keduanya mengandung zat yang dapat memulihkan fungsi anggota tubuh yang terkurangi saat puasa.

Di samping itu, pembatalan puasa dengan kurma dan air putih merupakan contoh dari Rasulullah SAW yang disaksikan para shahabatnya. Hal ini dapat kita temukan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzi sebagai berikut.

عن أنس بن مالك قال * كان النبي صلى الله عليه وسلم يفطر على رطبات قبل ان يصلي فان لم يكن رطبات فتمرات فان لم يكن تمرات حسا حسوات من ماء رواه أحمد وأبو داود والترمذي

Artinya, “Dari Anas bin Malik RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW berbuka puasa dengan beberapa kurma matang dan basah sebelum melangsungkan shalat. Kalau taka da kurma basah, Rasulullah SAW berbuka dengan kurma kering. Bila taka da kurma kering, ia meminum beberapa teguk air,’” (HR Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi).

Memahami hadits di atas, para ulama memandang kesunahan berbuka puasa dengan kurma terletak pada sifat manis yang terkandung di dalam kurma. Hal ini diungkapkan Muhammad Ali As-Syaukani dalam karyanya Nailul Authar sebagai berikut.

وإذا كانت العلة كونه حلواً والحلو له ذلك التأثير فليحق به الحلويات كلها، أما ما كان أشد منه في الحلاوة فبفحوى الخطاب وما كان مساوياً له فبلحنه

Artinya, “Kalau illah (sebab) disunahkan berbuka dengan kurma itu karena manisnya (dan sifat manis itu menjadi sebab primer buka puasa Rasulullah SAW dengan kurma), maka semua bentuk makanan dan minuman manis lainnya juga tergolong kategori berbuka puasa berdasarkan sunah Rasulullah SAW. Kalau ada misalnya makanan atau minuman yang lebih manis dari kurma, maka ulama menggunakan fahwal khithab (qiyas di mana yang tidak disebut di nash Al-Quran/hadits lebih kuat dari yang disebut di nash). Tetapi kalau makanan dan minuman itu setara manisnya dengan kurma, maka ulama menggunakan lahnul khithab (qiyas qiyas di mana yang tidak disebut di nash Al-Quran/hadits setara dengan yang disebut di nash), (Lihat Muhammad Ali As-Syaukani, Nailul Authar fi Syarhi Muntaqal Akhbar, Darul Fikr, Beirut, Tanpa Tahun, Juz IV, Halaman 302).

Dari penjelasan Muhammad Ali As-Syaukani di atas, orang Indonesia yang berbuka puasa dengan es campur, es teler, pudding, kue lupis, kue putu, kolak, dan penganan manis lainnya tetap terhitung mengamalkan sunah Rasulullah SAW. Karena yang dipandang oleh ulama dari kurma itu unsur manisnya, bukan sekadar kurmanya itu sendiri. Tetapi kalau kita membatalkan puasa dengan kurma, itu sangat baik. Jadi pada prinsipnya berbukalah dengan yang manis.

Demikian jawaban singkat yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Mohon maaf atas kekurangan kami. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Saran kami, meskipun berbuka puasa dengan makanan atau minuman manis ini pada dasarnya sunah, kita tetap harus mempertimbangkan kesehatan. Artinya, konsumsi segala hal yang manis harus tetap terkontrol demi menjaga kesehatan. Untuk mereka yang mengalami masalah dengan gula, ada baiknya berkonsultasi dengan para pakar medis.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU