Jumat, 29 Mei 2015

(Ponpes of the Day) Pondok Pesantren Mambaul Maarif, Denanyar, Jombang – Jawa Timur



Pondok Pesantren Mambaul Maarif, Denanyar, Jombang – Jawa Timur


Sejarah

Ponpes Mambaul Maarif Denanyar berada di pintu barat kota Jombang. Berlokasi di tepi jalan raya Jombang - Megaluh, sekitar 3 km arah barat kota. Sebagai pintu masuk dari wilayah pesisir barat sungai Brantas (Megaluh, Perak, Bandarkedungmulyo, Kertosono, Nganjuk), ponpes Denanyar juga terkenal karena didirikan oleh KH Bisri Syansuri (Mbah Bisri), salah satu dari tiga tokoh pendiri NU. Disini juga tempat lahirnya Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) tokoh besar NU yang merupakan cucu dari Mbah Bisri. Dibanding tiga ponpes besar lainnya, ponpes Denanyar memang bisa dikatakan yang paling muda. 

Ponpes Denanyar dirintis oleh KH Bisri Syansuri (Mbah Bisri) sekitar tahun 1917. Beliau adalah ulama kelahiran Jawa Tengah. Seusai menimba ilmu agama, beliau mendirikan ponpes di desa Denanyar. Pada awalnya ponpes hanya dikhususkan bagi santri putra. Karena pada saat itu, tidak lazim, ada santri putri mondok di ponpes. Namun, Mbah Bisri akhirnya dengan seizin gurunya mulai membuka ponpes untuk santri putri pada tahun 1921. Selanjutnya, dua tahun kemudian, yaitu mulai tahun 1923, Mbah Bisri membuka sistem pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) Mambaul Huda. Yang selanjutnya berganti nama menjadi Mambaul Maarif. Mulai saat itu, ponpes Denanyar juga dikenal dengan nama ponpes Mamba’ul Ma’arif. 

Sebagai kelanjutan dari sistem pendidikan dasar, maka harus ada pendidikan lanjutan. Maka pada tahun 1925, dibukalah Madrasah Tsanawiyah Putra. Disusul dengan Madrasah Tsanawiyah Putri pada tahun 1958. Kemudian, pada tahun 1962 dibuka Madrasah Aliyah Putra Putri. Akhirnya berdasarkan SK Menteri Agama RI No. 24 tahun1969, lembaga Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah yang sebelumnya masih berstatus swasta menjadi negeri, yaitu MTsN dan MAN.

Tetapi sebagai upaya untuk terus meningkatkan pengembangan institusi pendidikan masa kini dan masa depan, maka didirikanlah Madrasah Tsanawiyah Mambaul Ma'arif (status swasta) tahun 1993. Kemudian Madrasah Aliyah Mambaul Ma'arif (status swasta) pada tahun 2000. Dengan menggunakan sistem kurikulum terpadu yang mengacu pada kurikulum tetap dan kurikulum pesantren dengan spesifikasi ilmu-ilmu agama, bahasa Arab, bahasa Inggris. Ada juga sekolah kejuruan dengan nama SMK Bisri Syansuri yang mulai dibuka pada tahun 1999.

Disamping itu, Yayasan Mambaul Ma'arif juga mendirikan institusi pendidikan penunjang sebagai peletak tata nilai Islam dalam mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Diantaranya : Taman Pendidikan Al Qur'an (TPQ), Madrasah Diniyah serta lembaga Bahasa Arab dan Inggris (LBAI).

Visi Pendidikan yang dikembangkan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif adalah Mengembangkan tradisi keilmuan pesantren yang bisa menghantarkan lulusan yang Mutafaqqih fiddin, kompetitif dalam menatap masa depan, dinamis, kreatif, berakhlak mulia serta bermanfaat.


Unit Pondok Pesantren Dibawah Naungan Yayasan Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang:

1.     Pondok Pesantren Putra-Putri Mamba'ul Ma'arif Telp. (0321)872295, 871956
2.     Asrama Santri Putra-Putri Nur Khodijah I Mamba'ul Ma'arif Telp. (0321) 864674
3.     Asrama Santri Putra-Putri Nur Khodijah II Mamba'ul Ma'arif Telp. 0823 3869 4411
4.     Asrama Santri Putra-Putri Nur Khodijah III Mamba'ul Ma'arif Telp. 862452
5.     Asrama Santri Putra Sunan Ampel Mamba'ul Ma'arif Telp. (0321) 862324
6.     Asrama Santri Putri Sunan Ampel Mamba'ul Ma'arif Telp. (0321) 864577
7.     Asrama Santri Putra-Putri Al-Risalah Mamba'ul Ma'arif Telp. (0321) 869142
8.     Asrama Santri Putra-Putri Al-Bishri Mamba'ul Ma'arif Telp. (0321) 866039
9.     Asrama Santri Putra-Putri Al-Hikam Mamba'ul Ma'arif Telp. 0813 3164 1380 
10.  Asrama Santri Putra-Putri Az-Ziyadah  Mamba'ul Ma'arif Telp. (0321) 864573
11.  Asrama Santri Putra-Putri An-najah Mamba'ul Ma'arif Telp. (0321) 860874
12.  Asrama Santri Putra-Putri Al-Iskandariyah Mamba'ul Ma'arif Telp. (0321) 865485

Sumber:

Azyumardi: Komunitas Keadaban



Komunitas Keadaban
Oleh: Azyumardi Azra

Kemerosotan keadaban publik (public civility) dalam masyarakat Indonesia masa pasca-Orde Baru merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi bangsa ini. Di mana-mana orang bisa menyaksikan pelanggaran keadaban publik, mulai dari pengendara yang tidak peduli dengan ketentuan lalu lintas, membuang sampah di jalan tol, buang air kecil di pinggir jalan, tidak mau tertib antrean sampai kepada pencurian aset publik yang lebih dikenal sebagai korupsi.

Tindakan-tindakan semacam itu membuat para pelakunya seperti orang uncivilized --tidak beradab atau tidak memiliki keadaban. Padahal, katanya, orang Indonesia dari berbagai suku selalu mengklaim sebagai religius, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, dan seterusnya.

Memandang fenomena kemerosotan keadaban publik, penulis Resonansi ini merasa beruntung ketika memahami bahwa keadaban menjadi salah satu tema pokok yang digagas dan dipraktikkan seorang tokoh pembaharu Islam Indonesia asal Minangkabau, Abdullah Ahmad (1878-1933). Pembahasan tentang subjek ini menjadi wacana penting dalam Seminar Nasional Peringatan 100 Tahun Perguruan Adabiah (1915-2015) --lembaga pendidikan yang didirikan Abdullah Ahmad.

Tokoh ini adalah salah satu dari generasi pembaharu Islam yang dikenal sebagai ‘Kaum Muda’ --lokomotif modernisme dan reformisme Islam di Asia Tenggara yang berawal dari Sumatra Barat. Mereka mencakup, antara lain, Haji Abdul Karim Amrullah (1979-1945 atau Haji Rasul, ayahanda Buya Hamka), Muhammad Tahir Jalaluddin al-Minangkabawi al-Azhari (1869-1956), dan Muhammad Jamil Jambek (1862-1947).

Meski Abdullah Ahmad merupakan tokoh terkemuka karena atribut yang melekat pada dirinya sendiri (on his own right) --tidak mesti harus selalu dalam konteks Kaum Muda-- tidak atau belum banyak kajian lengkap dan mendalam tentang sosok ini. Selama ini ia hanya mendapat pembahasan selintas dalam kajian tentang reformisme atau modernisme Islam Kaum Muda oleh sejarawan seperti Deliar Noer atau Taufik Abdullah.

Termasuk ke dalam core jaringan ulama pada akhir abad 19 dan awal abad 20 yang berpusat di Makkah dalam figur guru utama, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916), Abdullah Ahmad memilih untuk mengadopsi gagasan dan praksis modernisme atau reformisme Islam. Memang di antara murid-murid Ahmad Khatib ada yang menempuh jalan reformisme Islam, seperti Abdullah Ahmad dan Ahmad Dahlan (1868-1923, pendiri Muhammadiyah 1912). Pada lain pihak ada pula yang menganut tradisionalisme Islam, seperti Hasyim Asy’ari (1871-1947, pendiri NU 1926), dan Sulaiman al-Rasuli (1871-1970, pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah/Perti 1928).

Terkait dengan jaringan ulama yang berpusat di Makkah, Abdullah Ahmad memiliki pengetahuan agama mendalam. Berada di Makkah (1895-1899) dasawarsa terakhir abad 19, gagasan modernisme atau reformisme Islam yang diperkenalkan Jamaluddin al-Afghani (1838-1896), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935), sangat menarik bagi Abdulah Ahmad.

Karena itu, pandangan dunia dan praksis keislaman Abdullah Ahmad jelas tipikal modernisme-reformisme. Ia berorientasi kuat pada Islam puritan, tidak menerima kompromi Islam dengan budaya lokal dan sekaligus menolak bid’ah dan taklid. Paham keagamaan ini termasuk ke dalam aliran Salafi. Tetapi berbeda dengan aliran dan kelompok Salafi tertentu yang agresif dan mudah melakukan kekerasan demi ‘puritanisme Islam’, Abdullah Ahmad menempuh pendekatan dan cara damai. Dalam berbagai tulisannya, ia menekankan pentingnya perdamaian dan persaudaraan antarbangsa dan umat manusia secara keseluruhan.

Dalam konteks itu, Abdullah Ahmad memandang pembangunan keadaban sebagai cara terbaik dan paling strategis. Untuk itu, ia pada 1906 mendirikan ‘Jami’ah Adabiyah’. Dalam pemahaman penulis Resonansi ini, ‘Jami’ah Adabiyah’ bisa disebut sebagai ‘Komunitas Keadaban'.

Istilah ‘Adabiah’ mengacu tidak hanya kepada ‘Community of Civility’, tetapi juga peradaban (civilization) dan ‘adab’ (virtuous moral conduct). Ketiga hal ini --keadaban, peradaban, dan adab-- menghasilkan genre literatur tersendiri dalam khazanah pemikiran Islam.

Berdasarkan pemahaman itu, adopsi istilah Adabiah oleh Abdullah Ahmad melampaui zamannya. Ketiga istilah yang mengandung konsep dan praksis sangat penting tetap relevan di masa kini dan mendatang.

Tidak ragu lagi pendidikan merupakan wahana dan lokus paling strategis untuk membangun keadaban, peradaban, dan adab. Bisa mudah dipahami kalau kemudian pada 1909, Abdullah Ahmad mendirikan [Yayasan] Perguruan Adabiah. Selanjutnya pada 1915 ia mendirikan ‘Madrasah Adabiyah’ yang meski memakai istilah ‘madrasah’ yang berbasiskan sistem persekolahan Belanda.

Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan ini berkembang menjadi sekolah dengan kurikulum Belanda. Tetapi Abdullah Ahmad memperkenalkan inovasi ‘met de Qur’an’ --sekolah ala Belanda, tetapi dilengkapi ‘pelajaran agama’. Inilah preseden bagi sekolah Islam yang terus menemukan momentum sampai sekarang.

Abdullah Ahmad dengan gagasan dan praksis ‘komunitas keadaban’, peradaban’, dan adab yang tetap relevan hari ini dan ke depan perlu revitalisasi. Tantangan kemerosotan keadaban publik mengharuskan kita menggali pemikiran dan praksis yang lahir dari pemikir --cum-- aktivis Abdullah Ahmad dan pemikir Indonesia lain. []

REPUBLIKA, 28 May 2015
Azyumardi Azra Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kang Sobary: KPK Itu Aset Reformasi



KPK Itu Aset Reformasi
Oleh: Mohamad Sobary

Tiap kali menoleh ke masa pemerintahan Orde Baru, kita berhadapan dengan suatu masa yang didominasi kegelapan.

Di berbagai sektor kehidupan, kegelapan itu berarti ketakutan. Gelap dan takut itu warna dominan di zaman itu. Tata kehidupan politik memang stabil karena pemerintah sendiri serbapenuh ketakutan kalau stabilitas tak terjaga. Stabilitas menjadi ukuran pencapaian target pemerintah yang nilainya tinggi sekali.

Tapi kita tidak lupa, untuk mencapai stabilitas politik itu banyak warga negara, terutama para politisi, kaum intelektual, ulama, orang-orang media massa, dan siapa saja yang bersuara lain, dan berani menyimpang dari garis yang ditetapkan pemerintah, dia musuh pemerintah. Tuduhan PKI efektif sekali untuk membungkam suara bebas yang berani berseberangan dengan rezim militeristik itu.

Pada titik akhir masa pemerintahan itu, bahkan ketika Pak Harto masih cukup kuat, suasana jenuh, perasaan bosan, kemarahan, dan tuntutan perubahan, mulai merayap dari hati ke hati, dari pemikiran ke pemikiran untuk mencari ruang kebebasan. Orang mulai bicara mengenai public sphere, ruang publik yang bisa menampung aspirasi bersama. Tuntutan ini bergerak pelan.

Tapi tiap saat, dari hari ke hari, hidup kita diwarnai gerak ini. Pemerintah yang didukung militer yang kuat lama-lama tak berdaya menghadapi gerakan tersebut. Mula-mula mereka tak percaya bahwa ada yang berani melakukan gerakan menuntut perubahan. Itu tidak mungkin. Siapa yang berani menghadapi risiko tindakannya sendiri? Dia bakal mati konyol. Dalam masa reformasi itu memang banyak warga negara yang mati.

Dan kelihatannya kematian mereka itu konyol. Tapi karena mereka ikut arus perubahan zaman yang sedang mencari dunia baru yang menyenangkan bagi masa depan bangsa, semoga mereka mati sahid. Dalam perjuangan seperti itu tidak ada yang hanya berakhir konyol. Gerakan itu tampak bukan hanya pada wujud lahiriah ketika suatu kerumunan menguasai jalanan, dan membikin kemacetan.

Gerak menuju dunia baru yang menyenangkan itu juga bukan hanya tampak ketika mahasiswa memanjat dan menduduki atap gedung DPR di Senayan. Juga bukan hanya barisan yang mendekati Istana, atau tempat-tempat strategis yang merupakan simbol pemerintahan.

Semua itu penting dan masing-masing turut menentukan ke mana gelombang baru yang menuntut perubahan itu harus bergerak dan berhenti. Sekecil apa pun suara tuntutan, bahkan andaikata diungkapkan hanya melalui sebait pendek puisi, dia tetap penting. Ringkas cerita, semua kekuatan, besar atau kecil, berhasil mengakhiri pemerintahan Pak Harto. Tetapi gelombang yang menuntut perubahan itu bergerak terus -menerus. Sampai beberapa tahun sesudah zaman Orde Baru berakhir, gerak menuntut perubahan itu terus berlanjut.

*** Sesudah ”goro-goro” yang mengguncangkan bumi dan langit, dan dewa-dewa pun kebingungan, pelan-pelan kehidupan ditata ulang. Tidak ada yang kelihatan sangat berpengalaman menata kembali kehidupan seperti itu. Banyak pihak hanya bermodal hati baik, niat baik dan aspirasi untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Niat baik yang memandu aspirasi bersama itu modal utama kita.

Kemudian muncul gagasan mengenai perlunya KPK dibikin. Saat itu, antara tahun 2001- 2002, semangat kita menjulang tinggi ke langit. Gagasan membentuk KPK mendapat sambutan hangat dari semua kalangan di dalam masyarakat. Lalu disusun langkah dan strategi pemilihan komisioner dan ketuanya. Berbagai persyaratan menuju pemilihan yang bersih dan transparan disusun. Panitia seleksi pun dipilih dengan cara sangat terbuka. Di sana tidak ada semangat demi kawan.

Cita-cita besar kita demi bangsa dan negara. Kawan, saudara, sahabat, tidak relevan sama sekali. Di dunia yang kotor ini, anehnya, kita bersih. Mungkin karena kesadaran bahwa dunia di sekitar sudah terlalu kotor maka kita tidak boleh ikut kotor. Kita sudah terbiasa pula menjaga diri dari debu, dari comberan dan segenap najis yang tak boleh menodai tubuh kita. Jadi dalam momentum pendek ketika kita memilih panitia seleksi, dan kemudian ketika panitia seleksi memilih para komisioner, kita harus membuat diri kita bersih.

Dan itu ternyata dimungkinkan. Bersih di tengah kekotoran itu bukan perkara mustahil. Semangat kita sama hebatnya dengan jiwa dan semangat para pendahulu yang mendirikan negara ini. Kita memiliki tokoh-tokoh yang bagus di negeri kita ini. Mereka mengabdi dan membantu mencapai tujuan reformasi. Kita yakin seyakin yakinnya bahwa bila urusan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi diserahkan pada lembaga-lembaga yang sudah ada, reformasi tak mungkin mencapai apa yang hendak dicapai. KPK dibentuk. Dan terbentuklah sudah.

Kita lalu memiliki lembaga terhormat, hasil keputusan bangsa kita sendiri, dipimpin bangsa kita sendiri. Para pimpinan itu dipilih dengan cermat dan demokratis oleh wakil-wakil bangsa kita sendiri pula. KPK bukan gagasan satu kelompok elite, kecil, terbatas, yang kesepian. KPK merupakan aset reformasi, dan memanggul mandat reformasi. Artinya KPK memanggul mandat yang dipercayakan seluruh bangsa.

Jika ditarik garis lurus, dengan warna tebal yang jelas, kelihatan oleh kita bahwa KPK itu sambungan aspirasi rakyat yang bergerak mencari ruang publik demi kebebasan sejak zaman Orde Baru dulu. Gerak perubahan itu berlanjut ke zaman reformasi, yang kemudian membentuk KPK.

Jika ditanya, siapa yang merasa aspirasinya diwakili KPK, niscaya mayoritas, di atas 99%, angkat tangan dan mengatakan tanpa keraguan bahwa diri mereka diwakili KPK. Mungkin, maaf, maling, garong, kecu , berandal, begal, dan kawan-kawannya, golongan kecil di dalam masyarakat kita, bukan hanya menyatakan KPK tak mewakili kepentingan mereka, melainkan jelas, KPK musuh utama mereka.

***

Di seluruh dunia,di mana ada warna putih, di situ selalu ada warna hitam, di mana ada orang baik di situ ada orang jahat. Orang baik selalu berhadapan dengan orang jahat. Orang baik suka lengah dan wataknya memang mudah lengah.

Orang jahat selalu waspada. Kelengahan berhadapan dengan kewaspadaan saja sudah berat urusannya. Apalagi orang jahat yang waspada itu juga punya watak licik, culas, siap menipu, dan siap menelikung kaki lawan. Siapa saja yang menghalangi mereka dianggap lawan. Dan lawan juga harus dibunuh. Dibunuh itu tidak hanya berarti secara harfiah orang dihilangkan nyawanya. Orang baik yang tiba-tiba diborgol juga berarti dibunuh. Harga dirinya dibunuh.

Kejujurannya dibunuh. Integritas moralnya dibunuh. Keberaniannya dibunuh. Jadi, kita tidak bisa hanya menjadi sekadar orang baik. Orang baik itu sudah baik di dalam dirinya sendiri. Tetapi belum baik untuk menjadi pansel KPK, komisioner KPK, staf umum dan juru bicara KPK. Di sana orang harus baik, harus berpikir taktis, harus bertindak strategis dan tak mudah ditipu oleh keculasan para bandit, kecu, maling, garong, perampok, begal, dan sejenisnya.

KPK itu aset reformasi dan memanggul mandat suci reformasi. Kesucian di dalam diri mereka, dan dalam misi mereka, membuat mereka tak mudah tertipu. Bekerja dalam kesucian itu kemuliaan yang tak usah diragukan. Koruptor yang dilawan KPK memang banyak. Tapi rakyat yang mendukungnya jauh lebih banyak. Sebagai aset reformasi, KPK kuat dan agung. Terkutuklah mereka yang memusuhinya. []

Koran SINDO, 27 Mei 2015
Mohamad Sobary, Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

BamSoet: Konspirasi Memperlemah Golkar dan PPP



Konspirasi Memperlemah Golkar dan PPP
Oleh: Bambang Soesatyo

Kepastian langkah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentang sengketa Partai Golkar makin memperjelas adanya konspirasi memperlemah Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam percaturan politik nasional.

Namun, konsekuensinya menjadi sangat mahal. Perlawanan Golkar dan PPP akan membuat panggung politik dalam negeri gaduh. Keputusan PTUN Jakarta yang membatalkan Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM bagi pengesahan kepengurusan Partai Golkar kubu Munas Ancol, sejatinya tidak merugikan pemerintah maupun Menteri Yasonna yang berlatar belakang sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Pasalnya, konflik kepengurusan Partai Golkar merupakan kepentingan kepengurusan Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) dan hasil Munas Ancol pimpinan Agung Laksono (AL). Tentu akan muncul pertanyaan; mengapa justru Menteri Yasonna yang bersikukuh mengajukan banding atas putusan PTUN itu? ”Menteri Hukum dan HAM bersama kuasa hukum dan para ahli hukum tata negara akan mempelajari putusan PTUN Jakarta untuk menyiapkan memori banding,” ujar Kepala Biro Humas dan Kerja sama Luar Negeri Ferdinand Siagian, Senin (18/5).

Pengajuan banding menjadi sangat wajar jika diniatkan oleh Partai Golkar kubu musyawarah nasional (Munas) Ancol pimpinan AL dkk sebagai pihak yang kalah atau dirugikan. Namun, jika kemudian rencana pengajuan banding itu justru diinisiasi Menteri Yasonna, berarti dia bertindak atas nama kepentingan Golkar kubu AL dkk. Kesimpulan ini menjadi pembenaran atas persepsi bahwa sejumlah kekuatan politik mengintervensi konflik Golkar dengan memanfaatkan wewenang Menteri Laoly.

Lalu, di mana posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi)? Kesannya menjadi semakin tidak jelas. Memang, dia sempat memerintahkan Menteri Yasonna untuk tidak melakukan banding. Namun kalau nyatanya Yasonna tetap mengajukan banding, semakin sulit untuk menebak posisi seperti apa yang diambil Presiden karena belum memerintahkan Menteri Yasonna menghentikan banding atas putusan PTUN itu.

Pertanyaan berikutnya tentu saja tentang apa agenda tersembunyi Menteri Yasonna? Tentu tidak sekadar memelihara harapan Agung Laksono dkk tetap memimpin Partai Golkar. Yasonna tahu betul bahwa Partai Golkar kubu Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) akan terus melakukan perlawanan. Kalau hal ini yang terjadi, salah satu target Menteri Yasonna tercapai, yakni berlarut- larutnya konflik internal Partai Golkar.

Upaya lain untuk memperlemah posisi Golkar dan PPP dalam percaturan politik nasional, juga terlihat dari kekuatan konspirasi antara PDIP plus anggota KIH lainnya bersama pemerintah dan KPU menolak revisi terbatas atas Undang-Undang (UU) Pilkada. Banding Menteri Yasonna dan hadangan bagi revisi terbatas atas UU Pilkada, jelas terlihat sebagai upaya agar konflik PPP dan Golkar terus berkepanjangan.

Salah satu tujuan jangka pendek adalah mengganggu soliditas PPP dan Golkar dalam melakukan persiapan mengikuti Pilkada 2015 yang serentak itu. Mereka semua paranoid, takut kalau-kalau impian dan ambisi mereka untuk menang besar dan menguasai pilkada tidak terwujud jika PPP dan Golkar ikut pilkada serentak akhir tahun ini.

Perlawanan

PPP dan Golkar tentu tidak akan tinggal diam. Hal pertama yang perlu disadari oleh Menteri Laoly bahwa sikap dan perilaku yang menzalimi Partai Golkar dan PPP itu akan menjadi luka sejarah yang akan dicatat dengan tinta darah oleh kader Golkar dan kader PPP. Jika pemerintah terus melakukan pembiaran, apalagi ikut memperuncing pertikaian internal parpol, sudah barang tentu DPR akan mengambil sikap. Kalau sudah begitu, kegaduhan politik menjadi konsekuensinya.

Kegaduhan itu bisa saja dimulai dalam masa sidang DPR sekarang ini, ketika sejumlah anggota DPR akan berupaya meloloskan penggunaan hak angket DPR atas pelanggaran UU dan intervensi pemerintah terhadap partai politik dalam pengambilan keputusan di sidang paripurna DPR. Presiden Jokowi pun harus berani bersikap tegas. Publik tahu bahwa Presiden telah meminta Menteri Yasonna untuk tidak melakukan banding. Namun, faktanya, Menteri Laoly tetap banding.

Maka selama tidak ada tindakan tegas dari Presiden untuk mencegah Laoly melakukan banding, Golkar dan PPP berasumsi Presiden mengamini langkah Menteri Laoly. Golkar dan PPP sangat berharap KPU menjaga independensinya. Jika Partai Golkar tidak dapat mengikuti pilkada serentak, akan muncul reaksi berskala masif dari kader di berbagai daerah. Jangan salahkan kader Partai Golkar di tingkat akar rumput jika mereka menduduki kantor KPU daerah.

Hari-hari ini, Golkar terus mengimbau para kader dari pusat hingga akar rumput serta pengurus daerah tingkat I dan II untuk terus melakukan perlawanan secara masif terhadap gerakan kubu Munas Ancol, karena mereka liar alias tidak legitimate, setelah PTUN membatalkan SK Menkumham tentang pengesahan kepengurusan kubu munas Ancol.

Kader Partai Golkar tentu mengapresiasi upaya islah yang difasilitasi Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) agar Partai Golkar bisa ikut Pilkada 2015. Namun, persoalan Golkar tidak sekadar bisa dan tidak bisanya ikut Pilkada 2015. Inti permasalahan Partai Golkar adalah keberanian dan kemauan pemerintah mengakui siapa yang paling legitimate memimpin kepengurusan Partai Golkar? Persoalan internal Partai Golkar sudah telanjur dipahami publik, termasuk Wapres JK sendiri, Presiden Jokowi, serta para ketua umum partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Kepengurusan Partai Golkar menjadi bermasalah karena pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM mengakui kepengurusan produk Munas Partai Golkar di Ancol, Jakarta, yang diselenggarakan oleh kubu AL. Padahal, Munas Ancol itu ilegal dan karenanya tidak legitimate . Munas Ancol jelas tidak punya legitimasi karena peserta, dokumen, dan surat mandat palsu.

Harus ada keberanian untuk mengatakan bahwa Presiden Jokowi, Wapres JK dan para ketua umum parpol anggota KIH pura-pura tidak tahu bahwa kepengurusan Golkar produk Munas Ancol itu ilegal. Padahal, kasus mandat palsunya sendiri sudah dibuka dan masuk ke tahap penyidikan di Bareskrim Mabes Polri. Peristiwanya benar-benar terjadi, sehingga ada alat bukti, ada tersangka pemalsuan dokumen dan surat mandat yang dipalsukan.

Bahkan, tidak lama lagi, proses penyidikan oleh Bareskrim Polri akan menyentuh sosok yang mengotaki sekaligus penyandang dana kasus pemalsuan dokumen dan mandat palsu itu. Jika Kubu Munas Bali didorong untuk islah dengan kubu Munas Ancol, berarti pemerintah mengamini kejahatan politik yang dilakukan AL dkk.

Lantas, bagaimana harus menjelaskan kepada publik jika Presiden dan Wapres dengan penuh kesadaran menoleransi aksi kejahatan politik seperti itu? Bagaimana dengan masa depan demokrasi Indonesia yang sudah dibangun dengan susah payah kalau Munas abalabal sebuah partai politik kemudian mendapat legitimasi dari pemerintah? Kalau pemerintah tetap mengakui Golkar kubu Munas Ancol, berarti pemerintah tidak mau mengakui kesalahannya.

Dengan mempertahankan posisi seperti, pemerintahan Presiden Jokowi-Wapres JK sesungguhnya sudah terjebak akibat kepentingan sempit,yakni ingin menghancurkan Golkar dan PPP. Dan itu harus dilawan sampai titik darah penghabisan. []

Koran SINDO, 27 Mei 2015
Bambang Soesatyo, Sekretaris Fraksi Partai Golkar/ Anggota Komisi III DPR RI