Selasa, 30 Juni 2020

(Do'a of the Day) 09 Dzulqa'dah 1441H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma a'innii 'alaa dzikrika wa syukrika wahusni 'ibaadatika.

 

Ya Allah, tolonglah aku agar dapat mengingat (berdzikir), bersyukur, dan beribadah yang sebaik-baiknya kepada-Mu.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9, Fasal Kedelapan.

(Buku of the Day) #MO Sebuah Dunia Baru yang Membuat Banyak Orang Gagal Paham

Dunia Digital di Balik Fenomena Sosial

 

Judul                : #MO Sebuah Dunia Baru yang Membuat Banyak Orang Gagal Paham

Penulis             : Rhenald Kasali

Tebal                : xix + 422

Penerbit            : Mizan

ISBN                 : 9786024411244

Peresensi          : Syakir NF, mahasiswa Pascasarjana Program Magister Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta.

 

Memang, dunia yang serba digital begitu cepat mengubah berbagai keadaan manusia. Bagaimana tidak, informasi dengan begitu cepatnya menjalar ke segala penjuru. Dengan hitungan sepersekian detik, bahkan di detik yang sama, orang di tempat yang berbeda sudah bisa mengetahui peristiwa yang terjadi di tempat lain, entah melalui panggilan video ataupun siaran langsung yang dilakukan melalui berbagai media, seperti televisi, Youtube, ataupun media sosial yang dilakukan oleh masyarakat secara personal, baik Facebook, Twitter, maupun Instagram.


Hal demikian terkadang dimanfaatkan oleh orang atau oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menyebar agitasi dan memobilisasi massa dengan berbagai macam cara. Hal yang paling mudah kita lihat adalah perang tanda pagar (tagar) di media sosial Twitter. Yang paling terbaru terkait peristiwa tagar #GejayanMemanggil vs #TurunkanJokowi.


Namun, lepas dari esensi tagarnya, perang tagar ini juga tidak lepas dari tunggangan. Orang-orang memanfaatkan tagar-tagar yang tengah trending untuk memasarkan produknya ataupun lainnya. Bahkan, ada pula orang yang mempertentangkan tagar tersebut dengan tetap menyertakan tagarnya. Orang yang tidak setuju dengan tuntutan penurunan Jokowi memanfaatkan tagar #TurunkanJokowi untuk menyampaikan pendapatnya. Hal itu dilakukan guna mengimbangi narasi yang muncul dalam tagar tersebut.


Hal yang parah ketika kita diarahkan dengan isu hoaks yang dimunculkan agar masyarakat teragitasi, terbawa emosinya sehingga larut dalam euforia dan turut beraksi melakukan hal-hal yang diinginkan oleh oknum tertentu. Hal yang sebetulnya tidak diketahui betul kejadiannya, tetapi ditelan bulat-bulat. Mereka yang demikian tentu tidak ingat atau mungkin tidak mengetahui bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk bertabayun, mencari kejelasan atas informasi yang diterima.

 

Tentu permainan tagar tersebut tidak menjadi perbincangan banyak masyarakat tanpa beberapa faktor. Rhenald Kasali dalam bukunya #MO Sebuah Dunia Baru yang Membuat Orang Gagal Paham memberikan pandangannya bahwa ada lima hal yang membuat orang menggerakkan jemarinya untuk turut serta berkomentar, yakni magnitude, proximity, drama, konflik, dan ketokohan.


Rhenald juga mengungkapkan tentang anatomi mobilisasi. Hal itu diawali dengan adanya pemicu, dilanjutkan dengan adanya aksiden, lalu dibuat framing, kemudian ada tindakan partisipasi, timbul gerakan, sampai pada outcomes dan negosiasi. Jika kita terapkan pada kasus yang baru-baru ini ramai, demonstrasi mahasiswa. 

 

Pemicunya tentu saja adalah beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang kontroversial yang buru-buru ingin disahkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Aksidensinya berupa tindakan represif aparat keamanan terhadap demonstrasi yang mulanya berjalan damai. Lalu, hal itu dibuat framing sedemikian rupa, seperti adanya isu ditunggangi.


Partisipasi publik pun meluas. Tidak hanya mahasiswa, tetapi juga para artis, aktivis, dan influencer media sosial turut mengampanyekan hal tersebut. Berbagai video dan gambar pun beredar dan gerakan penyelamatan demokrasi menguat. Puncaknya, negosiasi mahasiswa dengan DPR, DPRD, gubernur, hingga presiden. Untuk pejabat yang disebut terakhir ini belum terlaksana.


Di samping itu, media sosial juga menjaring berbagai data pribadi kita. Kita dengan tanpa ada kecurigaan sama sekali membuka identitas kita yang seharusnya menjadi privasi beralih menjadi konsumsi publik. Tentu hal demikian ada plus minusnya. Di satu sisi, hal ini mempermudah orang mengenal kita. Banyak perusahaan yang mudah melihat rekam jejak digital kita melalui media sosial dan internet.


Ada platform Linked In, misalnya, yang menjadi media bagi orang-orang untuk mendapatkan informasi dalam mencari pekerjaan. Pun tingkah laku kita melalui apa yang diunggah dan dibagikan di media sosial pribadi. Tetapi di sisi lain, hal tersebut terkadang dimanfaatkan untuk hal lain, seperti kampanye suatu kepentingan tertentu dengan melihat kecenderungan pengguna dilihat dari apa saja yang diunggahnya. Hal ini terjadi di Amerika Serikat.


Perekonomian juga mengalami imbasnya. Pasalnya, dunia digital mempermudah konsumen dan penjual untuk akses jual beli sehingga praktik begitu cepat. Namun, hal tersebut juga memberikan dampak negatif terhadap persaingan usaha yang semakin ketat. Dunia usaha sudah tidak dapat mengandalkan satu bidang usaha saja untuk mendapatkan keuntungan yang diharapkan, tetapi harus mengembangkan usaha lainnya untuk menutupi kerugian yang didapatnya.

 

Taufik Hidayadi, alumni Fellow di Guangzhou, menyampaikan dalam sebuah diskusi perang dagang China dan Amerika Serikat bahwa Negeri Tirai Bambu begitu memanjakan para konsumen. Hal itu terbukti transaksi cukup dilakukan dengan Wechat yang langsun memotong saldo rekening bank pribadi untuk membeli berbagai macam hal di Alibaba.


Kemudahan akses yang demikian belum diterapkan di Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, di kota-kota besar sudah banyak masyarakat yang menggunakan kemudahan bertransaksi dengan Gojek, misalnya, yang sudah merambah ke berbagai hal dari yang semula hanya membantu mendapatkan pengendara motor untuk mengantarkan ke sebuah lokasi tertentu.


Buku ini mengungkap kerja digital di balik fenomena sosial yang terjadi beberapa waktu terakhir, mulai dari peristiwa 212, kasus Audrey, hingga fenomena minyak sawit yang menuai penolakan di Eropa. Dengan buku ini, kita diajak untuk melihat fenomena sosial dari akarnya dengan data-data digital. []

(Ngaji of the Day) Sebab Ibadah Terasa Kering dan Hampa kata Syekh Syadzili

Sebab Ibadah Terasa Kering dan Hampa kata Syekh Syadzili


Ibadah merupakan ritual umat beragama yang biasanya dapat memperkuat spiritualitas dan memperkaya batin seseorang. Tetapi sesekali ibadah baik itu shalat, puasa, atau umrah terasa hampa dan kering makna. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Syekh Syadzili menyebut hubbud dunia sebagai satu sebabnya.

 

Semua ibadah itu dijalani sebagai rutinitas semata. Shalat, puasa, dan haji itu tidak dijalani dengan kesadaran yang penuh. Ibadah itu terasa tidak memberikan kepuasan batin. Meskipun ibadah semacam ini besar dari segi kuantitas, secara kualitas ibadah yang dilakukan oleh mereka yang cinta dunia rendah di sisi Allah.

 

وكان سيدي أبو المواهب الشاذلي رحمه الله تعالى يقول العبادة مع محبة الدنيا شغل قلب وتعب جوارح فهي وإن كثرت قليلة وإنما كثيرة في وهم صاحبها وهي صورة بلا روح وأشباح خالية غير حالية

 

Artinya, “Syekh Abul Hasan As-Syadzili pernah berkata, bahwa ibadah–sementara rasa cinta dunia bergelora di hati–membuat bimbang hati dan meletihkan badan seseorang. Ibadah seperti itu meskipun banyak secara kuantitas tetap terbilang sedikit. Ibadah itu terbilang banyak menurut yang melakukannya. Ibadah itu seperti bentuk tanpa roh, raga kosong tanpa kondisi tertentu.’” (Lihat Syekh Abdul Wahhab Sya’rani, Al-Minahus Saniyyah, [Singapura-Jeddah-Indonesia, Al-Haramain: tanpa catatan tahun], halaman 4).

 

Syekh Syadzili mengatakan bahwa orang-orang yang cinta dunia, meskipun gemar beribadah, tidak menunjukkan sinar kezuhudan dalam ucapan, berpikir, dan tindakan keseharian mereka. Ibadah mereka ini tidak menjadi gizi rohani mereka.

 

ولهذا ترى كثيرا من أرباب الدنيا يصومون كثيرا ويصلون كثيرا ويحجون كثيرا وليس لهم نور الزهاد ولا حلاوة العبادة

 

Artinya, “Karenanya kau melihat banyak pecinta dunia melakukan puasa ratusan kali, shalat ribuan rekaat, berangkat haji berkali-kali. Tidak ada cahaya zuhud dan kenikmatan ibadah pada mereka,” (Lihat Syekh Abdul Wahhab Sya’rani, Al-Minahus Saniyyah, [Singapura-Jeddah-Indonesia, Al-Haramain: tanpa catatan tahun], halaman 4).

 

Orang-orang yang gemar dunia sulit untuk merasakan kenikmatan ibadahnya. Ucapan, pikiran, dan perilaku mereka menunjukkan hasrat yang kuat terhadap dunia. Gerak-gerik mereka di luar ibadah jauh dari spiritualitas yang seharusnya terbentuk melalui disiplin ritual atau ibadah itu sendiri. Tanpa mengecilkan arti ibadah, sikap zuhud sebagai fondasi ritual harus ditanam dengan kokoh. Wallahu a‘lam. []

 

Sumber: NU Online

Sejarah Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama

Sejarah Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama

 

Bagi para ulama NU, ta’lif dan nasyr bukan barang baru. Keseharian mereka berkaitan langsung dengan konten yang diprodukis dari ta’lif dan nasyr itu, yaitu kitab kuning. Bahkan, tak sedikit para kiai yang melakukan ta’lif dan nasyr tersebut, yaitu mengarang sebuah kitab dan mencetaknya.

 

Namun, secara kelembagaan, ta’lif dan nasyr baru dibentuk pada masa awal kepemimpinan ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurut Ensiklopedia NU, keberadaan LTNNU merupakan rekomendasi muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984.

 

Tujuan awal keberadan lembaga ini adalah untuk melakukan sosialisasi keputusan-ketutusan muktamar, terutama menyangkut khittah 1926. Menurut Kepala Perpustakaan NU Syatiri Ahmad, muktamar tersebut merekomendasikan lembaga itu karena para kiai kesulitan menemukan hasil-hasil muktamar sebelumnya. Mereka khawatir buah karya musyawarah para kiai yang dilakukan puluhan tahun tersebut punah.

 

Selain itu, rekomendasi lembaga tersebut adalah untuk sosialisasi keputusan yang waktu itu sangat penting, perubahan status NU dari partai politik kembali ke ormas keagamaan. Sebagaimana diketahui pada muktamar tersebut, NU menyatakan secara resmi menjadi ormas keagamaan sebagaimana awal didirikan. Sebab, sejak tahun 1952, yaitu pada Muktamar Palembang memutuskan menjadi partai politik. Status tersebut mulai berakhir pada tahun 1987. Kemudian total secara organisasi tahun 1984. Keputusan lain yang perlu disosialisaasikan waktu itu adalah NU menyatakan menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

 

Karya dan Pengurus LTNNU

 

Lembaga ini pernah menerjemahkan kitab Nihayatuz Zain karya Syekh Nawawi Banten, menerbitkan buku-buku keputusan resmi PBNU seperti hasil muktamar dan musyawarah nasional alim ulama dan konferensi besar NU serta menerbitkan sejumlah buku biografi tokoh-tokoh NU.

 

Di antara tokoh yang pernah diteritkan adalah Berzikir Menyiasaru Angin, sebuah biografi tentang perjalanan hidup tokoh NU dari Sumatera Utara KH Zainul Arifin.

 

Lembaga ini juga pernah melakukan penelitian sejarah masuknya NU di Lombok, Sulawesi Selatan, Sumatera, dan lain-lain.

 

Lembaga ini juga pernah menerbitkan Warta NU sebagai media komunikasi dan sosialisasi kebijkan PBNU kepada masyarakat. Kemudian berhenti dan sekarang dilanjutkan dengan menerbitkan majalah Risalah Nahdlatul Ulama yang terbit tiap bulan.

 

Memasuki era digital, LTNNU pada 2003 meluncurkan situs resmi yang dikelola dari gedung PBNU yaitu NU Online. Situs tersebut tetap bertahan dan berkembang hingga sekarang. Bahkan menjadi situs nomor satu dalam layanan keislaman Ahlussunah wal Jamaah.

 

Kanal di situs tersebut, tidak hanya memberitakan kegiatan-kegiatan resmi NU, tapi juga pesantren, kiai, santri, dan para pengurus NU. Di samping itu juga memuat buah pikiran dari pembaca serta mengapresiasi seni dan budaya melalui kanal cerpen dan puisi. Namun, situs tersebut lebih memperkuat konten keislaman yang dikemas dengan gaya populer dan ringan.

 

Beberapa orang yang pernah menjadi Ketua LTNNU adalah H Ichwan Syam (1984-1994), Choirul Anam (1994-1999), Abdul Mun’im DZ (1999-2010), Sulton Fathoni (2010-2015), Juri Ardiantoro (2015-2016). Karena Juri terpilih menjadi ketua PBNU, ia digantikan Hari Usmayadi (2016-sekarang).

 

Penerbitan Sejak NU berdiri

 

Meski secara lembaga baru dibentuk pada tahun 1984, aktivitas penerbitan telah berlangsung sejak awal NU berdiri. Pada tahun 1930-an, NU mendirikan sebuah majalah yaitu Swara Nahdlatoel Oelama (SNO). Majalah tersebut terbit dengan menggunakan huruf Arab pegon dan berbahasa Jawa. Isinya lebih banyak mengupas masalah-masalah keagamaan yang berkembang saat itu. Misalnya membahas ulang keputusan-keputusan muktamar NU yang telah berlangsung serta menjawab pertanyaan yang diajukan pembaca.

 

Kemudian ketika NU mulai berkembang ke luar Jawa, majalah tersebut berubah menjadi Berita Nahdlatoel Oelama. Kali ini, kecuali hadits dan ayat Al-Qur’an, serta qaul-qaul ulama, majalah itu menggunakan huruf Latin dan dengan bahasa Melayu. Pada waktu bersamaan, NU juga memiliki majalah lain yaitu Oetoesan Nahdlatoel Oelama.

 

Penerbitan makin berkembang ketika NU memiliki lembaga yang menangani khusus satu bidang, misalnya pendidikan yaitu Ma’arif. Pada awal dibentuk, lembaga tersebut dipimpin KH Wahid Hasyim. Ia menerbitkan sebuah majalah bernama Soeloeh Nahdlatoel Oelama (1941).

 

Ketika cabang-cabang NU makin berkembang di berbagai daerah, di antara mereka ada pula yang mengupayakan majalah seperti PCNU Surabaya yang memiliki Kemoedi NU dan Tasikmalaya yang memiliki Al-Mawaidz.

 

Tak ketinggalan, badan otonom NU waktu itu, Ansor Nahdltoel Oelama juga menerbitkan majalahnya yaitu Soeara Ansor NU.

 

Salah satu aktivitas yang terkait dengan ta’lif wan nasyr bisa dilihat dalam catatan KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren.

 

“Karena tertarik pada jurnalistik ala Berita NU aku berusaha untuk bisa menulis di dalamnya. Beberapa kali tulisanku tak bisa dimuat, tetapi akhirnya salah satu karanganku dimuat setelah mendapat petunjuk-petunjuk seperlunya dari KH Mahfudz Shiddiq selaku pemimpin umu/pemimpin redaksi Berita NU. Tulisanku yang pertama, Islam dan Persatuan. []

 

(Abdullah Alawi)