Rabu, 10 Juni 2020

Haedar Nashir: Jangan Jemawa dalam Beragama di Tengah Musibah

Jangan Jemawa dalam Beragama di Tengah Musibah

Oleh: Haedar Nashir


Baru seminggu umat Islam purna puasa Ramadhan dan beridul-fitri. Sebagian masih berpuasa sunah enam hari. Betapa lekat gemblengan keruhanian setiap insan muslim di bulan penuh berkah dan syawal yang monumental itu. Selamat datang bulan baru untuk berburu kebajikan hidup!


Pertanyaannya, apa yang membekas dalam diri dengan puasa plus idul fitri dan segala rangkaian ibadah lainnya selama satu bulan penuh itu? Benih rohani apa yang dapat ditanam dan dikembangkan dalam kehidupan umat muslim di negeri yang mayoritas beragama Islam ini.


Jawaban normatifnya tentu setiap muslim atau mukmin makin bertakwa. Agar terjadi akumulasi ketakwaan yang semakin berkualitas. Apakah ketaqwaan kita terus meningkat, jalan di tempat,  atau menurun?


Menurut para ulama, taqwa ialah menjalankan segala perintah Allah, menjauhi segala larangan-Nya, dan (hasilnya) dijauhkan dari siksa neraka. Orang bertaqwa tauhidnya kokoh dan menjadi sosok yang shaleh. Sikap hidupnya senantiasa jujur, benar, adil, terpercaya, dan melakukan segala kebaikan untuk dirinya, keluarga, masyarakat, dan umat manusia semesta.


Insan muttaqin itu senantias beriman, berilmu, dan beramal shaleh dengan sepenuh hati untuk meraih kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Orang bertaqwa itu hidupnya bersih lahir dan batin, disiplin, tanggungjawab, taat aturan, suka bekerja keras, berani dalam kebenaran, rasa malu ketika salah, serta memiliki kehormatan dan martabat diri yang tinggi selaku manusia yang mulia dan utama.


Pendek kata taqwa itu segala puncak kebaikan dalam rajutan habluminallah dan hablumjnannas yang menyatu dan memancarkan rahmat bagi semesta. Sebaliknya insan bertaqwa senantiasa menjauhi hal-hal yang salah, buruk, dan tidak pantas dalam kehidupannya.


Pasca-Ramadhan dan Idul Fitri tingkatkan kualitas perilaku taqwa dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan semesta. Menjadi insan baru yang mulia dalam diri dan menebar kemuliaan bagi sesama dan lingkungan tempat hidup bersama!


Hasrat Berlebih


Setiap muslim paham puasa itu bermakna “al-imsaak”, menahan diri. Menahan diri dari makan, minum, dan pemenuhan hasrat biologis sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Sesuatu yang sehari-hari dihalalkan, pada waktu puasa diharamkan, ketika dilanggar batallah puasanya.


Semudah itukah berrpuasa, lebih lebih bagi yang sudah terbiasa? Secara rukun syaraiat tentu mudah. Tetapi, bagaimana dengan dimensi hakikat dan makrifat dari puasa dan segala rangkaian ibadah di bulan yang agung itu? Hingga di sini, pada titik yang esensial dan eksistensial maka fungsi keruhanian puasa penting untuk terus dipertanyakan dan dihayati untuk melahirkan keshalehan yang utama.


Secara esensial makan, minum, dan kebutuhan biologis yang dilarang selama berpuasa itu mewakili elemen duniawi yang melekat dengan hasrat atau nafsu manusia secara alamiah. Artinya dengan berpuasa maka setiap insan muslim yang menunaikannya terlatih untuk menahan diri dari hasrat berlebih atas segala tuntutan duniawi yang seringkali menjebak manusia pada perilaku israf atau melampaui batas. Tahta, harta, dan segala kebutuhan inderawi itu memang manusiawi untuk dipenuhi, tetapi jangan berlebihan. Bukankah Allah SWT memperingatian, “Makan dan minumlah, dan  jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31).


Dunia harus diikhtiarkan, tapi jangan mendewakannya. Ketika mengejar tahta, harta, dan kepentingan dunia secara berlebihan maka manusia akan tenggelam di dalamnya. Ketika gagal meraihnya, boleh jadi lahir kecewa. Lalu, diri menjadi teralienasi, kemudian muncul frustrasi dan rasa gagal diri. Lahirlah sikap-sikap ekstrem atau berlebihan dalam memandang kehidupan, karena hilang keseimbangan.


Islam mengajarkan syukur, sabar, tawakal, dan cukup diri. Dunia tidak dapat diurus sendirian melampaui kemampuan. Dalam menegakkan kebenaran pun mesti benar, baik, dan sabar dalam koridor hikmah.  Tugas dan kewajiban manusia adalah ikhtiar seoptimal mungkin, selebihnya serahkan kepada Allah Yang Maha Pemberi dan Maha Penentu segalanya. Bukankah Allah berfirman yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabb-mu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS Huud: 123).


Bagi yang sedang diberi amanah kuasa tunaikan sebaik mungkin sebagaimana tugas mulia kekhalifahan di muka bumi. Ingatlah firman Allah, yang artinya:  “Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS Ali ‘Imrân: 26).


Menyelamatkan Jiwa


Idul fitri dan puasa Ramadhan 1441 hijriyah yang baru saja berlalu ditunaikan di tengah musibah wabah Covid-19 yang melanda dunia dan negeri Indonesia tercinta. Wabah pandemi ini nyata dan bukan ilusi. Ia telah menelan korban sekitar 5,9 juta terinfeksi dan tiga ratus ribu lebih meninggal, serta membawa dampak pada banyak hal dalam kehidupan. Ratusan ribu dokter dan petugas kesehatan di seluruh dunia berkhidmat demi kemanusiaan dalam menghadapi virus mematikan itu dengan bertaruh jiwa.


Islam memberi solusi ketika hadapi kiris. Fikih darurat diberlakukan. Umat Islam rela mengonversi ibadah berjamaah di masjid dan shalat idul fitri di lapangan ke kediaman masing-masing. Shalat wajib, Ramadhan,  dan Idul Fitri di Rumah menjadi pilihan yang dibenarkan syariat Islam. Padahal kerinduan pada masjid sangatlah luar biasa sebagai panggilan ruhani beragama. Tetapi, esensi utamanya tidaklah hilang, yakni taqarrub kepada Allah dengan khusyuk di mana setiap jenis ibadah dilakasanakan oleh insan muslim. Semuanya dilakukan demi penyelamatan jiwa manusia (hifdz nafs) yang menjadi salah satu tujuan syariat.


Di tengah ijtihad untuk penyelamatan nyawa itu umat muslim pada awalnya sempat masih belum sepenuhnya satu pandangan. Alhamdulillah semua dapat dilalui dengan relatif baik. Allah memang mengajarkan dalam hidup dan beragama berprinsip pada kemudahan dan menjauhi kesukaran (QS Al-Baqarah: 185). Nabi juga mengajarkan agar menjauhi perbuatan bahaya bagi diri sendiri dan menimbulkan bahaya bagi orang lain. Banyak ayat Al-Quran dan Hadis Nabi yang memberi jalan keluar dalam menghadapi situasi darurat.


Dengan jiwa taqwa setiap insan muslim  makin tawadhu dan tidak merasa diri paling suci dalam hidup dan beragama. Orang beriman diingatkan Allah, “...maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS An-Najm: 32). Jangan merasa jawara  dan jemawa dalam beragama di tengah musibah yang mewabah ini. Sikap semuci diri  merupakan bentuk ghuluw atau ekstrem yang dapat membahayakan kepentingan dan kemaslahatan umum!


Angkuh diri merupakan sikap buruk yang tidak dibenarkan agama. Allah memperingatkan manusia, yang artinya “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS Al-Isra: 37). Sikap sombong itu sabda Nabi, “bathar al-haq” (suka menolak kebenaran) dan “ghamthu al-nas” (menyepelakan sesama) karena dirinya merasa digdaya.


Semoga jiwa suci buah dari puasa dan idul fitri makin memperkaya setiap insan muslim untuk beragama yang hanif, yang membuankan ihsan terhadap sesama dan menyelamatkan kehidupan milik bersama. Insan muslim produk puasa dan idul fitri yang autentik meniscayakan kekayaan ruhani tinggi untuk menebar cinta kasih dan kebersamaan tanpa pamrih dan ego diri. Lingkungan tempat dia hidup dirawat dan dikelola dengan tanggungjawab mulia, serta tidak merusaknya.


Hidup beragama dan bernegara bagi setiap insan muslim diajarkan mengutamakan jiwa manusia. Harga manusia itu mahal, menyelamatkan satu nyawa sama dengan menyelamatkan seluruh manusia, sebaliknya membunuh satu jiwa sama membunuh seluruh umat manusia (QS Al-Maidah: 32). Keselamatan jiwa manusia harus menjadi paradigma baru dalam beragama, kebijakan negara,  dan pergaulan antar bangsa di jagad semesta! []

 

REPUBLIKA, 31 Mei 2020

Haedar Nashir | Ketua Umum PP Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar