Jangan Jemawa dalam Beragama di Tengah Musibah
Oleh: Haedar Nashir
Baru seminggu umat Islam purna puasa Ramadhan dan
beridul-fitri. Sebagian masih berpuasa sunah enam hari. Betapa lekat gemblengan
keruhanian setiap insan muslim di bulan penuh berkah dan syawal yang monumental
itu. Selamat datang bulan baru untuk berburu kebajikan hidup!
Pertanyaannya, apa yang membekas dalam diri dengan
puasa plus idul fitri dan segala rangkaian ibadah lainnya selama satu bulan penuh
itu? Benih rohani apa yang dapat ditanam dan dikembangkan dalam kehidupan umat
muslim di negeri yang mayoritas beragama Islam ini.
Jawaban normatifnya tentu setiap muslim atau mukmin
makin bertakwa. Agar terjadi akumulasi ketakwaan yang semakin berkualitas.
Apakah ketaqwaan kita terus meningkat, jalan di tempat, atau menurun?
Menurut para ulama, taqwa ialah menjalankan segala
perintah Allah, menjauhi segala larangan-Nya, dan (hasilnya) dijauhkan dari
siksa neraka. Orang bertaqwa tauhidnya kokoh dan menjadi sosok yang shaleh.
Sikap hidupnya senantiasa jujur, benar, adil, terpercaya, dan melakukan segala
kebaikan untuk dirinya, keluarga, masyarakat, dan umat manusia semesta.
Insan muttaqin itu senantias beriman, berilmu, dan
beramal shaleh dengan sepenuh hati untuk meraih kehidupan yang baik di dunia
dan akhirat. Orang bertaqwa itu hidupnya bersih lahir dan batin, disiplin,
tanggungjawab, taat aturan, suka bekerja keras, berani dalam kebenaran, rasa
malu ketika salah, serta memiliki kehormatan dan martabat diri yang tinggi
selaku manusia yang mulia dan utama.
Pendek kata taqwa itu segala puncak kebaikan dalam
rajutan habluminallah dan
hablumjnannas yang menyatu dan memancarkan rahmat bagi semesta.
Sebaliknya insan bertaqwa senantiasa menjauhi hal-hal yang salah, buruk, dan
tidak pantas dalam kehidupannya.
Pasca-Ramadhan dan Idul Fitri tingkatkan kualitas
perilaku taqwa dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan
kemanusiaan semesta. Menjadi insan baru yang mulia dalam diri dan menebar
kemuliaan bagi sesama dan lingkungan tempat hidup bersama!
Hasrat Berlebih
Setiap muslim paham puasa itu bermakna “al-imsaak”, menahan diri.
Menahan diri dari makan, minum, dan pemenuhan hasrat biologis sejak terbit
fajar sampai terbenam matahari. Sesuatu yang sehari-hari dihalalkan, pada waktu
puasa diharamkan, ketika dilanggar batallah puasanya.
Semudah itukah berrpuasa, lebih lebih bagi yang sudah
terbiasa? Secara rukun syaraiat tentu mudah. Tetapi, bagaimana dengan dimensi
hakikat dan makrifat dari puasa dan segala rangkaian ibadah di bulan yang agung
itu? Hingga di sini, pada titik yang esensial dan eksistensial maka fungsi
keruhanian puasa penting untuk terus dipertanyakan dan dihayati untuk
melahirkan keshalehan yang utama.
Secara esensial makan, minum, dan kebutuhan biologis
yang dilarang selama berpuasa itu mewakili elemen duniawi yang melekat dengan
hasrat atau nafsu manusia secara alamiah. Artinya dengan berpuasa maka setiap
insan muslim yang menunaikannya terlatih untuk menahan diri dari hasrat
berlebih atas segala tuntutan duniawi yang seringkali menjebak manusia pada
perilaku israf atau melampaui batas. Tahta, harta, dan segala kebutuhan
inderawi itu memang manusiawi untuk dipenuhi, tetapi jangan berlebihan.
Bukankah Allah SWT memperingatian, “Makan
dan minumlah, dan jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31).
Dunia harus diikhtiarkan, tapi jangan mendewakannya.
Ketika mengejar tahta, harta, dan kepentingan dunia secara berlebihan maka
manusia akan tenggelam di dalamnya. Ketika gagal meraihnya, boleh jadi lahir
kecewa. Lalu, diri menjadi teralienasi, kemudian muncul frustrasi dan rasa
gagal diri. Lahirlah sikap-sikap ekstrem atau berlebihan dalam memandang
kehidupan, karena hilang keseimbangan.
Islam mengajarkan syukur, sabar, tawakal, dan cukup
diri. Dunia tidak dapat diurus sendirian melampaui kemampuan. Dalam menegakkan
kebenaran pun mesti benar, baik, dan sabar dalam koridor hikmah. Tugas
dan kewajiban manusia adalah ikhtiar seoptimal mungkin, selebihnya serahkan
kepada Allah Yang Maha Pemberi dan Maha Penentu segalanya. Bukankah Allah
berfirman yang artinya, “Dan
kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah
dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah
kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabb-mu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.”
(QS Huud: 123).
Bagi yang sedang diberi amanah kuasa tunaikan sebaik
mungkin sebagaimana tugas mulia kekhalifahan di muka bumi. Ingatlah firman
Allah, yang artinya: “Wahai
Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa
atas segala sesuatu” (QS Ali ‘Imrân: 26).
Menyelamatkan Jiwa
Idul fitri dan puasa Ramadhan 1441 hijriyah yang baru
saja berlalu ditunaikan di tengah musibah wabah Covid-19 yang melanda dunia dan
negeri Indonesia tercinta. Wabah pandemi ini nyata dan bukan ilusi. Ia telah
menelan korban sekitar 5,9 juta terinfeksi dan tiga ratus ribu lebih meninggal,
serta membawa dampak pada banyak hal dalam kehidupan. Ratusan ribu dokter dan
petugas kesehatan di seluruh dunia berkhidmat demi kemanusiaan dalam menghadapi
virus mematikan itu dengan bertaruh jiwa.
Islam memberi solusi ketika hadapi kiris. Fikih
darurat diberlakukan. Umat Islam rela mengonversi ibadah berjamaah di masjid
dan shalat idul fitri di lapangan ke kediaman masing-masing. Shalat wajib,
Ramadhan, dan Idul Fitri di Rumah menjadi pilihan yang dibenarkan syariat
Islam. Padahal kerinduan pada masjid sangatlah luar biasa sebagai panggilan
ruhani beragama. Tetapi, esensi utamanya tidaklah hilang, yakni taqarrub kepada Allah
dengan khusyuk di mana setiap jenis ibadah dilakasanakan oleh insan muslim.
Semuanya dilakukan demi penyelamatan jiwa manusia (hifdz nafs) yang menjadi salah satu tujuan
syariat.
Di tengah ijtihad untuk penyelamatan nyawa itu umat
muslim pada awalnya sempat masih belum sepenuhnya satu pandangan. Alhamdulillah
semua dapat dilalui dengan relatif baik. Allah memang mengajarkan dalam hidup
dan beragama berprinsip pada kemudahan dan menjauhi kesukaran (QS Al-Baqarah:
185). Nabi juga mengajarkan agar menjauhi perbuatan bahaya bagi diri sendiri
dan menimbulkan bahaya bagi orang lain. Banyak ayat Al-Quran dan Hadis Nabi
yang memberi jalan keluar dalam menghadapi situasi darurat.
Dengan jiwa taqwa setiap insan muslim makin
tawadhu dan tidak merasa diri paling suci dalam hidup dan beragama. Orang
beriman diingatkan Allah, “...maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang
orang yang bertakwa.” (QS An-Najm: 32). Jangan merasa jawara
dan jemawa dalam beragama di tengah musibah yang mewabah ini. Sikap semuci
diri merupakan bentuk ghuluw
atau ekstrem yang dapat membahayakan kepentingan dan kemaslahatan umum!
Angkuh diri merupakan sikap buruk yang tidak
dibenarkan agama. Allah memperingatkan manusia, yang artinya “Dan janganlah kamu berjalan di muka
bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat
menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.”
(QS Al-Isra: 37). Sikap sombong itu sabda Nabi, “bathar al-haq” (suka menolak kebenaran) dan
“ghamthu al-nas”
(menyepelakan sesama) karena dirinya merasa digdaya.
Semoga jiwa suci buah dari puasa dan idul fitri makin
memperkaya setiap insan muslim untuk beragama yang hanif, yang membuankan ihsan
terhadap sesama dan menyelamatkan kehidupan milik bersama. Insan muslim produk
puasa dan idul fitri yang autentik meniscayakan kekayaan ruhani tinggi untuk
menebar cinta kasih dan kebersamaan tanpa pamrih dan ego diri. Lingkungan
tempat dia hidup dirawat dan dikelola dengan tanggungjawab mulia, serta tidak
merusaknya.
Hidup beragama dan bernegara bagi setiap insan muslim
diajarkan mengutamakan jiwa manusia. Harga manusia itu mahal, menyelamatkan
satu nyawa sama dengan menyelamatkan seluruh manusia, sebaliknya membunuh satu
jiwa sama membunuh seluruh umat manusia (QS Al-Maidah: 32). Keselamatan jiwa
manusia harus menjadi paradigma baru dalam beragama, kebijakan negara,
dan pergaulan antar bangsa di jagad semesta! []
REPUBLIKA, 31 Mei 2020
Haedar Nashir | Ketua Umum PP Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar