Senin, 31 Oktober 2011

Melampaui Berjama'ah

Semuanya menunggu lampu menyala hijau dengan melampaui garis yang telah ditetapkan. Sekarang ini, berhenti di belakang garis yang telah ditetapkan sudah diangap orang yang aneh.

Gus Dur: Lain NU, Lain PKB

Lain NU, Lain PKB
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Ada pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menyatakan bahwa ia tidak bersedia menjadi pengurus sekarang, karena kepengurusan PKB ada non-muslimnya. Ini adalah pernyataan yang aneh, karena itu beberapa alasan akan diuraikan di bawah ini. Padahal ia sudah bertahun-tahun menjadi pengurus PKB, dan sejak berdiri PKB senantiasa berisi orang-orang non-muslim sebagai pengurus, disamping kaum muslimin yang bukan warga Nahdlatul Ulama (NU). Bukankah itu berarti sekian tahun itu ia menipu diri sendiri? Mengapakah ia tidak langsung saj berterus terang menolak hasil Muktamar II di Semarang baru-baru ini? Dalam pandangan penulis, penipuan kepada diri sendiri itu tidak lebih hanyalah sebuah alasan untuk menolak kehadiran ‘orang lain’ dalam PKB. Karena itu, memang lebih baik ia tidak berada dalam lingkungan pengurus partai, karena yang diperlukan adalah mereka yang jujur dalam kepengurusan.

Sebenarnya, memang ada perbedaan mendasar antara NU dan PKB. Ini dapat dilihat dalam 2 hal, yaitu masa lampau NU dan masa depan PKB. NU didirikan tahun 1926, tetapi sebenarnya ia bermula dari langkah yang diambil oleh Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Demak. Di saat itu, ia dikalahkan dalam perang tanding melawan Sutawijaya, yang belakangan menggunakan gelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama Kalipatullah Ing Tanah Jawi, dan menjadi pendiri Dinasti Mataram. Ketika kalah dalam perang tanding tersebut, Hadiwijaya lari ke Sumenep untuk meminta pertolongan ibunya, Kanjeng Ratu Putri di Astana Tenggi . Wanita ningrat yag juga menjadi pembawa tarekat qadiriyah ke Pulau Madura itu memberinya 40 macam kesaktian/ kanuragan kepadanya.

Dalam perjalanan pulang ke Pajang, Sultan Hadiwijaya singgah di pulau Pringgoboyo (sebelah selatan Paciran di Lamongan) di sana ia bermimpi didatangi oleh gurunya, yang menyatakan tidak ada gunanya ia kembali ke Pajang untuk memperebutkan tahta kerajaan, karena ia akan tetap kalah melawan Sutawijaya. Ia menurut perintah gurunya, dan tinggal di Pringgoboyo itu kemudian membuka sebuah pondok pesantren. Maka bermulalah sebuah tradisi baru {pondok pesantren} yang menjadi alternatif tardisi kraton besar di pusat kerajaan. Pondok pesantren merupakan kekuatan tersendiri, yang melaksaakan sistem nilai baru (kesantrian) sebagai sesuatu yang memiliki kemampuan seimbang dengan kraton.

Fungsi seharusnya diteruskan oleh NU, yang merupakan kekuatan alternatif bagi kekuatan pemerintahan pusat di Jakarta . Karena itulah dapat dimengerti jika kepemimpinan dalam NU hanya terdiri dari orang-orang NU. Dalam hal itu, pemimpin-pemimpin NU menjadi alternatif bagi kepemimpinan nasional, yang hanya dapat “dipatahkan” oleh Soeharto-Ali Murtopo melalui tindakan “penyederhanaan partai politik”. NU lalu menjadi bagian dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Maka bermulalah masa transisi/perpindahan dari parpol golongan menjadi parpol nasional.

****

Perjalanan sejarah inilah yang seharusnya disadari oleh tokoh tersebut. Tapi ternyata ia tidak menyadarinya sama sekali. Karena itu, ia berkeras untuk membuat kepemimpinan dalam PKB hanya dipegang oleh orang-orang NU saja. Padahal sejarah telah menunjukkan dengan jelas, bahwa sikap seperti ini tidak dapat terus menerus dipertahankan, tanpa mengorbankan cita-cita NU sendiri.

Sejak lahirnya, PKB memiliki “jiwa” yang berbeda dari NU. Karena di masa depan, peranan politik di kalangan parpol akan bersifat nasional. Parpol akan menjembatani gerakan mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan sebagian kaum intelektual. Di sisi lain, ada Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga akan berfungsi politik, walaupun resminya bukan. Parpol harus menjadi jembatan yang menghubungkan antara keduanya. Karena itu, parpol harus bersifat nasional, dan tidak terlalu mementingkan kepentingan kelompok. Berdsarkan hal itu penulis menginginkan PKB mencapai lingkup nasional dengan sendirinya. Penulis harus mengusahakan agar PKB diminati oleh kelompok-kelompok non-muslim dan kelompok-kelompok muslim non-NU. Itulah sebabnya mengapa penulis berusaha memasukan kawan-kawan non-muslim & non- NU ke dalam kepengurusan PKB.

Inilah yang penulis namakan “masa depan PKB”. Tanpa mengerti hal ini, berarti kita tidak memahami masa depan dunia politik kita. Kalau hal ini tetap terjadi, NU akan tetap menjadi subordinat dari kehidupan nasional kita, bukannya menjadi koordinat. Kalau memang NU benar-benar besar, ia harus mau berbagi tempat. Dengan demikian akan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, yaitu dunia politik nasional kita. Ketidakmampuan memahami hal ini, akibat sikap “menjaga kemurnian”, akan membuat kita tetap terpecah-pecah dalam lingkup kesantrian, seperti terjadi dalam PPP terdahulu. Bagaimana klaim bahwa umat Islam merupakan kelompok terbesar dalam kehidupan nasional kita, sedangkan dalam kenyataan kita hanya berpikir tentang kepentingan kelompok saja.

Nyatalah dengan demikian, bahwa memang ada pergeseran besar. Kalau disadari dahulu NU mewakili kepentingan kaum santri yang bersifat sempit, dan membuatnya tidak berpartisipasi dalam kehidupan bangsa secara riil. Akibat pola lama yang berwatak kepentingan golongan yang selalu diusahakan agar ditentukan oleh NU. Maka sekarang justru PKB lah yang harus merambah pola kehidupan baru itu. Tetapi kepentingan nasional menghendaki kesediaan untuk memelihara peranan dalam kehidupan sebagai bangsa, dan dalam kenyataan bangsa kita memang terdiri dari bermacam-macam golongan. Dalam mengelola kehidupan sebuah parpol, hal ini memang harus selalu disadari dan dijadikan kebijakan/policy dasar. Bersama-sama dengan kemampuan melakukan pensejahteraan kehidupan, penegakan kebebasan, pemeliharaan kedaulatan hukum dan penyelenggaraan kehidupan saling berbeda.

Jelaslah di sini, bahwa NU memang berbeda dari PKB. Perbedaan kesejarahan masa lampau dan masa depan memang harus selalu diperhitungkan, kalau kita memang ingin dewasa. Betapapun “murni” dan “indah” keinginan untuk tidak memberikan tempat kepada pihak-pihak lain dalam PKB, jelas akan merugikan masa depan PKB sendiri. Mereka yang “bermimpi” seperti itu, haruslah menyadari bahwa PKB bukanlah parpol yang sesuai dengan keinginannya itu sendiri. Mereka bermimpi dengan sesuatu yang melayani kepentingan kelompok saja, bukannya kepentingan bangsa secara keseluruhan. Sudah tentu, bagi orang-orang yang seperti penulis, hal itu adalah tragedi yang harus dihindari. Di masa lampau, kebesaran NU terletak dalam kemampuan “menjaga kemurnian” NU sendiri. Tetapi di masa yang akan datang hal itu ada dalam kemampuan hidup bersama-sama dengan orang lain.

Dengan memahami perbedaan masa lampau dari masa depan, kita akan memperoleh daya gerak untuk mempertahankan daya gerak itu sendiri. Ini berlaku untuk semua pihak, dan selalu berulang kali terjadi kalau diperhatikan dengan teliti. Maka hanya pihak yang bersedia melakukan penyesuaian/adaptasi masa dahulu kepada masa depan saja yang akan mampu bertahan dalam kebesaran masa lampau. Inilah yang sebenarnya merupakan kemampuan melanggengkan dan menghilangkan apa yang kita kehendaki, sebagai bagian dari proses yang lumrah terjadi dalam sejarah manusia, bukan?

Jakarta, 28 Mei 2005

(Ngaji of the Day) Menghidupkan Mozaik Islam Nusantara

Menghidupkan Mozaik Islam Nusantara

Oleh: R u m a d i



Kementerian Agama, melalui Direktorat Pendidikan Tinggi Islam menyelenggarakan Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-11 telah digelar di Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011. ACIS merupakan agenda tahunan yang diadakan Kemenag yang diikuti peminat kajian Islam, baik berasal dari Perguruan Tinggi Agama Islam, lembaga-lembaga keagamaan maupun aktifis LSM.



Forum tersebut diharapkan bisa menjadi tolok ukur perkembangan kajian Islam di tanah air, karena di sini akan dipresentasikan riset mengenai berbagai persoalan keislaman yang diharapkan akan member insight baru bagi kehidupan bangsa.



Tahun ini, ACIS mengambil tema “Merangkai Mozaik Islam dalam Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa”. Dalam tema ini terdapat beberapa kata kunci yang penting, yaitu “mozaik Islam”, “ruang publik” dan “karakter bangsa”.



Pertanyaannya, bagaimana menjelaskan kata-kata kunci tersebut dalam konteks kehidupan bangsa mutakhir? Pertanyaan inilah yang berusaha dijawab tulisan pendek ini.



Mozaik Islam (Nusantara)



Kata “mozaik Islam” sebenarnya merupakan bentuk pengakuan bahwa Islam itu tidak berwajah tunggal. Keanekaragaman Islam itu bisa dilihat dalam beberapa level. Pertama, level pemahaman atas doktrin dan ajaran. Memang, acuan utama ajaran Islam bagi umat Islam adalah sama, yaitu al-Quran dan Hadis, namun cara umat Islam memahami ajaran agamanya bisa berbeda-beda satu dengan yang lain. Hal inilah yang menyebabkan mengapa hampir dalam semua aspek ilmu ke-Islaman, seperti teologi, fiqih, tafsir, tasawuf dan sebagainya senantiasa terdapat madzhab dan aliran-aliran pemikiran.



Namun hal ini tidak berarti tidak ada yang “pasti” dalam ajaran Islam, seperti soal adanya Tuhan, kerasulan Nabi Muhammad, kewahyuan al-Quran dan sebagainya. Untuk persoalan yang sudah diketahui keniscayaanya (ma’lûmun min al-dîn bi al-dharûrah) seperti ini tugas umat Islam tinggal meyakini, meskipun tidak berarti tidak ada ruang diskusi.



Sebagai contoh, memang Allah itu esa, tapi bagaimana keesaan Tuhan itu? Nabi Muhammad memang Rasulullah, tapi bagaimana kerasulan itu dijelaskan? Al-Quran memang wahyu Allah, tapi bagaimana proses pewahyuan itu berlangsung? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membentuk aliran-aliran pemikiran di dalam Islam yang akhirnya membentuk mozaik ilmu-ilmu ke-Islaman.



Kedua, keanekaragaman Islam dalam level ekspresi sosial, politik dan kebudayaan. Pada level ini, keanekaragaman Islam luar biasa. Umat Islam di nusantara, dan juga di berbagai belahan dunia yang lain, mempunyai kekayaan dan khazanah yang sangat kaya terkait dengan persoalan sosial politik dan kebudayaan yang masing-masing otonom.



Islam Indonesia misalnya mempunyai gambaran yang sangat khas, yakni Islam berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tanpa bermaksud menundukkan dan menggantikannya menjadi varian Islam negara dan masyarakat manapun. Islam Indonesia adalah Islam berbaju kebudayaan Indonesia, Islam bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya.



Islam Indonesia bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa. Islam Indonesia adalah Islam yang mengendap dan tersaring ke dalam keindonesiaan.



Ruang Publik



Ruang publik (public sphare) merupakan istilah yang muncul sebagai bagian dari abad pencerahan. Ruang publik adalah ruang dimana setiap orang tanpa melihat agama, suku, ras maupun golongan dapat melakukan kontestasi secara bebas dan terbuka. Kata kunci dari ruang publik adalah kesamaan dan kesetaraan pola relasi masing-masing pihak yang terlibat dalam kontestasi tersebut.



Dengan demikian, dalam konteks politis, ruang publik dapat dipahami sebagai ruang untuk warga negara, yakni individu bukan sebagai anggota ras, agama atau etnis, tetapi sebagai anggota politis atau rakyat.



Ruang publik bukanlah institusi atau organisasi, tetapi –seperti dikatakan Habermas—lebih sebagai jaringan yang amat kompleks untuk mengkomunikasi gagasan, opini dan aspirasi.



Tiap komunitas dimana di dalamnya dibahas norma-norma publik, maka akan menghasilkan ruang publik. Karena itu, dalam negara demokratis akan banyak terdapat ruang publik. Dalam konteks ini, makna ruang publik bisa kabur, penuh kompetisi,bahkan anarkhis, meskipun hal itu tidak berarti tanpa aturan. Kepublikan akan menseleksi sendiri tema-tema dan alasan-alasan yang rasional dalam masyarakat.



Kebalikan dari ruang publik adalah ruang privat. Ruang privat adalah ruang dimana seseorang bisa hidup dalam dirinya sendiri tanpa campur tangan pihak lain. Inilah wilayah independen dimana orang bisa secara bebas melakukan pilihan-pilihan (atau juga tidak memilih) atas segala sesuatu. Dalam ruang tersebut memungkinkan individu untuk mengembangkan dan menyempurnakan dirinya di luar campur tangan institusi luar.



Meski secara teoritik bisa dijelaskan, namun dalam prakteknya dua wilayah tersebut kadang tumpang tindih. Sesuatu yang secara teoritik dikategorikan sebagai bagian dari ruang privat, namun prakteknya bisa berdimensi publik, begitu juga sebaliknya.



Karakter Bangsa



Karakter bangsa bisa dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi kekuatan sebagai cirri khas sebuah bangsa. Meski kata karakter itu netral, bisa mengandung arti baik dan buruk, namun makna yang dikehendaki dalam kaitan ini adalah sifat positif yang menjadi ciri pembeda sebuah bangsa.



Karakter sebuah bangsa bukanlah sesuatu yang muncul dengan sendirinya, tapi melalui proses panjang yang terkait dengan berbagai aspek, seperti sejarah, budaya, politik dan kemampuan untuk merfleksikannya.



Apa karakter bangsa Indonesia? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Apakah bangsa Indonesia ini bangsa yang peramah atau pemarah? Apakah kita ini bangsa yang ulet atau bangsa yang mudah menyerah? Apakah kita ini bangsa pejuang atau pecundang? Apakah kita ini bangsa pendendam atau bangsa pemaaf? Apakah kita ini bangsa yang jujur atau culas?



Pertanyaan-pertanyaan di atas masih bisa terus diperpanjang sebagai indikator untuk melihat karakter sebuah bangsa.



Merumuskan Tantangan



Dari penjelasan singkat tersebut kita bisa memahami bahwa sebagai agama yang mayoritas dianut bangsa ini, umat Islam mempunyai tanggung jawab besar untuk menggunakan spirit ke-Islaman untuk merawat ruang publik. Hal ini penting agar kebhinekaan masyarakat Indonesia bisa terjaga. Bila ruang publik sudah tidak sehat, bahkan ada upaya privatisasi ruang publik, hal demikian jelas membahayakan perjalanan bangsa ini. Karena itu, ada beberapa tantangan yang perlu segera dijawab.



Pertama, keanekaragaman Islam harus menjadi kekuatan bangsa dan tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk mendiskriminasi dan saling menindas. Hal ini penting untuk direfleksikan bersama di tengah situasi dimana akhir-akhir ini kekerasan berbasis agama semakin menanjak beberapa tahun terakhir ini. Ada kecenderungan bangsa kita semakin tidak bisa menerima perbedaan.



Kedua, radikalisme agama belakangan ini semakin marak. Salah satu sebabnya adalah karena masyarakat Indonesia yang dikenal moderat tidak cukup memberi perlawanan terhadap kelompok yang menyebarkan kebencian dan permusuhan terhadap orang yang berbeda dengan dirinya. Hal demikian tidak boleh terus dibiarkan, karena karakter fundamentalisme Islam sebenarnya bukan tipikal genuine umat Islam Indonesia.



Ketiga, meski pemerintah terus mendengungkan mengenai pembangunan karakter bangsa, namun harus diakui dengan jujur bahwa karakter sebuah bangsa itu tidak muncul secara instan. Karena itu, kita masih harus berjuang melawan pembusukan bangsa melalui terorisme, radikalisme, dan juga korupsi.



Bangsa ini, terutama umat Islam, masih harus bekerja keras untuk member jawaban terhadap tiga persoalan tersebut. Tentu saja Kementerian Agama yang pertama-tama harus menjawab secara riil dari problem tersebut.[]


Penulis adalah dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peneliti Senior the Wahid Institute Jakarta.

(Do'a of the Day) 04 Dzulhijjah 1432H

Bismillah irRahman irRaheem



In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Innaalill laahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Allaahumma indaka ahtasibu mushiibatii fa ajir fiihaa wa abdilnii bihaa khairan minhaa.



Sesungguhnya kita ini milik Allah dan kita akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengharapkan balasan atas musibah yang menerpaku ini, maka berilah ganjaran pahala kepadaku dan kepadanya, dan berilah ganti yang lebih baik daripadanya.



Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 6, Bab 17.

Jumat, 28 Oktober 2011

(Masjid of the Day) Sejenak di Al Husiniyah, Kampung Kandangroda, Cikarang Selatan

Lokasi masjid yang oleh warga sekitar sering disebut dengan "Masjid Kandang Roda" ini sebenarnya nyempil, masuk di tengah-tengah kampung. Berlokasi ± 300 meter di sebelah kiri dari jalan raya EJIP - Serang, setelah pom bensin Hyundai ini, sangat menarik perhatian karena warna kubah utama-nya yang berkilau keemasan, dengan dikelilingi 4 menara sekunder berkubah hijau.







Berdiri anggun di tengah-tengah kampung...

Dengan tiang pancang yang gagah...

San sudut-sudut ornamen yang indah...

Ruangan dalam yang lega...

Dan mampu membuat betah para jama'ah nya...

Kenikmatan yang Tergeletak

(Khotbah of the Day) Manisnya Iman dan Semangkuk Madu

Manisnya Iman dan Semangkuk Madu



الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِأَنْفُسِناَوَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِ الله ُفَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ الله ُلَهُ نُوْرًا فَمَا لَهُ مِنْ نُوْرٍ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحُمَّدٍ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ: فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ اْلمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: زين للناس حب الشهوات من النساء والبنين والقناطير المقنطرة من الذهب والفضة والخيل المسومة والأنعام والحرث ذلك متاع الحياة الدنيا والله عنده حسن المآب



Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah,


Alhamdulillah hingga detik ini kita masih diberikan kekuatan oleh Allah Ta’ala untuk beriman kepada-Nya. Sehingga kita masih dijaga oleh-Nya untuk tidak melakukan berbagai hal-hal yang menentang perintah-Nya. Sungguh ni’mat iman tiada bandingan harganya, mengapa ? karena godaan nafsu semakin berat, bukan hanya sekedar mengajak maksiat, namun juga sedikit-sedikit menggerogoti rasa ta’at.



Andaikan Allah swt tidak memberikan kita keimanan, mungkin kita telah menjadi pengikut setia para syaitan. Yang tidak segan-segan memberangus keikhslasan, tetapi juga memupuk keserakahan. Jangankan teman, saudara pun rela kita singkirkan. Demi apa ? demi kekuasaan, demi kepuaasan, demi kemewahan dan demia duni yang menggiurkan. Alhamdulillah Allah berikan kita Iman dan semoga menjaganya untuk tetap bersama kita. Amien



Hanya saja, manusia adalah makhluk yang tak berdaya. Ia mudah menyerah kepada nafsu dunia. Oleh karena itu manusia harus senantiasa menjaga keseimbangan antara kebutuan dunia dan kebutuhan akhiratnya. Kehidupan yang seimbang akan membuat manusia sukses dan bahagia hidup di dua dunia –fid dunya hasanah wafil akhirati hasanah-. Surga dapat diraih dengan iman. Meskipun menjalani iman tidak semudah membalik telapak tangan.



Perjalanan iman harus mampu menaklukkan nafsu akan harta, wanita, anak dan kuasa. Dan memang inilah cobaan terbesar manusia. Seperti yang Allah Firmankan


زين للناس حب الشهوات من النساء والبنين والقناطير المقنطرة من الذهب والفضة والخيل المسومة والأنعام والحرث ذلك متاع الحياة الدنيا والله عنده حسن المآب



Menaklukkan nafsu dunia bukan berarti memilikinya, bukan pula menghindarinya, tetapi mampu menggunakan dan mengatur semuanya, agar bermanfaat di jalan agama. Inilah tamsil yang keluar dari diskusi Nabi saw dengan para sahabatnya ketika bertamu di ruma sahabat Ali Karramallahu Wajhah.



Diceritakan suatu ketika Rasulullah saw, bersama Abu Bakar, Umar dan Utsman bertamu ke rumah sahabat Ali. Setibanya di rumah, Fathimah istri Ali yang juga putri Rasulullah saw menghidangkan madu dalam sebuah mangkuk yang cantik. Namun dalam semangkuk madu yang dihidangkan itu terdapat sehelai rambut tercelup di dalamnya. Kemudian, Rasulullah saw meminta sahabat-sahabatnya untuk membuat suatu perbandingan terhadap ketiga benda tersebut (Mangkuk yang cantik, madu, dan sehelai rambut).



Jama’ah Jum’ah yang Dimuliakan Allah


Nabi berkata “Ayo Abu Bakar coba terangkan menurut kamu apa perbandingan antara ketiganya” Kemudian Abubakar r.a. menjawab, "iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang beriman itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan iman itu lebih susah dari meniti sehelai rambut".



Setelah itu giliran Umar r.a yang berpendapat, menurutnya "kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, seorang raja itu lebih manis dari madu, dan memerintah dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut". Sungguh seorang negarawan sejati yang berkarakter. Kaidah kenagaraannya harusnya dianut dan dijadikan pedoman bagi para pemimpin.



Sebagai seorang yang bijaksana dan berilmu sahabat Utsman r.a. berkomentar "ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu, dan ber'amal dengan ilmu yang dimiliki itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut".



Sedangkan sahabat Ali selaku tuan rumah berkata, "tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, menjamu tamu itu lebih manis dari madu, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumanya adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut".



Sayidah Fatimah sebagai perwakilan perempuan mengibaratkan ketiganya dalam kerangka kewanitaan menurutnya "seorang wanita itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, wanita yang berburqo itu lebih manis dari madu, dan mendapatkan seorang wanita yangtak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya lebih sulit dari meniti sehelai rambut".


Jamaah Jum’ah Rahimakumullah


Setelah para sahabat mengemukakan pendapat mereka Rasulullah saw kemudia berkata, "seorang yang mendapat taufiq untuk ber'amal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, ber'amal dengan 'amal yang baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat 'amal dengan ikhlas adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut".



Seolah merangkum dari berbagai pendapat para sahabat itu Rasulullah saw menegaskan bahwa inti kehidupan dan amal ibadah seseorang ada dalam keikhlasan. Dan kemampuan seseorang beramal (beribadah) tidak lain merupakan taufiq dari-Nya.



Ternyata, Malaikat Jibril as juga turut urun rembug ia men-tamsilkan ketiganya bahwa "menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, menyerahkan diri; harta; dan waktu untuk agama lebih manis dari madu, dan usaha mempertahankan agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut". Inilah kata Malaikat yang telah berpengalaman menyertai para Rasul dan Nabi sepanjang zaman.



Dan Allah swt berfirman, " Sorga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu, nikmat sorga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju sorga-Ku adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut".


Jama’ah Jum’ah yang Berbahagia


Dari cerita di atas kita seharusnya mampu mengambil pelajaran guna melangkahkan kaki selanjutnya bagaimanakah kita seharusnya menghadapi hirup ini.


بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ





NU Online

(Do'a of the Day) 01 Dzulhijjah 1432H

Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Innaalill laahi wa innaa ilaihi waaji'uun. Allaahumma ajirnii fii mushiibatii wa akhlif lii khairan minhaa.

Sesungguhnya kita ini milik Allah dan kita akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran kepadaku sebab musibah ini dan berilah gantinya yang lebih baik daripadanya.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 6, Bab 17.

Kamis, 27 Oktober 2011

Rambut Siapa Ini?

Tidak terlalu ikal, kuning keemasan, dan pirang bersemu coklat.

(Ngaji of the Day) Sunnahnya Walimatus Safar

Sunnahnya Walimatus Safar

Bagi masyarakat muslim Indonesia, ibadah selalu diperlengkapi dengan berbagai macam tindakan yang menunjang ibadah itu sendiri, yang selanjutnya di kenal dengan tradisi. Sebagian banyak tradisi tersebut merupakan hasil dari keterpengaruhan antara budaya local dengan Islam. Kita mengenal ngabuburit, kultum, kolak, buka puasa bersama, mudik dan lainsebagainya di sekitar puasa. Kita juga mengenal tahlilan, talqin, tujuh hari dan seterusnya dalam tradisi kematian. Dan juga walimatus safar bagi ibadah haji. Hal ini merupakan karakter Islam Indonesia yang tidak dimiliki oleh Islam yang lain. Tradisi ini tidak muncul begitu saja, ia memiliki sejarah panjang. Sejarah itu menunjukkan bahwa berbagai tradisi tersebut dilahirkan melalui pemikiran yang dalam oleh para kyai dan ulama pendahulu melalui berbagai pertimbangan soiologis. Apa yang dilakukan para ulam terdahulu ini, bukanlah sekedar istinbath al-hukmi tetapi menciptakan lahan ibadah tersendiri yang dapat diisi dan dipenuhi dengan pahala bagi yang menjalankannya.

Di tengah gelombang globalisasi dan modernisasi, tradisi semacam ini haruslah dijaga untuk membentengi masyarakat dari individualism yang akut. Akan tetapi di kemudian hari, mereka yang tidak tahu dan tidak mau belajar sejarah menggugat beberapa tradisi itu dengan menganggapnya sebagai hal bid’ah, bahkan menghukumi para pelakunya sebagai pendosa. Naudzubillah min dzalik.

Begitu juga halnya dengan walimatussafar. Para ulama pendahulu tidak mungkin mewariskan tradisi kepada anak-cucunya sebuah bid’ah tanpa alasan. Terbukti dalam sebuah hadits diterangkan:

عن جابر بن عبدالله رضى الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم لماقدم المدينة نحر جزورا اوبقرة (صحيح البخارى, باب الطعم عند القدوم)

Artinya: Hadits diceritakan oleh Jabir bin Abdullah ra. Bahwa ketika Rasulullah saw datang ke madinah (usai melaksanakan ibadah haji), beliau menyembelih kambing atau sapi (Shahih Bukhari, babut Ta’mi indal qudum)

Begitu pula yang diterangkan dalam al-Fiqhul Wadhih

يستحب للحاج بعد رجوعه الى بلده ان ينحر جملا او بقرة او يذبح شاة للفقراء والمساكين والجيران والاخوان تقربا الى الله عزوجل كمافعل النبي صلى الله عليه وسلم

Artinya: Disunnahkan bagi orang yang baru pulang haji untuk menyembelih seekor onta atau sapi atau kambing untuk diberikan kepada faqir, miskin, tetangga, saudara. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt seperti yang dilakukan Rasulullah saw. (al-fiqhul wadhih minal kitab wassunnah, juz I . hal 673

Rasa syukur atas ni’mat yang begitu besar karena telah diberi kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji setelah melunasi ONH, diapresiasikan dalam bentuk walimatus sasfar yang dilakukan menjelang pemberangkatan. Di samping mengungkapkan rasa syukur, momen walimatus safar juga bermanfaat untuk berpamitan dan mohon do’a restu kepada para tetangga dan keluarga. Di sinilah kelebihan tradisi Islam di Indonesia. Selalu mempertimbangkan kebersamaan dan kekeluargaan dalam sebuah peribadatan, selain juga ridha Allah swt sebagai tujuan yang utama.

NU Online

(Do'a of the Day) 29 Dzulqa'dah 1432H

Bismillah irRahman irRaheem



In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahummaghfir lii wa lahuu, wa a'qibnii minhu uqbaa hasanah.



Ya Allah, ampunilah kesalahanku dan kesalahannya, dan datangkanlah kepadaku sepeninggalnya sesuatu yang baik.



Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 6, Bab 16.

Rabu, 26 Oktober 2011

(Masjid of the Day) Yang Muttaqien di Buni Asih, Cikarang Utara - Bekasi

Penuh corak hijau yang menawan, berdiri megah di kiri jalan antara Pasir Gombong - Cikarang dengan menara yang tinggi menjulang.










Adakah Buah yang Langsung Mempel di Dahan?

Pada umumnya, buah-buahan yang bertumbuh besar dari bunga, terletak di ujung-ujung ranting pohon atau di selah-selah pucuk daun. Namun, buah yang satu ini tidaklah demikian. Dia lebih suka menggandul langsung di batang-batang pohon, yang membuat Mas Rizal keheranan, "Yah, buah ini kok lucu banget, sih?"

Apakah nama buah seperti ini di tempat anda?




(Ngaji of the Day) Haji Arisan

Haji Arisan

Bagi banyak orang, ibadah haji bukan sekedar masalah kewajiban. Haji sudah menjadi cita-cita umat Islam pada umumnya. Maka, akhirnya banyak yang ingin menjalankan ibadah haji meski dengan segala risiko dan dengan menempuh cara apapun. Soalnya ibadah yang dilakukan di tanah suci sangat utama dibanding di tempat-tempat lainnya. Kerinduann untuk datang ke sana tidak tergantikan oleh apapun. Ya, karena ibadah haji mempunyai nilai spiritual dan kemanusiaan yang luar biasa.

Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan sistem arisan. Sekelompok orang, misalnya, mengumpulkan sejumlah uang tertentu secara rutin setiap bulannya. Lalu, pada setiap tanhunnya, uang yang telah dikumpulkan diberikan kepada salah seorang dari kelompok itu untuk berhaji, kemudian pada tahun berikutnya giliran yang lainnya. Bagaimana kedudukan haji seperti ini? Lalu bagaimana jika Ongkos naik haji (ONH) berubah-ubah dan masing-masing orang diberangkatkan haji dengan biaya yang berbeda pula?

Masalah pertama yang diangkat disini adalah soal persyaratan adanya “istitho’ah” atau kemampuan dalam menjalankan ibadah haji. Bahwa orang Islam yang diwajibkan untuk menjalankan ibadah haji atau “syarat wajib haji” adalah hanya ketika seseorang telah berkemampuan. Lalu bagaimana dengan haji yang dilakukan oleh mereka yang tidak berkemampuan?

Bahtsul masail diniyah waqiiyyah pada Muktamarke-28 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta pada 26-29 Rabiul Akhir 1410 H / 25 – 28 November 1989 M lalu menyatakan bahwa haji yang dilakukan oleh orang yang belum memenuhi syarat istithoah tetap sah hukumnya.

فَمَنْ لَمْ يَكُنْ مُسْتَطِيْعاً لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْحَجُّ لَكِنْ اِذَا فَعَلَهُ أَجْزَأَهُ

Barangsiapa yang belum memenuhi syarat istitoah maka tidak wajib baginya berhaji, namun jika dia melakukannya maka itu tetap diperbolehkan, sebagaimana dalam kitab Asy Syarqowi I, hal. 460.

Orang yang fakir sekalipun tetap sah melakukan ibadah haji, apabila dia termasuk mukallaf. Hal ini bisa dikiaskan dengan kebolehan orang yang sakit untuk tetap melakukan shalat Jum’at, padahal sebenarnya ia tidak wajib melaksanakannya.

فَيُجْزِئُ حَجُّ الْفَقِيْرِ وَكُلُُّ عَاجِزٍ حَيْثُ اجْتَمَعَ فِيْهِ الْحُرِّيَّةُ وَالتَّكْلِيْفُ كَمَا لَوْ تَكَلَّفَ الْمَرِيْضُ حُضُوْرَ الْجُمْعَةِ

Sah haji orang fakir dan semua orang yang tidak mampu selama ia termauk orang merdeka dan mukallaf (muslim, berakal dan baligh) sebagaimana sah orang yang sakit memaksakan diri untuk melakukan shalat Jumat. Demikian seperti dikutip dari kitab Nihayatul Muhtaj III, hal. 233.

Soal haji arisan, musyawirin dalam muktamar itu sempat menyorot praktik yang sama seperti digambarkan dalam kitab Al Quyubi II hal. 208. Ada kelompok wanita di Irak yang masing-masing mengeluarkan sejumlah uang tertentu dan memberikannya kepada salah seorang dari mereka secara bergantian sampai giliran yang terakhir. Maka, maka yang demikian itu diperbolehkan oleh penguasa Irak waktu itu.

Lalu, bagaimana dengan persoalan ongkos haji yang selalu berubah-ubah dan cenderung naik, bagaimana setorannya?

Musyawirin memperhitungkan ongkos naik haji (ONH) yang dipergunakan oleh anggota arisan sebagai pinjaman barang (al-iqradl). Akda pinjam-meminjam secara syar’i adalah memberikan hak milik sesuatu dengan menggembalikan penggantinya yang persis sama dengan yang dipinjamnya.

Maka jika suatu saat ONH mengalami kenaikan, bisa jadi setoran arisan dinaikkan sesuai kesepakatan anggota. Atau bisa jadi setoran haji tetap seperti semula namun pemberangkatan salah seorang anggota menunggu sampai uang arisan haji yang terkumpul sudah mencukupi.

Dengan begitu uang yang dikeluarkan untuk memberangkatkan masing-masing anggota bisa berbeda satu sama lain. Lalu, jika ONH dihitung sebagai pinjaman dan jika salah seorang dari anggota (yang telah berhaji) meninggal dunia, maka setoran haji menjadi tanggungan ahli warisnya, sampai semua kelompok arisan bisa diberangkatkan haji.

Ust. A Khoirul Anam

(Do'a of the Day) 28 Dzulqa'dah 1432H

Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahummaghfir li fulaan bin fulaan, warfa' darajatuhuu fil mahdiyiina wakhlafhuu fii 'uqbatil ghaabiriina wagh fir lanaa wa lahuu. Yaa rabbal 'aalamiina waf sah lahuu fiii qabrihii wa nawwir lahuu fiihi.

Ya Allah, ampunilah kesalahan fulan bin fulan, tinggikan derajatnya bersama orang-orang yang mendapatkan petunjuk, datangkanlah penggantinya di antara orang-orang yang tinggal, amunilah kesalahan kami dan kesalahannya. Ya Allah Tuhan semesta alam, lapangkanlah dan terangilah dia di dalam kuburnya.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 6, Bab 15.

Selasa, 25 Oktober 2011

Menunggu Bersama

Menunggu anak pulang sekolah yang hanya sekali dalam satu minggu, oleh sebagian bapak-bapak dimanfaatkan untuk mempererat tali silaturahmi. Hari senin s/d jum'at, kesibukan bapak-bapak ini sudah tersita untuk urusan pekerjaan rutin, sehingga bagi yang mempunyai kesempatan di hari sabtu, akan benar-benar dimanfaatkan untuk lebih mendekatkan diri kepada anak. Jika hari senin s/d jum'at anak-anak diantar oleh jemputan atau bundanya, maka hari sabtu biasanya mereka maunya diantar oleh bapaknya.


(Buku of the Day) Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi

Menelanjangi Kesesatan Salafi Wahabi
016.jpg
Judul : Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi
Penulis : Syaikh Idahram
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Cetakan : I, 2011
Tebal : 340 halaman, 13,5 x 20,5 cm
Peresensi : Hairul Anam

Selama ini, kaum Salafi Wahabi selalu getol menyesatkan umat Islam yang tak selaras dengan ideologinya. Mereka cenderung melakukan beragam cara, terutama melalui tindakan-tindakan anarkis yang meresahkan banyak kalangan.

Padahal, ketika dilakukan kajian mendalam, justru Salafi Wahabi-lah yang sarat dengan pemahaman menyesatkan. Sesat karena berbanding terbalik dengan ajaran Islam yang terkandung di dalam hadis dan al-Qur’an. Setidaknya, buku ini memberikan gambaran jelas akan hal itu.

Buku berjudul Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, ini secara komprehensif mengungkap kesesatan pemikiran para ulama yang menjadi panutan utama kaum Salafi Wahabi. Didalamnya dijelaskan betapa para ulama Salafi Wahabi itu menggerus otentisitas ajaran Islam, disesuaikan dengan kepentingan mereka. Terdapat tiga tokoh utama Salafi Wahabi: Ibnu Taimiyah al-Harrani, Muhammad Ibnu Abdul Wahab, dan Muhammad Nashiruddin al-Albani. Pemikiran mereka nyaris tidak membangun jarak dengan kerancuan serta beragam penyimpangan.

Penyimpangan yang dilakukan Ibnu Taimiyah (soko guru Salafi Wahabi) ialah meliputi spirit menyebarkan paham bahwa zat Allah sama dengan makhluk-Nya, meyakini kemurnian Injil dan Taurat bahkan menjadikannya referensi, alam dunia dan makhluk diyakini kekal abadi, membenci keluarga Nabi, menghina para sahabat utama Nabi, melemahkan hadis yang bertentangan dengan pahamnya, dan masih banyak lagi lainnya.

Dalam pada itu, wajar manakala ratusan ulama terkemuka dari berbagai mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Ja’fari/Ahlul Bait, dan Syiah Itsna Asyariah) sepakat atas kesesatan Ibnu Taimiyah, juga kesesatan orang-orang yang mengikutinya, kaum Salafi Wahabi. Lihat di antaranya kitab al-Wahhabiyah fi Shuratiha al-Haqiqiyyah karya Sha’ib Abdul Hamid dan kitab ad-Dalil al-Kafi fi ar-Raddi ‘ala al-Wahhabi karya Syaikh Al-Bairuti. (hal. 90).

Sebagai penguat dari fenomena itu, terdapat ratusan tokoh ulama, ahli fikih dan qadhi yang membantah Ibnu Taimiyah. Para ulama Indonesia pun ikut andil dalam menyoroti kesesatan Ibnu Taimiyah ini, seperti KH Muhammad Hasyim Asy’ari (Rais ‘Am Nahdhatul Ulama dari Jombang Jawa Timur), KH. Abu al-Fadhl (Tuban Jawa Timur), KH. Ahmad Abdul Hamid (Kendal Jawa Tengah), dan ulama-ulama nusantara tersohor lainnya.

Pendiri Salafi Wahabi, Muhammad Ibnu Abdul Wahab, juga membiaskan pemikiran yang membuat banyak umat Islam galau kehidupannya. Ragam nama dan pemikiran ulama yang menguak penyimpangannya dimunculkan secara terang-terangan dalam buku ini, dilengkapi dengan argumentasi yang nyaris tak bisa terpatahkan.

Dibanding Ibnu Taimiyah, sikap keberagamaan Abdul Wahab tak kalah memiriskan. Ada sebelas penyimpangan Abdul Wahab yang terbilang amat kentara. Yakni: Mewajibkan umat Islam yang mengikuti mazhabnya hijrah ke Najd, mengharamkan shalawat kepada Nabi, menafsirkan al-Qur’an & berijtihad semaunya, mewajibkan pengikutnya agar bersaksi atas kekafiran umat Islam, merasa lebih baik dari Rasulullah, menyamakan orang-orang kafir dengan orang-orang Islam, mengkafirkan para pengguna kata “sayyid”, mengkafirkan ulama Islam di zamannya secara terang-terangan, mengkafirkan imam Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in dan Ibnu Faridh, mengkafirkan umat Islam yang tidak mau mengkafirkan, dan memuji kafir Quraisy-munafik-murtad tapi mencaci kaum Muslimin. (hal. 97-120).

Nasib Abdul Wahab tidak jauh beda dengan Ibnu Taimiyah; ratusan tokoh ulama sezaman dan setelahnya menyatakan kesesatannya. Di antara para ulama yang menyatakan hal itu adalah ulama terkenal Ibnu Abidin al-Hanafi di dalam kitab Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar. Juga Syaikh ash-Shawi al-Mishri dalam hasyiah-nya atas kitab Tafsir al-Jalalain ketika membahas pengkafiran Abdul Wahab terhadap umat Islam.

Searah dengan Ibnu Taimiyah dan Abdul Wahab, Muhammad Nashiruddin al-Albani melakukan tindakan yang membentur kemurnian ajaran Islam. Ia telah mengubah hadis-hadis dengan sesuatu yang tidak boleh menurut Ulama Hadis. Sehingga, sebagaimana diakui Prof Dr Muhammad al-Ghazali, al-Albani tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam menetapkan nilai suatu hadis, baik shahih maupun dhaif.

Selain ketiga ulama di atas, ada 18 ulama Salafi Wahabi yang juga diungkap dalam buku ini. Mereka telah menelorkan banyak karya dan memiliki pengaruh besar terhadap konstelasi pemikiran kaum Salafi Wahabi. Di samping itu, Syaikh Idahram juga menghimbau agar umat Islam mewaspadai terhadap tokoh Salafi Wahabi generasi baru. Mereka adalah anak murid para ulama Salafi Wahabi. Secara umum, mereka berdomisili di Saudi Arabia.

Menariknya, buku ini kaya perspektif. Referensi yang digunakannya langsung merujuk pada sumber utama. Data-datanya terbilang valid. Validitas data tersebut dapat dimaklumi, mengingat karya fenomenal ini berpangkal dari hasil penelitian selama sembilan tahun, mulai 2001 sampai 2010. Selamat membaca!

* Penggiat buku di Intitut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), Sumenep.

(Ngaji of the Day) Adzan Berangkat Haji

Adzan Berangkat Haji



Rupanya tidak begitu lazim adzan disuarakan di kala ada seorang yang mau berangkat haji. Akhir-akhir ini yang dilakukan oleh calon jamaah haji ialah pamit sana sini, ke semua sesepuh, para ulama, kiai, dan tokoh masyarakat, kira-kira satu minggu sebelum hari keberangkatan.


Bahkan ada yang menyelenggarakan pengajian akbar dengan mendatangkan muballigh/kiai di luar daerah. Maksudnya tidak lain adalah berpamitan dan minta maaf kepada saudara seiman sehubungan akan keberangkatannya pergi ibadah haji. Akan tetapi biasanya orang NU membuat acara demikian: pengantar protokolir, sambutan, doa calon jamaah haji, penutup dan adzan untuk keberangkatan.


Adzan yang dikumandangkan orang NU ni bberdasarkan pada, pertama, penjelasan dalam kitab I’anatut Thalibin, Juz 1 hlm 23 berikut ini:



قوله خلف المسافر—أي ويسنّ الأذان والإقامة أيضا خلف المسافر لورود حديث صحيخ فيه قال أبو يعلى في مسنده وابن أبي شيبه: أقول وينبغي أنّ محل ذالك مالم يكن سفر معصية


"Kalimat 'menjelang bepergian bagi musafir' maksudnya dalah disunnahkan adzan dan iqomah bagi seseorang yang hendak bepergian berdasar hadits shahih. Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan Ibnu Abi Syaibah mengatakan: Sebaiknya tempat adzan yang dimaksud itu dikerjakan selama bepergian asal tidak bertujuan maksiat."


Dalil kedua diperoleh dari kitab yang sama:



فائدة: لم يؤذن بلال لأحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم غير مرة لعمر حين دخل الشام فبكى الناس بكاء شديدا قيل إنه أذان لأبي يكر إلي أن مات ... الخ


"Sahabat Bilal tidak pernah mengumandangkan adzan untuk seseorang setelah wafatnya Nabi Muhammad kecuali sekali. Yaitu ketika Umar bin Khattab berkunjung ke negeri Syam. Saat itu orang-orang menangis terharu sejadi-jadinya. Tapi ada khabar lain: Bilal mengumandangkan adzan pada waktu wafatnya Abu Bakar."


Dalil ketiga, dalam Shahih Ibnu Hibban, Juz II, hal 36:



من طريق أبي بكر والرذبري عن ابن داسة قال: حدثنا ابن محزوم قال حدثني الإمام على ابن أبي طالب كرم الله وجهه وسيدتنا عائشة رضي الله عنهم—كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا استودع منه حاج أو مسافر أذن وأقام – وقال ابن سني متواترا معنوي ورواه أبو داود والقرافي والبيهقي


"Riwayat Abu Bakar dan Ar-Rudbari dari Ibnu Dasah, ia berkata: Ibnu Mahzum menceritakan kepadaku dari Ali dari Aisyah, ia mengatakan: Jika seorang mau pergi haji atau bepergian, ia pamit kepada Rasulullah, Rasul pun mengadzani dan mengomati. Hadits ini menurut Ibnu Sunni mutawatir maknawi. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Qarafi, dan al-Baihaqi."


Demikian pula kata Imam al-Hafidz yang dikutip oleh Sayyid Abdullah Bafaqih, Madang. Menurutnya, hadits ini juga terdapat dalam Shahih Ibnu Hibban, Juz II, hal 36.



KH. Munawir Abdul Fattah

Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta

(Do'a of the Day) 27 Dzulqa'dah 1432H

Bismillah irRahman irRaheem



In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahummaghfir lii warhamnii wa alhiqnii birrafiiqil a'laa.



Ya Allah, ampunilah kesalahanku, limpahkan rahmat kepadaku, dan pertemukan aku bersama dengan teman-teman yang bermatabat tinggi (di sisi Allah).



Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 6, Bab 14.