Jumat, 28 Oktober 2016

(Do'a of the Day) 26 Muharram 1438H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma zidnaa iimaanan, wa yaqiinan, wa taufiiqan, wa 'aunaa. Waghfirlanaa wa li aabaa inaa wa ummahaatinaa wal muslimiina ajma'iina.

Ya Allah, tambahkanlah keimanan, keyakinan, taufik, dan pertolongan kepada kami. Ampunilah kami, ayah bunda kami, dan kaum muslimin semuanya.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9.

(Khotbah of the Day) Tegak di Atas Agama yang Lurus dan Toleran



KHOTBAH JUM'AT
Tegak di Atas Agama yang Lurus dan Toleran

Khutbah I

 اَلْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِىْ جَعَلَ الْاِسْلَامَ طَرِيْقًا سَوِيًّا، وَوَعَدَ لِلْمُتَمَسِّكِيْنَ بِهِ وَيَنْهَوْنَ الْفَسَادَ مَكَانًا عَلِيًّا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ اللهُ تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ


Jamaah shalat jum’at rahimakumullâh,

Kehadiran Islam sejak awal menunjukkan sikap-sikap yang merangkul. Rasulullah mengawali dakwahnya di Makkah secara pelan-pelan: mulai dari keluarga, kawan-kawan terdekat, orang-orang tertindas seperti budak, dan seterusnya. Yang penting dicatat, tahapan demi tahapan dilalui tanpa paksaan, apalagi kekerasan. Bahkan, beliau sendiri yang justru kerap mendapatkan perlakuan kasar hingga percobaan pembunuhan dari para penentangnya, terkecuali dua pamannya, Abu Jahal dan Abu Lahab. Kita tahu, sejak belia Nabi mendapat julukan “al-amin” karena karakternya yang jujur. Rasulullah juga dikenal sebagai pribadi yang ramah kepada siapa pun, gemar menolong, dan pembela yang lemah. Kepribadian inilah yang menjadi modal dasar beliau mengatasi beragam tantangan tersebut hingga sukses mensyiarkan Islam di Tanah Arab yang kemudian terus meluas ke seluruh penjuru dunia.

Sikap ini sejalan dengan pesan Surat Al-Baqarah Ayat 256:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ  قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam). Jalan kebenaran dan kesesatan telah jelas. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut (berhala-berhala yang mematikan akal) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Dalam tafsir Jalâlain dijelaskan, ayat ini turun ketika ada anggota Ansor, yakni golongan pendukung/penolong Nabi saat hijrah di Madinah, yang berusaha memaksa anaknya untuk masuk Islam. Wahyu kemudian turun untuk memperingatkan bahwa Islam seyogianya diterima dengan suka rela dan penuh kesadaran, bukan dengan tekanan-tekanan. Ayat ini menyiratkan pelajaran bahwa Islam sangat menghargai proses penyadaran. Di samping karena Islam sangat rasional alias bisa dibuktikan kebenarannya, manusia juga dibekali akal sehat.

Itulah sebabnya saat Islam berjaya di tanah Arab pasca-hijrah Nabi ke Madinah, Rasulullah tak serta-merta memaksa masyarakat secara keseluruhan meyakini kebenaran Islam. Dalam catatan sejarah, Islam menarik jizyah (semacam pajak), misalnya,  kepada kelompok Yahudi dan Nasrani. Jizyah adalah penanda bahwa para pembayarnya mendapat jaminan keamanan dan perlindungan di bawah kekuatan Islam saat itu. Islam menghargai dan memberikan hak-hak kebebasan kepada golongan lain selama taat pada kesepakatan untuk mewujudkan kedamaian bersama.

Sikap Nabi yang terbuka ini lantas dilanjutkan para khalifah selanjutnya yang berjasa menyebarluaskan Islam berbagai belahan dunia. Negara-negara yang memiliki jejak dakwah Islam dari Khulafaur Rasyidin itu hingga kini terbukti tetap majemuk, karena dakwah dilancarkan tidak dengan memaksa penduduk untuk menganut Islam. Islam lebih banyak disebar dengan akhlak dan ilmu pengetahuan.

Jamaah shalat jum’at yang semoga dirahmati Allah,

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْــفِيَّةُ السَّـمْحَةُ

“Agama yang paling dicintai allah adalah agama yang hanîf (lurus) dan toleran.” [HR Bukhari]

Apa itu agama yang hanîf?

Fitrah dari setiap manusia yang juga menjadi dasar keagamaan adalah pandangan hidup yang hanîf atau lurus. Hanîf merupakan ciri semua ajaran yang dibawa para rasul sebelum Nabi Muhammad. Seperti dikatakan dalam Al-Qur’an:

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا  وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Artinya: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS An-Nahl: 123)

Dalam QS. 'Ali `Imran: 67, Nabi Ibrahim dikatakan bukan bagian dari Yahudi ataupaun Nasrani, melainkan seorang yang hanîf lagi berserah diri kepada Allah. Golongan Yahudi dan Nasrani pada zaman Rasulullah, Yahudi dan Nasrani dikenal sebagai kelompok yang sektarian, merasa paling benar sendiri—kendatipun klaim ini juga bisa dilakukan oleh kaum muslim zaman sekarang. Nabi Ibrahim sebagai hanîf karena belaiau mengusung ajaran tauhid, yakni mengakui tuhan hanya Allah semata, dan keharusan berserah diri total kepada-Nya. Hal ini yang membedakan ajaran tersebut dari pandangan hidup kaum musyrikin penyembah berhala, fanatik terhadap suku, dan tak memandang manusia sebagai makhluk yang setara.

Selain hanîf, ciri lain dari agama yang dicintai Allah adalah samîh atau yang murah hati dan toleran. Artinya, Islam bukan agama bengis, yang tega menjatuhkan kelompok-kelompok di luar dirinya demi “tegaknya” Islam. Namun, ia membuka pergaulan dan komunikasi dengan pihak-pihak berbeda pandangan. Kalaupun harus berdakwah, maka ajakan itu dilakukan dengan metode-metode yang ramah dan cerdas—sebagaimana yang ditunjukkan sejarah peradaban Islam periode awal.

Hadits tentang karakter agama yang al-hanafiyah assamhah tersebut kian menopang argumentasi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Islam tegak di atas pondasi imam akan Keesaan Tuhan (tauhid) yang kokoh, namun tetap lembut dalam pergaulan yang luas, menembus batas-batas suku, ras, warna kulit, status sosial, bangsa, dan lain-lain. Wallahu a‘lam bish shawâb.

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ.  إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ


Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Sumber: NU Online

Ketika Kiai Umar Mangkuyudan Ditanya perihal Hormat Bendera



Ketika Kiai Umar Mangkuyudan Ditanya perihal Hormat Bendera

Ulama-ulama Indonesia generasi dahulu tak diragukan kembali bagaimana kadar kecintaan mereka pada negara. Artinya, mereka telah nyata menampakkan keberpihakan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tak terkecuali, almarhum KH Umar Abdul Mannan, pengasuh Pesantren Al Muayyad, Mangkuyudan, Solo. Sebagaimana dalam Ad-Durul Mukhtar yang mengupas biografi (manaqib) Kiai Umar. Kiai yang masyhur disebut sebagai wali dan pernah nyantri kepada Kiai Muhammad Munawir Krapyak ini pernah ditanya seseorang tentang hukum hormat kepada bendera merah putih.

"Mbah, bagaimana  pendapat anda perihal hormat bendera?"

Kiai Umar menjawab, "Saya ini orang bodoh. Saya tak pernah merasakan betapa susah gentingnya mengusir penjajah. Namun begitu, sekarang saya bisa ikut merasakan nikmatnya hidup di negara yang merdeka. Alhamdulillah..."

Lalu, dengan khas tawadhu'nya, Kiai Umar kembali melanjutkan penjelasan singkatnya, "Menurut saya, hormat bendera itu merupakan kegiatan menampakkan syukur kepada Allah Ta'ala, bukan dalam rangka menyembah bendera. Saya kira tak ada orang yang hormat bendera dengan niat menyembah."

Bagi Kiai Umar, masalah hormat bendera bukanlah masalah pelik di mana pelakunya harus menggunakan landasan dalil rumit untuk bisa menjalankannya. Selain itu, hormat bendera tidak merupakan kegiatan yang melanggar terhadap norma syari'at agama dengan ditinjau dari sisi mana pun. []

(Mundzir)

Cak Nun: Universitas Patangpuluhan



Universitas Patangpuluhan
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Agak berlebihan-lah tujuh orang itu. Memang bisa saja ada kemungkinan seseorang tidur tapi mendengar dan belajar. Ada perangkat-perangkat tertentu di dalam sistem kesadarannya yang tetap bekerja meskipun resminya ia sedang tidur. Markesot sendiri ketika dituduh oleh sejumlah orang bahwa ia seorang pemikir, ia membantah.

“Saya bukan pemikir. Sama sekali bukan. Sebab yang berpikir adalah akal saya yang mendayagunakan otak. Yang mengerjakan pemikiran bukanlah saya, melainkan kerjasama jasad otak di bawah ubun-ubun saya, dengan pendaran magnet hidayah dari Tuhan yang menembus batok kepala saya”.

Tapi lupakan itu. Biasa, Markesot sok makrifat. Juga yang tidur dan mengigau biarkan terus menjalani kedaulatannya untuk tidur dan mengigau. Tujuh teman Markesot ini tadi sudah dicampakkan masuk ke ‘hutan belantara Indonesia dan Dunia’, tiba-tiba diputus arus listriknya oleh Markesot. Kalang kabut hati dan pikiran mereka. Sampai terengah-engah nafas di dada mereka.

Berdasarkan urutan tulisan-tulisan, hutan belantara itu harus segera diteruskan dengan ‘Hujan Deras Tidak Basah Kuyup’, ‘Bismillah Lompat Masuk’, ‘Persaudaraan dengan Hujan’, ‘Tuhan Berakibat Sorga’, ‘Hujan Berputar-putar Abadi’ dan seterusnya. Semua itu tak sengaja bersambung tema dan nuansanya satu sama lain.

Tidak karena kencan untuk itu. Tetapi karena empat puluh orang itu memang bertahun-tahun mengalami pembiasaan penyatuan hati. Seberagam apapun pikiran, kesibukan pekerjaan dan pengalamannya, tetapi mereka selalu menyatu di area jiwa yang lebih dalam.

Kalau Markesot seenaknya menghentikan kesatuan rangkaian itu, bisa merusak irama, komposisi dan aransemen urat-urat saraf tujub orang yang sudah sangat khusyuk sejak awal tadi.

***

Salah satu dari tujuh orang itu tidak tahan untuk tidak protes kepada Markesot. Tetapi sebelum mulutnya membuka, dilihatnya Markesot malah tertidur di pojok ruang. Mendadak saja tidur lelap sambil duduk. Padahal gema ledakan cambuk dan suara tertawanya belum lenyap dari telinga tujuh temannya.

Tujuh teman itu berpandangan satu sama lain. Kemudian bersama-sama mereka tertawa terpingkal-pingkal.

Sangat bahagia. Memang beginilah Universitas Patangpuluhan. Suasananya. Nuansanya. Pola interaksinya. Komposisi nilai-nilainya. Dimensi-dimensi yang baku, yang baru, yang mengejutkan, yang aneh, yang liar. Iklim Universitas Patangpuluhan menyeret setiap penghuninya untuk menemukan yang paling hidup dari kehidupan. Yang paling luas dari keluasan dan paling dalam dari kedalaman.

Universitas Patangpuluhan seakan punya ‘kedung kahuripan’ atau sumber daya hidup yang sangat sukar ditemukan di universitas yang secara resmi benar-benar universitas. Bukankah orang-orang di Pasar Patangpuluhan pun mafhum bahwa rumah hitam di belakang area pasar itu sama sekali bukan gedung Sekolah, apalagi Universitas. Melainkan tempat mangkalnya orang-orang atau entah siapa saja yang tidak jelas.

Rumah hitam yang pintunya tak pernah ditutup. Yang orang-orang berdatangan tanpa ukuran waktu, siang, malam, tengah malam, menjelang Subuh, sesudah subuh, terus-menerus. Orang-orang kecopetan di Stasiun Kereta atau Terminal Bus parkir di situ. Orang-orang frustrasi mau bunuh ini itu mendarat di bawah pohon waru depan rumah hitam itu. Orang sakit, orang gila, gelandangan dari luar kota, macam-macam makhluk lainnya, bercengkerama di naungan kehitaman rumah itu.

***

Mungkin terasa agak muluk-muluk. Tapi memang ciri komunitas Markesot adalah pendidikan kedaulatan diri. Menemukan sejarah diri. Asal usul diri. Sangkan diri dan paran diri. Dari mana diri ke mana diri. Tidak dibatasi ‘pakai’ Tuhan atau tidak.

Tidak disarankan untuk memilah antara alam dengan kebudayaan. Tidak diharuskan untuk memulai sejarah itu dari kurun sebelum alam diciptakan. Boleh cukup dimulai dari Ibu Bapaknya, atau klan keluarganya, suku-nya, atau ‘wiwitan’ kebangsaannya.

Bahkan masing-masing berdaulat untuk melandasi tulisannya dari pandangan yang sesubyektif apapun. Misalnya bahwa dulu setiap manusia menciptakan dirinya sendiri, sehingga sejak awal hingga akhir kelak ia menggenggam hak asasi dirinya sendiri.

Manusia punya kebebasan untuk memenggal asal-usulnya dengan kedua orang tuanya, termasuk dengan manusia yang pertama dahulu kala. Manusia berdaulat untuk mengklaim hak asasinya dan tidak ada urusan atau ikatan dengan kewajibannya kepada sesama manusia, alam lingkungannya serta bumi tempat tinggalnya.

Empat puluh orang yang berkumpul di Patangpuluhan itu sepenuhnya berdaulat atas diri dan setiap keputusan yang diambilnya. Kedaulatan diri itu nanti mungkin berjumpa dengan nilai-nilai, dengan benar atau salah, rasional atau tidak nalar, baik atau buruk, pas atau melenceng, bermanfaat atau sia-sia. Dan bermacam nilai-nilai lainnya. Tapi itu nanti. Sekarang urusannya berdaulat atas diri masing-masing terlebih dulu.

***

Siapakah sebenarnya empat puluh orang, empat puluh teman, empat puluh anak itu? Barang siapa pernah sedikit tahu gambaran sosok Markesot, mestinya bisa mengidentifikasi juga siapa empat puluh makhluk yang berada di sekitarnya.

Markesot mungkin bisa menjadi salah satu contoh tipologis manusia Negeri Katulistiwa. Manusia-manusia komplit meskipun kebanyakan masih pada tingkat potensial-embrional. Orang yang secara alamiah memiliki ragam bakat, multi-talent, komprehensif dan luwes mengatasi pembidangan-pembidangan. Terampil untuk melakukan banyak hal sekaligus. Secara keseluruhan sebenarnya tinggal satu-dua langkah bagi mereka ini untuk menjadi seperti yang di jaman dulu pernah digambarkan sebagai “manusia seutuhnya”.

Markesot sendiri sangat komplit, sampai-sampai tidak jelas yang mana yang Markesot. Bukan tipologi manusia spesialistik, meskipun tidak berarti di dalam proses hidup mereka harus kalah dengan jenis manusia-spesialistik. Tapi sekaligus ragam bakatnya itu bisa justru menjadi halangan banyak di antara mereka. Mampu melakukan banyak hal, sehingga sukar menentukan satu hal untuk ditekuni. Akhirnya tidak mencapai satu hal pun, karena banyak bakatnya itu dilakukan semua tapi setengah-setengah.

Terus terang, meskipun tolong tidak usah diucapkan ini dengan menyolok di depan siapapun saja, sesungguhnya bagi pandangan umum: Markesot termasuk contoh manusia yang gagal seperti itu. Tampak mampu melakukan banyak hal, tapi ternyata tidak ada satu halpun yang ia fokus dan tekun. Jadinya Markesot tidak mencapai dan tidak menjadi apa-apa. []