Rabu, 30 September 2015

(Do'a of the Day) 16 Dzulhijjah 1436H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Tawakkaltu 'alaa rabbiyal rabbil kariimi.

Aku bertawakkal kepada Tuhanku, Tuhan Yang Maha Murah.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 17, Bab 23.

Ajengan Ruhiat Naik Babancong Sambil Menghunus Pedang di Tahun 1941



Ajengan Ruhiat Naik Babancong Sambil Menghunus Pedang

Siang itu, pria berumur 34 tahun pergi ke alun-alun Tasikmalaya. Dia kemudian berdiri tegap di atas babancong, podium terbuka yang tak jauh dari pendopo kabupaten. Ia berpidato, menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan yang sudah diraih bangsa Indonesia cocok dengan perjuangan Islam.

Oleh karena itu, kata dia, kemerdekaan harus dipertahankan dan jangan sampai jatuh kembali ke tangan penjajah. Ia meneriakkan pekik merdeka seraya menghunus pedangnya itu. Dialah Ajengan Ruhiat, tokoh Islam pertama di Tasikmalaya yang melakukan hal itu, tak lama setelah berita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia sampai ke Cipasung.

Ketika pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berlangsung, ia tak goyah sekalipun gangguan dari pihak DI sangat kuat. Ia menolak tawaran menjadi salah seorang imam DI. Ia menampik gerakan yang disebutnya mendirikan negara di dalam negara itu, karena melihatnya sebagai bughat (pemberontakan) yang harus ditentang.

Puncaknya ia hampir diculik oleh satu regu DI, tetapi berhasil digagalkan. Akibat sikapnya yang tegas itu ia mengalami keprihatinan yang luar biasa, karena terpaksa harus mengungsi setiap malam hari, selama tiga tahun lamanya.

Kegigihannya sebagai seorang pejuang dibuktikan dengan pernah dipenjara tak kurang dari empat kali. Pertama, pada tahun 1941 ia dipenjara di Sukamiskin selama 53 hari bersama pahlawan nasional KH. Zainal Mustopa. Alasan penahanan ini karena Pemerintah Hindia Belanda cemas melihat kemajuan Pesantren Cipasung dan Sukamanah yang dianggap dapat menganggu stabilitas kolonial.

Kedua, bersama puluhan kiai ia dijebloskan ke penjara Ciamis. Ia hanya tiga hari di dalamnya karena keburu datang tentara Jepang yang mengambil alih kekuasaan atas Hindia Belanda tahun 1942. Ketiga, tahun 1944 ia dipenjara oleh pemerintah Jepang selama dua bulan, sebagai dampak dari pemberontakan KH. Zainal Mustopa di Sukamanah. Pada saat itu, Ajengan Cipasung dan Sukamanah lazim disebut dua serangkai dan sama-sama aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Keempat, ia dijebloskan ke penjara Tasikmalaya, lalu dipindahkan ke Sukamiskin selama 9 bulan pada aksi polisional kedua tahun 1948-1949, dan dibebaskan setelah penyerahan kedaulatan.

Dari beberapa kali penangkapannya, membuktikan bahwa Ajengan Ruhiat sangat tidak kooperatif terhadap penjajah Belanda sehingga sangat dibenci.  Sebelum masuk penjara yang terakhir itu, sepasukan tentara Belanda datang ke pesantren pada waktu ia sedang Shalat Ashar bersama tiga orang santri. Tanpa peringatan apapun, tentara Belanda memberondong tembakan. Ajengan Ruhiat selamat, tapi dua santrinya tewas seketika.

Ajengan Ruhiat adalah ayahanda Rais Aam PBNU 1994-1999 KH Ilyas Ruhiat atau kakeknya pelukis dan penyair Acep Zamzam Noor. Dalam NU, Ajengan Ruhiat pernah jadi A’wan Syuriyah PBNU  periode 1954-1956 dan 1956-1959.

Ajengan Ruhiat konsisten memilih jalur pesantren sebagai perjuangan sebagai pengabdiannya, bahkan sebagai tarekatnya. “Tarekat Cipasung adalah mengajar santri,” demikian kesaksian HM. Ihrom, salah seorang pengagum Ajengan Ruhiat dari Paseh, Tasikmalaya.

Ajengan Ruhiat lahir 11 Nopember 1911 dan wafat 28 Nopember 1977. Hari wafatnya bertepatan dengan 17 Dzulhijjah 1397. Sudah 36 tahun Ajengan Ruhiat, ajengan patriot dan pejuang itu meninggalkan kita. []

(Abdullah Alawi)

Gus Sholah: Sikap Warga NU terhadap PKI



Sikap Warga NU terhadap PKI
Oleh: Salahuddin Wahid

Tahun 1951/1952 saat masih di SD, saya melihat di meja kerja ayah saya sebuah foto tentang seorang laki-laki yang ditutup matanya berdiri di depan sejumlah orang yang mengarahkan senjata ke arah lelaki itu.

Saya bertanya kepada ayah saya, siapa lelaki itu? Beliau menjawab lelaki itu adalah orang yang dihukum mati karena terlibat pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Anggota PKI membunuh banyak kiai dan santri.

Penjelasan ayah saya itu amat saya yakini, langsung menempel di otak dan bertahan sampai kini, walau ada banyak tulisan dan buku yang mencoba membantah bahwa PKI memberontak pada 1948. Keyakinan itu juga dimiliki puluhan juta warga NU, umat Islam, dan pemeluk agama lain.

Beberapa tahun menjelang 1965, mereka yang berkeyakinan seperti itu menyaksikan dan mendengar bahwa anggota PKI dan organisasi di bawahnya telah memprovokasi umat Islam, menyerang anggota PII yang sedang shalat subuh di Kanigoro, Kediri, membunuh anggota Ansor di Banyuwangi. Perang kata-kata terjadi antara koran PKI dan koran lain, antara sastrawan pro-PKI dan sastrawan anti-PKI.

Sikap Gus Dur

Kami sekeluarga, kecuali Gus Dur yang berada di Mesir, mendengar dengan saksama pengumuman Dewan Revolusi. Dengan latar belakang seperti di atas, reaksi spontan kami saat itu: ini pasti perbuatan PKI. Ibu saya ikut menandatangani tuntutan pembubaran PKI, mewakili PP Muslimat NU, 4 Oktober 1965.

Saat itu belum banyak yang punya telepon apalagi telepon seluler, jadi informasi bergerak lambat. Kami mulai mendengar adanya eksekusi terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI dan organisasi di bawahnya sekitar seminggu setelah terjadi. Tentu kami tak setuju. Saat peringatan hari lahir ke-40 NU, ada beberapa anggota Banser Jawa Timur yang menginap di rumah ibu saya. Saya dan adik saya, Umar, mengobrol dan bertanya mengapa kawan-kawan anggota Banser mengeksekusi mereka yang dianggap anggota PKI dan organisasi di bawahnya?

Menurut mereka, suasananya seperti perang: membunuh atau dibunuh. Pada 2005 saya bertemu seorang anggota Banser yang mengeksekusi banyak orang yang diduga anggota PKI atas perintah anggota TNI tingkat kecamatan. Dia mengatakan, kalau dia menolak, dia akan dituduh sebagai anggota PKI. Pendapat para anggota Banser itu adalah suara hati nurani warga NU terhadap PKI 50 tahun lalu.

Gus Dur meninggalkan Indonesia menuju Kairo pada akhir 1963 dan kembali pada pertengahan 1971. Jadi Gus Dur tidak mengalami atau merasakan suasana permusuhan dengan PKI dan organisasi di bawahnya. Gus Dur juga punya akses terhadap informasi tentang Gerakan 30 September (G30S) yang bertentangan dengan informasi yang beredar di Indonesia. Amat mungkin Gus Dur pernah berjumpa dan berdialog dengan warga PKI yang tidak bisa kembali ke Indonesia dan tinggal di sejumlah negara Eropa.

Wajar kalau perbedaan itu membuat Gus Dur punya pandangan dan sikap berbeda terhadap PKI dan warganya dibandingkan warga dan tokoh NU yang mengalami gesekan dengan warga PKI. Sebagai orang yang punya keberanian luar biasa, Gus Dur tidak ragu-ragu untuk meminta maaf kepada keluarga korban 1965. Gus Dur juga berani melontarkan gagasan untuk mencabut Tap MPR No XXV/1966. Gus Dur tidak menghitung untung-rugi akibat mengeluarkan pernyataan di atas.

Saat itu saya menilai kebanyakan orang menentang gagasan itu. Saya membuat tulisan di koran menanggapi gagasan pencabutan Tap MPR oleh Gus Dur itu. Menurut saya, tidak semua substansi Tap MPR tersebut dapat dibatalkan. Namun, perlakuan diskriminatif terhadap keluarga korban harus dihentikan. Saya yakin masih jauh lebih banyak rakyat yang menolak PKI diizinkan berdiri lagi.

Pada September 2012, sebuah majalah berita nasional mengeluarkan edisi khusus yang mengungkap sejumlah kisah tentang aksi kekerasan terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI pada akhir 1965. Warga dan tokoh NU tentu merasa terpojokkan oleh penuturan majalah tersebut, yang kemudian memicu terbitnya buku Benturan NU dan PKI, 1948-1965. Buku itu mengungkap latar belakang dan penyebab warga dan aktivis NU di sejumlah kota terpaksa melakukan eksekusi terhadap anggota PKI dan organisasi di bawahnya karena kondisinya memang mendorong ke arah hal itu.

Terbitnya edisi khusus majalah berita nasional tersebut dan beredarnya film-film yang tidak lolos sensor (The Act of Killing dan The Look of Silence) mau tak mau membuat suasana panas dan menumbuhkan rasa saling curiga. Itu tidak bisa dihindarkan. Bahkan, berbagai SMS masuk ke ponsel saya memberi informasi bahwa CC PKI sudah berdiri dan mengadakan rapat di sejumlah kota. Saya tidak punya kemampuan untuk mengetahui apakah informasi itu benar atau tidak.

Rekonsiliasi

Pada awal 2000-an mulai muncul gerakan mendorong terjadinya islah atau rekonsiliasi. Anak-anak muda NU, terutama yang tergabung dalam syarikat, melakukan berbagai kegiatan untuk memulai mewujudkan rekonsiliasi itu.

Banyak anak pelaku kekerasan terhadap korban 1965 merasa ikut bersalah dan lalu melakukan sesuatu yang positif terhadap keluarga korban. Putra-putri tokoh yang dulu bermusuhan secara politik berkumpul dalam satu organisasi bernama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Mereka antara lain putra/putri Jenderal A Yani, Jenderal Sutoyo, Jenderal Supardjo, DN Aidit, dan Kartosuwiryo.

Upaya rekonsiliasi memberi harapan kepada para korban ketika Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Nasional sudah menyerahkan nama calon anggota kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memerlukan waktu lama sekali untuk memilih para anggota KKR. Di tengah masa menunggu itu, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU KKR pada awal Desember 2006. Sampai hari ini belum ada tanda-tanda akan muncul UU KKR pengganti UU yang dibatalkan itu walau sudah delapan tahun berlalu.

Dalam pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo menyatakan secara tersirat rencana membentuk tim untuk melakukan rekonsiliasi terkait pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Peristiwa 1965. Rekonsiliasi ini kabarnya akan disertai pengungkapan kebenaran. Informasi ini menimbulkan reaksi berbeda di dalam berbagai kelompok, ada yang senang dan ada yang tidak.

Komnas HAM pada Juli 2012 meluncurkan laporan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi secara sistematis dan meluas pada 1965-1966. Laporan ini disusun berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan di empat wilayah (Maumere, Maluku, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara) dan pengumpulan kesaksian dari 349 saksi dan korban. Menurut UU No 26/1926 tentang Pengadilan HAM juncto Pasal 7 Statuta Roma, kejahatan-kejahatan ini didefinisikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Mengingat di Indonesia tidak bisa dilakukan proses hukum terhadap mereka yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat pada 1965/1966, sejumlah orang punya prakarsa untuk menyelenggarakan International People Tribunal (IPT 1965) terhadap mereka yang diduga sebagai pelaku. IPT itu akan dilakukan di Den Haag dari Oktober 2015 sampai Oktober 2016. IPT akan mendakwa pihak negara (terutama militer) yang diduga kuat menjadi pelaku dalam peristiwa itu.

Sikap warga NU kini

Bagaimana sikap warga NU terhadap peristiwa yang sudah terjadi 50 tahun lalu itu? Terdapat beberapa kelompok. Pertama, antirekonsiliasi, yang saya duga jumlahnya kecil. Mereka menganggap TNI dan kelompok sipil telah melakukan upaya tepat dalam menyelamatkan NKRI. KKR dan rencana rekonsiliasi pemerintah dianggap tak perlu karena warga PKI memang pantas mendapat perlakuan seperti yang terjadi. Sikap ini juga dimiliki kelompok di luar NU.

Kedua, kelompok yang setuju upaya rekonsiliasi, yang menganggap warga PKI dan warga NU sama-sama jadi korban. Menurut mereka, negara bisa meminta maaf kepada korban bukan kepada PKI. Rekonsiliasi yang sudah berjalan perlu ditingkatkan dengan berlandaskan ketulusan dan kejujuran serta menghilangkan prasangka.

Ketiga, mereka yang secara sadar mengakui keterlibatan warga NU dan militer dalam pelanggaran HAM berat itu. Kelompok ini setuju jika diadakan proses hukum untuk membuka apa yang sebenarnya terjadi. Mereka setuju Tap MPRS No XXV/1966 dicabut, ajaran komunis boleh disebarkan. Mereka meyakini bahwa PKI tidak akan laku walau diberi hak untuk didirikan lagi.

Kelompok terakhir ini amat terpengaruh oleh pemikiran Gus Dur saat meminta maaf dan mengusulkan pencabutan Tap MPRS No XXV/1966. Mereka sama seperti Gus Dur, tidak mengalami suasana saat PKI sedang ”berperang” dengan TNI dan partai-partai, lawan termasuk NU. Ke depan, jumlah mereka yang tidak mengalami konflik dengan PKI akan makin banyak dan mungkin saat itu proses hukum bisa dilakukan walaupun pihak yang harus bertanggung jawab sudah tidak ada. []

KOMPAS, 29 September 2015
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng

Kang Sobary: Di Depan Rumah Tuhan



Di Depan Rumah Tuhan
Oleh: Mohamad Sobary

Di depan rumah Tuhan, begitu banyak hewan kurban. Ada sapi, ada domba, ada biri-biri. Bagaimana nasib hewan itu, belum ketahuan.

Adakah mereka bakal menjadi sarana cinta kita kepada Tuhan? Dan, mereka mati di jalan suci? Ataukah, mereka mati sia-sia demi kematian yang belum saatnya? Tuhan tak butuh apa-apa dari manusia. Tuhan sudah Mahakaya, Maha Memiliki, Mahamurah, dan Mahasegalanya.

Jika manusia modern mempersembahkan sesaji untuk membikin Tuhan bersukacita, bawalah itu sesaji untuk dirimu sendiri. Tuhan tak membutuhkan apa-apa. Dialah tempat kita meminta. Jika kau berkurban, jangan kira Tuhan terpesona. Jika hewan kurbanmu banyak dan besar-besar, dengan harga mahal, apa kau lupa bahwa Tuhan punya segalanya?

Di depan rumah Tuhan, begitu banyak hewan kurban. Ada sapi, ada domba, ada biri-biri. Dari mana asal mula uang yang kau belikan hewan kurban? Dari jalan suci, dan tetesan keringat, yang diridai? Atau, dari jalan kegelapan, memeras sesama hamba Tuhan? Lihatlah dirimu, betapa nista. Kau hanyalah seonggok jiwa telanjang, tak berdaya. Kau bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Kau hanya peminta-minta, tanpa mengetuk pintu, tanpa tata krama.

Dalam kesulitan kerjamu merintih-rintih. Dengan hewan kurbanmu yang tak seberapa, kau pamer seolah dirimu itu siapa. Tuhan. Kaukah Tuhan itu sendiri? Darah hewan kurbanmu tak akan sampai ke langit. Dagingnya pun segera lenyap dibagibagi untuk manusia di bumi.

Tapi, jika kau punya sedikit saja cinta, dan itu cinta datang dari bening telaga hatimu, itu yang Kunanti. Memang itu yang Aku terima. Aku kuterima. Jangan lupa, kau berkurban bukan untuk Aku, tapi untuk dirimu sendiri. Ini tradisi cinta seperti kakekmu, Ibrahim, punya.

***

Di depan rumah Tuhan begitu banyak kaum miskin terlunta-lunta. Di dalam rumah Tuhan kita bicara, muslim bersaudara satu sama lain. Satu dicubit, yang lain turut pedih. Satu menderita, yang lain meneteskan air mata. Tapi, mengapa kau pamerkan kekayaan di tengah samudera raya kemiskinan? Sesama muslim katanya bersaudara?

Mengapa kau kaya melimpahlimpah, saudaramu sekarat tak makan beberapa hari lewat? Persaudaraan apa itu namanya? Ukhuwah islamiuah, ukhuwah wathoniah, ukhuwah basyariah hanya kata-kata. Rahmat bagi semesta, siapa yang menjadikannya nyata? Siapa yang bisa mengubah kata menjadi selain kata yang ada gunanya?

Di depan rumah Tuhan, banyak manusia kleleran. Ini memalukan. Jiwa kita dipukul. Tapi oleh kita sendiri. Kita harus belajar merasa malu. Kalau begitu, sebaiknya jangan lagi Tuhan dibikinkan rumah kalau hanya akan membuat-Nya resah. Tuhan tak butuh rumah. Tak butuh dimuliakan, Dia sudah Mahamulia. Tuhan tak butuh disucikan, Dia sudah Mahasuci.

Mari kita belajar merasa malu. Kita bikin kantor kita rumah Tuhan. Di dalamnya, dari pagi sampaisore, sampaipagi lagi dan sore lagi, tak perlu kita mengobral dalil-dalil persaudaraan, kemanusiaan, dan keadilan. Kantor kita rumah Tuhan. Di sana kita kerja, kerja, dan kerja. Itu ibadah kita. Jangan bicara kita abdi masyarakat bila kita tak pernah menghayati makna abdi. Jangan bicara kita pamong jika kita tukang perintah dan minta dilayani.

***

Ibadah tak butuh katakata. Hilangkan katakata jika kata hanya menipu diri kita. Jangan kotori udara bersih kantor dengan kata-kata tanpa makna. Kita sudah pusing tiap hari media menyebarkan kata, dan tiap kata berhenti pada kata belaka. Pejabat berpidato penuh janji, membuat negeri ini republik katakata, yang tak mengubah derita kronis dalam tata kehidupan kita.

Nenek bilang, sedikit saja kata, banyakkan kerja. Nenek benar. Tapi, kita membikin studio besar untuk menyemburkan kata-kata ke langit, dan meninabobokan atasan yang percaya bahwa bila rencana sudah dibicarakan, dikiranya itu sudah menjadi kenyataan. Jangan bikinkan lagi Tuhan rumahjikarumahhanyamembikin resah. Kita punya siasat. Hidup bisa dirombak, dan dijungkirbalikkan, demi kebaikan.

Kita bermeditasi di kantor. Kita berzikir di kantor. Kita memuja Tuhan di kantor. Kita nyepi, sesepi-sepinya, juga di kantor. Kita merancang program sebagai meditasi kita. Kita menyusun strategi untuk melaksanakan program, untuk disebut itulah zikir kita. Lalu, pelan-pelan, dengan ketulusan profesional, kita melayani yang datang.

Dialah raja yang kita bikin mulia. Kita melatih rasa kita, sensitivitas kita, untuk membikin pelayan yang baik, sebaik-baiknya, sebagai pemujaan kita kepada Tuhan. Kita memuja tanpa kata-kata. Dan, Tuhan paham isi hati kita. Kita menilai kembali pelayanan kita, dengan kejernihan jiwa yang menandai kita layak disebut pribadi yang utuh: utuh moralitasnya, utuh tampilan sosialnya, utuh tanggung jawab, utuh kepemimpinannya.

Di kantor kita nyepi, tanpa kata-kata, tapi benak jejak di belakang kita, tanda kita bekerja dan bekerja. Kita pelayan, yang melayani sesama manusia, tapi juga berarti melayani Tuhan. Tuhan memang tak butuh pelayanan. Tapi, kita melayani dalam bahasa hati: Tuhan tahu, kita tahu. Kita samasama tahu bahwa melalui pekerjaan sehari-hari kita, panggilan langit itu telah kita penuhi.

Ini namanya peran kenabian. Kita wujudkan peran itu semampu- mampu kita. Seikhlasikhlas kita. Lalu, kita berkata: Tuhan, hanya inilah yang bisa kulakukan. Tapi, itu kulakukan dengan hati, dengan ketulusan, yang KAU ajarkan. Tuhan, kantorku ini juga rumah ibadahku. Ibadah yang lebih nyata, yang bisa mengubah dunia tanpa kata-kata.

Kita hanya bekerja, melayani dan melayani. Adakah pelayanan lebih prima, lebih sempurna dari yang ini? Lalu, Tuhan kelihatannya membisu. Kita di depan pintu. Di dalam sana. Dan, pintunya belum terbuka. Tapi, tak mengapa. Kita ingat Chairil Anwar bersenandung: ”Tuhan, di pintu-Mu aku pengetuk. Aku tak bisa berpaling.” Kita mengucapkan itu pula, tapi tanpa kata-kata. Tuhan tak butuh kata, yang tak keluar dari jernih telaga batin kita.

Di depan rumah Tuhan kini ada kita yang membisu dalam kerja dan kerja. Tuhan, ini zikirku. Semampu-mampuku. Seikhlas-ikhlasku. Lalu, aku menunduk. Lelahku, pegal pinggangku, juga tanda zikirku, di kantorku yang kujadikan rumah-Mu. []

Koran SINDO, 28 September 2015
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.