Selasa, 31 Juli 2012

(Kuliner of the Day) Lonsay Dorong di Ruko Roxy, Cikarang Baru

Lontong sayur atau biasa disebut lonsay, merupakan salah satu jenis fastfood atau makanan cepat saji lokal. Bagaimana tidak dikatakan fastfood, wong mulai dari ngirisin lontong sampai mengguyur sayur dan disiapin, membutuhkan waktu tidak lebih dari 5 menit.



Salah satu lonsay dorong yang menurut saya lumayan mantab, adalah lonsay milik Bang Jamal yang ada di sebelah gedung rumah makan soto SIP Madura, Ruko Roxy. Bang Jamal hanya buka untuk melayani para pembelinya di pagi hari sampi menjelang siang.



Keistimewaan lonsay Bang Jamal ini terdapat di citarasa lontongnya, walaupun pembungkusnya menggunakan plastik, namun aroma daun pisang tetap tercium karena setiap bungkus lontongnya juga diberi beberapa lembar daun pisang. Sayurannya sendiri, terdiri dari kuah santan, irisan labu, beberapa potong tahu, dan telur ayam jika suka.








Tanpa telur ayam bulet, harga dibanderol Rp 4.000 per porsi, boleh makan di tempat atau take away. Silahkan dicoba.

(Tokoh of the Day) KH. Syamsuri Brabo, Tanggung Harjo, Grobogan - Jawa Tengah


KH. Syamsuri Brabo, Tanggung Harjo, Grobogan – Jawa Tengah

Kiai Syamsuri Brabo dan Kitabnya






TAHUN 1960, lantai masjid Al-Muhajirin di Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo, Tanggung Harjo-Grobogan, Jawa Tengah, rusak berat. Pengasuh pesantren Kiai Syamsuri risau, karena masjid tersebut pusat syiar Islam. Di sanalah santri dan warga masyarakat berkumpul, untuk sembahyang, ngaji, rapat desa dan sebagainya.



Suatu hari, sang kiai mengutarakan kerisauannya di depan santri dan masyarakat. Intinya, ia menyampaikan bahwa lantai masjid harus segera diperbaiki, dan ia ingin kayu milik Masjid Desa Jragung Demak lama menjadi pengganti lantai masjidnya. Dana terkumpul, dari iuran santri dan jariyah warga Desa Brabo. Tapi belum cukup.


Akhirnya, Kiai Syamsuri ambil “jalan pintas”, yakni menjual kitab Syarah Bukhori setebal 12 jilid kepada Anwar, kala itu pemilik toko Toha Putera di Semarang. Namun, sang kiai bilang kepada Anwar bahwa kitab ini jangan dijual dulu kepada orang lain, karena suatu saat, dirinya akan datang: membeli kembali Syarah Bukhori kesayangannya ini.



Beberapa waktu kemudian, Anwar dikunjungi Kiai Hamid Kajoran Magelang. Biasalah, rumah pemilik toko kitab ada kitab-kitab aneka macam yang tertata rapi. Kiai Hamid pun biasa melihatnya. Tapi hari itu, mata Kiai Hamid tampak terpesona dengan setumpuk kitab teronggok. Tak lain, kitab itu Syarah Bukhori milik Anwar yang dibeli dari Kiai Syamsuri. Kiai Hamid tambah tertarik dengan kitab itu, karena setelah dibuka, semuanya telah diberi makna dengan rapi dan bagus.


“Kang Anwar, buatku saja ya kitab ini,” begitu kira-kira Kiai Hamid meminta. Karena yang meminta Kiai Hamid, maka kitab tadi diberikan secara cuma-cuma.



Lain waktu, Kiai Hamid Kajoran dikunjungi kiai muda bernama A. Baidhowi. Kedua kiai kita ini akrab, hangat, dan saling menghormati. Karena lama tidak berjumpa, Kiai Hamid meminta tamunya menginap. Dalam perbincangannya, Kiai Hamid cerita:


“Gus Dhowi, aku punya kitab.”

“Kitab nopo, Kiai.”

“Syarah Bukhori. Aku minta dari Toha Putra. Tetapi, kitab itu akan saya hadiahkan untuk Sampeyan.”

“Waduh, matur suwun, Kiai.” Tapi Kiai Hamid tidak memberi secara cuma-cuma. Ia meminta mahar dari Kiai Baidhowi.


Malamnya, tuan rumah mempersilakan sang tamu untuk istirahat di kamar pribadinya, di lantai dua. Namun penghormatan Kiai Hamid malah bikin tamunya tidak bisa tidur. Kiai Baidhowi merasa rikuh, di kamar bawah ada kiai yang dihormatinya.


Paginya, Kiai Hamid mengutarakan mahar keinginkannya. Kiai Baidhowi, demi kitab yang disenanginya, menyanggupi mahar.



“Mahar pertama, doakanlah semua anak keturunanku suka dengan tamu,” kata Kiai Hamid mulai menyebutkan keinginannya.



“Mahar kedua, doakan semua anak cucuku bisa haji,” lanjutnya.


“Mahar terakhir,” kata Kiai Hamid, “doakan anak cucuku suka mengaji.”


Dengan rikuh dan keterkejutan yang masih tersimpan, Kiai Baidhowi yang masih mudah berdoa di hadapan Kiai Hamid yang lebih sepuh dan sangat dihormatinya itu. Setelah semuannya selesai, sang tamu pamitan.


Kemudian, Kiai Baqoh Arifin, putra Kiai Hamid, mengantarkan tamunya sampai terminal Magelang, atas perintah ayahandanya.


Diceritakan, dalam perjalanan kitab Syarah Bukhori sempat jatuh. Sesampainya di kediamannya, Pesantren Sirojuth-Tholibin, Brabo, Kiai Baidhowi langsung menemui ayahandanya, Kiai Syamsuri, memberikan kitab yang dikasih Kiai Hamid.


Kiai Syamsuri kaget, ternyata kitab itu adalah kitab yang dulu dijual kepada Anwar . Sambil menangis, ia langsung memeluk kitab tadi. Lalu memeluk Kiai Badhowi, yang tak lain adalah putranya sendiri. Sang anak bingung, “Wonten nopo, Pak?”



***



Kiai Syamsuri lahir pada tanggal 21 April 1906, di Desa Tlogogedong Kecamatan Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Bapaknya bernama KH Dahlan bin Nolo Khoiron, imam dan pemuka agama di desanya. Kakek Syamsuri adalah lurah di Sambak Wonosekar, Demak.


Kehadiran Syamsuri muda di Brabo bermula dari permintaan dua tokoh agama di Brabo Mbah Idris dan Mbah Hasan Hudori, kepada Kiai Syarqowi Tanggung Tanggungharjo. Keduanya meminta kepada Kyai Sarqowi agar “menanamkan” santrinya di desa Brabo. Kyai Syarqowi menunjuk santrinya yang bernama Syamsuri, yang tak lain menantunya, untuk mengabdi dan mengembangkan Islam di Brabo.


Kiai Syamsuri berdakwa dengan pelan-pelan. Pengajian bandongan kecil-kecilan digelar di serambi masjid. Sembari mengetahui seluk beluk warga Brabo, ia berkunjung ke rumah warga. Sifat sabar dan keuletannya, Kiai Syamsuri berhasil mendapat simpati masyarakat Brabo. Akhirnya, jangkauan pengajiannya hingga ke luar desa, dan jama’ah pengajian di serambi masjid makin ramai.


Melihat makin bertambahnya santri, masyarakat mengusulkan untuk mendirikan pesantren. Berdirilah pondok pesantren, dengan nama Sirojuth Tholibin, tahun 1941.


Nama pesantren, selain bermakna lentera penerang para penuntut ilmu, juga dalam rangka “menempelkan kitab” bernama Sirojuth Tholibin karya Syekh Muhammad Ihsan Jampes Kediri. Istilahnya, tabarukan. Kitab Sirajuth Thalibin adalah syarah atas kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Al-Ghozali.


Syamsuri suka belajar agama. Syamsuri kecil sudah ngaji akidah, fiqih, Al-Qur’an. Guru pertamanya ayahnya sendiri, KH Dahlan.


Selanjutnya, ia belajar kepada KH Abdur Rohman di Tlogogedong Demak Jawa Tengah. Ia juga belajar kepada Kiai Irsyad Gablog dan nyantri di Mangkang sertai KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng.


Syamsuri muda pernah belajar ngaji Shohih Bukhori dan Shohih Muslim kepada Kiai Hasan Asy’ari di Poncol Bringin Salatiga. Tempat lain yang pernah disinggahi Syamsuri untuk belajar adalah Pesantren Tegalsari, Bringin Salatiga, asuhan Kiai Tholhah.


Di antara ulama yang seangkatan dengan Kiai Syamsuri adalah KH Muslih Mranggen Demak. Bahkan, keduanya sama-sama alumni Pondok Tanggung, di bawah asuhan Kiai Syarqowi.


Ada sebuah kisah tentang Kiai Syamsuri dan Kiai Muslih. Kiai Muslih pernah meminjam kitab Shohih Bukhori kepada Kiai Syamsuri. Lalu, Kiai Syamsuri meminjamkan kitab tersebut dengan mengutus muridnya, Shobari, untuk membawanya ke Mranggen. Konon Shobari membawa kitab tadi dengan dipikul memakai kayu.


Tokoh lain yang seangkatan adalah KH Arwani Kudus (hubungan dalam thoriqoh), KH. Shodaqoh, ayah dari KH Haris Shodaqoh, pengasuh PP Al Itqon Gugen Semarang), KH Nawawi Bringin Slatiga, dan KH Ihsan Brumbung Mranggen Demak.


Dalam hal tarekat, Kiai Syamsuri mengambil sanad dari Kiai Syarqowi, tepatnya tarekat Naqsabandiyah Kholidiyyah. Namun ia tidak diangkat menjadi mursyid, meski kadang ditunjuk sebagai badal. Sebab, Kiai Syamsuri diarahkan untuk lebih berkonsentrasi pada pendidikan santri di pesantren.


Kiai Syamsuri berpulang ke Rahmatullah, bakda Magrib, malam Rabu, 23 Shofar, bertepatan dengan 4 Oktober 1988.



Ditulis ulang oleh Hamzah Sahal dari dan atas seizin www.Sirojuth-Tholibin.net

(Ngaji of the Day) Ramadhan bukan cuma Bulan Puasa


Ramadhan bukan cuma Bulan Puasa

Oleh: Amiruddin Fahmi



Bulan Ramadhan adalah bulan paling mulia. Untuk menyambut Ramadhan, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup sementara dan setan dibelenggu agar tidak menggganggu manusia (Shahih Muslim). Di bulan ini juga al-Qur'an turun dari "Lauhul Mahfudz" ke langit untuk dicatat oleh malaikat lalu diturunkan bertahap kepada Rasulullah (QS al-Qadr). Laitul Qadr, malam seribu bulan juga ada di bulan ini (HR Bukhari Muslim).


Banyak sekali keutamaan dan pahala yang bisa diraih dengan sangat mudah jika kita bisa mengoptimalkan peluang yang tersedia pada momen setahun sekali ini.


Kita harus memanfaatkan bulan ini sebagai ajang menebus dosa yang sudah terlalu banyak menumpuk selama sebelas bulan sebelumnya. Coba saja hitung berapa dosa yang kita lakukan dalam sehari? Nah, banyak obral pahala hanya bisa ditemui di bulan ini. dan inilah beberapa yang jangan sampai kamu lewatkan.


Amal Sunnah = Pahala Faridhah, 1 Faridhah = 70 Kelipatannya


Di antara keistimewaan Ramadhan adalah pahala sunnah sama dengan faridhah (amal wajib) di bulan lain. Jadi, perhatikan sunnah mudah dan ringan yang mungkin lebih sering terabaikan dalam semua rutinitas harianmu dan lakukan sebanyak mungkin. Ucapkan salam, doa keluar masuk rumah, kamar mandi, baca basmalah sebelum beraktivitas apa saja yang kadang terlewatkan akan menambah gemuk pundi-pundi pahalamu.


Modal Kurma Dapat Pahala Puasa


Mengadakan buka bersama pahalanya sama dengan yang puasa. Memang tidak semua mampu, tapi kata Nabi tidak harus menu lengkap berbuka yang disediakan. Kalau benar tidak mampu, korma, susu bahkan air putih pun sama dengan mengadakan buka bersama. Namun ingat, tidak usah menipu diri sendiri.


Tarawih dan Witir


Dalam hadis disebutkan, shalat tarawih bisa menghapus dosa yang lalu. Walaupun agak berat dan malas, tapi kalau dikerjakan bareng keluarga atau teman pasti lebih ringan. Ajak seluruh keluarga, termasuk pembantu dan si kecil atau teman sekolah tarawih bersama di rumah atau masjid pasti tarawih takkan terasa berat.


Hindari Bohong dan Ghibah


Capek-capek puasa tapi tidak dapat pahala, pasti tidak mau kan? Makanya jauhilah bohong dalam semua ucapan bahkan gurauan juga gosip yang tidak berguna. Kalaupun lupa atau terlanjur segeralah istighfar, semoga saja kesalahan itu tidak menghilangkan pahala kita.


Baca Sebentar, Pahala Besar


Ada beberapa bacaan yang singkat tapi sarat pahala. Bacaan yang bersumber dari hadis nabi ini sebagian besar sudah dijadikan bacaan wajib setelah tarawih. Bisa kamu lihat di rubrik Khazanah Nabawiyah.


Rumusan Lailatul Qadr, jangan sampai Kelewatan


Intensitas ibadah di 10 malam terakhir pada bulan Ramadhan wajib kita tingkatkan. Yang biasa bolong tarawihnya jangan diteruskan. Yang sudah rajin tambah posi ibadah dengan tahajjud. Sebab di malam-malam inilah kata Nabi, peluang terbesar kita untuk mendapatkan Lailatul Qadr. Khususnya malam ganjil seperti 21, 23, 25, 27, dan 29. Lingkari kalendermu dan camkan baik-baik apa saja harinya, karena rugi besar mereka yang melewatkan momen emas memborong pahala di malam yang lebih baik dari seribu bulan ini. Minimal ikutilah shalat Isya' berjamaah di masjidmu.


Untaian Hadis Nabi, Sempurna


Perlu diketahui, puasa tidak mencegah kita beraktivitas seperti biasa. Memang hari-hari pertama akan terasa berat bagi mereka yang tidak biasa puasa. Perut yang biasa disuplai makanan akan kaget karena tiba-tiba kosong tak terisi selama kurang lebih 14 jam. Tapi ini tidak akan berlangsung lama. Selang beberapa hari anda juga akan terbiasa. Setelah Ramadhan berlalu introspeksi diri anda, sudahkah kita manfaatkan dengan baik "Big Sale Ramadhan" tahun ini?


Sebagai penutup, di bawah ini ada sebuah hadis nabi yang sangat indah. Ringkas tapi bernas dan mencakup semua amal sunnah yang sudah kita kupas di atas dan lebih. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya melalui sahabat Salman Al-Farisi.


عن سعيد ابن المسيب عن سلمان قال خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلّم في آخر يوم من شعبان فقال: «أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم شهر مبارك، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر، جعل الله صيامه فريضة، وقيام ليله تطوعا، من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه، ومن أدى فيه فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه، وهو شهر الصبر، والصبر ثوابه الجنة وشهر المواساة، وشهر يزداد فيه رزق المؤمن، من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه وعتق رقبته من النار، وكان له مثل أجره من غير ان ينتقص من أجره شيء. قالوا: ليس كلنا نجد ما يفطر الصائم فقال: يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على تمرة، أو شربة ماء، أو مذقة لبن، وهو شهر أوله رحمة واوسطه مغفرة وآخره عتق من النار، من خفف عن مملوكه غفر الله له واعتقه من النار، واستكثروا فيه من أربع خصال: خصلتين ترضون بهما ربكم وخصلتين لا غنى بكم عنهما، فأما الخصلتان اللتان ترضون بهما ربكم، فشهادة أن لا إله إلا الله وتستغفرونه، وأما اللتان لاغنى بكم عنها فتسألون الله الجنة وتعوذون به من النار، ومن أشبع فيه صائما سقاه الله من حوضي شربة لا يظمأ حتى يدخل الجنة .



Artinya : "Wahai manusia, kalian sekarang berada di bulan agung, bulan penuh barokah. Di situlah terdapat malam seribu bulan. Allah mewajibkan puasa pada siang harinya dan men-sunnahkan shalat tarawih pada malamnya. Siapa melakukan kebaikan seperti melaksanakan kewajiban pada bulan lainnya. Dan satu kewajiban seperti 70 kelipatan di bulan lainnya. Bulan kesabaran dan sabar imbalannya surga. Bulan tenggang rasa, dan bulan bertambahnya rizqi. Siapa memberi makan untuk berbuka mendapat seperti pahalanya tanpa berkurang sedikitpun.' Sahabat menyahut, "Tidak semua kami mampu ya Rasulallah!' Rasulullah melanjutkan, "Allah memberi pahala ini kepada orang yang memberi buka walau hanya buah korma, seteguk air dan segelas susu. Bulan dimulai dengan rahmat, disusul dengan ampunan, diakhiri dengan kebebasan dari neraka. Perbanyaklah empat perkara, dua untuk mendapat ridho allah, dua tidak bisa lepas dari kalian. Untuk menggapai ridho ucapkan syahadah dan perbanyak istighfar. Dua yang jangan kamu lepas mintalah surga dan berlindung denganNya dari neraka. Siapa yang mengenyangkan orang puasa akan minum dari telagaku, tidak akan haus sehingga dia masuk surga." HR Ibnu Khuzaimah.



Sumber: NU Online

(Do'a of the Day) 11 Ramadlan 1433H


Bismillah irRahman irRaheem



In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma zayyinnii fiihi bissatri wal `afaaf, wasturnii fîhi bilibaasil qunuu'i wal kafaaf, wahmilnii fiihi `alal `adli wal inshaaf, wa aaminnii fiihi min kulli maa akhaafu, bi'ishmatika yaa `ishmatal khaaifiin.


Ya Allah, hiasilah aku di bulan yang mulia ini pengampunan dan kesucian, bungkuslah aku di dalamnya dengan pakaian qana'ah dan rasa cukup, bawalah aku di dalamnya pada keseimbangan dan keadilan-Mu, berikanlah kepadaku rasa aman di dalamnya dari apa yang kutakutkan, dengan penjagaan-Mu wahai Yang Menjaga orang-orang yang ketakutan.



Dari Kitab Mafaatihul Jinaan, Bab II, Pasal 3

Senin, 30 Juli 2012

BamSoet: Pemimpin Yang Terisolasi dari Persoalan Rakyat

Pemimpin Yang Terisolasi dari Persoalan Rakyat


Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI/

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia



FOKUS pada masalah politik kekuasaan, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun terisolasi dari persoalan yang sedang dihadapi rakyat. Juga aneh karena presiden senang dengan fakta-fakta yang menunjukan pemerintahannya tidak bersih.



Dua pernyataan Presiden SBY sepanjang pekan lalu membuat banyak orang bingung. Pertama, ketika presiden mengaku senang dengan terungkapnya kasus-kasus penyimpangan penggunaan anggaran yang melibatkan oknum eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR). Kedua, saat presiden mengimbau para menteri yang sibuk mengurusi partai politiknya untuk mundur dari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-II.



Pada saat bersamaan, rakyat sedang menghadapi kenyataan atau masalah yang sama sekali tidak menyenangkan. Utamanya adalah lonjakan harga kebutuhan pokok. Sementara di beberapa daerah, konflik berlatarbelakang perebutan lahan terus berlanjut. Konflik yang melibatkan warga versus aparat keamanan dan pemerintah, atau warga versus pemodal swasta. Dua isu ini dikedepankan media di Jakarta secara berkelanjutan. Sayang, tetap saja lolos dari perhatian presiden. Karena presiden sibuk mengelola politik kekuasaan, dia pun terisolir dari sejumlah persoalan yang sedang dihadapi rakyagt.



Terlihat bahwa Presiden SBY dan para menterinya bukan hanya tidak sensitif, tetapi juga tidak antisipatif. Lonjakan harga sembako selalu terjadi menjelang puasa dan Lebaran. Sebelum Juli tahun ini, presiden mestinya memerintahkan Menteri koordinator perekonomian, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian hingga Kepala Banda Uruisan Logistik (Bulog) untuk mengantisipasi lonjakan harga kebutuhan pokok menjelang bulan Ramadhan. Namun, tindakan atau langkah antisipatif tidak juga dilakukan sehingga lonjakan harga pun tak terelakan. Alih-alih prihatin dengan masalah ini, ada menteri yang menilai lonjakan harga saat ini sebagai hal yang wajar karena memberi kenikmatan kepada petani.   



Pemerintah seperti tidak punya nyali untuk melakukan intervensi pasar. Sebab, setiap kali lonjakan harga di angkat sebagai persoalan, para menteri seperti ingin mengalihkan masalah dengan mengatakan pasokan dan stok dalam posisi aman. Lalu, dimunculkan janji untuk melakukan operasi pasar. Janji itu tidak efektif karena hingga awal Ramadhan tahun ini, harga sejumlah komoditas kebutuhan pokok justru terus meroket.



Sementara itu, konflik berlatarbelakang perebutan lahan terus mengalami eskalasi.  Sepanjang periode Januari - Juni 2012, luas lahan yang diperebutkan  mencapai 377.159 hektar dalam 101 kasus, melibatkan sekitar 25.000 kepala keluarga di seluruh Indonesia. Dalam konteks berbisnis atau berusaha, rentetan konflik lahan di sektor pertambangan, perkebunan dan sektor kehutanan sudah barang tentu akan melahirkan pertanyaan seputar masalah kepastitan  hukum.



Di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, konflik lahan di area perkebunan tebu Cinta Manis terus berlanjut. Setelah warga dari 17 desa membakar lahan tebu, emosi warga kembali diletupkan dengan cara membakar rumah karyawan PTPN VII. Sementara di pulau Padang,  tidak kurang dari 200 warga mendatangi kawasan Senalit, Desa Lukit, karena PT  Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) melakukan penanaman bibit akasia. Padahal, Kementerian Kehutanan sudah memerintahkan perusahaan itu untuk menghentikan operasinya, karena konflik yang belum terselesaikan. Warga Pulau Padang akan terus melancarkan protes  terhadap pemerintah yang mengabaikan persoalan di pulau itu.



Kalau publik melihat dua masalah di atas sebagai persoalan yang sangat serius, Presiden dan jajaran anggota kabinetnya barangkali mempersepsikan dua masalah itu sebagai hal yang biasa-biasa saja. Itu sebabnya, presiden tidak merasa perlu memberikan respons yang segera dan signifikan. Tentu saja sikap presiden seperti itu sulit dipahami, mengingat dua masalah itu sangat strategis. Lonjakan harga sembako berkait dengan perut lebih dari 100 juta warga negara, sementara persoalan konflik lahan berdimensi lebih luas. Mulai dari aspek kepastian hukum dalam berbisnis, prospek perekonomian rakyat di atas lahan yang disengketakan, aspek keamanan hingga potensi konflik berdarah dengan jatuhnya korban jiwa.



Peduli dan Tegas



Benar bahwa para pembantu presiden seharusnya sigap bergerak untuk mereduksi dan menyelesaikan persoalan-persoalan itu. Akan tetapi, manakala persoalannya terus tereskalasi atau berulang, presiden tentu saja tidak bisa tinggal diam. Minimal, kepada para pembantunya, presiden mempertanyakan, meminta pertanggungjawaban, bahkan kalau perlu menghardik. Kalau menteri atau pejabat setingkat menteri kesulitan menyelesaikan persoalan-persoalan itu,  tidak ada salahnya presiden turun tangan langsung.  Sebab, dalam praktiknya, memang tidak semua persoalan bisa diselesaikan oleh seorang menteri. Apalagi jika persoalannya mencakup kewenangan lintas sektor.



Muncul dugaan atau kekhawatiran bahwa pemerintahan sekarang ini tidak fokus mengurusi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi rakyat. Itu sebabnya, antara suara atau aspirasi  rakyat dengan respons pemerintah sering kali  tidak nyambung. Ketika rakyat mengeluhkan lonjakan harga sembako, Presiden justru menunjukan kepedulian pada isu lain. Tidak berarti presiden melakukan kekeliruan, tetapi presiden dengan sendirinya paham apa yang seharusnya diprioritaskan. 



Wajar jika presiden memberi perhatian terhadap pengungkapan sejumlah kasus penyimpangan pemanfaatan anggaran pembangunan. Namun, merasa senang atas pengungkapan kasus-kasus itu jelas tidak menyelesaikan masalah. Pengungkapan sejumlah kasus penyimpangan penggunaan anggaran pembangunan itu seharusnuya membuat presiden prihatin. Sebab, pengungkapan kasus-kasus itu menjadi bukti kalau pemerintahannya tidak bersih. Keinginannya mewujudkan good governance di ambang kegagalan. Sebagai kepala pemerintahan di republik ini, Presiden SBY seharusnya prihatin.



Bahkan, karena penyimpangan anggaran itu melibatkan oknum pejabat pemerintah, Presiden seharusnya pro aktif. Ambil contoh pada kasus dugaan korupsi proyek Hambalang. Proses penganggaran proyek Hambalang yang penuh misteri adalah skandal bernuansa kejahatan kerah putih. Presiden seharusnya merasa dipermalukan oleh skandal ini. Kabinetnya layak dinilai amatiran.  Jika ada kementerian yang berani merealisasikan sebuah proyek tanpa mengikuti mekanisme penganggaran yang benar, berarti  menteri bersangkutan terang-terangan melanggar undang-undang.  Tak elok jika Presiden tidak meminta pertanggungjawaban dari menteri bersangkutan.



Presiden juga terlihat lemah dan tidak tegas ketika hanya bisa mengimbau para menteri untuk mundur dari kabinet jika sibuk mengurusi partai. Imbauan itu, boleh jadi, mengacu pada data atau informasi yang ada di tangan presiden.  Bukankah presiden berbicara harus berdasarkan data? Maka, kalau ada menteri yang tidak bisa berkonsentrasi menjalankan tugasnya, presiden punya hak prerogatif untuk memberhentikan menteri bersangkutan. Jadi, cukup menggunakan hak yang satu itu dengan tegas dan lugas. Sebab, sekali lagi, imbauan atau saran tidak akan bisa menyelesaikan persoalan.



Imbauan presiden SBY terhadap para menteri itu justru dikembangkan sebagai lelucon di ruang publik. Kalau menteri yang sibuk mengurusi partai diimbau oleh presiden untuk mundur dari kabinet, apa konsekuensinya jika seorang presiden pun sibuk mengurusi partainya sendiri? Harus mundur juga dari jabatan presiden?



Sebagai pemimpin, SBY wajib memberi contoh. Imbauan itu seperti pepatah ‘Menepuk Air di Dulang Terpercik Muka Sendiri’. Publik tahu bahwa Presiden masih menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dan tokoh sentral partai itu. Tentu saja, presiden tidak bisa menyalahkan para menteri jika ada di antara mereka yang masih bisa mengurusi partai di waktu luang. []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

(Buku of the Day) Hanya 2 Menit Anda Bisa Tahu Potensi Rezeki Anda


Menakar Potensi Rezeki Pemberian Allah

Senin, 23/07/2012 13:00






Judul Buku        : Hanya 2 Menit Anda Bisa Tahu Potensi Rezeki Anda

Penulis             : Ippho Santoso

Penerbit            : PT Elex Media Komputindo

Terbit                : Cetakan III, April 2012

Halaman           : 114 halaman

ISBN                 : 978-602-00-1990-1

Peresensi          : Oleh Suhairi Rachmad*


Akhir-akhir ini, buku tentang motivasi diri menjadi ‘rebutan’ pembaca. Bak kacang goreng, buku jenis ini laris di pasaran. Sebagian pembaca mulai meninggalkan buku bacaan yang mengacu pada pemikiran. Begitu pula buku jenis fiksi, akhir-akhir ini tak segencar ketika ‘masa keemasan’ Forum Lingkar Pena dengan genre sastra yang sangat khas.


Mengapa buku motivasi diri menjadi pilihan alternatif pembaca? Bisa jadi, pembaca mulai sadar bahwa ada sesuatu yang belum terungkap dalam dirinya. Sehingga, membaca buku jenis ini akan membangkitkan semangat dan mampu mengungkap potensi diri.


Seminar tentang motivasi diri juga diminati sebagian kalangan. Cara seperti ini dianggap mampu membangkitkan semangat dan mampu mengungkap potensi yang ada dalam dirinya. Kondisi seperti ini dimanfatkan sebagian motivator sebagai ‘ladang’ meraup rezeki. Salah satunya dengan cara membukukan pengalamannya memberikan ceramah motivasi di berbagai tempat. Bisa jadi, apa yang mereka tulis dalam buku sama persis dengan apa yang mereka sampaikan dalam seminar-seminar.


Seorang entrepreneur sekaligus motivator ulung, Ippho Santoso mencoba membukukan pengalamannya dalam buku Hanya 2 Menit Anda Bisa Tahu Potensi Rezeki Anda. Buku yang terilhami dari buku One-Minute Manager ini merupakan Mega Best Seller. Sejak Maret hingga April 2012, buku ini telah mengalami tiga kali cetak. Inilah bukti bahwa pembaca mulai melirik potensi yang ada dalam dirinya.


Pada judul Satu Menit yang Menentukan! Ippho Santoso menganjurkan pembaca agar mampu menulis impiannya untuk satu tahun ke depan dalam waktu satu menit. Jika pembaca tidak mampu menuliskannya dengan sangat jelas, berarti pembaca tidak serius dengan apa yang diimpikan (hal. 13).


Dalam hal ini, pembaca hanya diminta tiga impian. Oleh karena itu, pembaca harus memprioritaskan impian besar yang ingin dicapai. Betul kata orang tua, bercita-cita itu harus setinggi langit. Sebab, hal ini akan memicu semangat yang ada dalam diri kita.


Judul Dua Menit yang Menentukan mengulas tentang potensi yang ada dalam diri kita. Ini terkait dengan keyakinan dan pemahaman. Seberapa besar keyakinan kita dan seberapa benar pemahaman kita, maka sebesar itulah potensi kekayaan kita. Dengan kata lain, jika keyakinan kita kecil dan pemahaman kita salah, maka kemungkinan potensi kekayaan kita juga kecil (hal. 15).


Potensi inilah yang ingin diungkap Ippho Santoso terlebih dulu. Sebab, menyadari adanya potensi yang ada dalam diri kita akan mempermudah melakukan usaha dan ikhtiar. Dengan demikian, kita akan gampang mengubah pola pikir dan pola kerja kita. Inilah awal mula yang dialami penulis buku ini sehingga menjadi entrepreneur dan motivator sukses.


Pembaca bisa belajar mengenai pola hidup orang Jepang. Di antaranya, tentang menjaga harga diri. Seperti dimaklumi, Jepang adalah negara ulet, jauh dari budaya malas-malasan. Jangankan jadi pengemis, meminta tips saja mereka merasa malu. Dalam konteks lain, kerap diberitakan, di sana, pejabat-pejabat yang ketahuan korupsi atau sejenisnya pasti mundur bahkan bunuh diri (hal. 53).


Di Indonesia? mundur dari jabatan pun mereka harus dipaksa. Hingga saat ini, sejumlah kasus dugaan korupsi masih menghiasi pemberitaan berbagai media. Bahkan, proses persidangan kasus korupsi hingga kini belum tuntas dan memakan waktu bertahun-tahun. Inilah satu sisi yang harus kita banyak belajar kepada Jepang.


Ippho Santoso bukan hanya menganjurkan kita bercermin pada orang Jepang. Buku ini juga menyajikan tokoh muslim yang memiliki potensi luar biasa. Salah satunya adalah Usman bin Affan. Sahabat Nabi Muhammad ini memiliki julukan Dzunnurain—memiliki dua cahaya. Ia diakui sebagai hartawan, yang diakui juga sebagai dermawan. Saat peristiwa Tabuk, Usman menyedekahkan 1000 ekor unta dan 70 ekor kuda, ditambah 1000 dirham yang nilainya sama dengan sepertiga biaya yang diperlukan untuk peristiwa tersebut (hal. 81).


Buku ini juga mengungkap rahasia sukses Donald Trump, Robert Kiyossaki, Chairul Tanjung, Muhammad Yunus, Azim Premjiu, Ahmadinejad, Abdurrahman bin Auf, hingga sepak terjang Wali Songo meraih sukses. Pada Menit-Menit Terakhir, Ippho Santoso menekankan adanya perubahan sudut pandang positif. Dan inilah langkah awal yang dilakukan orang-orang sukses.


Buku setebal 114 halaman ini menyajikan kisah sejumlah tokoh dalam meraih impian hidup. Buku ini layak dibaca oleh siapa saja, utamanya bagi Anda yang ingin membangkitkan semangat meraup rezeki pemberian Allah. Bisa jadi, Anda memiliki potensi rezeki melebihi yang diperkirakan sebelumnya.


* Alumnus Fakultas Sastra Universitas Jember, kini tinggal di Sumenep Madura.

(Ngaji of the Day) Meroketnya Harga Pangan: Kedlaliman bagi Shoimun


Meroketnya Harga Pangan: Kedlaliman bagi Shoimun

Oleh: Mochammad Maksum Machfoedz*



Swasembada beras, gula, jagung, kedele dan daging sapi, 2014, kembali menggelora dalam Konferensi DKP, Dewan Ketahanan Pangan, 16-18 Juli. Semangat membangun kedaulatan dan kemandirian pangan nasional ini pantas diapresiasi dalam kondisi ancaman pangan global yang semakin akut. Satu hal yang pasti, bahwa spirit kejuangan seperti ini tidak bisa main-main, akan tetapi butuh komitmen kebangsaan memadai.


Peringatan tentang komitmen dilontarkan karena belum juga berselang masa, ironi terjadi sangat menggelikan dan mengindikasikan tergeting swasembada RUU, Republik Undur-Undur, basa-basi. Konferensi DKP menekankan pentingnya konsistensi. Pada saat sama, harga beberapa produk pangan pokok ternyata hiruk-pikuk berebut naik bagai pacuan. Eskalasi harga pangan telah beberapa hari terjadi menyongsong Ramadlan dan pasti disusul kemudian dengan lonjakan harga yang lebih luar biasa mendekati Idul Fitri.


Krisis harga pangan senantiasa kembali berulang musiman di Bulan Ramadlan meski kebutuhan publik sudah teramat rutin berjalan dan bisa diramalkan. Pengendalian harga pangan musiman mestinya menjadi bagian terpenting tugas pembangunan perekonomian Negara, terlebih kebutuhan yang terkait dengan Ramadlan adalah kepentingan mayoritas warga bangsa dan karenanya semestinya menjadi perhatian Kabinet Indonesia Bersatu II.



Absennya Negara?


Pertanyaan besarnya, dimanakah negara ketika rutinitas krisis terjadi? Persoalan rutin saja kok tidak pernah bisa menata? Begitu pertanyaan mereka yang sedang menjalankan ibadah puasa di akar rumput. Teramat mudah dimaklumi manakala spekulasi dagang terjadi, karena spekulasi adalah bagian dari perilaku pasar, dimanapun, ketika diramalkan bakal terjadi peningkatan permintaan. Tetapi, ketidakmampuan Pemerintah dalam mengatasi polemik pasar musiman, sungguh tidak bisa dimaklumi oleh shoimun.


Belum juga permasalahan klasik dibenahi pemerintah, lapangan sudah diwarnai oleh gerakan massa yang berteriak bahwa harga kedele sudah meroket, sangat tidak masuk akal dan menuntut turunnya harga kedele berdasarkan fakta terganggunya pabrik tahu-tempe. Ketidakmampuan negara untuk menjamin harga murah sumber protein nabati publik ini juga menjadi puncak caci maki pengrajin tahu-tempe.


Balada harga pangan Ramadhan yang super rutin ini memunculkan kecurigaan publik bahwa ketidakmampuan pengendalian tersebut terjadi by design. Kecurigaan tersebut bermuara pada sejalannya kepentingan antara pengambil keputusan, kelompoknya dan spekulan dalam tujuan jangka pendek. Setidaknya kecurigaan tersebut didukung oleh sikap pembiaran terhadap eskalasi harga untuk kemudian bisa dimanfaatkan sebagai pembenaran terhadap importasi, dengan segala madu-rente dan moral hazardnya.


Kecurigaan publik sangat beralasan. Lihat rencana importasi satu juta ton beras. DKP bertekad surplus 10 juta ton beras, 2014. Presiden telah memberikan penghargaan kepada 10 Gubernur dan 130 Bupati/Walikota karena sukses meningkatkan produksi beras 5% lebih. Ketika penghargaan Presiden diterimakan Wapres, 18 Juli 2012, ternyata terdengar sayup rencana importasi satu juta ton beras. Belum berselang masa, dan rencana itu pun aneh bin ajaib, karena data yang dilaporkan dalam konferensi DKP mengindikasikan progres produksi yang optimistik. Kalau data produksi tersebut benar adanya, importasi satu juta ton beras sudah kelewat batas sembrono. Sekali lagi, ‘kalau data itu benar’.



Benahi internal


Dan kalau data itu benar pula, maka persoalannya adalah sangat internal dan memerlukan solusi-solusi yang internal berkenaan dengan sistem produksi, kecanggihan sistem cadangan, keadilan tataniaga dan keandalan distributif. Memprihatinkan sekali manakala persoalan internal tersebut justru terperangkap pemikiran para pemimpin yang hobinya importasi. Sementara, rente dan madu liar importasi sungguh luar biasa menggiurkannya.


Tidak kalah menariknya adalah meramalkan solusi yang bakal diambil KIB II untuk kedele. Mudah sekali diduga bahwa ujung dari solusi krisis kedele dewasa ini pasti membebaskan bea masuk import kedele sekaligus menghapuskan pajak pertambahan nilai dengan senjata kebijakan Pemerintah DTP, Ditanggung Pemerintah. Seperti halnya beras, benah internal demi kedaulatan dan kemandirian sebenarnya lebih masuk akal.


Potensi agraris RI yang ditunjukkan dalam konferensi DKP sangat menjanjikan bagi keswasembadaan melalui benah internal. Akan tetapi, kalau untuk urusan internal yang rutin saja tidak mampu menyelesaikan, maka ada baiknya eksistensi otoritas pangan terkait ditinjau ulang secara tuntas oleh pemerintah.


Sayangnya, jalan pintas mengatasi pacuan harga pangan pasti impor. Jelas sekali bahwa importasi tidak hanya akan membunuh petani di gudang pangannya sendiri. Importasi akan sekaligus menghambat laju produksi dan swasembada 2014 nanti. Kedaulatan dan kemandirian pangan RI hanya bisa dibangun melalui benah internal. Benah internal inilah yang harus menjadi solusi semesta, bukannya malah memperbesar syahwat importasi.


Kedlaliman bagi shoimun



Perhatian ini perlu sekali dilontarkan karena implikasi ketidakbecusan dalam tata-harga sungguh luar biasa. Pertama, kenaikan harga pangan pasti inflationary, mengakibatkan membengkaknya angka inflasi 2012 dan beban ekonomi publik. Kedua, dalam kegalauan mengatasi inflasi, jalan pintas yang dipilih pasti yang paling gampang dilakukan, yaitu importasi. Padahal jalan pintas ini membunuh rakyat tani karena pengaruh kendali harga yang kebablasan sekaligus menjauhkan RI dari keswasembadaan. Ketiga, ujung dari segala kedlaliman kebijakan sembrono tersebut pasti terganggunya stabilitas ekonomi-politik nasional. Keempat, dampak publik eskalasi harga pangan telah mengganggu kekhusukan hidup mereka yang sedang ibadah puasa dan berada di akar rumput. Pacuan harga pangan di bulan Ramadhan tentu adalah ketdlaliman negara terhadap shoimun.



* Ketua PBNU, guru besar bidang Sosio Ekonomi Agroindustri Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM

(Do'a of the Day) 10 Ramadlan 1433H


Bismillah irRahman irRaheem



In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahummaj'allii fiihi nashiibam mir rahmatikal waasi'ah, wahdinii fiihi libaraahiinikas saathi'ah, wa khudz binaashiyatii ilaa mardhaatikal jaami'ah, bimahabbatika yaa amalal musytaaqiin.


Ya Allah, berikanlah padaku di bulan yang mulia ini bagian dari rahmat-Mu yang luas, bimbinglah aku di dalamnya dengan ilmu-Mu yang bercahaya, dan bimbinglah aku pada keridhaan-Mu yang sempurna dengan cinta-Mu wahai dambaan orang-orang yang merindukan.



Dari Kitab Mafaatihul Jinaa, Bab II, Pasal 3

Jumat, 27 Juli 2012

(Tokoh of the Day) Syaridin Syarif, Sumatera Barat


SARIDIN SYARIF

Pendiri NU yang Menyayangi Anak Yatim



Mungkin jarang bagi kita mendengarkan nama Saridin Syarif. Namun terlepas dari populer atau pun tidaknya sosok Syaridin Syarif, ia adalah seorang tokoh yang cukup memiliki peranan penting dalam sejarah penyatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terutama seputar penyatuan kembali pulau Sumatera setelah meletusnya pemberontakan PRRI di Sumatera Barat.


Saridin Syarif adalah tokoh yang berhasil melunakkan pemerintah pusat agar tidak meneruskan pengejaran terhadap PRRI (1958) dan mengampuni Syafruddin Prawiranegara sebagai dalang pemberontakan dengan tebusan berupa pengembalian seluruh kekayaan rampasan Syafruddin yang digunakan sebagai modal pemberontakannya.


Saridin Syarif juga adalah seorang tokoh yang sangat berjasa dalam pengembangan cabang-cabang NU di Sumatera Barat dan sekitarnya. Beliau merintis NU tahun di pelosok-pelosok Sumatera Barat sejak tahun 1954 bersama Nurain Datuk Patih, teman sekampungnya, dengan melakukan banyak sekali kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah di Lubuk Limpang, Sawah Lunto, Bonjol, Solok dan Painan dan lain-lain.


Dalam kunjungan-kunjungannya ini Saridin Sarif juga ditemani oleh orang-orang dari Maninjau. Terutama sekali Saridin memang menemani Bapak Thoha Ma'ruf sebagai ketua, sedangkan Beliau sendiri berlaku sebagai sekretaris. Di mana wilayah kunjungannya mencapai Rengat dan Jambi. Sementara bergiat istrinya mendirikan Muslimat NU pada tahun 1956 bersama Ibu Rosma Burhan dari Bonjol. Kegiatan mendirikan cabang-cabang dan ranting-ranting NU ini diisi dengan mendirikan sekolah-sekolah, yang sampai sekarang masih ada. Hingga saat ini sekolah-sekolah tersebut, masih dikelola oleh para penerusnya.


Latar Belakang Peran kepemimpinan


Mayoritas jaringan Ulama Sumatera Barat pada dasawarsa 1930 hingga 1950-an berada di bawah naungan Perti yang telah menjadi organisasi berskala nasional dengan memiliki cabang di berbagai wilayah Indonesia. Namun Perti lebih tampak sebagai organisnasi etnis karena begitu kentalnya dominasi ulama Minangkabau.


Kekurangan Perti inilah yang pada gilirannya, memberikan pencerahan kepada beberapa kader terbaik mereka untuk membina sebuah hubungan lintas ulama dalam spekrum yang lebih luas. Para kader terbaik ini beranggapan bahwa untuk mempertahankan dan mengembangkan keislaman ala Ahlussunnah Waljamaah, terutama ala syafi'iyyah, di Indonesia, mestilah ditopang dengan suatu keorganisasian yang mampu menaungi segala etnis dan diterima oleh etnis-etnis yang lain tanpa membeda-bedakan. Artinya mereka menginginkan sebuah interaksi yang sejajar di antara para pejuang Ahlussunnah Waljamaah. Maka menurut mereka, NU adalah bahtera yang sesuai keinginan mereka. Terutama sekali mereka juga tidak menginginkan Muhammadiyah dan Masyumi mengambil peran tunggal dalam sosio religius Sumatera Barat.


Maka mereka pun menaruh sebuah harapan besar agar NU dapat didirikan di Sumatera Barat. Meskipun demikian, sebenarnya orientasi ke-NU-an di antara masyarakat Sumatera Barat telah terjalin sejak lama, terutama di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan tapanuli Selatan. Hal ini sikarenakan Tapanuli Selatan sudah menjadi basis Nu sejak tahun 1940-an, sementara telah sejak lama santri-santri asal Sumatera Barat, khususnya wilayah Pasaman yang menuntut ilmu di Tapanuli selatan.


Di samping itu, aktivitas perdagangan mengakibatkan interaksi semakin intens terjadi antara orang-orang NU Tapanuli Selatan de santri-santri Minangkabau. Sehingga beberapa tokoh dan pendiri Nu di Sumatera Barat, beberapa di antaranya berasal dari Tapanuli Selatan, seperti Djamaluddin Tarigan dan Djabonar Lubis yang merupakan orang-orang Melayu asal Tapanuli Selatan. Setelah beberapa lama menjalin hubungan dagang dengan penduduk pasaman, Keduanya mendirikan Pesantren di sana. Dengan demikian pesantren-pesantren ini jeas berafiliasi kepada NU meskipun belum secara formal.


Maka tak heran ketika cabang resmi NU lahir pertama kali di Rao Mapattunggal, Kabupaten Pasaman, justru cabang NU ini merupakan cabang Istimewa dari Wilayah NU Sumatera Utara (bukan Sumatera Barat atau Sumatera Tengah) karena Sumatera Barat belum memiliki kepengurusan Wilayah. Cabang NU Mapattunggal ini pertama kali diketuai oleh Djabonar Lubis.


Harapan besar kepada NU ini mendapatkan momentumnya ketika Zarkawi, salah seorang Tokoh Muda Perti menghimpun teman-temannya karena tidak puas dengan keputusan Perti yang berpegang "hidup mati" hanya pada satu Madzhab saja, yakni Syafi'iyah. Zarkawi dan teman-temannya, Abu al-Ma'ani, Saudin Yusuf, Thoha Ma'ruf, yaridin Syarif dan A. Razak Tuanku tanah Air, menggodok tiga opsi yang akan mereka pilih dalam memperjuangkan Ahlussunnah Waljamaah di Sumatera Barat.


Ketiga opsi tersebut adalah, pertama, memperjuangkan pembaharuan pemikiran di Perti agar dapat lebih berkembang dan tidak hanya terpaku pada satu madzhab saja. Kedua, mendirikan organisasi baru yang yang sesuai dengan keinginan mereka. Ketiga, berafiliasi dengan NU yang dianggap juga telah sukup memenuhi kriteria yang mereka inginkan. Meski tentu saja ketiga opsi ini mengandung makna yang mendalam dalam masing-masing jiwa mereka, karena bagaimanapun juga Perti selama ini adalah bahtera mereka dalam memperjuangkan Islam Ahlussunnah Waljamaah.


Hingga pada tahun 1954 M. diadakanlah pertemuan para ulama Sumatera Barat di Bukittinggi yang bertempat di Rumah Ustadz Syarif, seorang ulama alumni perantren Tarbiyah, murid langsung dari Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan sudagar kaya yang mampu membiayai seluruh akomodasi pertemuan tersebut. Hasil kesepakatan bulat dalam pertemuan ini adalah bergabung dengan NU yang segera didukung secara serentak oleh seluruh ulama yang berafiliasi NU.


Satu hal yang cukup menggembirakan bagi kelanjutan keputusan ini adalah adanya kenyataan bahwa Kyai Muslih, seorang tokoh NU dari Jakarta, sedang bertugas sebagai Kepala Jawatan Urusan Agama Sumatera tengah yang berkedudukan di Bukittinggi. Selama ini Kyai Muslih tidak pernah mengajak mereka untuk bergabung dengan NU karena menganggap bahwa masyarakat Sumatera Barat telah memiliki organisasinya sendiri, yakni Perti. Karenanya, Kyai Muslih cukup terkejut mendengar keinginan kader-kader terbaik Perti ini untuk bergabung dengan NU. Kyai Muslih pun kemudian menerima pernyataan dan hujjah mereka untuk bergabung dengan NU. Maka dengan demikian tiada lagi halangan untuk mendirikan kepengurusan NU Wilayah Sumatera Barat.


Di tingkat wilayah, KH Zarqowi Wahid yang telah bergelar Syeikh Tabik Gadang dipercaya memimpin Suriah karena ketokohan dan garis kebangsawanan ulamanya yang tidak tertandingi di sana. Beliau adalah anak kandung dari pemangku Pesantren Tabik Gadang, Syeikh Abdul Wahid yang sangat dihormati. Sementara untuk mengisi kepemimpinan Tanfidziyah rupanya cukup sulit, karena beberapa tokoh memiliki kapabilitas dan kredibilitas yang sepadan. Mereka antara lain adalah, Saridin Syarif, Abul Ma'ani, Thoha Ma'ruf, Yasir Syafi'i dan Hasan Basri. Namun karena Thaha Ma'ruf dianggap memiliki jangkauan lebih luas karena darah Banjar-nya, maka ia pun dinobatkan sebagai ketua Tanfidziyah. Secara kebetulan KH. Idham Khalid (Ketua PBNU waktu itu) adalah ulama keturunan Banjar. Sedangkan Saridin Syarif dipercaya sebagai sekretaris tanfidziyah.


Terlahir demi NU


Saridin terlahir sebagai Sulung dari tiga bersaudara di Payakumbuh, Sumatera Barat pada 22 Desember 1929 dari pasangan suami istri guru ngaji, Muhammad Syarif yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar dan Ibu Darusah, seorang ibu rumah tangga, sebuah keluarga sederhana dan religius.


Saridin kecil memulai pelajarannya dari asuhan kedua orang tuanya dan menamatkan pendidikan dasar di Payakumbuh di bawah naungan PERTI, kemudian tetap di kampung halamannya untuk belajar hingga menamatkan SMA di Bukit Tinggi.


Semenjak masa mudanya, Saridin telah aktif di dunia organisasi dengan mengikuti kursus-kursus jurnalistik dan pendidikan kader. Beliau banyak sekali mengikuti pelatihan-pelatihan keorganisasian dan politik sejak muda. Sehingga Ketua Umum PBNU Idham Kholid menawari dirinya untuk melanjutkan belajar ke luar negeri. Namun orang tuanya tidak mengijinkan, maka Beliau pun tidak jadi pergi ke sana.


Saridin Syarif memiliki hobi mendirikan sekolah yang berafiliasi ke NU, mulai dari Payakumbuh (tanah kelahirannya) hingga di Depok (tempat tinggalnya yang terakhir) juga didirikan sekolah dan panti asuhan.


Menurut penuturan Isterinya, ketika mendirikan wilayah NU Sumatera Barat yang berkedudukan di Bukit Tinggi, yang meresmikan adalah Bapak Idham Kholid. Sempat mampir ke Rumah Beliau di Payakumbuh untuk beberapa tahun kemudian datang lagi dan meresmikan cabang NU di sana.


Sejak awal isterinya-lah yang turut mendampingi perjuangannya dalam memperluas dakwah Nahdlatul Ulama. Di mana mereka tidak menalami banyak halangan, karena telah memiliki banyak pengikut kultural yang sebelumnya berasal dari PERTI. Bersama Thoha Ma'ruf dan isterinya, Saridin Syarif yang baru saja menikah kemudian menyumbangkan andil dalam mendirikan cabang-cabang NU di wilayah Sumatera Barat. Betapa pun demikian, harus diakui bahwa cabang-cabang NU di Sumatera Barat lebih muda usianya dibandingkan dengan cabang-cabang PERTI dan Muhammadiyah.


Pada waktu tersebut memang cuaca politik di Indonesia sedang bergejolak. Sekitar waktu pemilu pertama (1955) Saridin Syarif dan isterinya tinggal di Bukit Tinggi, tinggal serumah dengan Thoha Ma'ruf dan isterinya. Sebuah rumah berlantai dua, dengan di lantai bawahnya tinggal keluarga Thaha Ma'ruf sementara di lantai atas tinggal Saridin Syarif dan keluarga. Kemana-mana mereka selalu berdua saja.


Saridin Syarif mengabdikan seluruh hidupnya untuk organisasi. Hingga ia merantau ke Jakarta tahun 1977 dan mengharuskannya selalu pulang balik Jakarta-Padang untuk urusan-urusan NU. Sebenarnya ia telah memulai ke Jakarta sejak tahun 1960-an (sendirian) dan tinggal bersama Bapak thoha Makruf di Kebon Nanas Jakarta Timur. Ia harus bolak-balik ke Jakarta sebagai anggota DPRD Kabupaten 50 Koto.


PKI dan PRRI serta Emas


Pada masa PKI Pak Saridin termasuk dalam daftar yang akan dibunuh oleh PKI (1948) dengan indikasi sudah dibuatkan lubang sumur sehingga ia harus merantau keluar dari kampungnya. Ini pulalah yang menjadi pertimbangan Saridin pada saatnya nanti untuk merantau ke Jakarta, terutama karena penghasilan, ketika anak-anaknya sudah mulai sekolah, sawah-sawah sudah tidak kuat menghasilkan pendapatan yang cukup banyak.


Sementara PKI juga banyak merampas harta-benda kekayaan seperti mesin jahit dan lain-lainnya, maka untuk menghidupi keluarganya, Saridin harus dapat ke luar dari kampungnya. Karena pada zaman PKI, Saridin senantiasa mengalami kesulitan-kesulitan dan dikambinghitamkan. Padahal kenyataan ini tidak dialaminya secara langsung ketika ia memperjuangkan NU tanpa dimusuhi oleh PKI.


Isteri Saridin Syarif (Ibu Nurani Yusuf), berhasil ditemui oleh penulis menyatakan bahwa para pembesar PRRI seperti Syafruddin Prawiranegara dan Muhammad Natsir, pernah membangun markas selama beberapa minggu di kampung halamannya. Sehingga suaminya sempat bertemu dengan mereka pada masa-masa yang rawan tersebut.


Nurani Yusuf adalah saksi mata yang hingga kini masih hidup yang dapat menerangkan bahwa para pemberontak PRRI telah sempat mengendalikan pemerintahan setempat dengan mencetak uang dan mengendalikan transaksi perdagangan di level yang terendah sekalipun. Ia menuturkan bahwa PRRI membuat sendiri uangnya di hutan dengan mengangkat percetakan ke hutan. Bahkan Beliau pernah tinggal serumah dengan isteri Syafruddin Prawira Negara di rumah mertuanya, (ibunya Pak Saridin). Setiap hari istri Syafruddin ini mengantarkan nasi dan bekal-bekal lainnya ke hutan tempat para tentaranya bermarkas.


Istri Syafruddin Prawiranegara sendiri mengajarkan masak dan menjahit kepada rakyatnya waktu itu, dan bahkan sempat mendirikan sekolah untuk anak-anak para pendukung PRRI, bahkan setelah mereka terdesak ke hutan dan gunung-gunung.


Syafruddin bersama keluarganya dan banyak sekali keluarga-keluarga pendukungnya saling berbelanja di kampung dengan menggunakan uang (yang dicetak oleh) mereka sendiri. Hal ini dapat berlaku karena Syafruddin Prawiranegara sendirilah yang menyuruh. Dicetak sendiri, dibelanjakan di antara mereka sendiri. Mereka juga membawa pemancar radio yang setiap hari selalu mengudarakan siaran tentang berita-berita kemenangan PRRI dan menjelek-jelekkan Soekarno. Hal ini jugalah yang menjadikan Muhammad Natsir dan Syafruddin dapat mempercayai pada Saridin Syarif.


Setelah PRRI kalah, rupanya Pak Syafrudin membawa emas yang sempat disembunyikan ditanam di bawah kolong rumah panggung ayah Saridin, sementara sang pemilik rumah justru tidak mengetahui bahwa yang ditanam di bawah rumah mereka adalah emas murni. Menurut yang menanam, peti-peti tersebut berisi senjata. Hingga setelah kalah barulah ketahuan bahwa isinya ternyata emas.


Maka setelah kalah emas yang ditanam di bawah rumah Saridin tersebut inilah yang dijadikan tebusan kepada pemerintah pusat sebagai tanda penyerahan diri mereka. Saridin Syarif sendiri yang mengantarkannya ke Jakarta sebagai tebusan atas nyawa Pak Syafruddin dengan dikawal ketat oleh tentara dari Jakarta. Emas ini kemudian oleh Presiden Soekarno dijadikan sebagai bahan dasar puncak Monumen Nasional (Monas) di jantung kota Jakarta.


Tentara pusat menyita seluruh barang rampasan perang yang tersisa setelah PRRI kalah. Saridin Syarif beserta tokoh-tokoh NU Sumatera Barat lainnya seperti Bagindo Letter, bagindo Jamhar, Bagindo Nukman dan Bagindo Baha'uddin Syarif tidak ditahan. Sementara Thoha Ma'ruf sedang berada di Jakarta, sehingga selama masa-masa terjadinya pemberontakan PRRI maupun seteahnya, NU tidak vakum. Hanya orang-orang Masyumi saja yang ditahan. Padahal ketika meletusnya pemberontakan PRRI, tidak ada utusan dari PBNU yang datang ke sana.


Dengan Thaha Ma'ruf


Persahabatan dengan Thaha Ma'ruf tetap terjalin hingga ke Jakarta, karena Beliau pulalah yang memintanya untuk membawa keluarga saridin ke Jakarta. Istri Thaha ma'ruf pulalah yang mengajarai Istri Saridin Syarif mendirikan majlis ta'lim dan panti asuhan. Bahkan hingga memberikan bantuan dan modal awal untuk membeli tanah.


Sebagai anak perempuan dari kampung yang dididik dengan pendidikan keagamaan yang kuat di pesantren, tentu saja Istri Saridin ingin menularkan ilmunya kepada masyarakat. Maka ketika isteri Saridin ini telah menyusul ikut ke Jakarta, tentu saja ia pun ingin mendirikan majlis ta'lim dan pesantren.


Dengan latar belakang yang berasal dari pedalaman Sumatera barat yang religius, maka hingga masa-masa senjanya Beliau selalu berpesan kepada keluarganya, "Buatlah pesantren, mengasuh anak-anak yatim. Karena walaupun anak kita banyak, belum tentu setia (maksudnya selalu menunggui/berdekatan). Bisa jadi anak-anak kita dibawa ke mana-mana (menunjuk arti tempat) sama suaminya. Maka kita di hari tua harus menyayangi anak-anak yatim."


Hingga akhir hayatnya, Beliau selalu memelihara silaturrahmi dengan para teman seperjuangannya dan kolega-koleganya, termasuk sangat akrab dengan Idham Khalid. []



Disadur kembali oleh Syaifullah Amin

(Masjid of the Day) Menapaki Kesejukan dan Kedamaiannya Masjid Raya Bukit Indah, Purwakarta

Meneruskan, menyampaikan, dan mengabarkan kembali oleh-oleh dari KH. Drs. Abdul Malik, Lc., SH., MH., MM., yang belum lama ini berkesempatan untuk menapaki kesejukan dan kedamaiannya Bukit Indah, Purwakarta, Jawa Barat. Kesejukan daerah Bukit Indah dan kedamaian lingkungannya menjadi lebih sempurna di saat beliau menundukkan diri di hadapan-Nya, di dalam Masjid Raya Bukit Indah.


mari segera tapaki tangga-tangga mungilnya...





ya, bukit indah purwakarta, dia ada di sana sejak tahun dua ribu dua...




sudutnya yang lain benar-benar menggoda... dengan kolam ikan yang segar berada di sampingnya...




tidak sabar untuk menghampirinya? luas dan lapang untuk semuanya... sejuk tanpa alas sajadah...




ah, ternyata ada hamparan beberapa sajadah di depannya... khusus bagi anda yang cinta dengan barisan pertama...




bukit indah purwakarta, mendengar namanya saja sudah terbayang akan keindahannya...