Senin, 30 November 2015

(Do'a of the Day) 18 Shafar 1437H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma innii a'uudzu bika min syarri masta'aadzaka minhu 'abduka wa rasuuluka sayyidina muhammadun shallallaahu 'alaihi wa sallama.

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang dimohonkan perlindungannya oleh hamba dan Rasul-Mu, Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18.

(Buku of the Day) Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah



Pengembangan Maqasid Syariah untuk Kemaslahatan Manusia


Judul                : Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah
Penulis             : Jasser Auda
Penerbit            : Mizan
Terbitan            : Agustus, 2015
Jumlah              : 356 halaman
Peresensi          : Irawan Fuadi, santri Al-Iman Purworejo dan Nurul Ummah Yogyakarta. Lulusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga

Bagi Muslim, keberadaan Al-Qur’an adalah shalih likulli zaman, relevan di setiap zaman. Namun pertanyaannya, sejauh mana sumber utama umat Islam itu mampu menjawab setiap permasalahan umat manusia? Di sinilah fungsi kerja manusia yang dikaruniai akal dan nurani tidak hanya sebagai objek, tetapi juga menjadi subjek atas lahirnya hukum Islam. Dari sini kemudian lahirlah apa yang digagas oleh Abu al-Ma’ali al-Juwaini yaitu Maqasid Syariah (tujuan-tujuan syariah). Dia menyarankan lima tingkatan maqasid, yaitu darurat (keniscayaan), al-hajjah al-‘ammah (kebutuhan publik), al-makrumat (perilaku moral), al-mandubat (anjuran-anjuran), dan apa yang tidak dicantumkan dalam nash. Pemikiran al-Juwaini ini kemudian dikembangkan oleh muridnya al-Ghazali dengan menggagas lima perlindungan (al-hifz). Yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Maqasid syariah adalah prinsip-prinsip yang menyediakan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan disyariatkannya hukum, seperti alasan zakat menjadi salah satu rukun Islam, manfaat fisik dan spiritual dari puasa Ramadhan, dosa besar minum minuman keras, hubungan antara gagasan hak-hak asasi manusia dengan hukum Islam, dan lain-lain. Najm al-Din al-Tufi mengaitkan kemaslahatan dan Maqasid dengan kaidah Usul Fikih, “Suatu maqsud tidak sah kecuali jika mengantarkan pada pemenuhan kemaslahatan atau menghindari kemudaratan.” (hlm. 33). 

Era kemunduran dalam peradaban Islam secara umum dalam teori fikih secara khusus mulai terjadi sejak pertengahan abad ke-7H/13M dengan runtuhnya Bagdad oleh bangsa Mongol pada 656 H. Setelah itu, para ulama mulai mengembangkan praktik penyebutan pendapat para imam dan muridnya sebagai ‘nash dalam mazhab (nass fi al-mazhab)’. Para fakih pada era kemunduran ini tidak diperkenankan melakukan ijtihad, kecuali apabila mereka tidak menemukan suatu pendapat dari imam mereka maupun murid-muridnya. (hlm. 120).

Buku ini berisi tujuh bab. Bab I menjelaskan tentang maqasid syariah dan peran fundamentalnya dalam kontemporerisasi hukum Islam yang sangat dibutuhkan umat Islam khususnya dan manusia pada umumnya. Bab ini mengenalkan definisi dan klasifikasi tradisional maupun terkini tentang maqasid syariah. Juga fase yang dilalui maqasid syariah, yaitu era sahabat Nabi, era peletakan fondasi mazhab fikih, dan era abad ke-5 sampai 8 Hijriyah.

Bab II menjelaskan tentang sistem dalam konteks ‘filsafat sistem’. Pendekatan filsafat sistem memandang dunia dan fungsi alam serta seluruh komponennya dalam konteks sebuah sistem holistik besar yang tersusun dari sub-sub sistem yang jumlahnya tak terhingga, yang memiliki sifat berinteraksi, terbuka, hierarkis, dan memiliki tujuan. Fokus bab ini adalah filsafat sistem sebagai sebuah filsafat posmodernisme yang rasional dan tidak berkiblat pada Eropa, serta bagaimana filsafat Islam dan teori hukum Islam dapat memanfaatkan filsafat baru ini.

Bab III menyajikan analisis mazhab-mazhab fikih klasik dalam konteks sejarah dan sumber pokok mereka. Ada sembilan mazhab fikih yang akan dibahas, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali, Syiah Ja’fari, Syiah Zaidi, Zahiri, Ibadi, dan Muktazilah. Bab IV menyajikan secara garis besar telaah dan analisis terkait teori yuridis 9 mazhab fikih klasik yang diakui secara luas (Bab III). Sajian analisis akan terfokus pada klasifikasi hierarkis berbagai metode, secara komparatif. 

Analisis yang disajikan dalam Bab V akan menunjukkan bagaimana teori-teori kontemporer mengesahkan atau mengkritik teori-teori klasik hukum Islam. Bab ini akan menjawab berbagai pertanyaan: Apakah mazhab-mazhab fikih klasik masih diikuti secara ketat? Jika peta mazhab dan teori hukum Islam telah berubah, apakah nama yang dapat kita berikan kepada mazhab-mazhab dan teori-teori baru dalam hukum Islam tersebut? Apa yang mendefinisikan masing-masing mazhab kontemporer? Dan terakhir seberapa banyakkah mereka setuju atau tidak setuju dengan mazhab-mazhab klasik?

Tema besar yang dibahas di Bab VI adalah identifikasi area-area tertentu di mana filsafat sistem dapat memberi kontribusi terhadap usul fikih. Fitur-fitur sistem seperti kebermaksudan, kognitif, holistik, multidimensi dan keterbukaan akan ditinjau kembali. Metode-metode untuk merealisasikan fitur-fitur ini dalam metodologi fundamental hukum Islam akan disajikan. Buku inii ditutup dengan Bab VII yang merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya.

Seperti yang disampaikan Prof. Amin Abdullah dalam Kata Pengantar, buku yang ditulis pakar maqasid syariah, Jasser Auda initidak hanya sekadar membahas ulang maqasid syariah dengan pendekatan baru, yakni pendekatan sistem. Buku ini lebih dari itu, yaitu mencakup juga tema-tema yang sangat diperlukan dalam studi keislaman kontemporer, yaitu filsafat ilmu keagamaan (Islam). Ia menegaskan kembali bahwa keberadaan hukum Islam bukan untuk Tuhan sebagai pencipta, tapi untuk kehidupan dan kemaslahatan manusia dan kemanusiaan sebagai pelaku utama makhluk di muka bumi. Selamat membaca! []

Quraish Shihab: Berlalu Lintas



Berlalu Lintas
Oleh: M. Quraish Shihab

“Hamba-hamba ar-Rahmân—Tuhan Pencurah Kasih—adalah  orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan “salam” (yakni mari berpisah dengan damai) (QS. al-Furqân [25]: 63).

Kandungan pesan di atas sejalan dengan kandungan pesan QS. al-Isra’ [17]: 37 yang maksudnya: “Janganlah engkau—siapa pun engkau—berjalan di persada bumi dengan  penuh keangkuhan/ugal-ugalan. Itu hanya dapat engkau lakukan kalau engkau telah dapat meraih segala sesuatu, padahal meskipun engkau berusaha sekuat tenaga tetap saja kakimu tidak dapat menembus bumi walau sekeras apa pun entakanya, dan kendati engkau telah merasa tinggi, namun kepalamu tidak akan dapat setinggi gunung.”

Dalam konteks cara jalan, Nabi saw. mengingatkan agar tidak berjalan membusungkan dada. Namun demikian, ketika beliau melihat seseorang berjalan menuju arena perang dengan penuh semangat dan terkesan angkuh, beliau bersabda: “Sungguh cara jalan ini dibenci Allah, kecuali dalam situasi (perang) ini.”

Kini pada masa kesibukan dan kesemerawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam cakupan pengertian ayat di atas penghormatan terhadap  disiplin lalu lintas.

Peraturan lalu lintas jalan raya serupa dengan peraturan lalu lintas kehidupan. Jangan pernah berkata bahwa lampu merah menghambat kelancaran lalu lintas, ia justru memuluskannya.

Karena itu, sebagaimana kewajiban menghindari yang haram, maka wajib pula mengindahkan lampu merah, dan sebagaimana keharusan menaati pemimpin pemerintahan—suka kepadanya atau tidak—maka demikian juga keharusan mengindahkan polisi lalu lintas yang mengatur kelancaran jalan karena dengan membangkang akan terjadi chaos, kekacauan, dan kesemerawutan. Para polisi itu  adalah bagian dari apa yang dinamai al-Qur’an Ulu al-Amr, yakni orang-orang yang memiliki wewenang memerintah, yang oleh QS. an-Nisâ’ [4]: 59 dinyatakan harus ditaati. Tentu saja bila tidak melanggar hukum.

Pesan ayat-ayat di atas bukan berarti anjuran berjalan perlahan atau larangan bergerak cepat. Nabi Muhammad saw. dilukiskan berjalan dengan gesit, penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.

Seorang pemuda dilihat oleh Sayyidina Umar ra. berjalan melempem, tanpa semangat bagaikan orang sakit. Beliau menghentikannya sambil bertanya: “Apakah engkau sakit?” “Tidak,” jawabnya. Maka Sayyidina Umar ra. menghardik dan memerintahkannya berjalan dengan penuh semangat.

Kalau Anda ingin memperluas makna pesan ayat-ayat di atas, maka Anda dapat berkata bahwa ia tidak sekadar menggambarkan cara jalan yang baik, tetapi juga tuntunan kepada pengguna jalan  agar  berinteraksi dengan semua pihak sebaik mungkin. Bukan saja memperhatikan Hak-hak Asasi Manusia, tetapi juga dalam istilah Nabi Muhammad saw. Hak-hak Asasi Jalan.

Jika Anda belum pernah mendengar istilah ini, maka ketahuilah bahwa Nabi saw. menggarisbawahi empat hal yang menjadi hak asasi jalan (HR. Bukhari dan Muslim), yaitu: a) Membatasi pandangan—termasuk tidak memperlambat kendaraan atau berkerumun sehingga memacetkan lalu lintas sekadar untuk melihat satu peristiwa; b) Menghindarkan gangguan, bukan saja dengan tidak membuang sampah di jalan, tetapi juga—misalnya—tidak membunyikan klakson secara berlebihan; c)  Menyebarluaskan kedamaian, antara lain dengan bertoleransi memberi peluang mendahului bagi siapa yang memintanya. Di sisi lain, berterima kasih—walau dengan mengangguk atau mengangkat tangan—kepada yang melapangkan buat Anda; d) Mengajak kepada kebaikan serta menghalangi kemungkaran. Butir terakhir  ini mencakup banyak hal karena memang  berjalan atau  mengemudi membutuhkan bukan sekadar pengetahuan tentang jalan dan berjalan, tetapi ia juga adalah seni dan di atas seni ada akhlak. Wa Allah A’lam. []

Azyumardi: Milan



Milan
Oleh: Azyumardi Azra

“Do you know Mister Thohir?”. Massimo, pelayan Ristoranti Pizzeria Marruzella Milan bertanya kepada penulis Resonansi ini ketika 8 November 2015 sedang menikmati pizza asli Italia—bukan pizza Amerika semacam Pizza Hut atau Domino Pizza yang lazim ditemukan di beberapa kota besar Indonesia. Belum sempat saya menjawab pertanyaan, dia langsung menambahkan: “You know, Mr Thohir is now the owner of Internazionale Milan. We are very happy that Inter play better now and at the top of the table”.

Massimo, sang waiter cukup fasih berbahasa Inggris—di atas rata-rata orang Italia yang kalau ditanya dalam bahasa Inggris dijawab dengan bahasa Inggris patah-patah atau bahasa Italia atau bahkan bahasa isyarat. Saya sering mengalami keadaan ini ketika kesasar di jalanan Milan dan bertanya pada seorang perempuan yang sedang mengajak anjingnya jalan-jalan. Perempuan ramah dan bersahabat ini menjawab dengan bahasa Italia tambah ‘bahasa Tarzan’. Tapi saya cukup mengerti dan bisa menemukan jalan.

Kembali kepada pertanyaan Massimo, saya tentu saja tahu yang dia maksudkan dengan ‘Mister Thohir’ adalah Erick Thohir, pengusaha muda yang sangat aktif dalam dunia olahraga—khususnya sepakbola—dan juga media massa. Saya jawab pertanyaan itu dengan menyatakan; tentu saja saya mengenal baik Mister Thohir dalam waktu yang cukup lama.

Saya bercerita lebih lanjut, saya ketemu Mister Thohir di Milan pada 30 Januari 2015, persisnya di atas pesawat Singapore Airlines yang terbang dari Bandara Milan menuju Singapura dan terus ke Jakarta. Dalam pertemuan yang tidak terduga itu kami sempat mengobrol tentang Inter, dunia sepak bola dan juga media massa.

Saya sering mendapat pertanyaan serupa dalam beberapa kali kesempatan ke Italia—Milan dan Roma—sepanjang 2014 dan 2015. Di lingkungan ibukota Roma dan kawasan Vatikan yang merupakan pusat hirarki Katolik, selalu saja ada orang yang mengaku pendukung fanatik Inter yang mengajukan pertanyaan sama. Sebagai warga Indonesia yang juga hobbi nonton sepakbola—termasuk Lega Calcio—saya merasa senang dan bangga Indonesia juga kian dikenal di Italia dan Vatikan melalui tim sepakbola Inter-Milan yang selama di tangan Erick Thohir meningkat kembali prestasinya.

Inter-Milan sedang berubah ke arah lebih baik. Tapi berbeda dengan perkembangan Inter, Kota Milan justru tengah berubah ke arah yang tidak menyenangkan. Meninggalkan Milan kembali ke Jakarta pada hari yang kemudian ternyata menjadi tragedi pemboman Paris (13/11/15), penulis Resonansi ini belakangan mengetahui kota fesyen ini juga menjadi salah satu target teroris.

Sejauh ini ancaman terorisme terhadap Milan belum terbukti. Setiap manusia berperikemanusiaan wajib berharap atau berdoa agar terorisme—yang  sudah mengorbankan begitu banyak orang tidak tahu apa tentang agenda kelompok teroris—tidak lagi terjadi; apakah di Milan, di tempat lain di Eropa atau juga di Indonesia yang juga mendapat ancaman ISIS pekan lalu.

Milan tengah berubah. Ketika menjelang akhir Januari 2015 datang ke Milan, saya tidak melihat sesuatu agak ganjil di kota ini. Tetapi dalam kedatangan kedua tahun ini, November lalu, saya menyaksikan banyak pengemis—laki-laki dan perempuan—mengemis di pinggir jalan, di depan supermarket, di gerbang pintu masuk Metro (kereta bawah tanah) dan di lingkungan kampus. Banyak juga pengasong yang menjajakan dagangan seadanya.

Para pengemis dan penjual asongan ini umumnya berwajah Afrika dan Timur Tengah. Mereka pengungsi atau migran yang meningkat jumlahnya di berbagai negara Eropa sejak Musim Panas 2015. Mereka datang dari Libya, Tunisia, Syria, dan Iraq untuk menyelamatkan diri dari kecamuk kekerasan dan terorisme akibat konflik dan perang saudara di tanahair mereka. Menyeberangi Laut Tengah mereka menuju pulau atau pantai Italia dan Yunani. Tidak sedikit di antara mereka tak pernah sampai ke tempat tujuan—tenggelam di tengah laut.

Membanjirnya pengungsi atau migran kian tidak selalu welcoming—alias disenangi masyarakat lokal. Meski orang Italia umumnya bersikap bersahabat—seperti dikatakan Mr Thohir kepada saya—tapi kian banyak kalangan masyarakat menggerutu. Ada kalangan mahasiswa dan dosen di lingkungan Universitas Katolik Hati Suci Milan yang menyesalkan banjir migran—membuat kekumuhan baru di kota mereka. Selain itu mereka juga menambah beban ekonomi bagi Italia yang mengalami kesulitan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir.

Banjir migran juga menyebabkan memburuknya citra Islam dan Muslim. Dalam percakapan dengan sejumlah kalangan, banjir migran adalah akibat kegagalan kaum Muslim di kawasan Afrika Utara dan Dunia Arab menyelesaikan masalah secara damai. Konflik, kekerasan, dan terorisme yang terus terjadi di berbagai tempat kawasan ini menjadi faktor pendorong bagi warga untuk meninggalkan tanah air mereka.

Karena itu, sudah saatnya para penguasa, politisi dan aktivis di kawasan-kawasan tersebut melakukan muhasabah untuk kemudian mengoreksi kekeliruan yang menyebabkan terjadinya berbagai bencana kemanusiaan. Jika tidak, bukan hanya Milan, tetapi juga kota-kota lain di Eropa menjadi lokus peningkatan sikap anti Islam dan anti-Muslim. []

REPUBLIKA, 26 November 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia