Pengembangan Maqasid
Syariah untuk Kemaslahatan Manusia
Judul
: Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah
Penulis
: Jasser
Auda
Penerbit
: Mizan
Terbitan
: Agustus, 2015
Jumlah
: 356
halaman
Peresensi
: Irawan Fuadi, santri Al-Iman Purworejo dan Nurul Ummah Yogyakarta. Lulusan Tafsir
Hadis UIN Sunan Kalijaga
Bagi Muslim,
keberadaan Al-Qur’an adalah shalih likulli zaman, relevan di setiap zaman.
Namun pertanyaannya, sejauh mana sumber utama umat Islam itu mampu menjawab
setiap permasalahan umat manusia? Di sinilah fungsi kerja manusia yang
dikaruniai akal dan nurani tidak hanya sebagai objek, tetapi juga menjadi
subjek atas lahirnya hukum Islam. Dari sini kemudian lahirlah apa yang digagas
oleh Abu al-Ma’ali al-Juwaini yaitu Maqasid Syariah (tujuan-tujuan syariah).
Dia menyarankan lima tingkatan maqasid, yaitu darurat (keniscayaan), al-hajjah al-‘ammah
(kebutuhan publik), al-makrumat (perilaku moral), al-mandubat
(anjuran-anjuran), dan apa yang tidak dicantumkan dalam nash.
Pemikiran al-Juwaini ini kemudian dikembangkan oleh muridnya al-Ghazali dengan
menggagas lima perlindungan (al-hifz). Yaitu perlindungan terhadap agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Maqasid syariah adalah prinsip-prinsip yang menyediakan jawaban untuk
pertanyaan-pertanyaan disyariatkannya hukum, seperti alasan zakat menjadi salah
satu rukun Islam, manfaat fisik dan spiritual dari puasa Ramadhan, dosa besar
minum minuman keras, hubungan antara gagasan hak-hak asasi manusia dengan hukum
Islam, dan lain-lain. Najm al-Din al-Tufi mengaitkan kemaslahatan dan Maqasid
dengan kaidah Usul Fikih, “Suatu maqsud tidak sah kecuali jika mengantarkan pada
pemenuhan kemaslahatan atau menghindari kemudaratan.” (hlm.
33).
Era kemunduran dalam peradaban Islam secara umum dalam teori fikih secara
khusus mulai terjadi sejak pertengahan abad ke-7H/13M dengan runtuhnya Bagdad
oleh bangsa Mongol pada 656 H. Setelah itu, para ulama mulai mengembangkan
praktik penyebutan pendapat para imam dan muridnya sebagai ‘nash
dalam mazhab (nass fi al-mazhab)’. Para fakih pada era kemunduran ini
tidak diperkenankan melakukan ijtihad, kecuali apabila mereka tidak menemukan
suatu pendapat dari imam mereka maupun murid-muridnya. (hlm. 120).
Buku ini berisi tujuh bab. Bab I menjelaskan tentang maqasid syariah dan peran
fundamentalnya dalam kontemporerisasi hukum Islam yang sangat dibutuhkan umat
Islam khususnya dan manusia pada umumnya. Bab ini mengenalkan definisi dan
klasifikasi tradisional maupun terkini tentang maqasid syariah. Juga fase yang
dilalui maqasid syariah, yaitu era sahabat Nabi, era peletakan fondasi mazhab
fikih, dan era abad ke-5 sampai 8 Hijriyah.
Bab II menjelaskan tentang sistem dalam konteks ‘filsafat sistem’. Pendekatan
filsafat sistem memandang dunia dan fungsi alam serta seluruh komponennya dalam
konteks sebuah sistem holistik besar yang tersusun dari sub-sub sistem yang
jumlahnya tak terhingga, yang memiliki sifat berinteraksi, terbuka, hierarkis,
dan memiliki tujuan. Fokus bab ini adalah filsafat sistem sebagai sebuah
filsafat posmodernisme yang rasional dan tidak berkiblat pada Eropa, serta
bagaimana filsafat Islam dan teori hukum Islam dapat memanfaatkan filsafat baru
ini.
Bab III menyajikan analisis mazhab-mazhab fikih klasik dalam konteks sejarah
dan sumber pokok mereka. Ada sembilan mazhab fikih yang akan dibahas, yaitu
Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali, Syiah Ja’fari, Syiah Zaidi, Zahiri, Ibadi,
dan Muktazilah. Bab IV menyajikan secara garis besar telaah dan analisis terkait
teori yuridis 9 mazhab fikih klasik yang diakui secara luas (Bab III). Sajian
analisis akan terfokus pada klasifikasi hierarkis berbagai metode, secara
komparatif.
Analisis yang disajikan dalam Bab V akan menunjukkan bagaimana teori-teori
kontemporer mengesahkan atau mengkritik teori-teori klasik hukum Islam. Bab ini
akan menjawab berbagai pertanyaan: Apakah mazhab-mazhab fikih klasik masih
diikuti secara ketat? Jika peta mazhab dan teori hukum Islam telah berubah,
apakah nama yang dapat kita berikan kepada mazhab-mazhab dan teori-teori baru
dalam hukum Islam tersebut? Apa yang mendefinisikan masing-masing mazhab
kontemporer? Dan terakhir seberapa banyakkah mereka setuju atau tidak setuju
dengan mazhab-mazhab klasik?
Tema besar yang dibahas di Bab VI adalah identifikasi area-area tertentu di
mana filsafat sistem dapat memberi kontribusi terhadap usul fikih. Fitur-fitur
sistem seperti kebermaksudan, kognitif, holistik, multidimensi dan keterbukaan
akan ditinjau kembali. Metode-metode untuk merealisasikan fitur-fitur ini dalam
metodologi fundamental hukum Islam akan disajikan. Buku inii ditutup dengan Bab
VII yang merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya.
Seperti yang disampaikan Prof. Amin Abdullah dalam Kata Pengantar, buku yang
ditulis pakar maqasid syariah, Jasser Auda initidak hanya sekadar membahas
ulang maqasid syariah dengan pendekatan baru, yakni pendekatan sistem. Buku ini
lebih dari itu, yaitu mencakup juga tema-tema yang sangat diperlukan dalam
studi keislaman kontemporer, yaitu filsafat ilmu keagamaan (Islam). Ia
menegaskan kembali bahwa keberadaan hukum Islam bukan untuk Tuhan sebagai
pencipta, tapi untuk kehidupan dan kemaslahatan manusia dan kemanusiaan sebagai
pelaku utama makhluk di muka bumi. Selamat membaca! []