Dari
Penjara ke Penjara
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Penjara
itu membatasi dan merampas seseorang untuk bergerak secara leluasa dan bebas.
Jika yang dimaksudkan gerak adalah gerak fisik, yang namanya penjara tentu saja
berupa bangunan fisik dengan tembok tebal dan tinggi, disertai kawat berduri.
Tidak
cukup itu saja, melainkan ada penjaganya lengkap dengan senjata mengawasi
selama 24 jam. Bahkan banyak penjara yang dibangun di wilayah yang lokasinya
sulit dijangkau karena terletak di pulau terpencil agar pengamanannya lebih
mudah andaikan ada tahanan yang berusaha melarikan diri. Sebut saja Penjara
Nusakambangan.
Tapi di
sana juga ada penjara nonfisik yang menghalangi seseorang bergerak bebas, baik
secara fisik maupun intelektual. Ketika salah memilih sekolah dan lingkungan
pergaulan, bisa jadi seorang remaja tanpa sadar sudah melangkah terseret ke
penjara sosial. Masih beruntung kalau dia mampu mengubahnya menjadi tempat
menempa diri agar tumbuh kuat, lalu suatu saat keluar dari penjara yang
mengungkungnya. Tapi, jika tidak, dirinya terkurung sehingga sulit tumbuh
mengembangkan potensinya untuk mewujudkan cita-citanya yang tinggi. Sebagian
besar umurnya tak ubahnya bagaikan penjara.
Begitu
pun mereka yang pindah-pindah partai politik, jangan-jangan hanya pindah dari
penjara ke penjara ketika suasana dan budaya politik yang dimasuki malah
menjerat tak bisa melangkah dan berkiprah untuk membangun bangsa. Niat dan
tujuan didirikannya parpol itu untuk mengemban tugas sangat mulia, yaitu
melakukan pendidikan politik untuk rakyat, terutama konstituennya, dan
memberikan pikiran serta kader terbaiknya untuk memperkuat kinerja
pemerintahan.
Tapi
ketika para kadernya malah terlibat korupsi yang kemudian menjadi penghuni
penjara, sementara partainya hanya ribut melulu dari kongres ke kongres, jika
kondisi ini berkelanjutan, bukankah akan menjadikan keberadaan parpol
kehilangan justifikasi moralnya? Dulu, di berbagai kelompok masyarakat, menjadi
pegawai negeri merupakan posisi yang sangat didambakan. Jika seseorang kuliah
di perguruan tinggi, tujuan akhir setelah jadi sarjana adalah melamar menjadi
pegawai negeri sipil (PNS) agar nantinya memperoleh gaji pensiunan sekalipun
tidak lagi bekerja.
Padahal,
jumlah kursi PNS sangat terbatas, gaji pun tidak berlebihan. Alhamdulillah,
nasib PNS sekarang semakin baik. Kesejahteraan meningkat. Namun sangat
disayangkan, korupsi di kalangan PNS masih juga besar karena terjebak gaya
hidup yang melampaui batas kemampuannya. Lagi-lagi, kadang kita terpenjara oleh
angan-angan, citacita, dan gaya hidup yang sering kali tidak lagi sesuai dengan
kenyataan dan kemampuan.
Statemen
ini tidak berarti saya anti-PNS, melainkan ingin memberikan peringatan, kalau
ingin kaya-raya janganlah menjadi PNS. Jadilah pengusaha, tapi pengusaha yang
pintar dan benar. Fanatisme dan kesetiaan eksklusif terhadap asal etnis juga
bisa memenjarakan seseorang, menutupi dan menghalangi untuk berbaur memperluas
wawasan dan pergaulan lintas budaya dan agama. Kita tahu, dunia semakin plural.
Bagi
masyarakat Indonesia yang sejak awal mula sudah majemuk, mestinya tidak lagi
kaget berjumpa dan bekerja sama dengan komunitas yang berbeda budaya dan agama.
Mestinya justru menjadi model dan percontohan ideal bagi dunia bagaimana
menjaga taman sari keragaman budaya dan agama. Cukup menggembirakan, sekarang
ini eksklusivisme etnis semakin mencair. Mobilitas dan partisipasi masif
anak-anak bangsa dalam pendidikan semakin memperluas jalan bagi terciptanya
integrasi nasional yang kokoh.
Lembaga
universitas menjadi tempat bertemunya putra-putri terbaik bangsa. Mereka
berbicara dengan bahasa yang sama, tumbuh berkembang dalam budaya akademis yang
sama, yang pada urutannya perkenalan dan perkawinan silang budaya juga semakin
berkembang. Ini terlihat dengan semakin banyaknya pasangan suami-isteri lintas
etnis yang pada urutan selanjutnya melahirkan generasi hibrida, generasi yang
kian mengindonesia.
Dengan
perkembangan ini, identitas etnis bukan jadi rumah sempit bagaikan penjara,
tetapi menjadi kamar-kamar yang nyaman dihuni, bagian dari rumah besar
Indonesia. Rasulullah Muhammad pernah bersabda, dunia itu bagaikan penjara bagi
orang beriman, tetapi tak ubahnya surga bagi orang kafir. Artinya, banyak batasan,
hambatan, dan larangan bagi orang beriman agar tidak ditabrak dan dilanggar.
Di sana
banyak rambu-rambu yang mesti dipahami dan ditaati demi kebaikan dan
keselamatan hidupnya. Larangan untuk kebaikan dan keselamatan bukan belenggu
yang menyengsarakan. Sebaliknya, bagi orang yang tidak beriman, dunia ini
panggung kebebasan, tetapi ujungnya bisa membawa mereka pada kerugian dan
kesengsaraan. Jika tidak di dunia, kesengsaraan itu akan dirasakan di akhirat
kelak. []
KORAN
SINDO, 06 November 2015
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar