Selasa, 31 Maret 2020

(Do'a of the Day) 07 Sya'ban 1441H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Subhaana rabbiyal 'adziimi wa bi hamdihi.

Maha suci Tuhanku Yang Maha Besar dan segala puji bagi-Nya.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 38.

(Ngaji of the Day) Ibnu Athaillah Tunjukkan Banyak Jalan Menuju Allah


AL-HIKAM
Ibnu Athaillah Tunjukkan Banyak Jalan Menuju Allah

Syekh Ibnu Athaillah dalam salah satu hikmahnya mengatakan bahwa setiap momentum apapun mesti ada kewajiban manusia terhadap Allah. Dari situ kemudian disimpulkan bahwa momentum inilah yang mengantarkan manusia berjalan menuju Allah. Momentum ini teramat banyak dan beragam.

Syekh Ibnu Athaillah mengatakannya dalam hikmah berikut ini:

إذ ما من وقت يرد إلا ولله فيه حق جديد وأمر أكيد فكيف تقضي فيه حق غيره؟ وأنت لم تقض حق الله فيه

Artinya, “Tak ada satupun waktu yang berlalu tanpa kewajiban baru dan perintah kuat dari Allah. Jadi, bagaimana kaubisa mengqadha kewajiban terhadap orang lain? Sementara kau belum menunaikan kewajiban Allah.”

Syekh Ahmad Zarruq memahami hikmah ini sebagai pernyataan atas jumlah tak terhingga dan varian jalan menuju Allah. Banyak sekali jalan yang tak terduga ternyata dapat mengantar seseorang kepada Allah. Jalan ini tidak selalu ibadah mahdhah yaitu shalat puasa zakat, haji, dan lain sebagainya.

قلت ما من وقت وإن كان نَفَسًا واحدا لأن كل نفس يقتضى تجليا وذلك التجلى يقتضى عبودية وتلك العبودية تقتضى تجليا فأنت في كل نفس سالك طريقا إلى الحق سبحانه بنوع من السلوك ولذا قيل الطرق إلى الله بعدد أنفاس الخلائق

Artinya, “Menurutku, pengertian dari ‘tiada waktu yang berlalu’ mencakup setiap saat meski hanya sekali nafas. Setiap nafas menuntut adanya tajalli. Setiap tajalli menuntut penghambaan. Penghambaan itu menuntut hadirnya tajalli. Jadi, engkau pada setiap nafasmu tengah menapaki jalan menuju Allah dengan berbagai macam cara. Oleh karena itu, ada ungkapan bahwa banyak jalan menuju Allah itu sebilangan nafas makhluk-Nya,” (Lihat Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam, [Kairo, As-Syirkatul Qaumiyyah: 2010 M/1431 H], halaman 165-166).

Hikmah yang disampaikan Syekh Ibnu Athaillah ini sebenarnya merupakan lanjutan hikmah perihal kategori kewajiban seseorang manusia di momentum-momentum tertentu sebagai berikut:

حقوق في الأوقات يمكن قضاؤها وحقوق الأوقات لا يمكن قضاؤها

Artinya, “Ada jenis tuntutan kewajiban pada waktu tertentu yang bisa diqadha. Tetapi ada jenis tuntutan kewajiban yang tak mungkin diqadha.”

Saking banyak dan berdesakannya kewajiban itu, seseorang tidak mungkin bisa lepas dari tanggung jawab yang beragam itu sesuai kondisi riil seseorang. Orang yang tertimpa musibah wajib bersabar dan ridha. Orang yang telah terlepas dari musibah wajib bersyukur dan seterusnya. Dari sini para ulama menyimpulkan bahwa orang-orang saleh itu adalah anak zamannya karena mereka sadar benar terhadap tuntutan kewajiban waktu, tanpa lengah. Kalau diberi nikmat, mereka tidak lupa lalu menyombongkan diri. Yang mereka lakukan adalah bersyukur.

ولذا يقولون الفقير ابن وقته أي يتأدب معه ويعطيه حقه كما يتأدب الولد مع أبيه

Artinya, “Para ulama mengatakan bahwa sufi adalah anak zamannya. Maksudnya, sufi itu menjalankan adab waktu dan menunaikan hak waktu tersebut sebagaimana anak ber” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Semarang, Toha Putra: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 37).

Hikmah ini bukan mengajarkan kita untuk mengabaikan tanggung jawab terhadap orang lain atau tanggung jawab sosial lalu mengutamakan kewajiban terhadap Allah di waktu-waktu tertentu. Hikmah ini mengajarkan kita untuk disiplin terhadap tanggung jawab sesuai kondisi riil masing-masing orang. Wallahu a‘lam. []

Sumber: NU Online

Kang Komar: Rumahku, Sekolahku


Rumahku, Sekolahku
Oleh: Komaruddin Hidayat

EPIDEMI virus korona memaksa banyak sekolah meliburkan para siswanya. Mereka dianjurkan belajar di bawah pengawasan orang tua di rumah masing-masing. Sebagian proses pembelajaran diganti lewat e-learning, belajar jarak jauh.

Ini sebuah pengalaman baru yang memerlukan adaptasi bagi semua pihak. Orang tua senang bisa berkumpul bersama anak-anak, menemani mereka belajar. Namun, tidak sedikit yang mengeluh dan menyadari betapa tidak mudahnya menjadi seorang guru bagi anak-anaknya sendiri.

Kita memang wajib berterima kasih kepada guru dan sekolah. Tanpa mereka, hampir mayoritas orang tua tidak mampu melakukan home schooling di bawah asuhan mereka. Tidak mudah memindahkan suasana belajar sekolah ke rumah.

Hari-hari ini suasana keintiman dan kehangatan keluarga langsung terasa. Semua orang menahan diri tidak keluar rumah. Semuanya saling peduli terhadap yang lain. Semuanya menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan penuh disiplin, tanpa ada paksaan.

Namun, kita juga mesti menyadari betapa banyak keluarga yang tiba-tiba dibuat repot dan menderita secara ekonomi. Banyak bisnis perhotelan, restoran, agen perjalanan, dan pekerjaan lain yang merumahkan buruh dan pegawainya.

Mereka yang bekerja jasa angkutan seperti ojek, taksi, dan semacamnya sepi penumpang. Alias tak ada pemasukan uang.Situasi ini memerlukan perhatian dan bantuan dari pemerintah dan mereka yang berpunya. Saatnya para politisi menaruh peduli dan mencari solusi bagi mereka, jangan hanya datang sewaktu menjelang pilkada atau pemilu.

Bahkan, Masjidil Al-haram di Mekkah yang biasanya selalu penuh oleh jamaah, sekarang sepi. Mereka yang mukim di Mekkah bisa sepuasnya bertawaf dan mencium hajar aswad.

Sementara itu, negara-negara yang selama ini merasa hebat dan kuat, juga dibuat bingung dan mengakui kerapuhannya menghadapi serangan virus korona. Senjata-senjata nuklir yang jadi andalan tak mampu mengalahkan virus yang bekerja dengan senyap. Pesta hura-hura dan glamor yang semula magnetik, sekarang justru dihindari.

Orang memilih menyendiri, setidaknya mengambil jarak dari yang lain. Dalam sunyi sendiri, ada yang menemukan agenda baru melakukan inner journey, merenungkan makna dan tujuan hidup.

Mempertanyakan gemerlap duniawi yang tiba-tiba redup oleh interupsi korona. Orang melakukan introspeksi diri, manusia telah berbuat amat rakus sehingga merusak keseimbangan dan keadilan alam.

Semua penghuni bumi ini masing-masing punya hak hidup dan tempat tinggal, jangan sampai saling mengganggu dan merusak keseimbangan ini. Namun, manusia telah berbuat zalim yang pada urutannya bumi sang ibu pertiwi marah memberikan peringatan pada manusia, makhluk yang merasa paling pintar namun sekaligus juga lemah dan bodoh.

Ada juga yang semakin merasa dekat dengan Tuhannya. Tuhan tidak dijumpai di dalam keramaian jamaah di masjid, gereja, kuil, atau wihara, namun dijumpai dalam kesunyian. Dalam hati orang yang beriman, Tuhan diseru dengan bahasa hati, bukan bibir.

Dengan doa, cinta, dan kepasrahan, bukan teriakan takbir yang disertai hujatan dan kebencian. Rupanya tidak hanya rumahku sekolahku, tetapi alam semesta dan kehidupan ini pun adalah tempat kita belajar agar tumbuh lebih bijak memandang dan menjalani hidup. []

KORAN SINDO, 20 Maret 2020
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

(Ngaji of the Day) Shalat Istikharah, Apakah Jawabannya lewat Mimpi?


Shalat Istikharah, Apakah Jawabannya lewat Mimpi?

Shalat istikharah sejak awal dianjurkan bagi seseorang yang merasa bimbang dalam menentukan keputusan terbaik antara dua pilihan atau lebih. Sehingga, kesunnahan shalat istikharah ini tidak berlaku bagi orang yang hatinya sudah mantap dalam menentukan sebuah keputusan. Begitu juga bagi orang yang sudah memiliki kecondongan terhadap salah satu dari dua pilihan yang akan ia pilih. Sebab dalam keadaan demikian hal yang mesti ia lakukan adalah melakukan apa yang sesuai dengan kemantapan atau kecondongan isi hatinya. 

Tata cara shalat istikharah sebelumnya sudah pernah dibahas dalam artikel Tata Cara dan Doa Shalat Istikharah. Secara singkat, istikharah bermakna memohon petunjuk atas pilihan terbaik. Banyak masyarakat yang memahami bahwa petunjuk atau jawaban dari permohonan tersebut adalah lewat perantara mimpi. Benarkah mesti demikian?

Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam himpunan fatwanya, Masyurat Ijtima’iyyat pernah ditanya persoalan yang sama:

هل يوجد نص شرعي حول تعلق الاستخارة بالرؤية؟ 
لا علاقة لصلاة الاستخارة برؤية المنامات . بل هي مجرد صلاة ثم دعاء مأثور عن رسول الله . وليتابع بعد ذلك العمل على مشروعه الذي استخار الله له. فإن كان خيرا يسر الله له بلوغه، وإن لم يكن خيرا صرفه الله عنه .

“Apakah ditemukan dalil syara’ tentang hubungan shalat istikharah dengan mimpi pada saat tidur?

Tidak ada hubungan antara shalat istikharah dengan mimpi saat tidur, bahkan shalat istikharah itu hanya sebatas melaksanakan shalat lalu berdoa dengan doa yang disarikan dari Rasulullah. Lalu iringilah dengan melakukan perbuatan yang diistikharahi. Jika perbuatan itu baik, maka Allah akan mudahkan, dan jika buruk maka Allah akan memalingkan seseorang dari perbuatan tersebut” (Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Masyurat Ijtima’iyyat, hal. 158)

Berpijak pada referensi di atas, beliau berpandangan bahwa tidak ada keterkaitan sama sekali antara mimpi yang dialami oleh seseorang dengan shalat istikharah yang telah dilakukan olehnya. 

Dalam fatwanya yang lain, beliau menegaskan bahwa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang setelah melaksanakan shalat istikharah adalah bergegas melaksanakan hal yang ia istikharahi. Jika ternyata diberi kemudahan maka hal tersebut merupakan sesuatu yang baik baginya. Sebaliknya, jika saat hendak melakukan hal yang ia istikharahi, ia mengalami hambatan dan kesulitan maka hal tersebut tidak baik untuknya. Berikut redaksi fatwa beliau dalam referensi yang sama:

كيف أستطيع التوفيق بين الحديث (إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه) وبين ما أشعر به من عدم الارتياح بعد
صلاة الاستخارة؟
ثمرة صلاة الاستخارة لا تتمثل في الانشراح أو عدم الانشراح ولا في رؤية منام. وإنما المطلوب من صاحب المشروع بعد صلاة
الاستخارة أن يمضي في مشروعه ويمارس أسبابه، فإن كان خيرا يسره الله له ، وإن كان شرا استغلقت عليه السبل وتعقد الأمر

“Bagaimana agar aku dapat menyelaraskan antara hadits ‘Ketika datang pada kalian orang yang kalian ridhai agama dan budi pekertinya, maka nikahilah dia’ dan perasaan tak lega (tidak puas) setelah melaksanakan shalat istikharah?

Buah dari shalat istikharah bukanlah berupa lega atau tidaknya hati, juga tidak pada mimpi saat tidur. Hal yang dituntut dari seseorang setelah melaksanakan shalat istikharah adalah melanjutkan apa yang biasa dilakukannya dan melaksanakan sebab-sebab terjadinya hal yang ia istikharahi. Jika ternyata baik, maka Allah akan memudahkannya, dan jika buruk maka Allah akan mengunci jalannya dan akan mengikat hal tersebut (agar tidak terjadi)” (Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Masyurat Ijtima’iyyat, hal. 159).

Pandangan tentang tidak adanya keterkaitan antara mimpi yang dialami oleh seseorang dengan shalat istikharah, juga disampaikan oleh salah satu ulama kenamaan mesir, Syekh Mutawali as-Sya’rawi dalam salah satu fatwa beliau:

وهل ما يراه الإنسان في منامه بعد الاستخارة يدل على القبول أو الرفض؟
ويجيب فضيلة الشيخ الشعراوي :إن الرؤيا في المنام لیست واردة في الاستخارة ، ولكن ما نراه في المنام يأتي من شغل البال بالموضوع . إنما الاستخارة الشرعية التي علمنا إياها النبي  هي : أن نصلي ركعتين ، ثم نسأل الله بالدعاء المعروف  - ثم ما ينشرح له صدرك بعد ذلك فهو ما يريده الله لك .

“Apakah mimpi yang dialami oleh seseorang setelah shalat istikharah menunjukkan diterimanya hal yang ia istikharahi (di sisi Allah) atau tertolaknya hal tersebut?

Syekh as-Sya’rawi menjawab, ‘Mimpi pada saat tidur tidaklah berlaku pada shalat istikharah, tetapi mimpi tersebut bermula dari isi hatinya terhadap suatu subjek tertentu. Istikharah secara syara’ hanya tertentu pada hal yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, yakni shalat dua rakaat lalu memohon pada Allah dengan doa yang sudah dijelaskan (dalam hadits), lalu apa yang tercerahkan (merasa lega) dalam hatimu setelah melaksanakan shalat dan doa istikharah, maka itulah hal yang dikehendaki oleh Allah padamu” (Syekh Mutawali as-Sya’rawi, al-Fatawa as-Sya’rawi, hal. 702).

Dua referensi di atas sekaligus menegaskan perbedaan pendapat tentang jawaban dari pertanyaan “apakah kelegaan hati setelah shalat istikharah merupakan pertanda jawaban baik atas hal yang semula kita bimbangkan?”

Pandangan Syekh Mutawali as-Sya’rawi tersebut senada dengan pendapat an-Nawawi, bahwa kelegaan hati yang dialami oleh seseorang merupakan pertanda baik dan jawaban atas shalat istikharah yang dilakukan seseorang. Sedangkan pendapat Syekh Said Ramadhan bahwa jawaban dari shalat istikharah tidak ditentukan dari kelegaan hati (insyirah ash-shadri) melainkan dari sulit dan mudahnya seseorang tatkala melakukan hal yang ia istikharahi, sesuai dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jauzi yang disampaikan dalam kitab Zad al-Ma’ad dan Madarij as-Salikin (lihat: Abu al-Hasan Ubaidillah al-Mubarakfuri, Mir’ah al-Mafatih, juz 4, hal. 364-365).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jawaban dari shalat istikharah tidak selamanya dari mimpi. Sebab, seringkali mimpi yang dialami oleh seseorang lebih dikarenakan kondisi emosional atau pikiran-pikiran yang sering terlintas dalam benaknya, yang sebenarnya tidak berkaitan dengan petunjuk Allah atas shalat istikharah yang ia lakukan.

Perbedaan pandangan tentang jawaban dari shalat istikharah seperti yang dijelaskan di atas, sejatinya merupakan pandangan para ulama yang berdasarkan dalil serta pengalaman spiritual mereka. Masing-masing dapat dijadikan pijakan oleh orang awam yang belum bisa membedakan antara petunjuk Tuhan atas jawaban dari persoalan yang sedang dialaminya dan khayalan pribadinya belaka. Berbeda halnya dengan mimpi-mimpi serta petunjuk (irsyadat) yang dialami orang-orang khas, seperti kaum sufi dan para ulama al-‘amilin yang memiliki ketajaman batin dan pengalaman spiritual mendalam. Wallahu a’lam. []

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember.