Rabu, 25 Juli 2018

(Do'a of the Day) 12 Dzulqa'dah 1439H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma baarik 'alaa sayyidina muhammadininn nabiyyil ummiyyi wa 'alaa aali muhammadiw wa azwaajihii wa dzurriyyatihii kamaa baarakta 'alaa ibraahiima wa 'alaa aali ibraahiima. Fil 'aalamiina innaka hamiidum majiidun.

Ya Allah, berilah keberkahan kepada Kanjeng Nabi Muhammad, Nabi yang ummi dan kepada keluarga, istri, serta keturunannya sebagaimana Engkau memberikannya kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia pada alam semesta.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 45.

(Buku of the Day) Merawat Kebinekaan: Pancasila, Agama, dan Renungan Perdamaian


Bineka Embrio Indonesia


Judul                : Merawat Kebinekaan: Pancasila, Agama, dan Renungan Perdamaian
Penulis             : Munawir Aziz
Penerbit            : PT Elex Media Komputindo
Cetakan            : Pertama, 2017
ISBN                 : 978-602-04-5100-8
Tebal                : xvii + 220 halaman
Peresensi          : Fathoni Ahmad

Adagium yang begitu masyhur di Nusantara yang diutarakan oleh Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma yaitu Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu). Mpu Tantular yang hidup pada abad ke-14 di Majapahit adalah seorang pujangga ternama Sastra Jawa. Ia hidup pada pemerintahan Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk).

Bhinneka Tunggal Ika merupakan sebuah frasa yang terdapat dalam Kakawin Sutasoma. Kakawin sendiri berarti syair dengan bahasa Jawa kuno. Kakawin Sutasoma merupakan karangan Mpu Tantular yang dituliskan menggunakan bahasa Jawa kuno dengan aksara Bali.

Bisa dibayangkan, pada tahun 1300-an atau abad ke-14 tersebut, seorang Mpu Tantular sudah menyadari keberagaman masyarakat Nusantara zaman Majapahit dulu. Pandangan ini bukan semata khayalan seorang penyair dan sastrawan, tetapi hasil perenungan mendalam Mpu Tantular terkait realitas sosial-masyarakat kala itu.

Tulisan ini tidak bermaksud menerangkan histori Mpu Tantular. Namun, mengawali ulasan buku Merawat Kebinekaan: Pancasila, Agama, dan Renungan Perdamaian karangan Munawir Aziz ini agaknya tepat ketika mengingat kembali sosok Mpu Tantular, sang pencetus Bhinneka Tunggal Ika yang saat ini digenggam erat oleh lambang negara Garuda serta bangsa Indonesia.

Dalam beberapa kesempatan, penulis resensi ini seringkali mengungkapkan bahwa krisis identitas sebuah bangsa salah satunya disebabkan oleh generasinya yang tidak mau atau bisa jadi tidak paham sejarah bangsanya. Sejarah bangsa dari Republik ini telah dilalui banyak era dan masa. Di mana pada masa-masa itu menghasilkan banyak peradaban, tradisi, maupun kebudayaan.

Penulis resensi teringat konsepsi peradaban dari sejarah bangsa Indonesia yang diutarakan oleh Prof KH Said Aqil Siroj, Man laisa lahu ardl, laisa lahu tarikh. Wa man laisa lahu tarikh, laisa lahu dzakiroh (barangsiapa tidak punya tanah air, maka tidak punya sejarah. Barangsiapa tidak punya sejarah, maka akan terlupakan).

Sejarah bangsa yang dikenal eklektik ini harus menjadi pijakan para generasi muda sebagai modal merawat kebinekaan yang dimaksud Munawir Aziz dalam buku yang tebalnya 220 halaman itu. Betapa banyak peradaban fisik dan nonfisik yang dikreasikan bangsa Indonesia. Peradaban yang dimaksud tersebut bukan hanya karya material dan pemikiran semata, tetapi mewujud sebagai sebuah kebudayaan.

Jika peradaban dimaksudkan adalah sebuah karya, maka kebudayaan adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Setiap peradaban yang diciptakan oleh bangsa Nusantara di sejumlah masa tidak lepas dari nilai-nilai adiluhung yang harus mampu dipahami oleh generasi bangsa masa kini (milenial). Apalagi, tantangan merawat peradaban bangsa sebagai modal menjaga kebinekaan mendapat resisten deras dari perkembangan peradaban modern saat ini: dunia digital.

Maka, hadirnya buku Merawat Kebinekaan ini tidak hanya tetap merawat memori kolektif akan identitas orisinal bangsa Indonesia, tetapi juga sebagai upaya peneguhan negara lewat pengamalan nilai-nilai Pancasila; tidak hanya semangat beragama, tetapi juga harus dibarengi dengan kemampuan memahami agama; juga menegakkan perdamaian yang selama ini terjaga dengan baik antaranak bangsa.

Buku ini tidak hanya apik meramu konteks kehidupan dan realitas sosial kekinian, tetapi juga mengaitkannya dengan informasi-informasi sejarah. Seakan, dari setumpuk problem yang kini mendera bangsa Indonesia, penulis buku ingin mengajak masyarakat belajar terhadap sejarah panjang yang telah dilalui bangsa Nusantara agar tidak gagap atau bahkan krisis identitas. Apalagi sampai menggerus kebinekaan yang selama ini sudah terajut dengan baik.

Masyarakat tentu paham dengan salah satu pembesar Kerajaan Majapahit, Patih Gadjah Mada. Politik Majapahit memang kala itu ingin ‘memeluk’ Nusantara secara keseluruhan dalam kerajaan agungnya. Salah satu langkahnya, Gadjah Mada terobsesi menyatukan Nusantara dengan Sumpah Palapanya.

Menurut penulis buku, Sumpah Pemuda lahir sebagai bentuk pengabdian, pernyataan, pengharapan, dan pembuktian. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Gadjah Mada dalam Kitab Negarakertagama anggitan Mpu Prapanca yang dikutip penulis buku dari Slamet Muljana (Menuju Kemegahan, 2015):

Gadjah Mada berujar: “jika telah berhasil menundukkan Nusantara, saya baru akan istirahat. Jika Gurun (Lombok), Seran (Seram), Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatera Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Sriwijaya (Palembang), Tumasik (Singapura) telah tunduk, saya baru akan istirahat.”

Sumpah ini diucapkan sebagai janji sepenuh hati oleh Patih Gadjah Mada pada 1256 Saka atau 1334 Masehi yang diungkap penulis buku di halaman 42. Terlepas dari tujuan politik Kerajaan Majapahit, gagasan penyatuan Nusantara bukan hanya ambisi semata, tetapi juga renungan mendalam bahwa bangsa Nusantara merupakan kumpulan masyarakat yang meskipun berbeda-beda, tetapi mempunyai karakteristik yang sama. Di titik ini, penulis resensi teringat pernyataan Gus Dur, “Semakin berbeda kita, semakin kita mengetahui titik-titik persatuan kita.” (Wisdom Gus Dur, 2014). 

Salah satu karakteristik bangsa Nusantara ialah berpikiran terbuka (eklektik). Sebab itu, meskpiun Hindu dan Budha adalah agama yang ada terlebih dahulu sebelum Islam, tetapi ketika para Sufi masuk ke Nusantara membawa misi dakwah, masyarakat Nusantara tidak begitu saja menolak. Bahkan, dengan dakwah yang ramah dan substantif, para sufi yang juga dikenal sebagai Wali Songo itu berhasil menyebarluaskan ajaran Islam dengan damai.

Merunut dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo tersebut, mereka juga tetap menjaga kebinekaan yang telah berlangsung di tengah masyarakat. Tradisi dan budaya yang secara substansi syariat (maqashidus syariah) tidak bertentangan dengan ajaran Islam, tidak mereka tolak dan tidak mereka berangus.

Justru Wali Songo menggunakan tradisi dan budaya yang berkembang di masyarakat sebagai instrumen dakwahnya. Logika sederhananya, untuk mengganti air kotor yang ada di dalam gelas, tidak harus mengahncurkan gelasnya.

Sebab itu, keberagaman tradisi, budaya, suku, bangsa, etnis, ras, maupun keyakinan agama yang telah menjadi ciri khas bangsa Indonesia harus tetap terjaga. Meminjam Gus Dur, Indonesia lahir karena perbedaan, tanpa ada perbedaan tak ada Indonesia. Karena bineka adalah embrio Indonesia. Selamat membaca! []

Titik Awal Sejarah Perkembangan NU


Titik Awal Sejarah Perkembangan NU

Nahdlatul Ulama (NU) lahir setidaknya mempunyai tiga motivasi. Pertama, menegakkan nilai-nilai agama dalam setiap lini kehidupan. Kedua, membangun nasionalisme. KH Hasyim Asy’ari mengatakan, agama dan nasionalisme tidak bertentangan, bahkan saling memperkuat untuk mewujudkan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin. Motif ketiga, mempertahankan paham Ahlussunnah wal Jamaah.

Dalam perkembangannya, NU tidak sedikit menghadapi resistensi yang tinggi terutama dari kelompok penjajah dan kelompok yang mengatasnamakan permurnian akidah (puritan), namun berupaya memberangus tradisi dan budaya Nusantara yang merupakan identitas kebangsaan. Hingga masa orde baru pun, NU masih terdiskriminasi oleh rezim. Walau demikian, NU justru makin besar, berkembang, dan mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat.

Tugas yang diemban NU dari masa ke masa akan terus mengalami tantangan yang tidak mudah. Namun, berkaca pada dinamika internal organisasi, akan lebih baik jika warga NU memahami dan mengetahui titik awal perkembangan NU. Titik awal sejarah perkembangan NU terjadi ketika perhelatan Muktamar ke-9 NU di Banyuwangi, Jawa Timur pada 1934.

Menurut Choirul Anam (1985), setidaknya ada sejumlah alasan kenapa Muktamar di Banyuwangi tersebut dijadikan titik awal perkembangan sejarah NU di Banyuwangi.

Pertama, karena di Muktamar Banyuwangi inilah mulai diberlakukan  mekanisme kerja baru, yakni pemisahan sidang antara Syuriyah dan Tanfidziyah di dalam muktamar. Sejak itu Tanfidziyah mengadakan sidang sendiri dengan materi permasalahan sendiri. Juga Syuriyah yang mengurus majelisnya sendiri dengan permasalahan yang tentunya terkait dengan persoalan agama. Namun, keputusan yang didapat tetap menjadi kesepkatan organisasi NU secara umum.

Sebelum itu, sidang-sidang di dalam muktamar dipimpin langsung oleh Syuriyah. Pengurus Tanfidziyah boleh ikut dalam sidang – yang biasanya dibagi dalam tujuh majelis – tetapi tidak berhak bersuara (ikut memutuskan) suatu persoalan, terutama yang berhubungan dengan hukum agama.

Pengurus Tanfidziyah ‘boleh ikut’ memutuskan hanya pada perkara yang tidak memerlukan keterangan hukum agama. Hak dan kekuasaan itu memang sudah diatur dalam Statuen NU 1926 sebagai berikut:

“Kekuasaan jang tertinggi dari perkoempoelan ini jaitoe oleh kongres dan oetoesan-oetoesan. Sekalian poetoesan di dalam kongres-kongres jang perloe dengan keterangan hoekoem agama hanja boleh dipoetoes oleh oetoesan-oetoesan dari golongan goeroe agama (oelama). Lain-lain oeroesan jang tiada begitoe perloe dengan keterangan hoekoem agama, oetoesan jang boekan goeroe agama (oelama) boleh turut memoetoesnja.”

Kedua, sejak Muktamar Banyuwangi tatacara persidangan mulai diperbarui. Apabila pada beberapa kali muktamar sebelumnya, sidang-sidang majelis cukup dilakukan dengan duduk melantai di atas tikar atau permadani sambil membawa tumpukan kitab-kitab madzhab, kebiasaan itu tidak lagi dijumpai di Muktamar Banyuwangi. Bentuk persidangan sudah diatur rapi dan agak formal. Peserta sidang dipersilakan duduk di kursi menghadap pemimpin sidang.

Ketiga, dalam muktamar kesembilan ini mulai tampak peran tokoh-tokoh muda NU berpandangan luas seperti Mahfudz Siddiq, Wahid Hasyim, Thohir Bakri, Abdullah Ubaid, dan anak-anak muda lainnya. Mereka ikut menyampaikan pandangannya mengenai berbagai masalah kemasyarakatan dan kebangsaan.

Dalam masa perkembangan ini, NU mulai bersungguh-sungguh memperhatikan masalah kepemudaan. Berbagai organisai pemuda yang pada dasarnya satu aspirasi dengan NU dikumpulkan dalam satu wadah sebagai benteng pertahanan. Sehingga dalam muktamar kesembilan ini lahirlah sebuah keputusan: “Membentuk wadah pemuda yang diberi nama Anshor Nadhlatoel Oelama (ANO).

Dari uraian di atas, pada prinsipnya, perkembangan NU ada pada visi dan cita-cita mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin yang berupaya selalu memoderasi Islam dengan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Di titik ini NU, tidak hanya menyikapi perkembangan dunia global, tetapi juga terus berupaya mempertahankan tradisi dan budaya baik yang ditancapkan oleh para ulama terdahulu dan para pendiri bangsa. []

(Fathoni Ahmad)

(Ngaji of the Day) Hukum Keluar dari Grup WhatsApp atau Left Grup


Hukum Keluar dari Grup WhatsApp atau Left Grup

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, kita dianjurkan untuk menjaga silaturahmi. Banyak grup whatsApp dibuat untuk pelbagai kepentingan di mana nomor kontak kita dimasukkan ke dalam grup tersebut. Pertanyaan saya, bolehkah kita keluar dari grup tersebut karena tidak nyaman? Apakah left dari grup adalah bentuk pemutusan hubungan silaturahmi? Mohon dijelaskan. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Siti Rahmah - Jakarta Utara

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Saat ini orang banyak tergabung dalam berbagai grup whatsApp. Mereka juga membuat grup whatsApp untuk berbagai kepentingan.

Adapun faktor yang membuat seseorang keluar dari grup whatsApp berbagai macam mulai dari gangguan hape karena terlalu banyak grup yang diikuti (ini sering jadi alasan yang dibuat-buat), selesainya kerja bersama karena grup itu bersifat sementara, baterai mudah lemah, karena pusing terlalu banyak grup yang diikuti, atau mundur karena merasa tidak akan bisa aktif berpartisipasi di dalam grup.

Tetapi ada pula yang sengaja keluar dari grup whatsApp karena sebagian anggota gemar menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, berisi ghibah, atau lelucon-lelucon yang tidak perlu.

Keluar atau left dari grup adalah tindakan darurat di mana grup lebih dominan berisi hoaks, ujaran kebencian, atau informasi yang sangat naif. Kalau tanpa uzur apapun, left dari grup bukan pilihan terbaik. Keluar atau left dari grup merupakan pilihan kesekian.

Tetapi ketika arus informasi di grup tak terkendali, maka keluar dari grup whatsApp dimungkinkan sebagai keterangan Imam An-Nawawi berikut ini:

اعلم أنه ينبغي لمن سمع غيبة مسلم أن يردها ويزجر قائلها، فإن لم ينزجر بالكلام زجره بيده، فإن لم يستطع باليد ولا باللسان، فارق ذلك المجلس، فإن سمع غيبة شيخه أو غيره ممن له عليه حق، أو كان من أهل الفضل والصلاح، كان الاعتناء بما ذكرناه أكثر

Artinya, “Ketahuilah, orang yang mendengar ghibah terhadap seorang Muslim seyogianya menolak ghibah tersebut dan menegur orang yang melontarkannya. Jika dengan ucapan orang itu tidak berhenti, maka ia boleh mengambil langkah-langkah nonverbal. Jika tidak sanggup menegur secara verbal dan nonverbal, maka ia boleh mufaraqah atau walk out dari majelis tersebut. Jika ia mendengar ghibah terhadap gurunya, orang yang memiliki hak atasnya, atau orang terpandang atau saleh, maka perhatiannya terhadap keterangan kami tadi harusnya lebih besar,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 294).

Menurut Imam An-Nawawi, Islam menganjurkan kita menegur orang lain yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian terkait guru agama atau para kiai. Hal ini didasarkan pada hadits berikut ini:

روينا في كتاب الترمذي عن أبي الدرداء رضي الله عنه عن النبي (صلى الله عليه وسلم) قال: من رد عن عرض أخيه رد الله عن وجهه النار يوم القيامة قال الترمذي: حديث حسن

Artinya, “Kami diriwayatkan di Kitab At-Tirmidzi dari Abu Darda RA, dari Rasulullah SAW bahwa ia bersabda, ‘Siapa saja yang membela kehormatan saudaranya, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka pada Hari Kiamat.’ Imam At-Tirmidzi berkata, kualitas hadits ini hasan,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 294).

Pembelaan kehormatan orang lain atau guru agama di grup whatsApp bisa dilakukan dalam berbagai bentuk. Ibnu ‘Alan menyebutkan dua bentuk pembelaan nama orang lain sebagai berikut:

قوله من رد عن عرض أخيه أي إذا اغتيب إما بتكذيب القائل أو بحمل ما تكلم به عنه على محمل حسن يخرج به عن كونه ذما

Artinya, “Maksud ungkapan ‘Siapa saja yang membela kehormatan saudaranya’ adalah ketika saudaranya dighibahkan ia mendustakan ucapan orang yang melontarkannya atau menafsirkan ghibah itu dengan pengertian baik atau husnuzhan di mana yang terkena ghibah tidak tercela dalam pandangannya,” (Lihat Ibnu ‘Alan, Al-Futuhatur Rabbaniyyah, [Beirut: Daru Ihyait Turats Al-Arabi, tanpa catatan tahun], juz VII, halaman 15).

Perihal yang disebarkan melalui hoaks atau ujaran kebencian itu bisa dikatikan dengan sasaran ghibah. Imam Al-Ghazali menyebut sejumlah sasaran ghibah terkait seseorang dalam Ihya Ulumiddin berikut ini:

بيان معنى الغيبة وحدودها  اعلم أن حد الغيبة أن تذكر أخاك بما يكرهه لو بلغه، سواء ذكرته بنقص في بدنه أو نسبه أو في خلقه أو في فعله أو في قوله أو في دينه أو في دنياه حتى في ثوبه وداره ودابته

Artinya, “Bab menerangkan ghibah dan batasannya. Ketahuilah, batasan ghibah adalah ucapanmu terkait orang lain dengan konten yang tidak disenanginya bila pesan itu sampai padanya. Sama saja, apakah kamu menyebut kekurangan pada fisik, nasab, akhlak, perbuatan, ucapan, tingkat kesalehan, soal keduniaan, bahkan pakaian, rumah, dan kendaraannya,” (Lihat Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Kairo: Darus Syi’ib, tanpa catatan tahun], juz IX, halaman 1599).

Menurut hemat kami, anggota grup whatsApp sejak awal mesti mengetahui tujuan pembentukan grup. Dengan tujuan yang jelas, mereka dapat membuat norma-norma yang mesti dipatuhi setiap anggota. Inisiator pembuat grup whatsApp atau admin dalam hal ini dapat bertindak sebagai moderator yang bertanggung jawab atas arus informasi dalam grup.

Adapun keluar dari grup, menurut kami, bukan pilihan terbaik. Ia hanya jalan terakhir yang harus ditempuh bila konten di dalamnya tak terkendali sementara norma-norma yang disepakati anggota grup whatsApp tak lagi diindahkan sebagai keterangan Imam An-Nawawi di muka.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU