Jumat, 31 Maret 2017

(Do'a of the Day) 03 Rajab 1438H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma a'uudzu bika min 'amalisy syaithaani wa sayyi'aatil ahlaami.

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan setan dan dari mimpi yang buruk.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 65.

(Khotbah of the Day) Tiga Pelajaran Penting Bermasyarakat dari Shalat Berjamaah



KHOTBAH JUM'AT
Tiga Pelajaran Penting Bermasyarakat dari Shalat Berjamaah

Khutbah I

الحَمْدُ للهِ الّذِي خَلَقَ الخَلْقَ لِعِبَادَتِهِ، وَأَمْرُهُمْ بِتَوْحِيْدِهِ وَطَاعَتِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَكْمَلُ الخَلْقِ عُبُودِيَّةً للهِ، وَأَعْظَمَهُمْ طَاعَةً لَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبهِ. اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ اِلاَّوَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,

Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian, dengan selisih dua puluh derajat. Kalimat ini kerap kita dengar. Diulang-ulang dari mimbar ke mimbar oleh para dai atau mubalig. Saking seringnya, kadang anjuran untuk shalat berjamaah seperti angin lalu saja. Tak memiliki nilai yang istimewa.

Padahal, shalat berjamaah lebih dari sekadar urusan mana yang lebih besar pahalannya: shalat sendirian atau bersama-sama. Ia memuat hikmah dan pelajaran yang penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Perbandingan satu dan dua puluh tujuh yang diketengahkan oleh hadits justru memperkuat bahwa shalat berjamaah memuat “rahasia” yang spesial sehingga Allah begitu menganjurkannya.

Shalat berjamaah merupakan cerminan dari kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia harus berhubungan dan berintegrasi dengan manusia lainnya. Ia tak bisa hidup sendirian betapapun cakap, pintar dan kayanya orang itu. Kehidupan sosial merupakan sebuah keniscayaan. Nah, shalat berjamaah bisa dikatakan sebuah miniatur hidup bermasyarakat. Di sana ada kumpulan orang (minimal dua orang), ada aturan yang harus ditaati, serta pesan-pesan yang dapat kita hayati bersama.

Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,

Setidaknya ada tiga pelajaran utama dari shalat berjamaah terkait kehidupan kita bermasyarakat. Pertama, kebersamaan, solidaritas, dan kesetaraan. Shalat berjamaah mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga persatuan, mencari titik temu, dan tidak mudah dipecah belah. Dalam tiap shalat berjamaah, sering kita dengar sang imam menyerukan tentang perlunya merapatkan dan meluruskan barisan sebelum shalat dimulai. Seruan ini merupakan bentuk pemantapan agar kita berdiri kokoh dan terfokus pada satu arah. Jika dalam shalat, arah itu adalah kiblat, maka dalam bermasyarakat arah itu adalah cita-cita yang menjadi kesepakatan bersama.

Islam sangat menekankan hubungan sosial, disamping hubungan kita kepada Allah subhanahu wata‘ala. Sayyidina Umar bin Khattab pernah berkata “Lâ islâma illâ bi jamâ’atin” (tidak ada Islam kecuali dengan berjamaah). Dalam shalat jamaah, kita melihat dua kategori hubungan itu menyatu. Para jamaah secara langsung menghadap Allah, di saat yang bersamaan kegiatan tersebut dilakukan secara serentak, tidak sendirian.

Para jamaah juga berhubungan secara setara. Tak membeda-bedakan mana yang kaya atau miskin, dari suku A atau suku B, dari pejabat maupun rakyat jelata, dan lain sebagainya. Yang datang terlambat harus berada di shaf belakang, meskipun ia adalah petinggi negara, misalnya. Mereka pun melakukan gerakan, bacaan, dan niat yang sama. Begitu takbiratul ihram “Allahu akbar” dikumadangkan maka sejatinya itu adalah pengakuan bahwa yang paling agung dan besar hanya Allah. Semua selain Allah adalah kecil.

Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,

Yang perlu dicatat juga, shalat berjamaah bukanlah shalat dengan kerumunan orang-orang. Benar bahwa orang-orang berkumpul dalam satu waktu atau tempat tertentu, namun mereka diikat oleh aturan. Dalam bahasa fiqih, aturan itu disebut syarat wajib, syarat sah, dan rukun. Sehingga gerak, bacaan, dan niat pun dilakukan secara sistematis dan dalam satu komando imam. Kondisi inilah yang membedakan antara orang-orang yang shalat berjamaah dan orang-orang yang berkerumun di pasar.

Dengan demikian, kita sampai pada pelajaran penting yang kedua dari shalat berjamaah, yakni kepemimpinan. Ada imam tentu harus ada makmum. Dan kewajiban seorang makmum adalah mengikuti komando imam. Imam menjadi sentral dalam segenap proses dan gerak-gerik pelaksanaan sembahyang. Hal ini selaras dengan pernyataan Sayyidina Umar yang dibacakan tadi namun dengan redaksi yang lebih lengkap:

إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ ، وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ ، وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ

“Tidak ada Islam kecuali dengan jamaah, tidak ada jamaah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan.”

Karena imam harus diikuti, maka memilihnya pun tak boleh sembarangan. Dalam shalat berjamaah, Islam mendorong orang yang menjadi imam adalah mereka memiliki ilmu yang luas. Apabila tidak, sekurang-kurangnya mengerti aturan shalat berjamaah dan memiliki bacaan yang fasih. Imam juga harus mengerti kondisi jamaahnya. Tak boleh seenaknya. Rasulullah pernah melarang imam shalat membaca surat-surat terlalu panjang yang dapat mengganggu para jamaahnya.

Begitu pula dalam kehidupan bermasyarakat. Pemimpin yang dipilih haruslah mereka yang memiliki kompetensi yang memadai, punya kesetiaan terhadap konstitusi, mengayomi, dan pantas jadi panutan. Hidup bermasyarakat berbeda dari hidup sendiri-sendiri. Karena itu, dampak buruk maupun positif dari sebuah kepemimpinan pun akan dirasakan bersama-sama.

Meski kedudukan imam cukup sentral, namun dia bukanlah tujuan. Tujuan utama shalat berjamaah adalah Allah subhanahu wata‘ala. Sementara imam hanyalah wasilah (perantara) yang “menjadi sopir” bagi “perjalanan” shalat para makmumnya menuju Allah. Imam bisa saja lupa atau keliru, baik dalam gerakan maupun bacaan shalat, karena ia memang manusia biasa. Dan kewajiban makmum adalah mengingatkannya.

Dalam kepemimpinan pun kita kerap menjumpai pemimpin yang salah atau lalai dalam melihat dan cara mengatasi sebuah persoalan. Tugas dari rakyat adalah menegurnya. Dalam shalat jamaah, cara mengingatkan imam adalah dengan membaca tasbih “subhanallah” bagi makmum laki-laki atau menepuk tangan secara lembut bagi makmum perempuan. Mengucapkan “subhanallah” (maha suci Allah) adalah cara mengingatkan yang indah. Sang makmum seolah hendak mengatakan bahwa yang maha suci dan sempurna hanyalah Allah, sementara sang imam tidak. Inilah adalah bentuk kerendahatian. Mengingatkan dengan tanpa merasa paling suci dan benar sendiri. Demikian pula ketika kita menegur pemimpin, hendaknya dengan cara-cara yang elegan. Kritik itu penting, tapi tidak caci-maki. Koreksi sangat dibutuhkan, tapi hujatan dan kekerasan tidak. Segala bentuk pengingat pemimpin harus diiringi dengan sikap tawaduk, lembut, dan tidak menimbulkan kegaduhan yang tak perlu.

Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,

Pelajaran yang ketiga adalah kedamaian. Dari awal hingga akhir shalat mengharuskan adanya suasana yang tenang, khusyuk. Dalam shalat kita mengenal istilah tuma’ninah atau berhenti sejenak alias tenang, tak terburu-buru. Seluruh makmum, juga imam, menjaga betul, suasana damai ini mulai dari awal hingga akhir shalat. Yang menarik adalah shalat ditutup dengan salam yang berarti kedamaian.

Gerakan menengok ke kanan lalu ke kiri saat salam penutupan shalat menunjukkan bahwa manusia harus menebar kedamaian (salam) bagi sekitarnya. Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah  berarti semoga kedamaian/keselamatan dan rahmat tercurah kepada kalian. Artinya, Islam mengajarkan tentang perlunya seorang Muslim menjamin orang-orang di sekelilingnya bisa hidup damai dan penuh kasih sayang (rahmat). Sekali lagi shalat lebih dari semata berhubungan secara vertikal, tapi juga berdampak positif secara horizontal: relasi hubungan sesama manusia, bahkan alam semesta. Sehingga benarlah kata Al-Qur’an:

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ


“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS Al ‘Ankabut: 45)

Demikian, khutbah singkat yang bisa khatib sampaikan. Semoga pelajaran ini menjadi pengingat bagi khatib pribadi dan juga kita semua dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat yang kompleks. Mudah-mudahan Allah limpahkan petunjuk sehingga kita bijak dalam menyikapi segala persoalan. Amiin.

بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم


Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ


Sumber: NU Online

Mengapa Gus Dur Membentuk Fordem?



Mengapa Gus Dur Membentuk Fordem?

Langkah politik Gus Dur sering tidak terbaca oleh kalangan awam. Gus Dur sering disalahpahami, karena jurus politiknya yang zig-zag, dengan keberanian menanggung resiko. Tentu saja, tujuan Gus Dur berjuang berbasis keyakinan dan berpinsip pada kaidah-kaidah fikih yang beliau resapi. Di antara langkah politik Gus Dur yang membuat cemas pemerintah, adalah gerakannya membentuk Forum Demokrasi (Fordem).

Dalam kesakisannya, Kiai Munasir Ali mengungkapkan betapa langkah politik Gus Dur sangat jitu. "Ketika Gus Dur bicara, kami mengerti siapa yang dituju dari pembicaraan itu. Apakah orang politik, jemaah NU atau oara elite. Kami tahu Gus Dur sedang berada di frekuensi apa ketika dia sedang bicara," terang Kiai Munasir Ali, sebagaimana terekam dalam buku Perjalanan Politik Gus Dur (2010).

Dalam ungkapan Kiai Munasir, ketika mendirikan Forum Demokrasi (Fordem), Gus Dur banyak mendapatkan tentangan dari para kiai. Mengapa? Karena Gus Dur dianggap mengurusi masalah yang tidak ada sangkut pautnya dengan problem ummat. Ketika masalah ummat sedang mendesak, Gus Dur justru merangkul kalangan intelektual lintas agama untuk membentuk satu kekuatan gagasan. Bagi para kiai tradisional, tindakan Gus Dur ini dianggap menjauhi problem mendasar ummat.

Perbedaan gagasan antara Gus Dur dengan beberapa kiai tradisional, seringkali karena berbeda cara pandang dan respons. Pada akhir tahun 1980an, Gus Dur terlihat 'berseberangan' dengan Kiai As'ad Samsul Arifin. Padahal, jika dicermati, perbedaan pandangan Gus Dur dengan Kiai As'ad, berakar dari perbedaan kaidah ushul sebagai prinsip. 

Gus Dur menggunakan kaidah al-muhafadzah ala al-qadimi as-shalih wal akhdzu bil jadidi al ashlah (menjaga sesuatu lama yang baik, serta mengambil inovasi baru yang lebih baik). Dari prinsip ini, Gus Dur melakukan manuver progresif untuk mewujudkan visi misinya. Sedangkan, para kiai cenderung hati-hati untuk melangkah karena menghindari polemik.

Gerakan Gus Dur membentuk Fordem bermula ketika pemerintah mensponsori pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Hampir semua intelektual Islam bergabung dengan ICMI, yang dikomando BJ Habibie, atas restu Presiden Soeharto. Gus Dur menolak ajakan bergabung dalam barisan ICMI. Adnan Buyung Nasution juga mengikuti Gus Dur, memilih tidak ikut bergabung sebagai intelektual ICMI. Gus Dur mengecam keras dukungan politik Soeharto kepada ICMI, yang dianggap beliau sebagai bentuk kebangkitan kembali politik sektarian (Hefner, 128; Nasution, 2010: 53).

Dalam catatan Adnan Buyung Nasution (Demokrasi Konstitusional: Pikiran dan Gagasan), upaya Gus Dur melawan pendirian ICMI tidak sekedar wacana. Gus Dur mengingatkan Soeharto, bahwa upaya pemerintah untuk mengontrol kelompok Islam militan lewat ICMI akan menjadi senjata makan tuan. Menurut Gus Dur, Indonesia perlu mengembangkan suatu toleransi beragama dengan berlandaskan pada kebebasan beragama dan menjalankan kepercayaan.

Demi membela prinsipnya, Gus Dur bergerak untuk melawan pendirian ICMI. Adnan Buyung Nasution, mengisahkan bahwa Gus Dur bersama Arief Rahman, Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak, Bondan Gunawan, serta Adnan Buyung Nasution membentuk Forum Demokrasi (Fordem). Organisasi ini dibentuk sebagai diseminasi gagasan demokratisasi pada masyarakat yang lebih luas. Selain itu, Fordem juga bermaksud melakukan pembelaan individu maupun kelompok yang menjadi korban kesewenang-wenangan rezim yang berkuasa.

Melihat manuver Gus Dur membentuk Fordem, pemerintahan Soeharto bereaksi untuk menutup akses kelompok ini. Fordem dianggap sebagai komunitas yang berbahaya, bahkan pemerintah mempersulit pertemuan Fordem dan menjelang Pemilu tahun 1992 pernah dilarang. Namun, Gus Dur tidak sejengkal pun mundur. Ia tetap bergerak untuk mengingatkan pemerintahan Soeharto agar tidak sewenang-wenang. Langkah taktis Gus Dur, jelas membikin Soeharto sakit kepala, apalagi putra Kiai Wahid Hasyim ini berusaha memobilisasi warga nahdliyyin.

Pada peringatan hari lahir ke-66 Nahdlatul Ulama, yang dihadiri ribuan orang di Senayan serta diagendakan sebagai selebrasi warga nahdliyyin, Gus Dur mendapat 'pesan khusus' dari Soeharto. Melalui Letkol Kolonel (Inf) Prabowo Soebianto, Soeharto hendak menghentak Ketua Umum PBNU, dan memberi pesan betapa gerakan Gus Dur sudah menerabas garis yang ditetapkan pemerintah. 

Prabowo meminta Gus Dur agar tidak melibatkan diri dalam politik, serta fokus untuk mengurus ummat. Gus Dur juga diminta untuk mendukung kepemimpinan Soeharto, hingga periode berikutnya. Namun, Gus Dur tidak bersedia menggadaikan idealismenya, beliau bahkan mengancam untuk mengundurkan diri sebagai Ketua Umum PBNU (Nasution, 2010: 55). Betapa, pilihan politik Gus Dur membawa resiko yang tidak ringan.

Gus Dur membentuk Fordem, karena beliau tidak ingin suara Islam hanya menjadi label kepentingan pemerintah. Demikian pula, kelompok cendekiawan muslim tidak hanya menjadi stempel kebijakan pemerintah. Jejak langkah Gus Dur, dalam merangkul intelektual lintas agama dan ideologi, jelas menjadi cermin bagi kita bagaimana menghindari jebakan fanatisme keagamaan yang pada akhirnya hanya menjadi stempel bagi kepentingan politik praktis. []

Munawir Aziz, Wakil Sekretaris LTN PBNU, bukunya bertema "Gus Dur dan Jaringan Tionghoa Nusantara" dalam proses terbit.

Yusril: Ajakan Presiden Jokowi Bisa Menimbulkan Kesalah-pahaman



Ajakan Presiden Jokowi Bisa Menimbulkan Kesalah-pahaman
Oleh: Yusril Ihza Mahendra

Persoalan hubungan agama dan negara itu bukan persoalan sederhana yang bisa diungkapkan dalam satu dua kalimat seperti dalam pidato Presiden Jokowi di Barus, Sibolga, Sumatera Utara, minggu akhir Maret yang lalu, karena hal itu dengan mudah dapat menimbulkan kesalah-pahaman.

Dalam sejarah pemikiran politik di tanah air, debat intelektual tentang hubungan agama dengan negara pernah dilakukan antara Sukarno dan Mohammad Natsir, sebelum kita merdeka. Debat mereka berkisar Sekularisme di Turki dan Kitab Al Islam wa Ushulul Hukm karya Ali Abdurraziq, seorang pemikir Islam dari Mesir di zaman itu.

Debat hubungan agama dengan negara menjadi topik hangat dalam sidang-sidang BPUPKI ketika the founding fathers merumuskan falsafah bernegara kita, yang berujung dengan kompromi, baik melalui Piagam Jakarta 22 Juni maupun kompromi tanggal 18 Agustus 1945 yang melahirkan kesepakatan Pancasila sebagai landasan falsafah bernegara kita.

Debat kembali berulang dalam sidang Konstituante yang berakhir dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang sekali lagi berupaya mencari jalan tengah, jalan kompromi yang dapat diterima oleh semua golongan. Dekrit Kembali ke UUD 45 akhirnya diterima secara aklamasi oleh DPR hasil Pemilu 1955, termasuk oleh Fraksi Partai Masyumi yang menerimanya sebagai “sebuah kenyataan” meski di Konstituante partai itu memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.

Dengan diterimanya Pancasila sebagai landasan falsafah bernegara kita, maka Negara RI adalah jalan tengah antara Negara Islam dan Negara Sekular. Indonesia tidak merdeka menjadi sebuah Negara berdasarkan Islam dan juga tidak berdasarkan Sekularisme yang seperti dikatakan Prof Soepomo dalam sidang BPUPKI yani “negara yang memisahkan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan”. Negara berasaskan falsafah Pancasila adalah kompromi yang dapat menyatukan antara pendukung Islam dan pendukung Sekularisme.

Jalan tengah yang bersifat kompromistis ini tidak perlu diutak-atik lagi dengan ajakan “pemisahan politik dengan agama” oleh Presiden Jokowi. Apalagi, ajakan itu diungkapkan tanpa memahami dengan sungguh-sungguh latar belakang historisnya dan implikasi-implikasi politiknya yang bisa mendorong kembalinya debat filosofis tentang landasan bernegara kita. Dalam konteks kita membangun bangsa dan negara dewasa jnj, ajakan seperti itu lebih banyak membawa mudharat daripada membawa manfaat.

Dalam pidato Sukarno tanggal 1 Juni 1945, Ketuhanan ditempatkan dalam urutan kelima sesudah empat sila yang lain. Sila Ketuhanan itu malah dapat diperas menjadi ekasila, yakni Gotong Royong. Dalam kompromi tanggal 22 Juni dan 18 Agustus 1945, sila Ketuhanan ditempatkan pada urutan pertama, yang menandai bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah fondasi utama dalam kita membangun.

Dalam konteks historis seperti itu, secara filosofis mustahil kita akan memisahkan agama dari negara, dan memisahkan agama dari politik. Karena itu, saya dapat mengatakan bahwa ajakan Presiden Jokowi itu bersifat a-historis, atau tidak punya pijakan sejarah sama sekali. Para pendiri bangsa seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, H Agus Salim, KH Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo semua berpendapat seperti itu.

Di Eropa pada zaman Renesans memang ada polemik pemisahan antara gereja dengan negara (scheiding van kerk en staat/separation of church and state), tapi bukan pemisahan agama dengan negara. Institusi dan kepemimpinan Gereja Katolik dengan institusi dan kepemimpinan negara, memang sangat mungkin dipisahkan, tetapi pemisahan agama dengan politik adalah sesuatu yg sukar untuk dilakukan.

Dr Notohamidjojo, seorang pemimpin Partai Kristen Indonesia di masa lalu, menulis dalam bukunya “Iman Kristen dan Politik” yang mengatakan bahwa tidaklah mungkin agama Kristen dipisahkan dengan politik. Pof Zainal Abidin Ahmad, seorag tokoh Masyumi menulis dalam bukunya “Membentuk Negara Islam”. Dalam bukunya itu Prof Zainal mengatakan “barangsiapa bisa memisahkan gula dari manisnya, maka bisalah dia memisahkan Islam dari politik”.

Ajaran Kristen, kata Dr Notohamidjojo, ada di dalam otak dan hati pemeluk Kristen, dan keyakinan itu sedikit banyaknya akan mempengaruhi sikap dan perilaku politik tiap pemeluk Kristen. Begitu juga dengan agama Islam. Hanya orang yang otak dan hatinya sekuler saja, atau menganggap agama itu perkara sampingan saja, yang bisa memisahkan agama dengan politik. Selama seseorang itu sungguh-sungguh beriman dengan ajaran agamanya, maka mustahil baginya dapat memisahkan agama dengan politik.

Dalam membangun bangsa dan negara kita yang masih banyak ditandai dengan prilaku korup para pemimpin dan politisinya, maka memperkuat etik keagamaan dalam berpolitik, justru menjadi sangat penting. Saya ingat ucapan filsuf Jerman Immanuel Kant yg mengatakan bahwa barangsiapa mencari sistem moral yang paling kukuh, maka dia tidak akan mendapatkannya melainkan dalam ajaran agama. Saya berkeyakinan pandangan Immanuel Kant inj sejalan dengan falsafah negara kita Pancasila.

Demikian tanggapan saya.

Tokyo, 29 Maret 2017

[]

KANIGORO, 30 Maret 2017
Yusril Ihza Mahendra | Pakar Hukum Tata Negara ; Guru besar di Program Pascasarjana dan juga Fakultas Hukum Universitas Indonesia