Jumat, 17 Maret 2017

Jalinan Persahabatan Gus Dur dan Paku Buwono (PB) XII



Jalinan Persahabatan Gus Dur dan Paku Buwono (PB) XII

Empat belas tahun silam, atau tepatnya pada tanggal 9 Oktober 2002, Presiden Republik Indonesia ke-4, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mendapat gelar Kanjeng Pangeran Arya (KPA) dari Keraton Kasunanan Surakarta.

Gelar ini, menurut H. Ronggojati Sugiyatno, setara dengan Kanjeng Patih. “Gelar KPA yang diterima Gus Dur dari pemberian Sinuhun itu, setara dengan Kanjeng Patih. Lebih tinggi dari gelar-gelar keluarga Keraton Solo yang ada,” ungkapnya.

H. Ronggojati Sugiyatno atau yang akrab dipanggil dengan nama Pak Dhe Tino ini, merupakan salah satu orang Solo yang dekat dengan Gus Dur. Ia pula yang menjadi salah satu saksi, kedekatan antara Gus Dur dengan Raja Keraton Surakarta waktu itu, Sinuhun Paku Buwono (PB) XII.

Kedekatan antara keduanya masih terekam dalam ingatan Pak Dhe Tino. Pernah, pada suatu ketika di saat peringatan malam Satu Sura, ia menyaksikan Sinuhun sampai tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita Gus Dur.

Padahal lumrahnya dan juga secara etika, pada peringatan malam Satu Sura tersebut, tak ada orang-orang Keraton yang berani tertawa.

Saking penasarannya, ia pun bertanya kepada Gus Dur. “Gus, tadi panjenengan cerita apa ke Sinuhun, kok sampai beliau tertawa terpingkal-pingkal,”

Gus Dur kemudian menjawab dengan cerita. “Ini yang di samping saya, ini dan itu, sekarang sudah jadi mantan (mantan pejabat dan sebagainya,-red). Lha Sinuhun ini, kapan jadi mantannya?”

Karena mendengar humor tersebut, Sinuhun pun tertawa. Sebab, ketika ia menjadi mantan Sinuhun, berarti ia telah meninggal.

Soal wafatnya Sinuhun PB XII ini pun, Gus Dur pernah meramalkan apa yang terjadi setelahnya. Ketika itu Gus Dur bertanya kepada Sinuhun, kalau nanti Sinuhun sampun seda (meninggal), nanti siapa yang akan menggantikan.

“Loh, Gus Dur itu mendoakan saya mati ya?,” tanya Sinuhun.

“Anak saya itu dua, yang satu ..., satunya ....,” lanjut dia.

“Jam itu kan cuma sampai jam 12,” jawab Gus Dur.

Di kemudian hari, perkataan Gus Dur ini terbukti. Pascawafatnya PB XII, terjadi konflik berkepanjangan, yang kemudian melahirkan “dualisme kepemimpinan” di Keraton Surakarta.

Melestarikan Budaya

Kembali kepada gelar yang diterima Gus Dur. Meski, sebelumnya ia tidak pernah berharap untuk mendapat gelar, namun baginya, pemberian gelar ini sebagai salah satu tindakan untuk melestarikan budaya daerah.

“Bagi saya ini adalah sebuah penghormatan bagi jalan hidup yang saya pilih, yakni supaya selalu menyerasikan Islam dengan budaya daerah,” kata Gus Dur kepada pers, ketika itu.

Gus Dur juga berharap Keraton Surakarta dapat menjadi pemelihara dan pelestari budaya. “Selama ini, Keraton telah menjadi pemelihara dan pelestari budaya. Kalau ada yang hilang maka kebudayaan di daerah kita ini akan terganggu,” paparnya.

Yang menarik tidak hanya itu, konon setelah mendapat gelar KPA, Gus Dur justru takut dengan panggilan baru yang bakal melekat pada namanya.

“Tapi nanti saya tidak mau dipanggil dengan panggilan Gusti seperti orang keraton itu, lho,” kata Gus Dur kepada Sinuhun, sesaat setelah menerima gelar KPA.

“Lha kok bisa, Gus? Apa takut dianggap syirik?” tanya Sinuhun.

“Bukan apa-apa. Cuma nggak enak aja kalau ditambahi tambahan Gusti. Nanti, malah bisa keliru panggilannya jadi Gus Tidur,” jawab Gus Dur. []

(Ajie Najmuddin, Tulisan ini merupakan nukilan dari acara diskusi “Melacak Jejak Gus Dur di Solo”, yang diadakan Gusdurian Solo, 20 Agustus 2016. Akan ditulis secara berseri, untuk menyambut Haul Gus Dur yang ke-7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar