Jumat, 24 Maret 2017

Kang Komar: Agama Sumber Kekerasan?



Agama Sumber Kekerasan?
Oleh: Komaruddin Hidayat

HARI-hari ini muncul opini sangat kuat bahwa agama menjadi sumber keresahan dan kekerasan di berbagai belahan dunia. Betulkah demikian?

Karen Amstrong, mantan biarawati yang sekarang paling aktif melakukan kajian sejarah agama-agama dan sangat produktif menulis buku tebal-tebal, secara tegas menyatakan "tidak". Ini bisa dibaca dalam karyanya Fields of Blood: Religion and the History of Violence (2014) yang sudah dialihbahasakan dan diterbitkan Mizan (2016).

Menurut sejarawan militer, dalam setiap peperangan terdapat banyak faktor yang terlibat di dalamnya seperti faktor sosial, materiil, dan ideologis yang saling berhubungan. Dari semua itu alasan utamanya adalah berebut sumber daya yang langka.

Begitu pun terorisme tak bisa disederhanakan sebagai kekerasan agama meskipun sentimen agama terlibat di dalamnya. Mereka yang sudah terbentuk alam pikirnya dengan paham sekuler yang antiagama pun menjadikan agama sebagai kambing hitam, lalu melepaskannya ke padang gurun politik.

Mereka mengklaim bahwa monoteisme sangat tidak toleran dan agama tak mengenal kompromi. Mereka lupa bahwa perang dunia yang menciptakan trauma sejarah itu tidak dipicu agama.

Dulu pernah Kerajaan Islam berjaya, melampaui kekuasaan Barat. Tapi semua negara yang hanya mengandalkan pertanian pada akhirnya akan kehabisan sumber daya intrinsik yang terbatas, yang akan menghambat laju inovasi. Hanya bangsa dan negara industri yang jauh lebih berpeluang membuat kemajuan melampaui kebutuhan zamannya.

Mungkin ini yang menyebabkan kejayaan ilmu pengetahuan di dunia Islam terhenti atau jauh ketinggalan dari Barat. Di sini faktor sains dan militer sangat berperan, bukannya masalah agama.

Perlawanan agama muncul dengan kehadiran modernitas yang menguasai hampir seluruh lini kehidupan, lalu agama terpinggirkan. Ini dirasakan baik oleh Yahudi, Kristen maupun Islam. Kekuatan agama ingin mengembalikan romantisme masa lalu yang kemudian disebut sebagai kebangkitan fundamentalisme.

Istilah kembali ke fundamen ini dicetuskan Protestan Amerika tahun 1920, yang kemudian dilekatkan pada semua gerakan keagamaan yang antimodernitas. Gerakan fundamentalisme ini awalnya hanya sedikit yang melakukan kekerasan. Gerakan ini dipicu rasa takut dan terancam atas kekuatan sekuler yang akan menghancurkan kekuatan agama. Semacam paranoid.

Komunitas Yahudi selalu mengenang pengalaman sangat pahit dari kekuasaan Hitler yang mau menghabisi mereka.

Dalam sejarah Islam, kejatuhan Dinasti Usmani yang berpusat di Turki juga meninggalkan tragedi berkelanjutan bagi dunia Islam di hadapan kekuatan Barat yang agresif. Inggris dan sekutunya dengan seenaknya membagi dunia Islam menjadi negara-negara kecil berdasarkan kesukuan dan kebangsaan, suatu pengalaman baru yang dipaksakan, jauh di luar jangkauan tradisi dan nalar umat Islam.

Mereka terkondisikan menghadapi dua kekuatan sekaligus, yaitu berhadapan dengan Barat yang agresif untuk menguasai sumber daya alam dan merusak tradisi mereka, dalam waktu yang sama juga dihadapkan pada persaingan militer dengan negara-negara tetangganya yang dahulu satu rumpun agama dan kekuasaan di bawah Turki Usmani.

Kisah tragis yang diciptakan Barat juga menimpa India yang kemudian melahirkan pecahan Pakistan dan Bangladesh. Dalam berbagai konflik itu sesungguhnya agama berposisi pinggiran, bahkan dimanipulasi seperti yang dilakukan Amerika masuk ke Afghanistan untuk menghadang pengaruh Rusia dengan mengerahkan tentara Pakistan dan umat Islam lain dengan dalih agama, bagaikan David melawan Goliat. Sebuah jihad suci melawan kekuatan anti-Tuhan.

Jadi, kata Amstrong, agama itu bagaikan cuaca yang bisa  berubah-ubah. Atau metafor kambing hitam sebagai penebus dosa manusia. Setiap kali ada keributan, lalu ramai-ramai menunjuk biangnya adalah "kambing hitam" agama untuk disembelih.

Gejala ini juga bisa dimaklumi mengingat ketika terjadi perebutan kekuasaan, misalnya pilkada atau pemilu, isu, simbol dan sentimen agama sangat manjur sebagai sarana bertahan atau melancarkan serangan terhadap lawannya. []

KORAN SINDO, 24 Maret 2017  
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar