Selasa, 31 Mei 2016

(Do'a of the Day) 23 Sya'ban 1437H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma inni as'alukal jannata wa a'uudzubika minannaari.

Ya Allah, aku memohon surga kepada-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa api neraka.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 46.

(Ponpes of the Day) Pondok Pesantren Qothrotul Falah, Cikulur, Kab. Lebak – Banten



Pondok Pesantren Qothrotul Falah, Cikulur, Kab. Lebak – Banten


Profil Pendiri dan Sejarah Berdiri

Untuk memenuhi pendidikan keagamaan yang mampu mencetak kader-kader ulama yang berdedikasi tingggi terhadap agama dan negara, berakhlak mulia dan memiliki jiwa kepemimpinan amanah, sesuai harapan masyarakat Desa Sumurbandung, Kec. Cikulur, Kab. Lebak, Prop. Banten, maka KH. Hanbali, seorang tokoh agama yang sangat kharismatik di daerah itu, berupaya mewujudkannya dengan membentuk majlis mudzakarah kecil-kecilan.

Dalam majlis mudzakarah itu, KH. Hanbali mengajarkan kitab-kitab sumber keagamaan dalam berbagai bidang, baik bidang fikih (Kifayah al-Akhyar, I’anah al-Thalibin, Kasyifah al-Saja, Safinah al-Najah, Fath al-Wahhab, Fath al-Mu’in, Riyadh al-Badi’ah, dll), bidang tauhid (Fath al-Majid, Kifayah al-‘Awwam, dll), dan bidang tasawuf (Ihya’ Ulum al-Din, Bidayah al-Hidayah, Minhaj al-‘Abidin, Kifayah al-Adzqiya’, Nashaih al-‘Ibad, Sullam al-Taufiq, dll).

Kala mengelola majlis mudzakarah itu, KH. Hanbali masih berstatus lajang dan baru berumur 26 tahun. Umur yang relatif muda untuk seorang tokoh yang memiliki “kelebihan” di bidang agama. KH. Hanbali yang pernah mendekam di penjara Nippon sekitar 2 tahun, karena “pemberontakan”nya itu, semakin digandrungi oleh masyarakat sekitar. Karenanya, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun, kegiatan majlis mudzakarah­nya kian ramai dikunjungi orang-orang yang dahaga pengetahuan agama.

Pada tahap selanjutnya, KH. Hanbali yang beristrikan Hj. Uyung itu, berfikiran untuk mendirikan lembaga pendidikan agama yang independen. Dan pada 1961, KH. Hanbali yang semula hanya bermaksud mengamalkan ilmu agamanya kepada sanak keluarga dan kerabatnya, lantas mendirikan Pondok Pesantren Qothrotul Falah (Tetesan Kemenangan), disingkat Qi Falah. Pondok pesantren itupun mulai menapaki sejarahnya.

Pada 1972, KH. Hanbali menunaikan rukun Islam ke-5 untuk kedua kalinya, beserta putera semata wayangnya, KH. Achmad Syatibi Hanbali. Kesempatan menjadi tamu Allah Swt di Tanah Suci dimanfaatkan KH. Hanbali untuk memperdalam ilmu agama. KH. Hanbalipun mukim di sana untuk beberapa tahun, sementara putera beserta isterinya kembali ke kampung halaman. Atas kehendak Allah Swt, KH. Hanbali meninggal di Tanah Kelahiran Nabi Muhammad itu dan dikebumikan di sana.

Sepeninggal KH. Hanbali, Pondok Pesantren Qothrotul Falah dikelola oleh putra satu-satunya, KH. Achmad Syatibi Hanbali, yang waktu itu usianya masih relatif sangat muda, untuk ukuran pengasuh pondok pesantren. Karena kegigihan dan keuletan Kiai Muda berusia 27 itu, Pondok Pesantren Qothrotul Falah mulai berkembang dan dikenal masyarakat, bukan hanya oleh masyarakat Cikulur, tapi juga oleh masyarakat di luar Kab. Lebak, bahkan di luar Propinsi Banten.

Pada 1991, atas harapan dan desakan masyarakat pada lembaga pendidikan yang berkualitas, KH. Achmad Syatibi Hanbali beserta sesepuh masyarakat yang diwakili Drs. H. Achmad Djazuli (alm), mendaftarkan Pondok Pesantren Qothrotul Falah ke Kantor Notaris Nuzwar SH, dengan No. 08, 31 Juli 1991, untuk dibuatkan akte pendirian ponpes secara resmi. Ponpes ini membawahi pendidikan formal (MTs dan SMA) dan pendidikan nonformal (salafiyah: kajian kitab kuning).

Pondok Pesantren Qothrotul Falah, dari tahun ke tahun, terus menuai perkembangan pesat. Ini terlihat dari jumlah santri yang ingin nyantri salaf ataupun menimba ilmu umum (MTs dan SMA) yang terus bertambah. Seiring kuantitas santri yang kian bertambah itu, sarana pendidikanpun kian banyak. Gedung-gedung asrama santri putra-putri dan pendidikan pun berdiri kokoh di sekitar Ponpes.

Berkaitan dengan sistem pengelolaan Pondok Pesantren Qohtrotul Falah, baik pengelolaan pendidikan formal maupun nonformal, figur sentral seorang kiai masih sangat dibutuhkan. Karena itu, KH. Achmad Syatibi Hanbali sebagai figur sentral Ponpes harus pandai-pandai menyaring aneka usulan dari berbagai kalangan. KH. Achmad Syatibi Hanbali tidak segan-segan dan sungkan-sungkan berdialog dengan masyarakat dan para santri tentang apa-apa yang menjadi kekurangan di Ponpesnya, agar kekurangan tersebut dapat diminimalkan.

Sistem Pengajaran dan Pembinaan

Sistem pengajaran di Pondok Pesantren Qothrotul Falah, pada awalnya, sangat kental nuansa dan pendekatan salafi. Misalnya, pengajian kitab kuning dilakukan dengan sistem sorogan (para santri membaca kitab di hadapan guru), bandungan (guru membaca kitab di hadapan para santri), dan musyawarah a la ponpes klasik.

Namun, seiring tuntutan zaman yang kian kompetitif, pihak pengelola mau tidak mau, harus merespon tuntutan itu. Bentuk respon itu misalnya, pihak pengelola memasukkan sistem pengajaran Bahasa Arab modern, Bahasa Inggris, mendirikan pendidikan formal (MTs dan SMA), dan berbagai kegiatan ekstra (meliputi hidup berorganisasi, kepramukaan, PMR, Paskibra, olah raga, drum band, marawis, komputer, kesenian, muhadharah dan qira’ah al-Qur’an). Semua itu diniatkan untuk memberikan bekal yang memadai pada para santri, untuk menghadapi era yang semakin global. Disamping menguasai keilmuan salaf, para santri juga dituntut menguasai keilmuan modern. Itulah idealitas yang seharusnya dimiliki generasi muslim saat ini.

Selain itu, pihak pengelola juga melakukan berbagai pembinaan, baik mental maupun ketrampilanan, dengan membentuk Organisasi Pondok Pesantren Qothrotul Falah (OPPQ). Semua santri, baik santri salaf maupun semi salaf, diharuskan terlibat dalam organisasi kesantrian itu. Adapun bidang-bidang garapan yang ditangani OPPQ, meliputi:

Bidang Garapan
Jenis Kegiatan
1. Keamanan
Perijinan santri/piket malam/penghukuman
2. Ta’lim
Klasifikasi sorogan/kursus bahasa (Arab/Inggris)
3. Da’wah
Pengelompokan da’wah/muhadharah
4. Qira’at
Pengelompokan ngaji al-Qur’an
5. Kesenian
Qosidah/kaligrafi
6. Keolahragaan
Sepakbola/voly/basket/tenis meja
7. UKS
P3K
8. K-3
Piket kebersihan/pertamanan/pertanian
9. Peralatan
Listrik/jet pump/sarana lainnya
10. Dan lain lain


Terkait kurikulum pengajaran, pengelola Ponpes menerapkan sistem kurikulum terpadu; yaitu kurikulum dari Depdiknas/Depag dengan pengembangan Kurikulum Pondok Pesantren. Untuk mewujudkan dan mensukseskan program kurikulum terpadu itu, pengelola melibatkan berbagai tenaga pendidik yang amanah, profesional, berdedikasi tinggi dan berkompeten di bidangnya.

Demi menunjang efektifitas belajar para santri, pengelola juga melengkapi sarana pendidikan dengan mendirikan Gedung Belajar Permanen, Laboratorium IPA, Ruang Perpustakaan, Gedung Serbaguna, lapangan olah raga, sarana ibadah, work shop, pengadaan peralatan kesenian, dan sebagainya. Itulah keuntungan lain yang diperoleh para santri, bila belajar di Pondok Pesantren Qothrotul Falah yang terletak 20 km Barat Daya Kabuten Lebak itu. Para santri bisa konsen balajar, karena ditunjang sarana dan prasarana yang memadai.

Harapannya, semoga Pondok Pesantren Qothrotul Falah bisa turut serta membantu menciptakan insan-insan modern yang faqih fi al-din (menguasai ilmu agama) dan bermanfaat secara luas bagi masyarakat.

Tertib Qi Falah

1. Tertib Waktu
2. Tertib Administrasi
3. Tertib Belajar
4. Tertib Mengajar
5. Tertib Lingkungan

Trilogi Qi Falah

1. Berakhlak Mulia
2. Ukhuwah Islamiah
3. Disiplin Tinggi

Pondok Pesantren Qothrotul Falah
Jl. Sampay-Cileles Km. 5 Ds. Sumurbandung, Kec. Cikulur, Kab. Lebak, Prop. Banten 43256

[*****]

Tulisan Dede Sa’adah Syatibi, S.Th.I dan Ade Bujhaerimi, S.Pd.I/Keduanya Pengurus Pondok Pesantren Qothrotul Falah

Sumber:

BamSoet: Mempertegas Arah Reformasi



Mempertegas Arah Reformasi
Oleh: Bambang Soesatyo

SETELAH 18 tahun reformasi Indonesia menjalani prosesnya, sebagian masyarakat masih memendam kecewa karena reformasi belum menyejahterakan. Proses reformasi pun terkesan kurang produktif, karena masih banyak yang belum terwujud. Kebebasan berserikat dan berbicara justru sering menghadirkan ekses yang meresahkan.

Dalam beberapa pekan terakhir, penegak hukum di sejumlah daerah merazia simbol-simbol berbau komunis. Pemutaran film yang membangkitkan semangat komunisme dibubarkan. Kaus bergambar palu arit, lambang Partai Komunis Indonesia (PKI), disita. Bukubuku tentang komunis atau gerakan kiri, pun ikut disita.

Itulah ekses kebebasan berbicara atau berekspresi. Mereka yang coba mengingatkan kembali tentang paham komunisme gagal paham bahwa bangsa Indonesia masih trauma oleh kekejaman PKI di masa lalu. Kalau sekarang ini ada segelintir orang memanfaatkan kebebasan berekspresi untuk menyosialisasikan lagi komunisme berikut atributnya, orang-orang itu tidak respek terhadap bagian terbesar rakyat Indonesia yang masih trauma itu. Karena itu, aktivitas penyebarluasan paham komunisme di Indonesia harus dihentikan.

Selain isu komunisme, maraknya kegiatan sejumlah kelompok masyarakat yang anti-NKRI dan Pancasila akhir-akhir ini sudah meresahkan masyarakat di berbagai daerah. Merespons kecenderungan, Polri pun harus memprioritaskan pembubaran organisasi masyarakat (ormas) radikal dan anti-Pancasila. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti bahkan memastikan pembubaran organisasi radikal dan anti-Pancasila sudah tertuang dalam Program quick wins yang dirancang Polri.

Nantinya, Polri akan memberikan rekomendasi kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) perihal ormasormas yang masuk dalam kriteria itu. Kemendagri pun sudah berkomunikasi dengan Kejagung, Polri, dan TNI untuk segera memutuskan dan mengumumkan pembubaran ormas yang menentang NKRI dan Pancasila.

Itulah dua contoh paling faktual tentang ekses dari salah tanggap sekelompok orang terhadap hakikat reformasi Indonesia. Ketika reformasi mulai berproses 18 tahun lalu, tujuannya sangat jelas. Di bidang politik mendorong demokratisasi; bidang ekonomi mewujudkan kesejahteraan rakyat; reformasi hukum bertujuan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat, dan reformasi sosial bertujuan mewujudkan integrasi bangsa.

Perbaikan Sistem

Tentang kebebasan berekspresi, mungkin pemerintah gagal kelola sehingga terjadi ekses di sana-sini. Gagal kelola itu terjadi karena keterlambatan atau keinginan memberi toleransi. Contoh kelambanan ketika menyikapi munculnya ormas yang anti-NKRI dan Pancasila. Masyarakat sudah menyuarakan kegelisahan, tetapi pemerintah di masa sebelumnya justru memberi ruang gerak.

Rupanya, belajar dari keterlambatan merespons itu, pemerintah dan penegak hukum bergerak cepat menanggapi muncul upaya-upaya menyebarkan kembali komunisme, sebagaimana tercermin dari program quick wins Polri itu.

Kecepatan menanggapi problem seperti itu sangat diperlukan generasi muda. Kalau sepak terjang ormas anti- Pancasila tidak dihentikan, dan upaya penyegaran komunisme dibiarkan, generasi muda Indonesia akan kehilangan roh kebangsaannya. Harus ada keprihatinan bersama menyikapi beberapa kasus yang menggambarkan sejumlah orang muda melecehkan lambang negara dan pahlawan.

Mengacu pada beberapa contoh kasus tadi, pemerintah, DPR dan MPR perlu mempertegas lagi arah reformasi. Penegasan arah reformasi harus dituangkan dalam sejumlah kebijakan politik dan undang-undang (UU) yang tidak bebas tafsir, tetapi tegas-lugas.

Kebijakan politik dan UU tentang arah reformasi itu harus bermuara pada semangat menjaga keutuhan NKRI dan memperkokoh fungsi dan peran Pancasila.

Untuk itu, pemerintah, DPR dan MPR harus berani menghidupkan kembali institusi semacam BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) serta program serupa P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila). Tak ada salahnya untuk menyadari bahwa mengeliminasi BP7 dan P4 adalah sebuah kesalahan. Dan, oleh karena BP7 dan P4 itu dirasakan betul urgensinya saat ini, tak perlu ragu untuk meng-copy paste keduanya.

Ekses lain yang cukup menonjol adalah kelemahan pada sistem perekrutan pemimpin publik, baik pada tingkat pusat maupun daerah, serta kelemahan dalam perekrutan anggota parlemen di pusat maupun daerah. Pada area ini, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih sangat menonjol. Pada beberapa daerah ditemukan adanya upaya membangun dinasti politik.

Begitu juga pada perekrutan anggota parlemen. Banyak orang dengan latar belakang tercela bisa terpilih menjadi wakil rakyat. Kalau kecenderungan ini tidak segera diakhiri, kualitas dan kredibilitas lembaga perwakilan rakyat akan tetap buruk di mata masyarakat. Reformasi seharusnya bisa menghadirkan lembaga perwakil yang kredibel serta bisa diandalkan rakyat.

Perbaikan sistem pemerintahan dari sebelumnya tersentralisasi di Jakarta dan kini didesentralisasikan hingga ke level desa harus diakui sebagai progres reformasi yang cukup signifikan. Tetapi, di banyak daerah, desentralisasi sering melahirkan persoalan baru karena ketidaksiapan sumber daya manusia (SDM).

Ketidaksiapan SDM itu sering melahirkan ekses seperti korupsi atau mubazirnya pemanfaatan anggaran akibat lemahnya perencanaan. Dalam kondisi seperti itu, masyarakat setempat yang paling tersakiti, sehingga seringkali menilai reformasi sistem pemerintahan sekarang ini sebagai pepesan kosong.

Tujuan besar sebuah reformasi adalah perbaikan sistem, dan pada saat bersamaan mengurangi ketergantungan pada peran individu. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam perbaikan sistem. []

SUARA MERDEKA, 28 Mei 2016
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI, dan presidium nasional KAHMI 2012-2017

Dahlan: Bukan Lagi Sekadar Trump Lawan Hillary



Bukan Lagi Sekadar Trump Lawan Hillary
Oleh: Dahlan Iskan

Dia tidak diperhitungkan saat mendaftarkan diri jadi calon presiden. Dianggap bukan calon yang serius. Ketika mulai tampak serius, dia dicibir. Bahkan, dijadikan bahan lawakan. Ejekan terus mengalir. Sepanjang proses menuju konvensi Partai Republik. Saat dia mulai memikat, ejekan ditingkatkan jadi serangan. Keburukan demi keburukan ditembakkan ke dia. Dianggap bodoh. Konyol. Brutal. Rasis. Tapi, semua itu hanya membuat namanya kian populer. Terus disebut oleh media: Donald Trump.

Dia memang begitu kelihatan aneh. Norak. Konyol. Tapi, di lain pihak, dia jadi kelihatan berbeda. Menjadi tokoh yang ”bukan biasa”. Lama-lama calon presiden yang lain jadi membosankan. Jadi terlihat mapan. Kuno.

Perkembangan berikutnya pun masih menarik. Trump bukan saja menjadi tokoh. Dia telah berubah menjadi pertunjukan. Enak untuk ditonton. Oleh yang benci maupun yang senang. Dengan kerasisannya, kefanatikannya, dan kekonyolannya. Seperti reality show. Seperti Uya-kuya. Atau Tukul. Atau Sule. Awalnya terasa konyol, tapi menghibur. Menyenangkan. Menarik, akhirnya.

Saya sendiri lama-lama kecanduan. Apalagi saya di Amerika. Tontonan itu terasa dekat. Saya jadi sering menunggu Trump tampil di TV. Ingin melihat kenorakannya. Atau mendengar statement kacaunya. Misalnya: ”Kalau Hillary itu laki-laki, tidak akan bisa dapat suara lima persen.” Atau: ”Bapaknya Ted Cruz itu pernah ikut Lee Harvey Oswald menyebarkan pamflet pro-Fidel Castro.”
Ted Cruz, lawan terberatnya di Partai Republik, memang keturunan Kuba. Fidel Castro adalah diktator Kuba yang dibenci Amerika. Dan Oswald adalah orang yang menembak mati Presiden John F. Kennedy.

Trump ingin mengesankan bahwa ayah Cruz terlibat pembunuhan presiden AS yang legendaris itu. Tidak ada data pendukung. Tapi, tepuk tangan pengikutnya gemuruh. Dua hari kemudian, Cruz, anggota parlemen dari Kansas itu, lempar handuk. Yakni, setelah kalah di pemilu negara bagian Indiana. Tidak mungkin lagi Cruz mengejar. Trump memang sering menyerang secara pribadi lawan politiknya. John Kasich yang kalem dan langsing itu dia serang dengan panggilan si kurang energi. Padahal, menjadi presiden itu perlu banyak energi.

Marco Rubio yang tubuhnya mungil itu dia gelari ”si kecil Rubio”. Kesannya: mana bisa anak kecil jadi presiden. Bahkan, tokoh yang mendukung Cruz ikut dihabisi. John McCain yang saat jadi capres tujuh tahun lalu membanggakan diri sebagai patriot perang di Vietnam ikut ditumbangkan. ”McCain itu bukan pahlawan,” ujar Trump. Itu didasarkan pada fakta bahwa saat perang di Vietnam, McCain tertangkap Vietcong. Seorang hero di mata Trump barangkali harus seperti Rambo.

Tuduhan-tuduhan Trump yang sangat pribadi seperti itu memang ampuh sebagai pembangkit emosi sesaat. Sebaliknya, cap itu akan menempel terus pada korbannya. Seumur hidup. Terbunuhlah karakter. Karier anak muda seperti Rubio bisa habis selamanya. Si kecil Rubio akan jadi panggilannya yang abadi.

Memang begitu banyak yang marah kepada Trump: pimpinan partainya, kader-kader asli partai, wanita, keturunan Spanyol, Meksiko, RRT, Jepang, Eropa, Islam, dan kaum globalis. Dua mantan presiden dari Republik, George Bush dan bapaknya, bikin pernyataan: tidak akan mendukung Trump. Grup band Rolling Stone melarang Trump menggunakan lagu-lagunya. Penyanyi Inggris Adele juga bersikap sama.

Tapi, berbagai senjata untuk menghentikan Trump ternyata tumpul. Trump melaju sendirian. Dua calon presiden lainnya sudah lempar handuk. Partai pun pasrah. Apa boleh buat. Trump praktis hampir resmi jadi calon presiden dari Partai Republik. Berhadapan dengan calon dari Partai Demokrat Hillary Clinton. Rencana mengganjal Trump di konvensi menjadi tidak relevan. Trump bukan hanya menang. Tapi, juga berhasil mencapai persentase kemenangan yang mutlak.

Memang awalnya tidak mengkhawatirkan. Hasil semua survei jelas: Hillary pasti menang. Bahkan, dilawankan Bernie Sanders pun, Trump pasti kalah. Tapi, pasang naik Trump belakangan ini mulai mengubah peta.

Kemenangan berturut-turut di 11 pemilu negara bagian terakhir ini bisa seperti Jamie Vardy di klub sepak bola Inggris Leicester (baca: Lesster, bukan Leicerter). Terus-menerus mencetak gol di 11 pertandingan.

Trump berhasil terus menguasai panggung. Trump terus happening. Akibatnya, Hillary mulai terlihat biasa-biasa saja. Ini bukan lagi Trump lawan Hillary. Tapi, baru lawan lama. Tidak biasa lawan biasa. Urakan lawan santun. Kecuali Hillary menemukan angin baru. Yang membuatnya kembali berkibar.

Tapi, bagaimana dengan kebencian yang begitu banyak kepada Trump? Seorang penulis di The New York Times dengan nada sinis minta pembacanya agar tidak terlalu khawatir. Tulisnya: Trump itu pragmatis. Bisa gampang berubah. Segampang dia mengganti istrinya. (*)

Sumber: