Jumat, 30 September 2011

Pulas terlelap, lupa hutang - (5)

Apakah dunia terasa sempit? Tidak bagi sebagian orang, dan betul bagi sebagian orang lainnya.


(Khotbah of the Day) Memperbaharui Akhlaq untuk Mewujudkan Tatanan Kehidupan yang Harmonis

Memperbaharui Akhlaq untuk Mewujudkan Tatanan Kehidupan yang Harmonis

Oleh: Drs. KH. A.N. Nuril Huda



اَلْحَمْدُ للهِ بِذِكْرِهِ تَطْمِئِنُّ الْقُلُوْبَ وَبِفَضْلِهِ تَغْفِرُ الذُّنُوْبَ. أشْهَدُ أنْ لا اِلهَ إلاّ اللهُ الْخاَلِقُ المَعْبُوْدُ وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ اللهِ الصَّارِفُ الْمَوْعُوْدُ فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلامُهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أهْل التَّقْوَى وَالْمَعْرِفَةِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإحْسَانٍ إلَى يَوْمِ الْمَبْعُوْثِ. أمَّا بَعْدُ. فَيَا أيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ


Kaum muslimin jamaah Jum'at yang dirahmati Allah SWT


Pada kesempatan khutbah yang berbahagia ini, khatib mengajak para jamaah sekalian untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan selalu mendekatkan diri kepada-Nya, melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.


Jika kita memikirkan bagaimana dan berapa banyak nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada kita, niscaya kita tidak akan sanggup menghitungnya. Maka sudah sepantasnya kita mengucakan kalimat syukur dengan ikhlas hati kepada-Nya. Jangan sampai kita dicap Allah SWT sebaga hamba-Nya yang tidak tahu terima kasih. Shalawat dan salam tetap kita tunjukkan kepada Rasulullah SAW dan kelaurganya beserta para sahabatnya. Dalam hal ini kita patut mencontoh kegigihan Rasulullah SAW dan para sahabatnya dalam memperjuangkan Islam.


Kaum muslimin jamaah Jum'at yang dirahmati Allah SWT


Banyak kalangan yang mengatakan bahwa krisis ekonomi yang melanda bangsa ini berawal dari krisis multi moral. Pada level struktural, mayoritas pejabat dan birokrat sudah tidak lagi amanah terhadap tanggungjawab sebagai pejabat publik. Mereka seenaknya datang ke kantor, disiplin menurun, keuangan banyak digunakan sekehendak hatinya, setiap aktifitas sulir dilepas dari KKN. Begitu pula dalam level kultural. Kejahatan terjadi di mana-mana: pencurian, perampokan, perjudian, pelacuran, pemerkosaan, dan penggunaan obat-obatan terlarang terjadi di mana-mana.


Jika kita bercermin pada sejarah bangsa-bangsa terdahulu, tampak jelas bahwa kebinasaan atau kehancuran suatu kaum, disebabkan rendahnya moral. Mereka sudah tidak lagi mengindahkan aturan-aturan agama. Apa yang mesti mereka lakukan, mereka tinggalkan, dan sebagainya. Allah SWT berfirman:



وَكَم مِّن قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا فَجَاءهَا بَأْسُنَا بَيَاتاً أَوْ هُمْ قَآئِلُونَ


Betapa banyaknya negeri yang telah kami binasakan. Maka datanglah siksaan kami (menimpa penduduk)nya di waktu mereka berada di malam hari atau di waktu mereka beristirahat di tengan hari. (QS Al-A'raf: 4)



أَلَمْ يَأْتِهِمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ وَقَوْمِ إِبْرَاهِيمَ وِأَصْحَابِ مَدْيَنَ وَالْمُؤْتَفِكَاتِ أَتَتْهُمْ رُسُلُهُم بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا كَانَ اللّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَـكِن كَانُواْ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ


Belum datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah. Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata. Maka Allah tak akan sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS At-Taubah: 70)


Penyebab utama kehancuran negeri adalah penolakan terhadap dakwah para Nabi. Mereka tidak hanya menolak seruannya, tetapi juga memusuhi bahkan berusaha membunuh ppara utusan Tuhan itu. Tentu saja para Nabi menghadapi cobaan berat. Nyawanya dipertaruhkan untuk kelangsungan perjuangan dakwah. Namun Allah Swt memiliki kehendak sendiri. Mereka yang bertindak melewati batas, dihancurkan. Jika Tuhan berkehendak membinasakan suatu kaum, maka tidak ada serangpun yang bisa menolaknya.


Kaum muslimin jamaah Jum'at yang dirahmati Allah SWT


Sebaliknya, keberkahan dan kemakmuran suatu negeri hanya akan tumbuh pada bangsa di mana penduduknya beriman dan bertaqwa. Tatanan sosialnya dihiasi dengan solidaritas, toleransi, saling menghargai, tidak saling mencurigai, tidak saling memfitnah dan saling mengingatkan untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT Mereka hidup dalam suasana yang aman, damai dan penuh semangat,kekeluargaan. Allah Swt, menjanjikan dalam Firman-Nya:



وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ


Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannva. (QS Al-A'raf: 96)


Dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, baik burukya moral masyarakat sangat tergantung atau tidak akan lepas dari moral para pemimpinnya. Pemimpin menjadi simbol dan gambaran umum mentalitas dan moralitas masyarakat. Bahkan terdapat kaitan erat antara mereka yang memimpin dengan yang dipimpin. Masyarakat yang baik-baik, tentu saja akan memilih pemimpin yang baik pula. Begitu pula sebaliknya. Masyarakat yang rendah moralitasnya, kecil kemungkinan memilih pemimpin yang baik.


Menjadi seorang pemimpin, berarti menjadi seorang yang menghadapi dunia nyata, atau seorang yang selalu menghendaki perubahan dan memiliki visi pembangunan dan memberdayakan setiap komponen yang dipimpinnya. Kekuatan memimpin terhadap apa saja yang dilihat, didengar, dirasa dan diketahuinya dari semua yang ada disekitarnya.


Rasulullah SAW bukan hanya seorang utusan Allah SWT yang membawa pesan dan wahyu dari Sang Penguasajagad raya, namun beliau juga seorang manusia pilihan yang disegani oleh masyarakat sekitarnya dan seorang yang memiliki kepekaan sosial yang sangat tinggi. Kesedihan dan penderitaan orang-orang yang di sekitarnya yang dipimpin adalah kesedihan dan penderitaanya pula. Semua menjadi teladan bagi kita dan setiap pemimpin di mana saja dia berada.


Kepekaan yang tinggi dari setiap pemimpin itu akan menjadi stimulator kesuksesan menghadapi segala permasalahan yang muncul. Setiap pergerakan dan tingkah laku yang dibuatnya akan menjadi motor dari setiap arah kesuksesan seorang pemimpin. Oleh karena itu dalam setiap memilih pemimpin, agar memilih pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan yang bagus dan berakhlak seperti yang diontohkan oleh Nabi Nuhammad SAW


Kaum muslimin jamaah Jum'at yang dirahmati Allah SWT


Pemimpin yang jujur terhadap dirinya sendiri dan selalu menjadikan setiap langkahnya sebagai bagian dari ibadah dan amal yang membekalinya kelak, akan mendapat jalan dari langkahnya. Karena Allah SWT selalu membimbing para pemimpin yang jujur dan amanah dengan tanggung jawabnya.


Namun sulit rasanya mendapatkan pemimpin yang meneladani pola kepemimpinan Rasulullah SAW, memiliki tanggung jawab moral, kesederhanaan, dan kepekaan sosial menjadi akhlak pribadi pada pemimpin. Yang ada justru pengkhianatan, kemewahan dan keserakahan. Akibat yang ditimbulkan adalah krisis dalam berbagai dimensi kehidupan. Ini sebagai akibat rendahnya mental dan moral, baik para petinggi negara maupun masyarakat.


Para penguasa memang cenderung dzalim, dan karena itu pula banyak posisi tertinggi dalam suatu organisasi harus ditempuh dengan berbagai cara. Tujuan menghalalkan segala cara yang dicetuskan oleh Machiavelli dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan telah menjelma menjadi virus yang sulit diobati di tubuh bangsa ini, hal ini telah menghiasi dinamika sejarah kemanusiaan masyarakat Indonesia. Ketika kekuasaan mulai digoyang, segala cara dilakukan, meski mengorbankan banyak pihak, untuk melumpuhkan lawan-Iawan politik. Dalam konteks ini, idealisme hancur luluh di telan kepentingan.


Kaum muslimin jamaah Jum'at yang dirahmati Allah SWT


Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme terjadi di berbagai instansi, pemerintahan maupun non pemerintahan. Partai-partai politik sulit melepaskan diri dari penyakit itu. LSM-LSM yang notabenenya adalah gerakan moral pun ikut terjangkit. Bagaimana jadinya, jika lembaga yang bertugas mengontrol dan mengkritik pemerintah justru terkena penyakit yang sama. Bagaimana ia bisa mendiagnosa dan memberikan terapi jika penyakitnya sarna. Suatu kondisi yang sangat memprihatinkan dan membutuhkan penanganan yang cepat.


Jika dekadensi moral masyarakat sudah sampai pada titik yang paling rendah, maka segala akibatnya akan dirasakan sendiri oleh kaum tersebut. Segala akibat buruk karena ulah segelintir orang, dampaknya akan dirasakan masyarakat secara luas. Orang yang tidak berdosa pun ikut menanggung derita. Musibah yang terjadi tidak pandang bulu, tidak memilah-milah mana yang salah mana yang tidak. Orang yang merusak hutan dengan menebang kayu secara liar atau sengaja membakamya untuk suatu proyek besar, yang mungkin hanya satu atau beberapa orang saja. Namun, dampaknya akan terjadi banjir dan erosi atau tanah longsor dirasakan bersama. Korban harta dan jiwa tidak terelakan serta fasilitas-fasilitas umum ikut terganggu. Allah SWT berfirman:



وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ


Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (QS Hud: 102)


Kaum muslimin jamaah Jum'at yang dirahmati Allah SWT


Sadar atau tidak, semua akibat yang menimbulkan penderitaan bersama itu karena ulah manusia yang serakah dan dzalim. Mereka mengekploitasi kekayaan nafsu untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Apakah itu hak warga sekitar atau milik negara, mereka tidak menghiraukan lagi. Ulah manusia-manusia seperti itulah yang mengakibatkan datangnya azab dan bencana nasional. Dampak azab dan bencana itu mungkin tidak terasa oleh para pelakunya, akah tetapi yang menderita adalah rakyat miskin yang tidak berdosa. Kehidupan mereka semakin tertindas; "Sudah miskin, kena bencana lagi". lnilah yang harus diingat oleh orang-orang yang serakah megeksploitasi kekayaan alat untuk kepentingan sendiri. Bahkan Allah SWT berjanji tidak akan membinasakan suatu negeri bila penduduknya berbuat kebaikan. Allah SWT berfiman:



وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ


Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS Hud: 117)


Oleh karena itu, sudah semestinya kita bercermin kepada bangsa-bangsa terdahulu mengenal sebab-akibat dari azab dan beneana Allah SWT mengingatkan agar kita mengambil pelajaran dari mereka. Allah SWT berfirman:



لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُوْلِي الأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثاً يُفْتَرَى وَلَـكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ


Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran hagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS Yusuf: 111).


Kaum muslimin jamaah Jum'at yang dirahmati Allah SWT


Demikian khutbah yang singkat ini, semoga kita senantiasa diberikan petunjuk oleh Allah SWT dalam mengarungi hidup ini.



بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبِّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَِّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ لَِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ





Sumber: NU Online

(Do'a of the Day) 01 Dzulqa'dah 1432H

Bismillah irRahman irRaheem



In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma rabban naasi adzhibil ba'sa isyfi, antasy syaafii, laa syifaa'a illaa syifaa'uka syifaa'an laa yughaadiru aqmaa.



Ya Allah, Tuhan yang memelihara manusia, hilangkanlah kesusahan ini, sembuhkanlah ia. Engkaulah Yang Maha Menyembuhkan, tidak ada suatu penyembuhan kecuali penyembuhan Engkau, sembuh dan tidak diiringi sakit lagi.



Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 6, Bab 3.

Kamis, 29 September 2011

(Ngaji of the Day) Indahnya Silaturrahmi

Indahnya Silaturrahmi



Dalam Islam, hubungan persaudaraan dinilai begitu penting, sehingga silaturahmi hukumnya wajib. Pandangan terhadap ikatan kekeluargaan yang demikian istimewa ini, tidak akan di ditemukan pada sistem kekeluargaan di luar Islam, dan tidak akan didapatkan padanannya dalam hukum adat yang berkembang di daerah manapun. Sebab hukum yang dicetuskan manusia akan selalu berhenti pada ketidak-sempurnaan.



Islam memandang, bahwa setiap komponen dalam anggota masyarakat dianggap saling terkait, dan berhubungan satu sama lain, membentuk jalinan yang harmonis. Karena itu banyak sekali Hadis-Hadis yang disabdakan Rasulullah dalam memotivasi umatnya untuk merapatkan barisan, mempererat hubungan, dan melarang bercerai berai. Menyambung hubungan kekerabatan adalah wajib, sedangkan memutuskannya merupakan dosa besar. Nabi Sallallâhu ’alaihi wasallam bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan persaudaraan (Hadis Muttafaq ‘Alaih).



Dari sini dapat dipahami, bahwa Islam menganggap penting hubungan kekeluargaan yang kuat, karena bangunan masyarakat manapun akan menjadi kuat jika dimulai dengan kuatnya pondasi kebersamaan yang harmonis dalam keluarga. Jadi jika komponen masyarakat dalam keluarga telah terjalin erat, maka akan ada jaminan jika masyarakat Islam secara umum juga akan kuat.



Kerena itu, tentu saja perintah Rasul Sallallâhu ’alaihi wasallamini tidak dimaksudkan mendahulukan kepentingan keluarga daripada kepentingan bersama. Justru Rasul Sallallâhu ’alaihi wasallam menginginkan adanya sinergi antara eratnya hubungan kekeluargaan dengan ikatan persaudaraan sesama muslim. Ibarat bangunan, maka ikatan keluarga adalah tiang-tiang penyanggah, untuk menjaga keutuhan bangunan persaudaraan dalam satu agama.



Mempererat hubungan kekeluargaan, tanpa memperhatikan ikatan persaudaraan sesama muslim, tidak akan tercipta ketenteraman dalam masyarakat, karena setiap orang akan berjalan sesuai ego masing-masing, dan pasti akan memunculkan fanatisme golongan, nepotisme, dan hal-hal negatif serupa yang merugikan kepentingan umum. Tentu, ini tidak sesuai dengan visi Islam yang universal.



Sebaliknya, bila hanya pandai menjaga hubungan dengan masyarakat secara umum, tetapi melupakan hubungan keluarga sendiri, maka juga akan terjadi ketidak seimbangan dalam kehidupan. Karena itu Rasul Sallallâhu ’alaihi wasallam bersabda, Belumlah dianggap baik orang yang menampakkan perbuatan baik pada orang lain, apabila ia tidak bisa berbuat baik pada keluarganya.



Nah, untuk mencapai ketentraman dan kebahagiaan yang sempurna, tentunya harus menjaga silaturrahim dengan keluarga, dan membina keutuhan persatuan sesama muslim sekaligus, dengan pemaknaan “silaturrahim” yang luas, sesuai paradigma Islami yang universal.



Dewasa ini, silaturrahim semakin tersingkirkan dari hati umat Islam, sebab silaturrahim hanya diartikan sebagai acara seremonial temporer yang sempit. Lemahnya silaturrahim dan keretakan dalam keluarga bisa jadi dilatarbelakangi beberapa faktor, di antaranya adalah sikap individualis yang tinggi, egoisme , rasa tidak butuh pada orang lain, merebaknya gaya hidup hedonis, dll.



Suara-suara sumbang dari sebagian golongan yang dibungkus dengan wacana-wacana kebebasan, telah memporak-porandakan konsep keharmonisan dalam keluarga, dan mengakibatkan krisis nilai-nilai kekeluargaan. Sikap materialisme dan kerakusan, juga telah melumat habis nilai-nilai agama yang diajarkan untuk membina hubungan kekeluargaan, baik dalam lingkup satu darah mupun satu agama.



Di samping itu, sikap-sikap hina di dalam hati juga berpotensi besar dalam merusak ikatan persaudaraan dan silaturrahmi. Sikap iri dan dengki adalah dua senjata pemusnah yang sangat ampuh untuk membunuh benih-benih kasih saya dalam jiwa, yang sebetulnya bisa menjadi pohon yang kokoh, tinggi menjulang, guna menunjang bangunan persaudaraan.



Islam mengajarkan, jika kita menjaga ikatan persaudaraan melalui silaturrahim, maka akan banyak manfaat yang akan dituai darinya. Silaturrahim dapat mendatangkan keluasan rizki, panjang umur, melemahkan amarah, membunuh rasa benci, iri hati, permusuhan dan sifat-sifat zalim lainnya. Dengan silaturrahim, semua sifat yang hina dalam jiwa akan sirna, berganti rasa kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama.



Selain itu, silaturrahim juga berfungsi sebagai sarana interaksi sosial, membangun relasi bisnis, membuka jalan dakwah dalam amar ma’ruf nahi munkar. Artinya, di sini silaturrahim juga menjadi sarana ibadah dan dakwah, yang tentu saja pahalanya akan berlipat-lipat, sebagaimana telah banyak dijelaskan dalam Hadits Nabi Sallallâhu ’alaihi wasallam.



Dari itu, marilah kita rekatkan kembali hubungan-hubungan yang retak, kita rapatkan barisan yang renggang, agar kita dapat meraih kesuksesan bersama. Bukankah akan terasa sangat indah bila setiap saat kita bisa saling bertegur sapa, mengisi hari dengan senyuman dan semangat kebersamaan, dalam menyongsong kebahagiaan, dari alam fana hingga alam baka? Subhânallâh, betapa indahnya. []



Santri Pondok Pesantren Sidogiri

(Do'a of the Day) 30 Syawwal 1432H

Bismillah irRahman irRaheem



In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Bismillaahi turbatu ardhinaa, bi riiqati ba'dhinaa yasyfii bihii saqiimunaa bi idzni rabbinaa.



Dengan menyebut nama Allah, debu bumi kami, dengan air ludah sebagian kami, karenanya sembuhkanlah orang yang sakit di antara kami dengan izin Tuhan kami.



Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 6, Bab 3.

Rabu, 28 September 2011

Menanti Jam Masuk

Hari-hari pertama masuk sekolah memang serasa hal yang menakutkan bagi sebagian anak-anak. Jam 07.00 merupakan jadwal masuk resmi, namun mereka biasanya sudah tiba di sekolah jam 06.30-an atau bahkan jam 06.00-an. Mengintip, deg-degan, tegang, mendebarkan, dan ber-keringat dingin.

(Ngaji of the Day) Hati – hati HTI !!!

Hati – hati HTI !!!



AWALNYA gerakan yang selalu mengembar-gemborkan isu khilafah ini hanya mentargetkan 13 tahun untuk merealisasikan konsep politiknya.1) Namun, semenjak dirintis, tepatnya tahun 1953, belum satu negarapun di dunia yang mengibarkan bendera khilafah mereka. Waktu pun diperhitungkan kembali. Kali ini mereka menaruh limit hingga tiga dasawarsa.2) Apa boleh buat, perhitungan tinggallah perhitunggan. Sampai saat ini, tepatnya ulang tahun Hizbut Tahrir yang ke-56, masih belum ada kabar baik, kapan khilafah mereka diresmikan. Justru, keberadaan Hizbut Tahrir selalu diuber-uber oleh pemerintah setempat.3)



Tanggal 12 Agustus 2007 Hizbut Tahrir baru menginjak tahap kedua dari tiga tahap proses perubahan yang mereka konsepkan, yakni tahap berinteraksi dengan umat (marhalah tafâ‘ul ma‘al-ummah) yang selanjutnya akan disusul dengan tahap penerimaan kekuasaan (istislâmul-hukmi). Mereka menandai keberhasilan tersebut dengan menyelenggarakan Konferensi Khilafah Internasional di gelora Bung Karno Jakarta.



Satu hal yang mungkin dianggap lucu dari sepak terjang pergerakan ini, di mana gerakan yang selalu mengkafirkan, menghina, bahkan membenci dengan sepenuh hati terhadap konsep demokrasi,4) justru baru bisa mengibarkan benderanya di negeri yang menjunjung tinggi asas demokrasi. Coba lihat, di mana Hizbut Tahrir berani dan dapat menyelenggarakan acara sebesar itu di negara Islam lain? Seharusnya mereka banyak bersyukur kepada demokrasi Indonesia. Mereka tumbuh subur dari demokrasi yang mereka benci. Tapi sayang mereka justru memilih tumbuh menjadi benalu.



Entah, bodohnya Indonesia atau memang ia dibodohi HTI. Bagaimana bisa, bentuk negara kesatuan yang telah diberi harga mati mengizinkan organisasi politik lain untuk dapat mengibarkan bendera pendudukan di negaranya. Apakah ia tidak membaca sejarah kelam pergerakan tersebut?5) Apakah ia tidak pula memperhatikan konsep ideologi teologis dan politisnya? Nestapa, bila kita tidak mengenal siapa sebenarnya mereka.



Untuk itu, tidak salah kiranya bila kami turut menasihati agar segenap sepak terjang pergerakan ini terus dipantau dan diwaspadai. Perlu diwaspadai karena Hizbut Tahrir ditengarai mengusung ide-ide dan wacana menyimpang yang meresahkan umat Islam. Dari berbagai ide dan wacana tersebut, setidaknya terdapat tiga klasifikasi pembahasan yang perlu diperhatikan:



Pertama, akidah. Bila berbicara tentang akidah Hizbut Tahrir maka kita akan dihadapkan pada berbagai fakta penyimpangan yang kompleks, utamanya yang berkenaan dengan permasalahan qadhâ’ dan qadar. Pandangan Hizbut Tahrir mengenai qadhâ’ dan qadar sama persis dengan aliran sesat Muktazilah.6) Lebih dari itu mereka meragukan kepercayaan terhadap qadhâ’ dan qadar sebagai bagian dari rukun iman.7)



Aliran ini juga menyatakan dengan tegas bahwa meraih petunjuk dan terjerumus dalam kesesatan adalah murni hasil dari tindakan manusia. Tidak ada intervensi Tuhan sedikitpun.8) Petunjuk dan kesesatan, menurut mereka, adalah pilihan hidup yang berada pada area yang dikuasai oleh setiap pribadi. Karenanya, mereka dapat menentukan sendiri jalan kehidupan di antara keduanya. Dan dari sanalah nantinya Tuhan akan memberi balasan bagi setiap tindakan.



Di samping itu, mereka juga banyak meragukan akidah-akidah yang telah diyakini oleh mayoritas umat Islam, utamanya terhadap hal-hal yang berbau mistik dan gaib, seperti keyakinan akan siksa kubur, keyakinan adanya pertanyaan Malaikat Munkar-Nakir, keyakinan akan turunnya Isa di akhir zaman, keyakinan akan fitnah Dajjal, keyakinan atas syafaat Nabi e di padang Mahsyar, dan lain sebagainya.9)



Bagi mereka, segenap bentuk kepercayaan di atas tidak wajib diyakini karena berangkat melalui riwayat ahâd. Namun, mereka tidak pernah mau mengkaji ke-mutawâtir-an Hadis-Hadis tersebut secara ma‘nawi. Sehingga, penyimpangan-penyimpangan tadi hampir menjadi ciri khas akidah para syabâb Hizbut Tahrir.



Kedua, syarî‘ah. Meskipun bergerak dalam bidang politik, Hizbut Tahrir juga banyak mengeluarkan fatwa-fatwa fikih yang ditengarai provokatif. Berbagai fatwa tersebut dapat disimak melalui edaran-edaran yang mereka sebarkan, seperti al-Khilafah, al-Islam, dan al-Wa’ie atau fatwa-fatwa yang telah dilontarkan oleh pendiri gerakan ini, an-Nabhani, melalui berbagai karyanya.



Dalam Al-Khilafah edisi Rabiul Awal Tahun 1416 Hizbut Tahrir sempat mengharamkan tawasul, baik itu tawasul melalui para nabi atau orang-orang salih. Bukan hanya itu, peringatan maulid Nabi e turut diharamkannya, persis seperti mainstream gerakan Wahabi.



Di antaranya lagi, mereka menghalalkan berciuman dengan lain jenis meskipun dengan syahwat dan tanpa sâtir (peghalang).10) Fatwa ini memang terbilang nyeleneh dan menantang. Namun, para syabâb Hizbut Tahrir mengakui akan keberadaan fatwa tersebut, kecuali syabâb Hizbut Tahrir Indonesia yang enggan dan menganggap fatwa tersebut tidak mewakili.



Dalam edaran 08 Muharram 1390 H, mulanya mereka hanya menghalalkan berciuman dan bersalaman antara laki-laki dan perempuan (bukan mahram) yang baru tiba dari perjalanan. Itupun masih dibatasi dengan tanpa disertai syahwat.11) Setelah itu, pada edaran berikutnya, tepatnya tertanggal 24 Rabiul Awal 1390 H, mereka menfatwakan bolehnya bersalaman dan berciuman secara mutlak. Dalam fatwa tersebut turut ditampilkan berbagai alasan logis sebagai landasan atas ijtihâd ngawur-nya.



Meskipun fatwa halalnya berciuman tidak pernah dilontarkan oleh an-Nabhani, setidaknya ia merupakan biang dari penyimpangan yang ada. Manhaj istinbâtul-ahkâm (metodologi penggalian hukum) an-Nabhani telah mengobsesi para syabâb Hizbut Tahrir untuk melakukan ijtihâd sendiri. Lebih-lebih an-Nabhani secara pribadi telah mengaku sebagai mujtahid 12) dan banyak menganjurkan segenap pengikutnya untuk berani ber-ijtihâd.



Dalam Nidzâmul-Ijtima‘i Fil-Islâm, an-Nabhani telah ber-ijtihâd akan bolehnya bersalaman antara laki-laki dan perempuan.13) Pendapat tersebut lebih diperkokoh melalui kitab asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah-nya dengan menampilkan panjang lebar sistematika pengalian hukum yang ia tempuh.14) An-Nabhani juga menyebut pendapat yang mengharamkan berjabat tangan jauh dari mainstream syariah.15)



Di sela-sela pemaparannya itu, an-Nabhani menambahkan bahwa tangan bukanlah termasuk aurat bagi wanita. Wacana ini berangkat dari pemahaman an-Nabhani terhadap ayat “aulâmastumun-nisâ’” yang menurutnya hanya mengindikasikan hukum batalnya wuduk bukan hukum haramnya bersentuhan.16)



Meskipun bersalaman termasuk masalah furû‘iyah dan masih dalam lingkaran mazhab empat, namun metodologi yang digunakan oleh ulama mazhab tidak sama dengan proses pengalian hukum yang telah ditempuh an-Nabhani. Sehingga, ketika konsep mereka dikembangkan tidak sampai melahirkan hukum-hukum ngawur seperi yang telah terjadi pada mazhab Hizbut Tahrir. Perbedaan manhaj inilah yang selanjutnya melahirkan berbagai penyimpangan hukum syariah di tubuh organisasi ini.



Ketiga, siyâsah.Politik merupkan perhatian utama bagi gerakan Hizbut Tahrir. Misi utama dari politiknya adalah dapat merebut kekuasaan dari pimpinan yang sah dengan bertamengkan isu khilafah. Kelompok ini, nyaris mengkafirkan segenap sistem politik yang ada saat ini. Sehingga, politik Hizbut Tahrir lebih tampak berposisi sebagai oposisi radikal. Mereka mengharuskan konsep perpolitikannya (al-Khilafah ‘la Manhaji Hizbit-Tahrîr) direalisasikan dengan atas nama Islam. Padahal politik dan sistem pemerintahan dalam Islam merupakan bagian dari permasalahan furû‘iyah yang cenderung fleksibel dan ramah.



Radikalisme Hizbut Tahrir juga terbukti dari berbagai sepak terjang pendiri gerakan tersebut dalam menghadapi berbagai sistem pemerintahan Islam selama ini. An-Nabhani mengajarkan kepada para aktivis Hizbut Tahrir bahwa cara dakwah yang harus mereka tempuh adalah dengan membuat opini buruk tentang pemerintah dan disebarluaskan ke segenap masyarakat.



An-Nabhani berkata: “…semestinya aktivitas Hizbut Tahrir yang paling menonjol adalah aktivitas menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan umat dalam semua aspek, baik menyangkut cara penguasa tersebut mengurus kemaslahatan, seperti pembangunan jembatan, pendirian rumah sakit, atau cara melaksanakan aktivitas yang meyebabkan penguasa tersebut mampu melaksanakan (urusan umat) seperti pembentukan kementrian dan pemilihan wakil rakyat. Yang dimaksud dengan penguasa di sini adalah pemerintah.”



Kemudian an-Nabhani melanjutkan, “Oleh karena itu, kelompok berkuasa tadi seluruhnya harus diserang, baik menyangkut tindakan maupun pemikiran politiknya.”17)



Setelah kita menyimak beberapa ide dan wacana yang mereka usung, meskipun tidak kami sebutkan semua karena keterbatasan tempat, setidaknya cukup untuk memberikan alasan kenapa gerakan ini perlu diwaspadai. Selanjutnya pembaca yang lebih paham mengenai tindakan apa yang harus ditempuh.[]



Santri Pondok Pesantren Sidogiri



Sumber:

1)     A. Najiyullah, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Akar Ideologis, dan Penyebarannya, Hal 90

2)     Ibid.

3)     Fron Pembela Akidah Ahlussunnah, Bahaya Hizbut Tahrir, hal. 4

4)     Muhammad Muhsin Radi, Hizbut-Tahrîr, Tsaqâfatuhu Wa Manhajuhu Fî Iqâmati Daulah al-Khilâfah al-Islâmiyah, hal. 167-170 dan Al-Wa’ie no. 42 tahun IV 1-29 Pebruari 2004

5)     Hizbut Tahrir telah melancarkan beberapa upaya pengambil alihan kekuasaan di banyak negeri-negeri Arab, seperti Yordania pada tahun 1969, di Mesir tahun 1973, dan Iraq tahun 1972. Juga di Tunisia, Aljazair, dan Sudan. Sebagian upaya kudeta ini diumumkan secara resmi oleh media massa, sedangkan sebagian lainnya memang sengaja tidak diumumkan. Sumber: Nasyrah Hizbut Tahrir, diterjemahkan dari kitab Mafhûmul-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyah, Beirut, cetakan II, 1991, hal 140-151, dan hal 266-267,

6)     Untuk lebih jelasnya dapat disimak pada artikel selanjutnya “Muktazilah Edisi Revisi”

7)     Taqiyuddin an-Nabhani, asy-Syakhsihyah al-Islâmiyah, juz 1 hal 70, 71

8)     Ibid.

9)     A. Najiyullah, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Akar Ideologis dan Penyebarannya. Hal.91, Komunitas Mantan Hizbut Tahrir, pengelolakomaht@yahoo.co.id, 30 Juli 2008

10)  Fatwa Selembaran Hizbut Tahrir, 24 Robiul Awal 1390. A. Najiyullah, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Akar Ideologis dan Penyebarannya, hal. 91

11)  Fatwa Selembaran Hizbut Tahrir, 08 Muharram 1390.

12)  Syekh Abdullah al-Hariri al-Habasyi, Al-Ghârat al-Ilmâniyât fî Raddi Mafasidit-Tahrîriyah, hal 1

13)  Taqiyyuddin an-Nabhani, An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fil-Islâm, hal 57

14)  Taqiyyuddin an-Nabhani, As-Syakhshiyah al-Islâmiyah, Juz II, halm 22-23 dan Juz III, hal 107-108. Al-Khilafah, hal 22-23

15)  Taqiyyuddin an-Nabhani, An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fil-Islâm, hal 9

16)  Ibid. hal 57

17)  Sumber: Terjun ke Masyarakat, penulis: Taqiyuddin an-Nabhani, judul asli: Dukhûlul-Mujtama‘, dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1377 H/1958 M, penerjemah: Abu Falah, Penerbit: Pustaka Thariqul ‘Izzah, Cetakan I, Syawal 1420 H, Februari 2000 M, hal 8 dan 9

(Do'a of the Day) 29 Syawwal 1432H

Bismillah irRahman irRaheem



In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma mushaghghiral kabiiri, wa mukabbirash shaghiiri shaghiir maabii.



Ya Allah Tuhan yang mengecilkan yang besar dan yang membesarkan yang kecil, maka kecilkanlah apa yang ada padaku ini.



Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 5, Bab 20.

Selasa, 27 September 2011

(Buku of the Day) Muda Mudi yang Dicintai Nabi

Menjadi Pemuda yang Ideal
013.jpg
Judul Buku : Muda Mudi yang Dicintai Nabi
Penulis : Alaik S.
Penerbit : Pustaka Pesantren
Cetakan : Pertama 2011
Tebal : xvii + 125 Halaman
Peresensi : Hodariyatus Sofia*

Masa muda adalah penentu masa depan seseorang. Kesuksesan seseorang tergantung pada bagaimana ia menggunakan masa mudanya dengan baik. Kita tahu bahwa pemuda memiliki gairah hidup yang kuat, fisik kuat, mental masa kokoh dan semangat yang menggebu. Sinergi kesemuanya ini yang mampu mendobrak apapun, sehingga bila masa muda bisa dikelola dengan baik, niscaya masa depannya akan cerah.

Buku yang ditulis oleh Alaiks S. dengan judul “Muda Mudi yang Dicintai Nabi” mencoba memberikan gamabaran kepada pemuda bagaimana semestinya pemuda itu bersikap, berbicara dan bertindak. Uniknya buku ini adalah kumpulan hadis yang secara khusus pembahasannya dikaitkan dengan pemuda. Sehingga membuat muda mudi Islam lebih dekat dengan agama. Uraiannya begitu renyah dan menggairahkan. Membuat siapa saja yang membaca mudah memahami buku ini.

Ditengah laju kemajuan dunia modern buku ini menemukan tempat yang istimewa. Betapa kita sudah sering dikagetkan dengan kekacaun muda-mudi. Moral mereka sangat memprihatinkan. Dengan buku ini mereka bisa belajar bagaimana menjadi pemuda yang ideal, sesuai ajaran Islam. Sehingga kecerahan masa depannya akan semakin jelas.

Sungguh sangat disayangkan jika masa muda yang begitu istimewa bagi perjalanan hidup seseorang berlalu begitu saja, tanpa ada hasil yang membanggakan. Karena bila masa yang istimewa ini tidak bisa dikelola dengan baik, sulit berharap kecerahan masa depan.

Masa muda semestinya digunakan sebaik mungkin. Salah satunya dengan menuntut ilmu semaksimal mungkin. Kita bisa menyaksikan kesenjangan dalam bidang IPTEK anatara Muslim dan Non Muslim. Nah, masa muda merupakan masa sangat tepat memfokuskan diri memperbanyak ilmu pengetahuan. Sehingga ketertinggalan umat Islam segera dapat terselasaikan.

Harapan kemajuan Islam masa depan, ada pada pemuda yang hidup saat ini. Untuk itu meraka tidak boleh bermalas-malas diri. Waktu yang mereka miliki harus dapat dipergunakan sebaik mungkin. Setiap detik yang ada pada detak jam adalah kekayaan setiap manusia yang sangat berharga. Menyia-nyaikan waktu sama dengan bunuh diri. Apa arti hidup, jika waktu yang diberikan Tuhan tidak bisa dipergunakan sebaik mungkin.

Walaupun masa muda adalah masa produktif untuk menuntut Ilmu, tetapi perlu dilengkapi dengan berbagai kegiatan positif yang menunjang kemandirian diri. Apalagi masa modern seperti sekarang ini, di mana setiap orang tidak hanya dituntut mengantongi ijazah dari bangku pendidikan formal, tetapi juga diharuskan memiliki keterampilan dan kemahiran tertentu. Jika hanya mengandalkan ilmu di bangku sekolah saja, tentu tidak cukup. Oleh karena itu, berbagai pengalaman yang membangun potensi diri sangat membantu kebutuhan diri sendiri (hal 94).

Keterampilan tersebut disesuaikan dengan skills yang dimilikinya masing-masing. Karena tidak semua orang memiliki kemapuan yang sama, sehingga pemuda juga butuh orang yang dapat membatu mengasah kemampuan dirinya. Meraka dapat belajar kepada siapapun yang bisa membantu pengembangan keterampilanya. Yang penting potensi dalam dirinya tidak beku, sehingga terus mengalami peningkatan.

Membangun Komitmen

Setelah memiliki keilmuan yang luas dan keterampilan yang bagus, pemuda perlu membangun kometmen untuk menjaga integritas dirinya. Agar ia tidak mudah terombang-ambing arus perubahan dunia modern yang kian tak menentu. Artinya, ketika mersepon sesuatu jangan langsung ikut-ikutan tanpa petimbangan yang matang. Kebiasan-kebiasan baik yang sering dilakukan harus dijaga keistiqamahannya agar keterampilan yang dimiliki bisa terus berkembang.

Komitmen diri seorang pemuda sangat dibutuhkan. Perjalanan hidup yang masih panjang membutuhkan energi tinggi. Dan itu semua bisa tercapai bila pemuda meliki kometmen kuat untuk tetap ada dalam jalan yang benar.

Sebagai calon pemimpin masa depan, pemuda harus benar-benar siap mengahadpi masa depanya. Esok ketika ia sudah besar akan memikul tanggung jawab yang besar. Tidak mungkin pemuda yang lemah akan bisa mengemban amanah tersebut. Dari itu selain kemampuan fisik, pemuda juga harus memiliki mental yang bagus. Seperti yang dinyatakan penulis dalam buku ini, pemuda ideal adalah pemuda yang memiliki kekuata fisik dan non fisik. Kekuatan fisik meliputi segar bugar, kesehatan dan ketangguhan diri. Sedangkan kekuatan non fisik mencakup, ilmu pengetahuan, wawasan yang luas, akhlak yang mulia dan berlandaskan fondasi agama.
Kaloborasi keduanya akan bersinergi jika pemuda memiliki kometmen kuat untuk selalu bekerja keras demi kecerahan masa depan. Dengan demikian seberat apapun beban yang dipikulkan kepada mereka akan teras enteng.
* Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Bangkalan Madura, alumni Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura Sumenep

(Ngaji of the Day) Para Raja Wali yang Merakyat, Tasawuf Biasa-biasa di Generasi Sahabat

Para Raja Wali yang Merakyat, Tasawuf Biasa-biasa di Generasi Sahabat



Mungkin seluruh ulama sepakat bahwa para Sahabat Rasulullah SAW merupakan sulthânul-auliyâ’ melebihi para sulthân yang lain, kendatipun kisah-kisah para Sahabat, terutama dalam hal kekeramatan, masih jauh kalah hebat dan seru dibanding para wali atau sufi setelahnya.



Dalam penuturan Imam al-Alusi, Syekh Abdul Qadir al-Kailani pernah menyatakan, “Puncak (spiritual) yang dicapai oleh Uwais al-Qarni, Tabiin terbaik, merupakan tangga pertama bagi Sahabat Wahsyi, si pembunuh Hamzah, saat pertama kali ia masuk Islam.” Abdullah bin al-Mubarak juga pernah menyatakan, “Debu yang masuk ke hidung kuda Muawiyah masih lebih utama di sisi Allah daripada seratus Umar bin Abdil Aziz.” Imam al-Hasan al-Bashri menyatakan, “Demi Allah, aku menututi 70 orang Sahabat Badar, seandainya kalian melihat mereka, maka kalian akan menyatakan mereka sebagai orang-orang gila. Dan, bila mereka melihat orang-orang terbaik di antara kalian, maka mereka akan menyatakan: Tidak ada bagian (akhirat) untuk orang-orang ini. Bila mereka melihat orang-orang buruk di antara kalian, mereka akan bilang: Orang-orang ini tidak percaya akan adanya hari penghitungan amal.”



Imam Abu Hanifah menyatakan, “Seandainya tidak ada fadhlush-shuhbah (keutamaan yang didapat karena menjadi Sahabat Nabi SAW) niscaya aku menyatakan bahwa Alqamah lebih alim fikih dibanding Abdullah bin Umar.”



Berbagai ucapan dari ulama di atas tentu saja bukan sebuah pernyataan yang mengada-ada. Pernyataan tersebut merupakan penekanan yang didapat dari hasil pengamatan terhadap pola hidup Sahabat, serta dalil-dalil keutamaan Sahabat dalam al-Qur’an maupun Hadis. Kedua sumber utama ajaran Islam ini banyak memuat pujian secara langsung maupun tidak langsung terhadap para Sahabat Rasulullah SAW. Bahkan, pujian-pujian dalam al-Qur’an yang bersifat umum untuk seluruh umat Islam (dari berbagai generasi), sebetulnya yang paling berhak atas pujian itu adalah para Sahabat. Karena merekalah yang secara langsung bersentuhan dengan ayat tersebut. Misalnya, ayat yang artinya:



Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia (QS al-Imrân [3]: 110)



Dalâlah (penunjukan) kata “kalian” dalam ayat tersebut terhadap para Sahabat bersifat qath’i (pasti), karena ketika kata “kalian” itu disampaikan, generasi yang ada di hadapan kata tersebut adalah para Sahabat. Sedangkan, generasi Muslimin pasca Sahabat belum ada pada saat ayat tersebut diturunkan, maka ketermuatan mereka masih bersifat zhanni (kemungkinan besar atau belum pasti).



Dalil-dalil mengenai keutamaan para Sahabat, khususnya para pendahulu Islam (as-Sâbiqûnal-Awwalûn), terlalu banyak untuk diurai. Yang jelas, mereka adalah orang-orang terbaik di umat ini setelah Rasulullah Muhammad SAW.



Lalu, jika mereka adalah wali Allah yang paling tinggi, kenapa sejarah dan manâqib mereka sepertinya biasa-biasa saja? Sepertinya masih lebih hebat Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Syekh Abu Yazid al-Busthami, Imam asy-Syadzali, Imam ar-Rifa’i dan tokoh-tokoh sufi masyhur lainnya. Kenapa hampir tidak ada ceritanya para Sahabat yang terbang, berjalan di atas air, jadzab, kebal terhadap senjata, dan lain sebagainya? Kenapa dalam sejarah Sahabat, tidak ada cerita mengenai suluk yang luar biasa, semisal mengembara berpuluh-puluh tahun menjauh dari masyarakat seperti yang sudah biasa diceritakan dalam kisah-kisah sufi? Kenapa para Sahabat biasa menerima pemberian dari khalifah, tidak seperti para tokoh-tokoh sufi yang dikisahkan sangat anti dengan hal ini? Kenapa para Sahabat Rasulullah SAW banyak yang terjun ke politik, tidak seperti tokoh-tokoh sufi betul-betul menjauh dari gerbang politik?



Sejarah Sahabat sepertinya memang tak seaneh kisah-kisah para sufi generasi berikutnya. Tapi, ukuran kemuliaan dan derajat spiritual hamba Allah memang sama sekali tidak diukur dengan keanehan dan hal-hal yang luar biasa. Begitu banyak orang yang seperti biasa-biasa saja, tapi pada hakikatnya jauh lebih luar biasa daripada yang terlihat luar biasa. Begitu banyak pendekar yang sangat ahli, tapi berpenampilan biasa-biasa saja dibanding anak-anak yang baru belajar ilmu bela diri.



Dalam konteks spiritual mengenai hal itu, kita ambil kisah berikut ini sebagai perbandingan:



Imam al-Hasan al-Bashri, suatu ketika berdiri di tepi sungai. Beliau ingin menyeberang tapi masih menunggu perahu. Syahdan, ada seorang sufi datang ke tempat itu. Namanya Habib al-Ajmi.



“Apa yang engkau tunggu?” tanya Habib al-Ajmi.



“Perahu.”



“Kenapa masih butuh perahu, apakah engkau tidak memiliki keyakinan (bahwa yang membuatmu menyeberang adalah Allah, bukan perahu; yang membuatmu tenggelam adalah Allah, bukan air)?”



“Apakah engkau tidak punya pengetahuan?” jawab al-Hasan.



Lalu, si sufi itu menyeberang, berjalan di atas air, sementara al-Hasan al-Bashri tetap diam berdiri menunggu perahu.



Dalam kisah ini, menurut pola pandang tasawuf, Imam al-Hasan al-Bashri masih jauh lebih utama dibanding Habib al-Ajmi. Sebab, al-Hasan al-Bashri memiliki secara lengkap ‘ilmul-yaqîn, ainul-yaqîn, beliau mengetahui dan menyadari segala sesuatu secara normal. Beliau berada pada tingkat spiritual yang stabil. Sementara Habib al-Ajmi berada dalam kondisi sakar, tidak stabil atau tidak menyadari rangsangan jasmani. Ia seperti tidak tahu bahwa yang ada di hadapannya itu adalah air yang dalam Sunnatullâh menenggelamkan manusia; ia seperti tidak tahu bahwa dalam Sunnatullâh, menyeberang sungai perlu perahu. Sehingga al-Hasan al-Bashri menyatakan, “Apakah engkau tidak punya pengetahuan/ilmu?”



Para Sahabat Rasulullah SAW berada pada tingkat yang stabil. Mereka tidak perlu mengembara dan menyembunyikan identitas seperti yang dilakukan oleh Uwais al-Qarni, misalnya. Mereka tidak perlu ‘uzlah, karena mereka sangat tahan dengan godaan bermasyarakat, apalagi masyarakat pada saat itu memang tidak menggoda. Berkumpul dengan tetangga dan teman justru semakin membawa mereka kepada Allah SWT, karena tetangga dan teman-temannya adalah orang-orang baik. Mereka tidak perlu menjauhi politik karena politik waktu itu masih putih. Politik justru menjadi bentuk ibadah tersendiri yang memang sudah semestinya mereka terjuni. Mereka tak perlu menolak pemberian sulthân (penguasa) karena yang menjadi penguasa waktu itu adalah para Khulafaur Rasyidin dan orang-orang yang dekat kepada AllahSWT. Harta yang diberikan adalah harta yang suci, tidak bercampur baur dengan syubhat dan haram.



Kondisi emas ini tidak terdapat pada masa-masa setelahnya, sehingga para sufi pasca Sahabat menerapkan langkah-langkah yang sepintas terlihat lebih luar biasa dibanding apa yang dilakukan para Sahabat. Namun, hal itu tetap tidak bisa melangkahi derajat para Sahabat. Selain karena nalar-nalar spiritual seperti yang dikemukakan di atas, keutamaan para Sahabat juga terdapat secara langsung dan qath’i dalam nash-nash al-Qur’an dan Hadis. Tak ada orang yang secara langsung namanya disebut oleh Rasulullah SAW sebagai penghuni surga kecuali para Sahabat. Selain Sahabat, masih merupakan kemungkinan yang hampir pasti, kemungkinan besar atau kemungkinan kecil.



Jadi, para Sahabat adalah para sulthânul-auliyâ’ melebihi para sulthânul-auliyâ’ generasi berikutnya. Mereka adalah para raja yang merakyat.[]



Buletin Sidogiri

(Do'a of the Day) 28 Syawwal 1432H

Bismillah irRahman irRaheem



In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma a'uudzukuma bi kalimaatil laahit taammati min kulli syaithaanin wa haammatin wa min kulli 'ainin laammatin.



Ya Allah, aku memohon perlindungan untuk kalian berdua (anak-anakku) dengan menyebut kalam Allah yang sempurna, dari tiap-tiap setan dan binantang berbisa dan dari tiap-tiap mata yang memandang sinis.



Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 5, Bab 19.

Senin, 26 September 2011

Harapan Bangsa



(Buku of the Day) Ekonomi Al-Ghazali, Menelusuri Konsep Ekonomi Islam Dalam Ihya' Ulum Al-Din

Mazhab Ekonomi Al-Ghazali
012.jpg
Judul : Ekonomi Al-Ghazali, Menelusuri Konsep Ekonomi Islam Dalam Ihya’ Ulum Al-Din
Penulis : Abdurrahman, M.E.I
Penerbit : Bina Ilmu, Surabaya
Cetakan : I, 2010
Tebal : 358 hal.
Peresensi : Ahmad Shiddiq *

Banyak literatur penelitian menyebutkan bahwa al-Ghazali adalah sosok yang diposisikan sebagai tokoh filosof, tasawuf, teolog, ahli fiqih dan tidak satupun yang mencatat bahwa beliau seorang ekonom. Bila kita telusuri catatan sejarah dan pemikiran dalam kajian ekonomi, maka kita akan menemukan kealpaan yang kadangkala telah merugikan kajian dan khazanah intelektual muslim. Itu terlihat sangat lengkapnya nama tokoh dari muslim yang memunculkan ke permukaan diantara para tokoh tersebut al-Ghazali, jika kita telusuri beberap pandangan dan pemikirannya dalam bidang ekonomi dapat digolongkan tokoh yang sangat brilian. Namun ide pemikirannya dalam ekonomi nyaris terlupakan sama sekali. Padahal jika diperhatikan secara seksama bahwa pemikiran al-Ghazali di bidang ekonomi akan memberikan kesan tidak kalah istimewanya dengan para tokoh ekonomi barat lainya.

Buku berjudul Ekonomi Al-Ghazali, Menelusuri Konsep Ekonomi Islam Dalam Ihya’ Ulum Al-Din, terasa sangat penting dan menarik karena kajian dalam buku ini. Dikonsentrasikan pada kajian pemikiran ekonomi al-Ghazali dan penelitian ini. merupakan yang pertama kali di Indonesia, yang mencoba menggambarkan secara menyeluruh tentang perluhnya ilmu ekonomi Islam dalam usaha kita memahami perilaku muslim yang beriman, dengan mengedepankan al-Ghazali sebagai tokoh sentralnya.
Pandangan ekonomi al-Ghazali tidak dapat digambarkan bila masalah ekonomi diabaikan oleh seorang Hujjah al-Islam seperti al-Ghazali. Ia sudah merasakan pahit getirnya hidup sebagai anak yatim. Ia juga menyaksikan keluarganya sendiri hidup menderita dan serba kekurangan. Ia juga mengamati kehancuran ekonomi secara umum, ketika negerinya diambang kehancuran. Ia berhubungan dengan seluruh orang dengan berbagai tingkatan ekonomi secara umum mulai kaum tani, tukang batu, sampai pada Amir Sultan. Ia merasakan penderitaan yang sangat dalam yang dihadapi oleh fakir miskin akibat eksploitasi oleh pejabat penguasa.

Menurut penulis buku ini, al-Ghazali mengawali pemikirannya tentang ekonomi dalam Ihya’ Ulum al-Din di mulai dari tentang pentingnya ilmu ekonomi, kebutuhan dan keinginan, teori produksi, perlunya transportasi, evolusi, dan mekanisme pasar. Ia juga berbicara tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijakan moneter uang mulai dari devenisi, fungsi uang, uang palsu, etika bisnis, transaksi, dan sebagainya. Pemikiran ekonomi al-Ghazali, setidaknya telah memberikan muatan sumbangan tersendiri bagi pengembangan pemikiran dan pemahaman ekonomi dengan menggunakan pendekatan syari’ah, atau bagian dari upaya mengandeng nilai-nilai etika Islam didalam praktek ekonomi modern.

Meskipun akhir-akhir ini dimunculkan Ekonomi Islam, namun ide seperti itu masih menjadi ajang perdebatan dikalangan ilmuwan, termasuk kalangan Islam sendiri. Terlepas dari segala bentuk perdebatan di atas, yang jelas ada upaya membaca ekonomi dengan pendekatan, dalam upaya membaca ekonomi dengan menggunakan agama sebagai sebuah pendekatan, dalam hal ini merupakan ide ke arah pembangunan ekonomi yang lebih etis, berkeadilan dan manusia. Untuk itu, diperlukan suatu kebijakan yang bermotif etika, menggunakan agama sebagai pendekatan ekonomi. Inilah yang sebenarnya yang ditawarkan ekonomi model al-Ghazali.

Pada dasarnya model pemikiran ekonomi yang ditawarkan al-Ghazali adalah pemikiran yang bercirikan, Pertama, dimensi ilahiyah (ketuhanan), artinya bertolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah (akhirah) dan menggunakan sarana tidak lepas dari norma dan etika syariah. Kedua, Dimensi Insaniah (kemanusian), artinya ekonomi al-Ghazali berupaya untuk menciptakan kesejahteraan ummat (maslahah).

Hal ini, tidak lepas dari latar belakang dua faktor, sehingga membentuk pemikiran ekonomi yang al-Ghazali sendiri yaitu, pertama, faktor intern (dari dalam) al-Ghazali banyak dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya sendiri, antara lain berguru pada beberapa guru dan para tokoh agama yang bergabung di dalamnya adalah ulama’ fiqh dan teolog. Hal ini, terlihat dari pendapatnya yang pasti sesuai dengan setting sosio kultural tersebut akan mewarnai masing-masing pendapat para tokoh yang telah banyak mewarnai pemikiran al-Ghazali.

Kedua, faktor ekstern (dari luar) al-Ghazali yaitu sistem pemerintahan yang otonom, dan terjadinya pemberontakan-pemberontakan masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan yang sering mengabaikan hak-hak masyarakat serta menindas kaum lemah. Al-Ghazali tumbuh dan berkembang pada saat situasi sosial, politik, dan ekonomi yang kurang stabil, karena pada saat itu kekuasaan Abbasyiah laksana boneka yang di setir langsung dinasti Saljuk. (hal, 44)

Pemikiran ekonomi al-Ghazali itulah, sangat banyak memberikan kontribusi terhadap perkembangan pemikiran ekonomi sesudahnya, pengaruh tidak hanya pada dunia muslim tapi juga non muslim. Hal ini sangat dirasakan oleh beberapa ekonom muslim kontemporer saat ini seperti M Umar Chapra, ia selalu menyebut visi dan prinsip ekonominya yang selalu mengutip dari pemikiran ekonomi al-Ghazali dijadikan pijakan dan landasan utama untuk meletakkan Visi ekonomi Islam yang berkembang saat ini.

Sungguhpun demikian, kita harus mengakui bahwa apa yang diberikan oleh al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum al-din’ tersebut bukanlah survey lengkap dalam kajian ekonomi. Tetapi upayanya dalam mengedepankan norma dan etika (syariah) untuk mewujudkan kesehjateraan ummat (maslahah) sebagai visi ekonomi al-Ghazali, merupakan bagian esensial dalam mengarahkan ekonomi yang lebih etis, manusiawi dan berkeadilan.

Sehingga, buku ini patut diapresiasi dan baca oleh ekonom muslim, pemerhati kebijakan ekonomi, akademisi ekonomi Islam dan kalangan ulama pesantren karena buku ini cukup membuka mata bahwa Imam al-Ghazali bukan sekedar ahli tasawuf, teolog, ahli fiqih tapi juga seorang ekonom yang mampu memberikan alternatif dan lebih peka pada realitas sosial, demi tercapainya kesehjateraan masyarakat berkeadilan.

*) Penulis Santri Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya, dan Alumni IAIN Sunan Ampel Surabaya