Tradisi Lebaran dan Halal Bihalal
Oleh: Moh. Safrudin, S. Ag, M.Pdi
Setelah menjalankan puasa pada bulan Ramadhan semua kaum muslimin merayakan hari raya Idul Fitri atau yang lebih akrap dengan istilah Lebaran di samping itu pesan moral agama Islam kita dianjurkan dengan memperbanyak minta ampun pada Tuhan tidak akan sempurna kalau tidak diteruskan saling memaafkan sesama manusia, khususnya dengan keluarga, tetangga, dan kerabat.
Maka setelah salat, dilanjutkan saling berkunjung untuk silaturahmi, minta maaf, dimulai dari permohonan maaf dan doa dari anak kepada orang tua, dilanjutkan pada sanak saudara yang dianggap lebih tua.
Di kampung, setiap keluarga menyediakan makanan beraneka ragam untuk menjamu tamu-tamu yang datang, tua-muda, besar-kecil, layaknya sebuah warung gratis. Yang membuat Lebaran di kampung menjadi semakin meriah adalah keterlibatan anak-anak yang ikut bertamu ke rumah-rumah untuk menikmati makanan yang terhidang.
Mereka berpakaian baru karena dalam tradisi kampung saat yang paling tepat membelikan pakaian anak-anaknya adalah untuk ber-Lebaran. Ketika bertamu, ada kerabat yang suka membagi uang untuk anak-anak. Ketika waktu dhuhur tiba, anak-anak berkumpul di masjid. Mereka saling tukar cerita makanan yang enak-enak.
Kenangan ini melekat sampai tua, indah dikenang dan menjadi daya tarik untuk pulang mudik, menapak tilas. Fenomena pulang mudik Lebaran akan tetap bertahan selama fenomena urbanisasi berlangsung. Beberapa orang tua yang tinggal di kota besar sengaja mengajak anak-anaknya pulang mudik agar mengenal suasana desa dan asal-usul leluhurnya.
Bahkan hitung-hitung rekreasi. Jadi, sesungguhnya pesta Lebaran memiliki banyak dimensi, ada dimensi religi, kultural, dan rekreasi. Kalau saja pemerintah mampu memberi fasilitas yang bagus, sesungguhnya peristiwa mudik Lebaran sangat positif untuk pemerataan ekonomi.Lebih bagus lagi kalau setiap warga desa yang telah sukses memanfaatkan pulang mudik untuk ramai-ramai memajukan lembaga pendidikan di desanya.
Misalnya saja memperbaiki perpustakaan sekolah dan desa serta memperbanyak koleksi buku-bukunya. Jadi, kalau tidak dikelola dengan cerdas, pesta mudik bisa saja dianggap sebagai beban pemerintah. Padahal sesungguhnya sebuah aset budaya yang sangat positif konstruktif bagi kohesi dan pembangunan bangsa.
Kapan pesta mudik semakin populer? Mungkin berkaitan dengan laju urbanisasi ketika anak-anak desa mulai memilih bekerja di kota, berkat pendidikan yang mereka miliki, dan iming-iming kota besar yang menggiurkan.Kalau itu sebagai patokan, memasuki dekade 80- an fenomena mudik ini mengemuka.
Banyak warga desa yang hijrah ke kota dan mereka ramai-ramai memilih berlebaran di kampung halaman. Mereka yang memiliki darah perantau, mudik juga menjadi peluang untuk menggembirakan orang tua, menunjukkan bahwa dirinya sukses. Mereka datang dengan kendaraan bagus dan membawa uang untuk dibagi-bagi sebagai rasa syukur.Tapi, ada saja orang-orang yang berperilaku kekanak-kanakan.
Pulang mudik Lebaran dijadikan kesempatan untuk pamer kekayaan dan keberhasilan di hadapan warga kampung.Malahan ada yang memaksakan diri dengan cara berutang agar kelihatan berhasil di mata tetangganya. Tentu ini bertentangan dengan semangat Idul Fitri. Mereka sengaja membawa mobil bagus, bahkan ada yang sengaja menyewa kendaraan khusus untuk bergaya sewaktu Lebaran.
Begitu pun remajanya, datang ke kampung dengan membawa gaya hidup kota besar yang hanya menyakitkan dan menimbulkan iri anak-anak desa yang miskin dan kurang berpendidikan. Yang menarik setiap pulang mudik adalah suasana meriah bercampur damai. Kriminalitas relatif kecil. Di perjalanan semua saling tersenyum bertegur sapa.
Bahkan dewasa ini, ada tradisi halal bihalal diselenggarakan hampir oleh seluruh lapisan masyarakat muslim Indonesia, baik oleh kelompok dari suatu daerah tertentu, keluarga besar, kelompok kerja, kelompok pedagang, organisasi sosial-politik lembaga perusahaan swasta maupun intansi pemerintah. Dengan demikian tergabung dalam beberapa kelompok yang berbeda mengikuti kegiatan halal bihalal. Asal-usul tradisi halal bihalal, dari daerah mana, siapa yang memulai dan kapan kegiatan tersebut mulai diselenggarakan sulit diketahui dengan pasti. Karena, tradisi “sembah sungkem” (datang menghadap untuk menyatakan hormat dan bakti kepada orang tua, orang yang lebih tua, atau orang yang lebih tinggi status sosialnya) sudah membudaya dan ada pada pada hampir semua suku dalam masyarakat Indonesia.
Halal bihalal merupakan istilah yang sudah sangat dikenal di negeri ini. Sebagian besar masyarakat kita menganggap kata-kata ini berasal dari bahasa Arab. Nikolaos Van Dam, seorang ahli sastra Arab pun mengira demikian. Ketika ia bertugas sebagai duta besar di Indonesia tahun 2005 lalu, baru mengenal istilah itu. Sebelumnya ia hanya mengenal kata halal. Ia mencari-cari dalam kamus bahasa Arab , tapi tidak menemukannya. Kata halal bihalal tentu tidak akan kita temukan di dalam kamus , juga dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits, karena bukan bahasa Arab.
Halal bihalal merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata halal, kata penghubung ba ( dibaca bi ) dan kata halal lagi. Halal berarti “boleh”, “diizinkan”, atau “tidak dilarang”. Bi berarti “dengan”. Ketiga kata itu berasal dari bahasa Arab. Tapi penggabungan tiga kata ini tidak dikenal dalam kosa kata bahasa Arab. Halal dengan halal, artinya saling menghapus segala hal yang dilarang, seperti dosa dan kesalahan terhadap orang lain.
Halal bihalal dimaksudkan sebagai suatu acara bermaaf-maafan setelah selesai melaksanakan puasa Ramadhan atau pada hari raya dan sesudahnya. Istilah ini memang khas Indonesia, sehingga bagi yang bukan orang Indonesia pengertiannya akan kabur, walaupun ia mengerti bahasa Arab, seperti dubes Belanda itu.
Secara etimologis kata halal berasal dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai dengan rangkaian kalimatnya. Menurut Quraish Shihab, makna-makna tersebut antara lain adalah”menyelesaikan problem atau kesulitan”; ”meluruskan benang kusut”; mencairkan yang membeku”, atau “melepaskan ikatan yang membelenggu”.
Dengan demikian bisa kita pahami kata halal bihalal ini dimaksudkan sebagai keinginan adanya sesuatu yang mengubah hubungan kita dari yang tadinya keruh menjadi jernih, dari yang beku menjadi cair, dan dari yang terikat menjadi terlepas atau bebas.
Walau pun istilah halal bihalal itu khas Indonesia dan tidak ada pada zaman Nabi saw, namun bukan berarti pada masa itu tidak ada ungkapan silaturahim. Hanya pada waktu itu tidak ada acara seremonial yang khusus untuk silaturahim.
Watsilah, seorang sahabat Nabi, menuturkan, ketika ia bertemu Nabi saw pada hari raya, ia berkata,”Taqabbalallahu minna wa minka” (Semoga Allah menerima ibadah kami dan anda ). Nabi saw kemudian menjawab,”Na’am, taqabbalallahu minna wa minka” ( Ya, semoga Allah menerima ibadah kami dan anda ). Ucapan ini merupakan salah satu bentuk ungkapan silaturahim, karena saling mendoakan.
Para sahabat Nabi pada hari raya apabila bertemu juga mengucapkan kata-kata itu. Kata minka (dari anda) merupakan bentuk tunggal, sedang bentuk jamaknya adalah minkum. Dalam bahasa Arab bentuk jamak sering digunakan sebagai penghormatan kepada lawan bicara, seperti ucapan Assalamu’laikum, walaupun diucapkan hanya kepada satu orang.
Kata silaturahim merupakan kata majemuk yang berasal dari kata-kata Arab, shilat dan rahim. Shilat berarti “menyambung”, ”menjalin” atau “menghimpun”. Sedangkan kata rahim berarti “kasih sayang”, kemudian pengertian kata ini berkembang sehingga berarti “kandungan”, karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.
Dengan demikian silaturahim ini dapat dipahami sebagai suatu bentuk sikap atau perilaku yang bisa menjalin dan mempererat rasa kasih sayang di antara kita.
Moh. Safrudin, S. Ag, M.Pdi, Aktivis Gerakan Pemuda Ansor Sultra Peneliti Sangia institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar