Senin, 29 Februari 2016

(Do'a of the Day) 20 Jumadil Awwal 1437H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahummas qinaa ghaitsan mughiitsan hanii'am marii'am ghadaqam mujallilan sahhan 'amman thabaqan daa'imaanan.

Ya Allah, karuniakanlah kepada kami hujan yang menyelamatkan, menyenangkan, baik akibatnya, lebat, menyuburkan, meresap di bumi, merata, sesuai keperluan lagi selalu ada.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 7, Bab 5.

(Buku of the Day) Self Development, Melejitkan Potensi Personal, Sosial, dan Spiritual



Tips Menggapai Kecemerlangan Hidup

Judul Buku        : Self Development, Melejitkan Potensi Personal, Sosial, dan Spiritual
Penulis             : Dr. Ngainun Naim
Penerbit            : IAIN Tulungagung Press
Edisi                 : Cetakan I, November 2015
Tebal                : x + 222 halaman
Ukuran              : 14.5 x 20.5 cm
Peresensi          : Ali Sumitro, Pendidik dan Peminat Kajian Sosial dan Keagamaan.

Tak disanksikan lagi bahwa orang-orang yang menjadi tokoh besar, baik tokoh agama, pendidikan, politik, ekonomi, sain, budaya dan lainnya, dapat dipastikan hari-harinya selalu dilalui dengan belajar, belajar dan belajar. Mereka meng”haram”kan dirinya sikap berpangku tangan dan berdiam diri menunggu keajaiban dari langit. Bagi mereka belajar adalah panggilan jiwa, <>sehingga tidak pernah terlewatkan dalam kamus hidupnya membiarkan hari berlalu tanpa aktualisasi potensi diri. Belajar bagi mereka merupakan kunci penting dalam rangka pengembangan diri agar selalu meningkat kualitas dirinya. Kualitas yang purna dapat terwujud bila memiliki keseimbangan pada dimensi personal, sosial, dan spiritual (h.21). Demikian kira-kira kata kunci buku terbaru karya Dr. Ngainum Naim ini.

Kata kunci tersebut terkesan sangat sederhana dan mudah dijalankan. Dan memang, setelah membaca dan menyelami buku ini dengan penuh penghayatan halaman demi halaman, ternyata tidak sulit bagi siapapun untuk mengaktualisasikan dan mengembangkan dirinya, asalkan ada kemauan yang kuat dan sungguh-sungguh, serta memiliki komitmen yang tinggi (intrinsic commitment), yakni komitmen keras untuk maju yang muncul atas dasar kesadaran diri dalam diri, bukan atas dasar ikut-ikutan, paksaan, atau karena pamrih sesaat. Komitmen inilah, menurut penulis, yang membuat seseorang menjadi pembelajar yang disiplin, tekun, ikhlas, dan rendah hati. (h.43)

Belajar dalam kerangka pengembangan diri ini tentunya tidak dibatasi dan dipagari oleh sekat-sekat ruang dan waktu. Belajar dalam terminologi ini memiliki spektrum yang luas.  Belajar bukan hanya ketika duduk di bangku sekolah formal atau kuliah. Belajar sebagai sarana pengembangan diri bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti aktivitas membaca (kauniyah dan qauliyah), seminar, mendengarkan ceramah, mengikuti pelatihan dan selalu mencari kesempatan lain yang memungkinkan untuk memperbaiki diri (h.30). Di samping itu, belajar dalam kaitannya dengan pengembangan diri juga tidak terbatas pada usia tertentu, akan tetapi aktivitas belajar yang dilakukan sepanjang hayatnya (h. 47), yang dalam bahasa agama, istilah ini dikenal dengan “minal mahdi ila-allahdi”. (dari buaian hingga ke liang lahat).

Walau sudah ada karya-karya sebelumnya yang berkaitan dengan upaya memberdayakan dimensi emosional dan spiritual, seperti Ary Ginanjar Agustian, “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual”, Sukidi, “Rahasia Sukses Hidup Bahagia, Kecerdasan Spiritual: Mengapa SQ Lebih Penting Daripada IQ dan EQ”, Taufik Pasiak, “Manajemen Kecerdasan; Memberdayakan IQ, EQ dan SQ untuk Kesuksesan Hidup”, namun buku ini sangat menarik dan tetap perlu dibaca oleh siapapun (lintas profesi), tentunya bagi yang menghendaki adanya kecemerlangan hidup. Buku ini perlu dimiliki bukan saja karena susunan bahasanya yang renyah saat dibaca, sederhana dan mudah dipahami, lebih dari itu, penulisnya pandai menghadirkan kisah-kisah hidup para tokoh sukses dari berbagai bidang kehidupan; pendidik, penemu, usahawan, artis, dan profesi lainnya, yang secara umum menunjukkan atas keuletan, usaha keras, pantang menyerah, dan kegigihannya dalam usaha pengembangan kualitas diri, sehingga mampu menggugah pembacanya untuk bangkit dan lebih baik lagi. Selain itu, dalam menyajikan hidangan ini, penulis selalu menyertakan ungkapan bijak dari tokoh tertentu setiap kali mengawali sub tema barunya. Buku ini akan terasa lebih “menggigit” seandainya penulis memperkaya tema-tema yang dibahasnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadis yang relevan.

Membaca buku ini rasanya enggan untuk mengakhirinya sebelum halaman terakhir selesai dilahapnya. Ini lebih disebabkan karena penyajiannya yang sederhana, praktis, solutif-aplikatif, dan sistematis serta mudah dicerna. Membaca buku ini terasa seakan sedang melakukan pendakian dan  pengembaraan batin menuju ke puncak kesejatian yang berujung pada satu titik, yakni “ekstase” spiritual. 

Pembaca juga dibawa pada alam realita kehidupan. Kehidupan yang penuh dengan persoalan kemanusiaan. Menariknya lagi, penulis tidak sekedar menyuguhkan realita problematika kemanusiaan yang ada di sekitar kita an sich, lebih dari itu, penulis sekaligus menawarkan obat (solusi) atas berbagai penyakit masyarakat, yang bila tidak segera diatasi maka lambat atau cepat akan mewabah. 

Sebagai seorang yang memiliki latar belakang pendidik dan sekaligus sebagai praktisi pada sebuah perguruan tinggi Islam, penulis mencoba menyajikan refleksinya secara komprehensif. Pengembangan diri, bagi Naim, memerlukan sinergitas antar berbagai potensi yang ada. Menegasikan salah satunya hanya akan menghasilkan kepribadian yang tidak utuh (split personality). Pengembangan diri yang melulu mengandalkan kualitas intelektual semata, menurut penulis, tidaklah cukup memadai dan tidak akan mampu bertahan lama, bahkan akan tergerus seiring dengan dinamika perubahan zaman yang begitu cepat. Karenanya, perlu dibalut dengan aspek lainnya, seperti; aspek personal (akhlak, integritas, disiplin diri, sabar dan syukur (h.63-111), aspek sosial (menyadari kehadiran orang lain, menghargai orang lain, memahami perbedaan, tidak mengeluhkan orang lain, tidak iri hati, melakukan kebajikan, dan menebar energi positif (h.123-163), dan aspek spiritual (h.167-192).

Ketiganya (aspek personal, sosial dan spiritual) merupakan satu kesatuan potensi yang dimiliki manusia, yang menuntut adanya sinergitas secara intensif dan terus menerus bagi yang menghendaki adanya pengembangan diri yang berkualitas, sehingga akan mampu menghantarkan pelakunya memiliki kualitas hidup yang mencerahkan, kualitas diri yang akan mengubah energi menjadi cahaya, yang dalam istilah Bobby DePorter, disebut sebagai “quantum” pengembangan diri. Selamat menyelami… []

Quraish Shihab: Timur dan Barat di Era Globalisasi* – Bagian 2



Timur dan Barat di Era Globalisasi* – Bagian 2
Oleh: M. Quraish Shihab

Apa yang dikemukakan sebelum ini adalah sikap Islam terhadap penyembah berhala. Adapun terhadap penganut agama-agama samawi, maka mari kita simak maksud firman-Nya dalam QS. al-Hajj [22]: 40.

Sekiranya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian manusia yang lain, tentulah telah dirobohkan oleh para penindas biara-biara Nasrani, dan gereja-gereja, serta sinagog-sinagog, yakni tempat-tempat peribadatan orang Yahudi dan masjid-masjid, yang merupakan tempat-tempat di dalamnya banyak disebut nama Allah. Tetapi Allah tidak menghendaki roboh-robohnya tempat-tempat peribadatan itu. Sambil bersumpah, Allah berfirman: Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong agama dan nilai-nilai-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa sehingga tidak ada yang dapat mengalahkan dan menghalangi kehendak-Nya.

Ayat ini mengisyaratkan bahwa dibenarkannya pembelaan terhadap penganiayaan yang bermaksud, antara lain agar wujud tempat ibadah kaum Nasrani dan Yahudi tetap bersinambung dan berdampingan keberadaannya di samping masjid-masjid tempat ibadah kaum Muslim.

Allah juga menegaskan bahwa: Sesungguhnya Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil, bahkan memberi sebagian hartamu kepada siapa pun yang tidak memerangi kamu menyangkut agama dan tidak juga mengusir kamu dari tumpah darah kamu (QS. al-Mumtahanah [60]: 8).

Sungguh tuntunan ini telah dipraktikkan dengan sangat baik oleh Nabi Muhammad saw., antara lain dapat disimak melalui janji beliau kepada kaum Nasrani di Najran. Janji tersebut menyatakan:

Najran dan kelompoknya serta semua penganut agama Nasrani di seluruh dunia berada dalam perlindungan Allah dan pembelaan Muhammad Rasulullah menyangkut harta benda, jiwa dan agama mereka, baik yang hadir (dalam pertemuan ini) maupun yang gaib, termasuk juga keluarga mereka, tempat-tempat ibadah mereka, dan segala sesuatu yang berada dalam wewenang mereka―sedikit atau banyak.

Saya berjanji melindungi pihak mereka dan membela mereka, gereja dan tempat-tempat ibadah mereka serta tempat-tempat pemukiman para rahib dan pendeta-pendeta mereka, demikian juga tempat-tempat suci yang mereka kunjungi. Saya juga berjanji memelihara agama mereka dan cara hidup mereka, di mana pun mereka berada, sebagaimana pembelaaan saya kepada diri dan keluarga dekat saya serta orang-orang Islam yang seagama dengan saya karena saya telah menyerahkan kepada mereka janji yang dikukuhkan Allah bahwa mereka memiliki hak serupa dengan hak kaum Muslim, dan kewajiban serupa dengan kewajiban mereka. Kaum Muslim pun berkewajiban seperti kewajiban mereka berdasar kewajiban memberi perlindungan dan pembelaan kehormatan sehingga kaum Muslim berkewajiban melindungi mereka dari segala macam keburukan dan dengan demikian mereka menjadi sekutu dengan kaum Muslim menyangkut hak dan kewajiban.

Tidak boleh uskup dari keuskupan mereka diubah atau satu hak dari hak-hak mereka, tidak juga kekuasaan mereka, atau apa yang selama ini mereka miliki. Tidak boleh juga dituntut seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain, sebagaimana tidak boleh memasukkan bangunan mereka ke bangunan masjid, atau perumahan kaum Muslim. Tidak juga boleh mereka dibebani kezaliman menyangkut pernikahan yang mereka tidak setujui. Keluarga wanita masyarakat Nasrani tidak boleh dipaksa mengawinkan anak perempuannya kepada pria kaum Muslim. Mereka tidak boleh disentuh oleh kemudharatan kalau mereka menolak lamaran atau enggan mengawinkan karena perkawinan tidak boleh terjadi, kecuali dengan kerelaan hati. Apabila seorang wanita Nasrani menjadi isteri seorang Muslim, maka sang suami harus menerima baik keinginan isterinya untuk menetap dalam agamanya dan mengikuti pemimpin agamanya serta melaksanakan tuntunan kepercayaannya. Tidak boleh hal ini dilanggar. Siapa yang melanggar dan memaksa isterinya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan urusan agamanya, maka ia telah melanggar perjanjian (yang dikukuhkan) Allah dan mendurhakai janji Rasul-Nya dan ia tercatat di sisi Allah sebagai salah seorang pembohong.

Bagi para penganut agama Nasrani―bila memerlukan sesuatu untuk perbaikan tempat ibadah mereka atau satu kepentingan mereka dan agama mereka―yang membutuhkan bantuan dari kaum Muslim, maka hendaklah mereka dibantu dan bantuan itu bukan merupakan utang yang dibebankan kepada mereka, tetapi dukungan buat mereka demi kemaslahatan agama mereka serta pemenuhan janji Rasul (Muhammad saw.) kepada mereka dan anugerah dari Allah dan Rasul-Nya buat mereka. Tidak boleh seorang Nasrani dipaksa untuk memeluk agama Islam, Janganlah mendebat orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berselisih pendapat denganmu, kecuali dengan cara yang paling baik. Kecuali dengan orang-orang yang melampaui batas dan katakan, “Kami percaya dengan apa yang diturunkan Allah kepada kami, (al-Qur’an), juga dengan apa yang diturunkan kepada kalian (Taurat dan Injil). Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu. Dan kami hanya tunduk kepada-Nya semata” (QS. al-‘Ankabut [29]: 46). Mereka hendaknya diberi perlindungan berdasar kasih sayang dan dicegah segala yang buruk yang dapat menimpa mereka kapan dan di mana pun. Demikian janji Rasul Muhammmad saw. Demikian juga sikap yang diajarkan Islam terhadap umat Nasrani.

Sekali lagi, kita tidak mengingkari adanya perbedaan antara kita, tapi tidak juga dapat disangkal adanya persamaan dan titik temu antara kita. Perbedaan yang ada bisa ditemukan titik temunya kalau kita tulus mengusahakannya dan mengikuti tuntunan Nabi-nabi kita, karena seperti sabda Nabi Muhammad saw.: Para Nabi bersaudara, ayah mereka satu dan ibu mereka berbeda-beda, yakni semua mengarah kepada Tuhan Yang Maha Esa walau ibu mereka―yakni syariat mereka―berbeda-beda.

Seandainya kita tidak sepakat dalam hal-hal tertentu, maka mari kita sepakat untuk tidak bersepakat: lakum dinikum wa liya din, karena dalam era globalisasi banyak sekali area untuk bekerja sama antara Timur dan Barat. Saya sadar bahwa ada hambatan yang dapat menghalangi kita, terutama dengan kehadiran sekelompok orang atau organisasi yang mengatasnamakan Islam atau hak asasi manusia dan kebebasan berbicara yang tidak jarang mengeruhkan suasana, bahkan memperuncing perbedaan. Yakinlah bahwa mereka, kendati mengatasnamakan Islam atau kemanusiaan, namun Islam dan kemanusiaan amat berbeda, bahkan berlepas diri dengan apa yang mereka klaim dan tampilkan. Kami juga yakin bahwa apa yang ditampilkan oleh media atau ditulis oleh sementara orang tidak sepenuhnya mencerminkan Islam, sebagaimana tidak sepenuhnya apa yang ditampilkkan oleh TV dan film yang tersebar di aneka penjuru mencerminkan secara jujur masyarakat Barat. Sungguh sangat disayangkan bahwa itu semua telah mengakibatkan image buruk, apalagi tidak terdengar suara yang mengecamnya.

Kini bagaimana kita memulai? Agaknya saya tidak melampaui batas kebenaran jika kita mulai dari yang gampang dan mudah kita lakukan dan yang disepakati baiknya oleh kemanusiaan. Bagi umat Islam, hal ini sejalan dengan tuntunan kitab suci yang menyatakan: Ambil/terimalah yang mudah. Perintahkan yang ma’ruf, yakni yang disepakati kebaikannya oleh masyarakat dan berpalinglah dari orang Jahil (QS. al-A’râf [7]: 199).

Kitab suci al-Qur’an ketika berbicara tentang hubungan baik antara masyarakat manusia uraiannya dimulai dengan sekian banyak kata jangan! Jangan―mengejek siapa pun―secara sembunyi-sembunyi, dengan ucapan, perbuatan atau isyarat. Jangan memanggil dengan gelar-gelar yang dinilai buruk, jangan berprasangka buruk. Jangan mencari-cari kesalahan pihak, jangan juga membicarakan aib orang lain―walau aib itu benar (Baca selengkapnya pada QS. al-Hujurât [49]: 11-12 dan 13).

Karena itu, kata orang-orang bijak: “Jika Anda tidak rela memuji, maka jangan memaki. Jika Anda tidak bersedia memberi, maka jangan ambil hak orang lain. Jika Anda tidak mampu membantu, maka hindarilah menjatuhkan keburukan.” Demikian seterusnya. Sungguh saya bermimpi mendengar suara yang lantang dari Timur―dari umat Islam―yang mengecam sikap bodoh dari orang-orang yang mengatasnamakan Islam, mendengar sebelum mendengarnya dari pihak Barat. Sebaliknya, saya pun ingin mendengar suara yang lantang dari Barat mengecam putra-putrinya yang menghina kepercayaan atau melakukan standar ganda sebelum mendengarnya dari Timur. Kalau ini dapat kita lakukan, maka akan terasa oleh kedua belah pihak adanya hubungan rasa antara Timur dan Barat sebelum adanya hubungan dan kesamaan ide. Memang, pada mulanya adalah ruh.

Demikian, wa Allâh A’lam. []

*Uraian ini asalnya adalah makalah yang penulis sampaikan pada Konferensi Internasional tentang “East and West: Dialogue between Civilizations? Timur dan Barat Menuju Dialog Peradaban” yang diselenggarakan oleh Comunità Sant’Egidio Florence, Italia, bekerja sama dengan Majelis al-Hukama al-Muslimin pada tanggal 8-9 Juni 2015.

(Ngaji of the Day) Lantai Masjid, Antara Imam dan Makmum



Lantai Masjid, Antara Imam dan Makmum

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.
Yang terhormat redaksi Bahtsul Masail NU Online, saya hendak mengajukan pertanyaan. Untuk lantai masjid, apakah antara imam dan makmum sebaiknya dibuat rata atau tinggi tempat imamnya. Mohon jawaban serta dalilnya. Terima kasih.Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Ahmad Qodri – Jepara

Jawaban:

Assalamu’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Sepanjang yang kami ketahui dalam khazanah fikih madzhab Syafi’i mengenai tempat berdirinya imam atau istilah populer di masyarakat kami pengimaman sebaiknya dibuat rata, tidak lebih tinggi dari tempatnya makmum. Begitu juga sebaliknya.

Karenanya, jika satu lebih tinggi dihukumi makruh. Salah satu dalil yang digunakan sebagai dasar dari pendapat ini adalah adalah riwayat dari Abu Dawud dan Hakim.

وَيُكْرَهُ أَنْ يَرْتَفِعَ أَحَدُ مَوْقِفَيْ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ عَلَى الْآخَرِ لِأَنَّ حُذَيْفَةَ أَمَّ النَّاسَ عَلَى دُكَّانٍ في الْمَدَائِنِ فَأَخَذَ ابْنُ مَسْعُودٍ بِقَمِيصِهِ فَجَذَبَهُ فَلَمَّا فَرَغَ من صَلَاتِهِ قال أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ قَالَ بَلَى قَدْ ذَكَرْتُ حِيْنَ جَذَبْتنِي رَوَاهُ أبو دَاوُدَ وَالْحَاكِمُ وقال صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَقِيسَ بِذَلِكَ عَكْسُهُ.

“Dimakruh salah satu tempat atau posisi imam dan makmum lebih tinggi atas yang lain karena ada riwayat yang menyatakan bahwa sahabat Hudzaifah RA pernah mengimami orang-orang di kota Madain di atas dukkan, lantas Ibnu Masud RA memegang gamis dan menariknya. Ketika Hudzaifah selesai dari shalatnya, Ibnu Masud berkata, “Apakah kamu tidak tahu bahwa mereka melarang hal itu.” Hudzaifah pun menjawab, ‘Tentu aku tahu, sungguh aku ingat ketika kamu menarik gamisku.” Ini telah diriwayatkan Abu Dawud dan Hakim.

Hakim berkata bahwa riwayat ini adalah sahih sesuai persyaratan kesahihan yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Sebaliknya (makmum lebih tinggi dari imam) dikiaskan dengan hal tersebut. (Lihat Zakariya al-Anshari, Asnal Mathalib Syarhu Raudlatit Thalib, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, I, halaman 234).

Namun kemakruhan tersebut bisa berganti menjadi kesunahan apabila ada kebutuhan atau hajat yang menghendaki tempat imam lebih tinggi seperti adanya tujuan untuk memberikan pengajaran shalat sehingga bisa terlihat jelas oleh semua makmum.

فَإِنْ احْتَاجَهُ أَيْ الِارْتِفَاعَ الْإِمَامُ لِتَعْلِيمِ الصَّلَاةِ أو لِغَيْرِهِ أو الْمَأْمُومُ لِتَبْلِيغِ تَكْبِيرَةِ الْإِمَامِ أو لِغَيْرِهِ اُسْتُحِبَّ لِتَحْصِيلِ هذا الْمَقْصُودِ

“Kemudian apabila imam butuh untuk berdiri lebih tinggi (dari makmum) karena untuk mengajari shalat atau selainnya, atau makmum lebih tinggi karena agar bisa menyampaikan takbirnya imam atau selainya, hal itu disunahkan karena untuk memenuhi tujuan tersebut.” (Lihat Zakariya al-Anshari, Asnal Mathalib Syarhu Raudlatit Thalib, juz, I, halaman 234).

Dengan demikian poin penting yang harus digarisbawahi di sini adalah adanya kebutuhan atau tidak. Jika ada kebutuhan, itu menjadi sunnah. Jika tidak ada kebutuhan, ia menjadi makruh. Tetapi kesimpulan ini bukan tanpa persoalan, terutama yang terkait hukum makruh dalam konteks ini, yaitu ketika tidak ada kebutuhan atau hajat.

Seberapa batas ketinggian tempat imam atau makmum yang memiliki konsekuensi hukum makruh?

Di sinilah kemudian al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyathi memberikan penjelasan yang hemat kami sudah cukup memadai. Menurutnya, tinggi dalam konteks ini tinggi yang kasat mata kendati hanya sedikit. Tetapi jika ‘urf menganggapnya itu tinggi, maka tetap dihukumi makruh.

وَقَوْلُهُ: (اِرْتِفَاعُ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ) أَيْ اِرْتِفَاعًا يَظْهَرُ حِسًّا، وَإِنْ قَلَّ، حَيْثُ عَدَّهُ الْعُرْفُ اِرْتِفَاعًا

“Perkataannya ‘tingginya tempat salah satu dari keduanya di atas yang lain’, maksudnya adalah ketinggian yang kasat mata dimana urf menganggapnya tinggi meskipun sedikit,” (Lihat al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’anah ath-Thalibin, Beirut Darul Fikr, juz, II, halaman 30).

Demikian penjelasan yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU