Krisis
Peradaban Arab Muslim (IV) (Dalam Pandangan Khaled Abou El Fadl)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Jika
partai-partai Kristen, partai Yahudi yang menjadikan agama sebagai identitas
dan definisi diri, tetapi tak satu pun dari mereka yang berbicara untuk
Yudaisme atau untuk Kristenitas.
Di sini
ironi berlaku, tulis Abou El Fadl, baik Arab Saudi, El Sisi, al-Azhar, dan
ISIS, semuanya mengklaim berbicara untuk Islam. Akibatnya, banyak orang pintar
yang membaca kejahatan dan kekejaman yang dilakukan ISIS sebagai wajah yang
sebenarnya dari Islam politik.
Lain lagi
dengan ungkapan Islam yang dipolitikkan (politicized Islam),
seperti yang ditunjukkan El Sisi, al-Azhar, Arab Saudi, Dewan Kerja Sama Teluk,
dan sekutunya. Bagi mereka, negara adalah Tuhan, tulis Abou El Fadl.
Agama
didefinisikan dan diatur di ruang publik: mana yang termasuk keberagamaan yang
baik sebagai lawan dari keberagamaan yang buruk. Mana pula yang diinginkan
Tuhan dan mana pula yang tidak disukai-Nya.
Oleh
sebab itu, taat kepada negara adalah kewajiban hukum dan moral, dan berserah
diri kepada negara adalah sebuah kebajikan. Catatan saya: jika rintihan pedih
Abou El Fadl ini dalam mengamati apa yang sedang berlaku di beberapa negara
Arab adalah kenyataan yang sebenarnya, maka tingkat krisis peradaban Arab
Muslim sudah tidak bisa ditolong lagi, kecuali ganti penguasa, bahkan ganti
umat, seperti yang diisyaratkan Alquran, “Jika kamu berpaling [dari jalan
kebenaran], Dia akan menggantimu dengan kaum lain, kemudian mereka tidak
seperti kamu.” (QS Mu?ammad: 38). Allah yang lebih tahu!
Hal lain
yang cukup menarik dan sebenarnya tidak terlalu mengejutkan adalah kaitan
antara intelijen Saudi dengan ISIS, sebagaimana ditulis Abou El Fadl. Bukti
menjadi semakin kuat bahwa ISIS adalah monster (makhluk raksasa yang
menakutkan), dilepaskan ke dunia oleh intelijen Saudi dan sekutu-sekutunya
dengan peran utama Pangeran Sultan bin Bandar.
Pada
2011, Arab Saudi dihadapkan kepada situasi yang mencemaskan. Teman-teman
despotiknya di Tunisia dan Mesir telah terjungkal, dan Muammar Qadafi dari
Libya terbunuh. Begitu juga rezim-rezim di Yaman, Bahrain, dan Suriah berada
dalam pengepungan. Muncul spekulasi luas tentang rezim authoritarian lainnya
akan mengalami nasib serupa.
Untuk
mengantisipasi kemungkinan yang serba buruk itu, militer Saudi dan sekutunya
melakukan intervensi keras di Bahrain untuk memukul perlawanan rakyat.
Tujuannya untuk meyakinkan Gedung Putih akan perlunya sebuah kudeta demi
mengembalikan rezim lama di Mesir.
Lagi
peran Pangeran Bandar sangat besar dalam masalah ini. Salah satu target yang
hendak diraih adalah agar militer Amerika siap melakukan intervensi untuk
menumbangkan gerakan revolusioner dan melindungi rezim Saudi jika terancam,
sekalipun bagi Amerika sendiri tidaklah mudah bertindak demikian. Maka kartu scary Islam (Islam
yang menakutkan) lalu dimainkan oleh elite Arab yang aslinya memang pro-Barat,
demi menarik perhatian pihak Barat agar mau terlibat.
Maka
munculnya Abu Bakr al-Baghdadi, pemimpin ISIS, bukanlah suatu kebetulan, tulis
Abou El Fadl. Dengan bersikap serba gagah dalam gaya Hollywood menyatakan
dirinya sebagai Khalifah.
Permainan
ISIS meledak dengan segala akibat buruknya di luar niat semula sehingga Saudi
dan sekutunya merasa terancam oleh monster yang diciptakannya sendiri. Barat
pada akhirnya mau juga terlibat melalui serangan udara atas pusat-pusat
kekuatan ISIS di Suriah.
Situasi
politik semakin tak terkendali. Polarisasi Sunni-Syi’i-Kurdi menjadi semakin
tajam berkat dipicu oleh kelakuan ISIS. Seperti telah diketahui, munculnya ISIS
sebagai sempalan Alqaidah di Irak dan banyak di antara perwiranya adalah mantan
anggota militer Irak yang dilucuti pasukan Amerika pada Mei 2003. Awal
kelahirannya adalah sebagai jawaban terhadap perkiraan pengambilalihan Irak
oleh kelompok Syi’i di bagian selatan dan oleh pasukan Kudi di Irak utara.
ISIS
telah meraih keberhasilan yang lumayan dalam situasi semangat revolusioner Arab
yang berantakan yang dulu punya mimpi tentang kebebasan. ISIS juga berhasil
membangkitkan kembali polarisasi lawas antara orang Sunni, orang Syi’i, dan
orang Kurdi, antara orang Turki, Persi, dan orang Arab. Pun mereka berhasil
lebih mengetepikan nasib rakyat Palestina, dan jangan lupa telah turut membantu
Netanyahu terpilih kembali sebagai Perdana Menteri Israel.
Di akhir
tulisannya, Abou El Fadl menghibur diri dalam nada lirih, “Hurriya adalah hukum
alamiah dari segala-galanya, dan seperti halnya kehidupan itu sendiri, ia pasti
akan bertunas kembali. Bahkan ia bisa bertunas di saat teriknya musim panas
yang meresahkan, saat ketenangan yang hangat musim gugur, atau saat pasrah
sungguh-sungguh di musim dingin yang sangat dingin.”
Pendek
kata, hurriya tidak mengenal kematian sepanjang zaman dalam kehidupan umat
manusia. Aduh, El Fadl, kami menyertai mimpimu juga dalam kelirihan. []
REPUBLIKA,
16 Februari 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar