Senin, 30 Juni 2014

(Do'a of the Day) 02 Ramadlan 1435H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Rabbi a'uudzubika minal kasli wa suu'il kibri, a'uudzu bika min 'adzaabin fin naari wa 'adzaabin fil qabri.

Ya Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan kejahatan sifat congkak, aku berlindung kepada-Mu dari adzab neraka dan siksa kubur.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 51.

(Buku of the Day) Doa Ajaran Ilahi: Kumpulan Doa Dalam Al-Qur’an Beserta Tafsirnya



Amalan Doa Para Nabi

Judul buku        : Doa Ajaran Ilahi: Kumpulan Doa Dalam Al-Qur’an Beserta Tafsirnya
Penulis             : Anis Masykur dan Jejen Musfah
Penerbit            : Noura Books, Jakarta
Cetakan            : I, Juni 2013
Tebal                : 194 Halaman
ISBN                 : 978-602-7816-93-0
Harga               : Rp. 36.000
Peresensi          : Ahmad Suhendra, wartawan Majalah Bangkit PWNU DIY

Ada anggapan bahwa doa itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang lemah. Hanya orang yang butuh kepada Allah saja yang mau berdoa. Sementara yang kuat merasa “tidak perlu” berdoa.
Padahal, berdoa dapat membawa kebaikan bagi para pemohonnya. Doa bisa mendatangkan anugerah bagi orang banyak. Doa memiliki potensi besar dalam mengarahkan perjalanan kehidupan seseorang.

Potensi itu dapat mengubah sesuatu yang buruk menjadi baik. Bahkan mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Allah memiliki kehendak untuk memberikan kebahagiaan kepada hamba yang dicintai-Nya.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibn Majah, dan al-Turmuzi dari Sulman yang mengatakan, bahwa Rasulallah saw bersabda, Tidak ada yang dapat menolak takdir (ketentuan) dari Allah, kecuali doa dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali berbuat kebaikan.

Buku bertajuk Doa Ajaran Ilahi: Kumpulan Doa dalam al-Qur’an Beserta Tafsrinya ini, diharapkan mampu mengikis sikap sombong manusia tersebut. Doa-doa di dalamnya ditampilkan secara khas. Karena hanya mengelaborasi doa-doa dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Doa-doa itu pernah diamalkan para rasul dan orang-orang saleh terdahulu.

Al-Qur’an telah merekam kisah-kisah para utusan Allah dan hamba-hamba-Nya yang beriman. Mereka senantiasa memanjatkan doa kepada Allah swt. Padahal mereka adalah orang-orang yang dijamin oleh Allah swt. Segalanya menjadi tercurahkan dengan berdoa. Sehingga terjalinlah hubungan langsung antara Allah dan makhluk-Nya.

Fitrah manusia selalu butuh akan kekuatan Tuhan. Sebab itu, ath-Thibi memberikan definisi doa sebagai bentuk penampakan kehinaan dan kerendahan diri. Saat berdoa itu keadaan yang menggambarkan tiada berdaya. Di dalamnya kita menyatakan hajat, keperluan dan ketundukkan kepada Allah swt.(halaman 2)

Dalam kehidupan, doa mampu membangun dimensi kontrol manusia. Buku ini dimaksudkan untuk memberi jalan lebih mudah. Jalan mendekatkan diri kepada Allah bagi para hamba-hambanya yang berserah diri.

Disitulah letak kekuatan doa dalam kehidupan umat Islam. Sehingga dengan itu dapat menyelamatkan diri kita, keluarga, bangsa dan negara dari keterpurukan. Dengan begitu, doa merupakan sarana penting bagi manusia sebagai makhluk.

Tindakan itu menjadi manifestasi pengkuan atas kelemahan manusia di hadapan Penciptanya. Orang berdoa sebaiknya disertai dengan hati yang penuh kehadiran kepada Allah. Saat berdoa juga diharapkan dapat memahami dan merenungkan segala lafal yang diucapkan. (Halaman 3)

Karya Anis Masykur dan Jejen Musfah ini bersifat praktis dan berguna sepanjang hidup. Di sinilah letak keistimewaannya. Pembaca bisa mengamalkannya secara langsung setiap hari. Semua orang bisa membaca dan mengamalkannya dengan mudah.

Karena setiap doa diberi penjelasan singkat dan padat. Kemasannya pun dibuat sangat menarik. Dalam setiap penjelasan termuat sebab turun (asbab al-nuzul), keutamaan dan tafsir terkait dengan doa-doa mustajab yang diamlakan para Nabi.

Kemudahan yang dihadirkan lainnya adalah tema-temanya disusun secara tematik (maudhu’i). Doa para Nabi dalam menyebarkan ajaran Allah. Doa pertaubatan para Nabi ketika melakukan kekhilafan. Ada juga doa para nabi yang memohonkan azab bagi kaumnya yang enggan mengikuti ajakannya. sebagian yang lain adalah doa-doa yang mempunyai faedah dan fadhilah khusus.

Dengan demikian buku ini layak untuk dimiliki dan dibaca oleh setiap muslim. Buku ini dapat dijadikan tuntunan doa praktis bagi anak-anak dan bagi para pemula yang ingin mengamalkan doa para Nabi.Buku ini membawa kita bahwa setiap doa itu mengandung kekuatan spiritual dan emosional. Kekuatan spiritual, sebab dengan berdoa kita merasa dekat dengan Allah Swt. pada aspek emosional, doa dapat mendorong alam bawah sadar seseorang untuk berpikir positif. []

(Tradisi of the Day) Padusan, Bersihkan Diri Sebelum Puasa



Tradisi Padusan, Bersihkan Diri Sebelum Puasa

Menyambut Ramadhan, ratusan warga di kawasan Umbul Tirtomarto Pengging Boyolali melangsungkan tradisi Padusan. Padusan dimulai sejak pagi. Setelah dibuka dengan penampilan tari tradisional dan pembacaan doa, padusan pun dimulai.

Bupati Boyolali Seno Samodro yang hadir dalam kesempatan itu mengatakan, tradisi padusan ini dimaksudkan untuk menyucikan diri dari segala kotoran baik secara fisik maupun rohani.

“Siraman atau padusan ini diartikan sebagai pembersihan diri dari segala kotoran sebelum menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Ini sudah menjadi tradisi turun temurun,” kata Seno.

Menurut keterangan panitia, padusan ini digelar selama dua hari. Dari pantauan, ratusan pengunjung yang datang dari berbagai daerah memadati kawasan Umbul Tirtomato, untuk meramaikan acara padusan. []

(Ajie Najmuddin/Alhafiz K)

Kang Sobary: Kita Tidak Sedang Berperang



Kita Tidak Sedang Berperang
Oleh: Mohamad Sobary

Bahkan dalam suatu perang besar: perang saudara yang disebut Bharatayudha yang menentukan itu pun ada etikanya. Barang siapa ingin keluar sebagai pemenang, dia tak boleh curang, tak boleh melanggar etika, dan tak boleh memulai memancing-mancing kemarahan pihak “sana”.

Barang siapa lupa akan patokan-patokan etis itu, dia dan pihaknya akan menjadi yang kalah. Dalam hidup ini, menurut para empu kehidupan di negeri kita sendiri, sebetulnya ada pantangan agar kita tak terlibat di dalam suatu peperangan. Di mata para arif bijaksana itu, dalam perang kita “menang jadi arang” dan bila kita kalah, kita menderita lebih parah, lebih hancur-hancuran, “kalah menjadi abu”. “Menang jadi arang, kalah jadi abu” merupakan ajaran keluhuran hidup yang digemakan nenek moyang kita ribuan tahun lalu.

Di sini ajaran menyayangi kehidupan digarisbawahi secara tersirat, implisit, dan peperangan dikutuk. Kalah-menang dianggap merusak kehidupan. Dalam moralitas Buddha, sayang pada binatang, yang kelihatannya tak berguna pun, dijadikan keluhuran tingkah laku yang membawa kemuliaan derajat manusia. Dalam film The Next Karate Kid, Mr Miyagi merombak drastis sikap dan pandangan hidup Julie, yang menganggap menyayangi kecoa sebagai cara hidup yang “stupid”.

Dia bilang, kurang lebih: “It is stupid when nations fight in a war. It is not stupid if we respect toward life.”Ungkapan-ungkapan etis ini enak didengar, membawa rasa damai dan kenyamanan, serta bila kita mengamalkannya, buahnya akan luar biasa bagi hidup kita. Bila dalam perang pun kita diminta untuk tetap berperilaku luhur, apalagi sekadar dalam suasana kampanye dan persaingan politik untuk memenangkan pemilu. Kita sekadar sedang bersaing untuk menjadi presiden dan wakil presiden.

Persaingan itu hanya cara menunjukkan pada orang banyak bahwa kita yang layak menang, kita yang unggul dalam kompetensi maupun sikap dan wawasan politik. Untuk memperoleh penilaian bahwa kita yang unggul, apa yang harus ditempuh? Bila bahkan dalam perang pun kita dilarang curang, culas, bohong, dan melanggar kepantasan etis, kita boleh curang?

Dalam persaingan ini kita boleh bohong, mencemooh, dan memfitnah pihak “sana”, yang kita sebut mitra tanding, “mitra” bukan musuh? Kita meyakinkan orang banyak, yang kita harapkan menjadi pemilih, dan penentu kemenangan kita, dengan keluhuran sikap dan tindakan politik. Kalau kita menang dengan curang, kemenangan tak akan punya makna. Selama kita menjabat, kecurangan menghantui.

Selama kita memimpin bangsa, apa yang kita sajikan sebagai kebaikan kepemimpinan bila kita memenangkan kekuasaan dengan cara-cara yang tak direstui adat, tak dibenarkan etika, bahkan dikutuk kearifan hidup kita sendiri. Adat, etika, dan kearifan seolah tak ada lagi di tengah kita, tapi semua masih menjadi bagian dari kehidupan dan darah daging kita sendiri. Orang Jawa punya panduan etis: “becik ketitik, ala ketara”, artinya baik-buruk tindakan kita semua tampak jejaknya.

Budi baik berbuah baik, keburukan bakal menuai segala yang jahanam. Hukum-hukum kehidupan ini tak lenyap oleh perubahan sosial dan tak bakal rusak oleh apa pun yang terjadi. Mereka berada di atas segala kekuatan kemanusiaan. Mereka jaya di atas segala rekayasa yang meniadakan keluhuran hidup.

Selama masa kampanye rakyat dengan mata dan hati terbuka menilai. Mereka tahu siapa luhur, siapa durjana. Hidup memang tidak hitam-putih. Penilaian mereka pun tak hitam-putih. Dalam mengamati jalannya kampanye, dan memandang caracara para calonpemimpinitutampil ada kelegaan karena mereka menawarkan keteduhan dan harapan yang didambakan.

Tapi, ada pula rasa cemas dan khawatir tentang masa depan, bagaimana nasib mereka kalau para pemimpin sudah begitu curang dan saling “membunuh”, sambil berteriak tentang “kebangsaan” serta “persatuan dan kesatuan” . Kebangsaan apa yang bakal dicapai dengan sikap saling mencemooh, saling memfitnah, dan saling “membunuh” seperti itu? Kita lupa, ini hanya kampanye, hanya tahap perjuangan untuk memenangkan kursi presiden dan wakilnya. Kita lupa ini bukan perang.

Ini bukan permusuhan. Dapatkah elite-elite di kedua sayap yang berhadapan sebagai “mitra” persaingan itu mengingatkan kembali dan menata dengan lebih baik para tim suksesnya, para jurkamnya, dan para pendukungnya untuk tak mengejek pihak “mitra” sebelah sana agar kita, bila menang, kita menang dalam keanggunan, kita menang secara bersih, dan terhormat?

Lalu kita sendiri, capres dan cawapresnya, tampil dengan kesadaran bahwa kita pemimpin, kita orang besar, kita punya wawasan lebih baik dari banyak pihak, kita bertindak lebih terhormat. Dapatkah ini kita wujudkan dalam masa kampanye yang singkat ini? Calon pemimpin, mengapa tak mulai dari sekarang bersikap sebagai pemimpin, yang memberi arah, yang memberi kemungkinan dan pilihan-pilihan yang kaya, penuh perspektif, dan bukan sikap permusuhan? Kita ingin mewujudkan makna “persatuan” dan “kesatuan” bangsa.

Dengan apa itu diwujudkan bila sikap kita sudah tampak seperti berada di dalam suatu perang yang begitu kejam? Kompetensi teknis apa yang kita miliki? Kita nyatakan itu secara jelas dan terbuka. Kita bikin rakyat yakin bahwa kita memiliki sesuatu yang layak kita andalkan. Kita yakinkan rakyat bahwa kita memiliki suatu wawasan kebangsaan yang hendak kita semaikan di dunia pendidikan dan kemudian kita tanam dalam relasi-relasi di antara sesama bangsa kita dan dengan bangsa lain untuk menjadi penanda bahwa kita bangsa yang suka damai yang menghormati pluralitas budaya dan meluhurkan ajaran agama?

Para penonton, para pengamat, para juri, KPU, Bawaslu, media massa, semua mengamati kita dengan jernih. Tiap ucapan kita dicatat dan dinilai. Tiap sepak terjang kita direkam dan diabadikan. Kita tidak pernah berada di dalam gelap, di mana hanya kita yang ada. Tiap saat, tiap menit, tiap detik, kita dipantau. Mereka itu yang bakal menentukan kemenangan kita. Apa yang hendak kita tawarkan kepada dunia?

Di zaman serbaglobal ini kita tak pernah bisa memisahkan diri dari percaturan dua yang selalu menempel di lengan baju, di leher jas, di dasi, dan di sepatu kita. Dunia melekat di dalam diri kita. Jadi kita pun dipantau dunia. Kedamaian apa yang kita tawarkan pada dunia internasional? Keamanan, ketenteraman, dan jaminan bebas dari kaum teroris dan kaum radikal apa yang bisa kita tunjukkan pada dunia?

Bagaimana meyakinkan dunia bahwa kita bukan bagian dari kekerasan dan kerusuhan berbasis agama dan ideologi keagamaan? Bisakah kita menunjukkan pada dunia bahwa kita memang bangsa yang suka damai? Kita ingin memang.

Tapi, menang yang terhormat. Kita tak ingin kalah. Maka itu, kita harus tidak kalah dengan cara yang tak membuat pihak lain terinjak-injak. Kita tahu, kita tak sedang bermusuhan dengan siapa pun. Kita tahu, kita tidak sedang berperang. []

KORAN SINDO, 16 Juni 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

Adhie: Gus Dur, Pers dan Obor Rakyat



Gus Dur, Pers dan Obor Rakyat
Oleh: Adhie M. Massardi

SEBUAH tabloid, namanya Obor Rakyat, telah membuat salah satu pasangan capres-cawapres dan para pendukungnya blingsatan. Konon dalam tabloid yang peredaran dan jumlah pembacanya pasti lebih kecil dari pengguna media sosial itu, ada fitnah, hujatan, dan berita yang mendiskreditkan mereka.

Saya tidak tidak tahu seberapa keji fitnah dan hujatan di tabloid itu terhadap capres dan partai pendukungnya. Tapi bisa dipastikan, dibandingkan dengan apa yang pernah dialami Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) saat masih presiden, mungkin hanya seujung kuku perbandingannya.

Ketika itu (2000-2001) pers nasional hampir semuanya terseret gelombang politik fitnah dan penghujatan. Bahkan yang main streamseperti majalah Tempo dan Kompas, yang dibela Gus Dur secara fisik dari tekanan rezim Soeharto maupun kelompok intoleran, terseret arus itu. Tapi Gus Dur tetap bersahabat dan menghormati dunia pers kita. Tak pernah muncul dalam benaknya untuk memperkarakan media yang nyata-nyata menebar fitnah. Makanya, ketika majalah Tempo berseteru dengan konglomerat Tommy Winata, Gus Dur kembali membela Tempo dan turut hadir di pengadilan.

“Konsumen pers itu kalangan terdidik. Karena itu sangat mudah meyakinkan mereka. Kalau kita bisa memberi mereka fakta yang benar, masalah selesai,” kata Gus Dur meyakinkan (saya).

Pandangan Gus Dur terhadap pers secara umum pernah diutarakan kepada saya untuk disampaikan kepada tokoh-tokoh pers yang menjadi pengurus SPS (Serikat Penerbitan Suratkabar) pada awal Februari 2001.

Oleh teman-teman pers senior itu, pandangan Gus Dur diteruskan ke World Association of Newspapers (Organisasi Perusahan Suratkabar Dunia) sebagai pernyataan resmi Presiden RI dalam rangka menghormati kebebasan pers.

Beberapa kalimat saya kutipkan di sini:

“Saya berjuang secara konsisten untuk menegakkan demokrasi di Indonesia, sampai saya menjadi Presiden RI ke-4 sekarang ini. Dalam keterbatasan kebebasan pers waktu itu, saya bersyukur bahwa pikiran dan pandangan saya diangkat oleh pers.”

“Terlalu lama bangsa Indonesia berada dalam keadaan tanpa kemerdekaan pers. Maka ketika koridor kebebasan dibuka, lebih banyak orang mengambil profesi ini tanpa terlebih dulu belajar mengenai peraturan, moral, dan etika pers. Akibatnya banyak berita yang tidak akurat, tidak berimbang, memelintir fakta, kebenaran, dan melanggar nilai moral serta etika.”

“Ini merupakan harga yang harus dibayar dalam proses belajar menuju tingkat profesionalisme yang standar, untuk meningkatkan peran pers sebagai pemberi peringatan dini dalam tatanan demokrasi.”

“Saya tidak ingin mengorbankan kemerdekaan pers hanya karena proses belajarnya yang sedang dilalui, demi tegaknya demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia.”

Semoga pandangan Gus Dur terhadap pers ini bisa dijadikan pelajaran bagi para kandidat presiden. Sehingga kalau nanti benar-benar menjadi presiden, tidak kaget menerima gelombang kritik. Dan yang penting, tidak timbul pikiran untuk memperkarakan dengan tujuan memenjarakan insan pers kita, seperti presiden pengganti Gus Dur. [***]

Sumber: