Keharusan
Revolusi Mental
Oleh:
Yudi Latif
”Merdekakan
dirimu dari perbudakan mental,” seru penyanyi reggae legendaris Bob Marley.
Kolonialisme dan otoritarianisme boleh berlalu, tetapi perbudakan dan
penindasan tidak dengan sendirinya berakhir.
Warisan
terburuk dari kolonialisme dan otoritarianisme tidaklah terletak pada besaran
kekayaan yang dirampas, penderitaan yang ditimbulkan, dan nyawa yang melayang,
tetapi pada pewarisan nilai-nilai koruptif, penindasan, dan perbudakan yang
tertanam dalam mental bangsa. Para pendiri bangsa menyadari benar perjuangan
kemerdekaan masih jauh dari tuntas. Proklamasi kemerdekaan hanya jembatan emas
untuk meraih kemerdekaan sejati. Sebagai jembatan emas, proklamasi kemerdekaan
hanyalah titik keberangkatan untuk meraih cita-cita masyarakat adil dan makmur
melalui serangkaian perjuangan secara persisten (istikamah). Pada Peringatan
Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956, Bung Karno menjelaskan tiga fase revolusi
bangsa. Dua fase telah dilalui secara berhasil dan satu fase lagi menghadang
sebagai tantangan. Indonesia telah melewati taraf physical revolution
(1945-1949) dan taraf survival (1950-1955). Lantas ia menandaskan, ”Sekarang
kita berada pada taraf investment, yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam
arti yang seluas-luasnya: investment of human skill, material investment, dan
mental investment.”
Dalam
pandangannya, investasi keterampilan dan material amat penting. Namun, yang
paling penting investasi mental. Investasi keterampilan dan material tak bisa
jadi dasar persatuan dan kemakmuran bersama tanpa didasari investasi mental.
Tanpa kekayaan mental, upaya-upaya pemupukan keterampilan dan material hanya
akan melanggengkan perbudakan. Dikatakannya, ”Lebih baik kita membuka hutan
kita dan menggaruk tanah kita dengan jari sepuluh dan kuku kita ini daripada
menjual serambut pun daripada kemerdekaan kita ini untuk dollar, untuk rubel.”
Ditambahkan, ”Mental kita harus mengangkat diri kita di atas kekecilan jiwa
yang membuat kita suka geger dan eker-ekeran mempertentangkan urusan tetek
bengek yang tidak penting.”
Itulah
sebabnya Bung Karno sangat menekankan program nation and character building.
Dalam pandangannya, Indonesia adalah bangsa besar, tetapi sering kali memberi
nilai terlalu rendah pada bangsanya alias bermental kecil, masih belum terbebas
dari mentalitas kaum terjajah yang sering mengidap perasaan rendah diri
(minderwaardigheidscomplex). Bung Karno menyadari bahwa sebagai akibat
penjajahan dan feodalisme selama ratusan tahun, terbentuklah karakter rakyat
yang disebut ”abdikrat”, meminjam istilah Verhaar dalam bukunya Identitas
Manusia. Akibatnya, terbentuklah mentalitas pecundang dengan penuh perasaan tak
berdaya dan tidak memiliki kepercayaan diri (self-confidence). Memasuki alam
kemerdekaan, Bung Karno menyerukan agar watak demikian harus dikikis habis.
Rakyat harus berjiwa merdeka dan berani berkata ”ini dadaku, mana dadamu”,
berani mandiri dan menghargai diri sendiri.
Hingga
taraf tertentu, usaha nation and character building di masa Soekarno itu
berhasil. Rakyat dari Sabang sampai Merauke mulai merasa terikat dalam suatu
negara bangsa dan merasa bangga sebagai bangsa Indonesia. Kepercayaan diri
bangsa ini juga meningkat berkat kepeloporan Indonesia dalam berbagai isu
internasional. Rakyat berani menolak bantuan yang merendahkan bangsa sendiri
dengan seruan, ”go to hell with your aid!”
Perbudakan
mental
Pemerintah
Orde Baru bangkit dengan kebijakan yang memprioritaskan investasi material
(material investment). Kebijakan investasi manusia (human investment) lebih
menekankan hal-hal yang bersifat kuantitatif dengan memprioritaskan pemacuan
pendidikan dasar lewat apa yang dikenal sebagai ”sekolah inpres”. Investasi
mental memang diberikan, tetapi bersifat permukaan. Penataran Pancasila
digalakkan, tetapi miskin kreativitas, terlalu menekankan dimensi kognitif
(hafalan), serta kurang menyentuh aspek afektif dan dorongan untuk bertindak.
Akibatnya, di balik gebyar fisik modernitas kehidupan bangsa, mental bangsa
tetap terbelakang.
Orde
Reformasi hadir sebagai kulminasi dari paradoks antara kemajuan material dan
keterbelakangan mental dengan segala krisis yang menyertainya. Setelah 14 tahun
Reformasi tak kunjung mendekati janji-janji kesejahteraan, keadilan, kepastian
hukum, serta pemerintahan yang baik dan bersih, mestinya timbul fajar budi
kesadaran baru. Bahwa perbudakan mental merupakan pangkal terdalam yang membuat
kekayaan bangsa ini terus dipersembahkan bagi seluas-luasnya kemakmuran asing
dan bahwa mental yang terkorupsi (corrupted mind) adalah akar tunjang dari
merajalelanya praktik korupsi. Penjelasan tentang hal ini diberikan oleh Plato.
Menurut Plato, jiwa manusia terdiri dari tiga unsur: mental (mind), ambisi
(spirit), dan selera kesenangan (appetite). Kebaikan hidup tercapai manakala
mental yang sehat memimpin atas ambisi dan kesenangan.
Apa yang
kita saksikan pada kehidupan bangsa saat ini adalah banjir bandang kesenangan
dan ambisi. Ledakan tuntutan selera dan gaya hidup bangsa ini menjadikannya
salah satu pengimpor terbesar di dunia, mulai dari garam hingga barang mewah.
Luapan ambisi kuasa membuat banyak orang meninggalkan tanggung jawab profesinya
untuk merebut jabatan politik, bahkan menghalalkan segala cara termasuk
kampanye hitam untuk meraih kekuasaan. Dorongan selera pasar dan ambisi
perseorangan itu juga sering harus dibayar mahal dengan mengorbankan
kemandirian dan kedaulatan negara. Dalam situasi seperti itu, mental tak mampu
menunjukkan kepemimpinannya, terpojok oleh warisan sejarah perbudakan mental
serta cengkeraman selera dan ambisi. Sebuah politik tanpa kepemimpinan mental yang
sehat tidak memiliki landasan perwujudan kebajikan kolektif. Perkembangan
politik mengikuti logika terbalik: mempertahankan yang buruk dan membuang yang
baik.
Untuk
bisa bangkit dari keterpurukan, bangsa ini harus kembali ke trayek sejarah yang
tercegat: melanjutkan revolusi mental. Inti dari revolusi ini adalah perubahan
besar dalam struktur mental manusia Indonesia melalui proses nation and
character building. Usaha pembangunan karakter ini harus mempertautkan antara
proses penempaan pribadi yang berkarakter dan kolektivitas bangsa yang
berkarakter. Bahwa kebaikan dan kekuatan karakter individual hanya bisa
memperoleh kepenuhan manfaatnya jika terintegrasi ke dalam kebaikan dan
kekuatan karakter bangsa secara kolektif.
Faktanya,
negeri ini masih cukup memiliki pribadi-pribadi yang bermental karakter baik.
Namun, sungguh defisit dalam kolektivitas yang berkarakter baik. Apa pun yang
bersifat kolektif, mulai dari partai politik, parlemen, birokrasi, hingga ormas
keagamaan, cenderung sakit. Pada titik ini Indonesia adalah bangsa yang belum
selesai yang masih memerlukan penguatan kebersamaan dalam nilai, perilaku,
cipta, rasa, dan karsa kolektif.
Karakter
bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga
eksistensi dan kemajuan sekelompok orang seperti sebuah bangsa. Ibarat
individu, pada hakikatnya setiap bangsa memiliki karakternya tersendiri yang
tumbuh dari pengalaman bersama. Pengertian bangsa (nation) yang terkenal dari
Otto Bauer: bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang
persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan
pengalaman.
Perhatian
terhadap variabel budaya, terutama karakter, sebagai bagian yang menentukan
bagi perkembangan ekonomi dan politik masyarakat-bangsa pernah mengalami musim
seminya pada 1940-an dan 1950-an. Para pesohor pengkaji budaya periode ini,
seperti Margareth Mead, Ruth Benedict, David McClelland, Gabriel Almond, Sidney
Verba, Lucian Pye, dan Seymour Martin Lipset, memunculkan prasyarat nilai dan etos
yang diperlukan untuk mengejar kemajuan bagi negara-negara yang terpuruk pasca
Perang Dunia II. Namun, seiring gemuruh laju developmentalisme yang menekankan
pembangunan material, pengkajian budaya mengalami musim kemarau pada 1960-an
dan 1970-an.
Kegagalan
pembangunan di sejumlah negara, setelah melewati pelbagai perubahan ekonomi dan
politik, menghidupkan kembali minat dalam studi budaya sejak 1980-an.
Pentingnya variabel mental-budaya bagi perkembangan ekonomi dan politik suatu
bangsa dapat dilihat dari serangkaian hasil riset yang dilaporkan dalam karya
Lawrence Horrison (1985), Robert Putnam (1993), dan Ronald Inglehart (2000).
Alhasil, di tengah intensifikasi globalisasi, kesadaran akan pentingnya
penguatan karakter bangsa sebagai tumpuan daya saing justru mengalami gelombang
pasang.
Mandiri
dan berdikari
Bagi
bangsa Indonesia, basis nilai sebagai tumpuan karakter kolektif yang dapat
menopang kemajuan peradaban bangsa itu tiada lain adalah Pancasila. Inti nilai
Pancasila, bagaimana menumbuhkan semangat persatuan dalam keragaman dengan cara
mengatasi mentalitas mementingkan diri sendiri (self-preservasion and
self-centeredness), melalui penguatan mentalitas gotong royong berlandaskan
semangat ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, permusyawaratan, dan keadilan
sosial. Dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagai tujuan akhir
dari revolusi Indonesia, semangat gotong royong itu diarahkan untuk
mengembangkan mentalitas-karakter bangsa yang berani berdikari dalam ekonomi,
berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Berdikari
dan mandiri tak berarti harus menyendiri. Berdikari adalah sikap mental untuk
berani menentukan pilihan sendiri yang dapat membebaskan ketergantungan ekonomi
pada pihak-pihak asing. Berdikari tidak berarti anti asing, tidak pula
mengurangi, malahan memperluas, kerja sama internasional berlandaskan semangat
kesederajatan kemanusiaan yang saling menguntungkan. Jalan menuju kemandirian
ekonomi ini bisa ditempuh setidaknya melalui penguatan semangat ekonomi
kooperatif dan efektivitas peran negara dalam penguasaan kekayaan alam dan
cabang-cabang produksi yang penting bagi kemakmuran rakyat; daya saing
perekonomian dengan meningkatkan nilai tambah dari keunggulan potensi sumber
daya yang dimiliki; kedaulatan pangan dan energi disertai pengutamaan pembelian
produk dalam negeri.
Kedaulatan
politik berdimensi eksternal dan internal. Kedaulatan ke luar adalah
kesanggupan bangsa untuk menyejajarkan diri dengan bangsa lain dan bebas
mengatur pertaliannya dengan bangsa-bangsa lain berlandaskan prinsip
kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan. Dan untuk itu perlu penguatan mentalitas
kosmopolitan. Kedaulatan ke dalam diarahkan untuk memberikan perlindungan dan
pengawasan pada putra-putri negeri dengan memberikan jaminan hak dasar setiap
warga dan keselamatan wilayah, keadilan dan kepastian hukum, serta ketertiban
dan kedisiplinan aparatur negara dan warga negara. Kesemuanya itu mensyaratkan
proses pendalaman dan perluasan demokrasi berkarakter Pancasila.
Kemandirian
ekonomi dan kedaulatan politik hanya bisa tumbuh apabila bangsa ini memiliki
kepribadian dalam kebudayaan. Berisi kematangan mental untuk percaya diri dalam
mengekspresikan daya cipta, rasa, dan karsa bangsa ini sebagai keistimewaan
khusus dari semesta dalam semangat saling mengisi dan menyempurnakan keadaban
dunia. Usaha menumbuhkan kepribadian dalam kebudayaan ini bisa dilakukan dengan
cara memperkuat wawasan Nusantara dan penggemblengan mental-karakter bangsa;
mengembangkan kearifan lokal dengan visi global; melakukan transformasi dari
pembangunan berbasis ”modal natur” (sumber daya alam) menuju pembangunan
berbasis ”modal kultural” (ilmu dan teknologi), dengan menggalakkan budaya baca
dan meneliti serta kreativitas inovasi masyarakat.
Tidak ada
perubahan besar dalam sejarah tanpa perubahan mental. Demi mewujudkan cita-cita
nasional yang terbengkalai, setiap orang harus ambil bagian dalam gelombang
revolusi mental. Pemerintahan baru, siapa pun yang terpilih, harus memenuhi
panggilan sejarah ini. []
KOMPAS,
12 Juni 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar