KH Masruri Abdul Mughni Figur Murabbi Sejati
Nama lengkapnya adalah KH Muhammad Masruri
Abdul Mughni. Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah Benda Sirampog, yang lebih
dikenal Al Hikmah Bumiayu. Masyarakat memanggilnya Abah Yai Masruri Mughni.
Lahir di Desa Benda pada 23 Juli 1943, putra pertama dari dua bersaudara buah
hati pasangan H Abdul Mughni dan Hj Maryam, Abah adalah cucu KH Kholil bin
Mahalli, salah satu muassis (pendiri) Pesantren Al Hikmah.
Abah hidup di lingkungan pesantren yang
didirikan oleh sang kakek. Sehingga sejak kecil ia mulai belajar agama langsung
di bawah asuhan kakek yang dibantu KH. Suhaemi bin Abdul Mughni (keponakan KH.
Kholil) di pesantren tersebut hingga usia 13 tahun. Ketika menginjak usia 14
tahun, tepatnya pada tahun 1957 ia mulai mondok di Pesantren Tasik Agung
Rembang, di bawah asuhan KH Sayuti dan KH Bisri Mushtofa. Ia belajar di
pesantren tersebut hanya sekitar dua tahun, yakni sampai tahun 1959.
Setelah itu ia hijrah ke Pondok Pesantren
Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, Jawa Timur, yang saat itu salah satu
pengasuhnya adalah KH. Wahab Hasbullah tokoh penggerak Nahdlatul Ulama pada
saat itu. Selain nyantri, ia juga aktif tabarukan atau mengaji di beberapa
pesantren di Indonesia, seperti belajar pada Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari
di Tebuireng Jombang.
Sejak muda, Abah dikenal telah memiliki jiwa
kepemimpinan dan selalu dituakan oleh orang- orang di sekitarnya. Di pesantren
Tambak Beras dalam usia yang relatif muda, ia telah didaulat oleh para
masyakikh untuk menjadi qori’ (pembaca kitab kuning untuk santri).
Menurut KH Mukhlas Hasyim, seorang guru
penulis, pada saat itu Abah sebetulnya masih punya cita-cita ingin sekali
melanjutkan nyantri di Pesantren di daerah Pacitan Jawa Timur dan Pesantren di
daerah Magelang Jawa Timur. Hanya saja ketika itu, ia diminta kakeknya untuk
segera pulang membantu mengajar di Pesantren Al Hikmah, karena pada saat itu
sangat membutuhkan tenaga pengajar. Akhirnya keinginan tersebut tidak
terlaksana, karena pada tahun tersebut juga, yakni tahun 1965 dalam usia 22
tahun ia dinikahkan dengan Adzkyah binti KH Kholil yang waktu itu masih berusia
18 tahun. Dan sejak saat itulah rutinitasnya adalah mengajar.
Figur Murobbi Sejati
Sejak pulang dari nyantri di Tambak Beras
Jombang, setiap hari Abah harus berjalan kaki cukup jauh untuk mengajar, karena
pada saat itu letak asrama dan kelas untuk mengaji sekitar 2 km. Kadang dalam
satu hari ia harus pulang pergi beberapa kali untuk mengajar. Sampai pada
akhirnya ada wali santri yang datang khusus ke ndalem menitipkan putri-putri
mereka untuk belajar atau nyantri di ndalem, karena saat itu ia belum memiliki
kamar atau asrama untuk santri. Atas saran dari guru di Tambak Beras Jombang
akhirnya ia mendirikan Asrama Pesantren Putri yang sekarang dikenal dengan
Pesantren Al Hikmah 2.
Dengan adanya santri yang tinggal di
rumahnya, aktifitas mengajar Abah bertambah. Di samping di asrama lama yakni di
komplek Masjid Jami’ desa Benda – yang sekarang Al Hikmah 1 – serta di ndalem.
Namun setelah mulai agak sepuh dan sibuk dengan amanah umat yang diberikan kepada
Abah seperti di Nahdlatul Ulama (NU), Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
organisasi lainnya, pengajian dilaksanakan di ndalem dan masjid An Nur Komplek
Putri.
Dengan segudang kesibukan, Abah selalu
istiqomah mengaji, walaupun dalam waktu yang cukup singkat. Ketika tidak ada
kesibukan keluar, dari pagi sampai malam aktifitasnya diisi dengan kegiatan
mengajar berbagai fan ilmu seperti tafsir, hadist, tasawuf, faraidl, mawaris,
dan fan ilmu lainnya. Aktifitas tiap harinya ditutup dengan mengajar kitab tasawuf
Ihya Ulumudin untuk santri senior sampai tengah malam. Dalam setiap pengajian,
tak pernah terbersit sedikit pun kesan capek dan lelah dari seorang Abah. Meski
baru sepulang dari bepergian sekalipun, Abah selalu terlihat bersemangat dalam
membacakan kitab yang diajarkannya.
Dalam kesehariannya, Abah adalah seorang
murabbi (pendidik) yang alim, murah senyum, pembawaanya luwes, memiliki
tanggung jawab tinggi, dekat dengan semua orang dan penuh dengan keteladanan.
Bagi Abah Yai, transformasi ilmu tak hanya sebatas teoritikal belaka, tapi
setiap ilmu mesti diajarkan lewat keteladanan nyata. Para santri tiap hari
menjadi saksi, bagaimana keteladanan sosok Abah dalam setiap sendi kehidupan.
Abah selalu berupaya memberikan teladan pertama dalam setiap hal, besar ataupun
kecil.
Abah adalah seorang yang tak pernah lelah
berjuang untuk umat. Setiap detik waktu, ia gunakan untuk berjuang di jalan
Allah. Di tengah padatnya jadwal, sebagai Rais Syuriah NU Jawa Tengah, pengurus
Majelis Ulama Indonesia, Ketua MUI Brebes, dan ketua dewan pengawas Masjid
Agung Jawa Tengah ( MAJT), Abah selalu mengedepankan keistiqomahan dalam
mendidik para santrinya.
Abah seakan ingin memberikan teladan langsung
bagi para santrinya tentang arti dan makna hidup yang sebenarrnya. Seperti yang
sering disampaikan di depan ribuan para santrinya ”Innal Hayata ’Aqidatun
Wajihadun”. Makna hidup adalah aqidah dan perjuangan. Aqidah Islam yang benar
dan mesti diperjuangkan sepanjang hayat dengan mengisi kehidupan untuk mencari
ridha Allah Subhanu Wata’ala semata.
Dalam tataran sosial kemasyarakatan, Abah
adalah seorang yang memiliki pembawaan luwes, hangat, dan mampu dekat dengan
semua orang. Setiap tamu yang datang di ndalem, jika Abah tidak sedang
bepergian pasti ditemui. Abah menyambut para tamu dengan ramah dan penuh
kehangatan pukul berapapun juga. Abah selalu berusaha bungahake (membuat
senang) tamunya. Abah pun tak segan untuk mengajak setiap tamuanya bersantap
bersama di meja makan, jika si tamu kebetulan datang di waktu Abah daharan (makan).
Dalam rangka mengawal keberadaan para alumni,
setiap alumni yang sowan ke ndalem, termasuk penulis sering ditanya. Pertanyaan
yang pertama disampaikan oleh Abah pasti “Dimana kamu sekarang? Mengajar
dimana?” Bagi sebagian orang, pertanyaan ini mungkin sepele. Tapi, ibarat
saripati, pertanyaan itu merupakan saripati kehidupan seorang Abah Kiai.
Pertanyaan itu menunjukkan betapa ia tak menomorsatukan kesuksesan materi
santrinya, ia justru mendorong santrinya untuk pertama-tama melakukan perubahan
sosial dengan melakukan sesuatu yang paling mungkin dan paling dekat, yakni
mengajar.
Sikap seperti inilah yang sejatinya dimiliki
oleh para Kiai, ustadz, guru, dan para pengajar atau pendidik lainnya. Sehingga
kalau penulis bisa istilahkan sosok Abah Yai Masruri adalah seorang figur
murobbi atau pendidik sejati, yakni figur yang betul-betul mengabdikan hidup
dan segala sesuatunya untuk ilmu, santri, dan umat. Sebagai salah satu contoh
lagi karena keinginannya yang tinggi untuk terus mengembangkan pesantren, ia tidak
pernah mengambil segala bentuk honor yang didapat. Semua dikumpulkan untuk
dipergunakan pembangunan Pondok Pesantren. Subhanallah.
Sang Murabbi Sejati dipanggil ke haribaan
Allah Swt, Ahad pagi 20 Nopember 2011 di Arab Saudi dalam usia 68 tahun. Setelah
dishalati di Masjid Nabawi selepas shalat shubuh, atas permintaan Abah sendiri
jenazah disemayamkan di komplek pemakaman Baqi’ di dekat masjid Nabawi bersama
istri, para sahabat Rasulullah dan para masyayikh. []
Ismail Ridlwan
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Walisongo
Semarang dan muqim di Pesantren Darul Falah Be-Songo Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar