Cinta
yang Buta, Kegembiraan yang Menyatukan
Oleh:
Sindhunata
AKU jatuh
cinta pada sepak bola seperti aku jatuh cinta kepada perempuan. Semuanya
terjadi dengan tiba-tiba, tak dapat diterangkan dalam kata. Otak yang kritis
berhenti seketika. Aku tak berpikir sama sekali tentang kesakitan dan kekacauan
yang mungkin terjadi karenanya.
Itulah
kata Nick Hornby, warga Inggris, penggila bola dan penulis buku terkenal
tentang bola. Ungkapan itu tak terbantahkan. Di mana-mana bola membuat orang
terjerumus ke dalam cinta buta. Demikian juga kali ini ketika hampir semua mata
manusia mengarah ke Brasil, tempat dihelat pesta akbar Piala Dunia 2014.
Nai vai
ter copa! Tak akan ada Piala Dunia! Kata-kata ini digemborkan oleh para
pemrotes yang tak setuju Brasil jadi tuan rumah Piala Dunia 2014. Maklum,
ekonomi Brasil tidak terlalu baik. Masih banyak orang miskin di sana, mengapa
uang dihamburkan untuk Piala Dunia? Memang, Piala Dunia terganggu karena
berbagai protes itu. Namun, diperkirakan orang Brasil yang menolak itu segera
lupa akan protes mereka begitu peluit Piala Dunia ditiup dan para pemain Brasil
berlari di lapangan menghibur mereka. Bola selalu bisa menciptakan kejutan dan
kejutan itu bisa membuat orang Brasil terlena dari persoalan dan beban hidup
mereka.
Maka,
kali ini pun orang-orang Brasil tetap mengharapkan kejutan yang bisa
menggembirakan mereka seperti yang terjadi dalam Piala Dunia 1958 di Swedia.
Menjelang Piala Dunia 1958, Brasil terseok-seok, baik dalam hal bola maupun
ekonomi. Persatuan sepak bola Brasil di bawah Joao Havelange nyaris memutuskan
Brasil tidak usah ikut Piala Dunia. Lebih baik tinggal di rumah daripada bikin
malu negara.
Namun,
Havelange berubah pikiran dan membuat putusan mengejutkan dengan menunjuk
Vicente Fiola jadi pelatih. Padahal, nama Fiola sudah dicoret. Fiola sendiri
mengambil langkah tak terduga. Ia membawa Garrincha dan Pele. Keputusan itu
dikecam habis-habisan. Alasannya, Pele yang baru berumur 17 tahun itu masih bau
kencur, sedangkan Garrincha, si kaki pengkor, terlalu bodoh untuk dibawa.
Nyatanya
penonton di Swedia terpesona. Pele dan Garrincha bermain bola dengan sangat
indah dan tak ada duanya. Sampai penonton berkata, kedua pemain itu, juga
pemain Brasil lainnya, bukanlah makhluk-makhluk bola dari dunia ini. Mereka
seperti malaikat dari langit yang bermain bola di dunia. Brasil bukan hanya
keluar sebagai juara, melainkan juga terkenal dengan sepak bola indahnya. Jogo
bonito lahir! Orang-orang Brasil pun melupakan segala masalah mereka. Kiranya
itu pula yang bakal terjadi jika Brasil menjadi juara di Piala Dunia tahun ini.
Di Tanah
Air tercinta kita ini pun orang-orang sedang ditimpa cinta buta terhadap bola.
Tidak hanya mereka yang berada, tetapi juga warga sederhana bahkan miskin
sedang dilanda gila bola. Tukang becak, buruh bangunan, pensiunan, dan warga
kampung padat penduduk, semua menanti pesta akbar itu. Di emperan toko, di
gardu ronda, di stasiun, bahkan di desa terpencil, orang-orang siap
mendiskusikan dan mengevaluasi pertandingan, meramalkan siapa menang, siapa
kalah.
Dalam hal
menghibur, bola memang adil. Kaya atau miskin, di rumah mewah atau di pondok
sederhana, di kafe mahal atau di gardu kampung, semua orang, tak terkecuali,
bisa dan boleh menonton Piala Dunia 2014, dari awal sampai final. Dalam hal bola,
si kaya atau si miskin sama-sama mengalami kenikmatan. Hiburan dan kenikmatan
bola tidak hanya jadi monopoli mereka yang kaya. Yang miskin pun boleh
bersenang-senang seperti yang kaya. Begitulah, karena pemerataannya itu, bola
mengikat manusia dalam persatuan, bukan hanya persatuan di masyarakat atau
negara, melainkan juga kesatuan yang global dan mendunia.
Dewasa
ini kesatuan lokal dan global sedang terancam untuk terpecah-pecah. Entah
karena perbedaan ideologi, agama, atau budaya, entah karena jurang antara kaya
dan miskin, entah karena egoisme individu atau kelompok. Memang sulit
mengidentifikasi faktor penyebab perpecahan itu. Mungkin karena kesulitan
mengidentifikasi itu, legenda bola Franz Beckenbauer pernah melukiskan,
kemanusiaan di bumi sedang terancam untuk dihancurkan oleh makhluk-makhluk
alien dari luar planet kita. Apakah kita akan selamat? Apakah bumi ini masih
akan ada?
Kita
sungguh sedang menghadapi masalah serius. Dan, menurut Beckenbauer, kita hanya
mempunyai satu kesempatan, yakni menantang musuh bumi kita itu bertanding bola.
Itulah pertandingan final antara manusia di bumi dan makhluk di luar bumi. Jika
kita menang melawan agresor, kita akan selamat. Jika kalah, ya, kita mesti
mengucapkan ”selamat malam”, dan selesai sudah riwayat kita. Maka, kata
Beckenbauer, ”We have no chance, we have to win,”dan hanya bola yang dapat
menyelamatkan dunia. Kata-kata Beckenbauer dianggap sangat pas bagi posisi bola
di dunia yang terancam terpecah belah ini. Tak heran jika sebuah perusahaan di
Korea Selatan memakai kata-kata itu sebagai reklamenya menjelang Piala Dunia
2014.
Kini,
negeri kita juga terancam oleh alien yang memecah belah kita dengan kampanye
hitam dan menajamkan perbedaan dua kelompok yang saling bersaing menjelang
pemilu presiden, Juli. Syukur di tengah ancaman ini kita disatukan dalam
kegembiraan Piala Dunia 2014. Biarlah kegembiraan dan fairness bola yang adil,
merata, dan tak membeda-bedakan itu menyatukan kita dalam satu kata we have no
chance, we have to win terhadap siapa pun lawan yang hendak menghancurkan
kesatuan kita sebagai bangsa. []
KOMPAS,
11 Juni 2014
Sindhunata ; Wartawan, Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar