Kampanye
Hitam/Negatif
Oleh:
Budiarto Shambazy
KETERLALUAN
kampanye hitam alias fitnah tentang Joko Widodo yang beredar di media sosial
dua pekan terakhir. Fitnah itu dibingkai dengan iklan dukacita memberitakan
Jokowi wafat.
Itu
fitnah pertama. Fitnah kedua, iklan itu menyebutkan Jokowi sebagai warga
Tionghoa. Dan, fitnah ketiga, dia beragama Katolik.
Masih
merasa tidak cukup, ditulis pula nama lengkap istrinya. Lalu paling bawah ada
pula ucapan turut berdukacita dari Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Sepanjang
ingatan, inilah kampanye hitam paling kasar yang mungkin pernah terjadi dalam
sejarah pemilu presiden. Jokowi menyebut serangan ini yang paling mengesalkan
dibandingkan dengan serangan-serangan sebelum ini.
Istilah
kampanye hitam (black campaigning) sudah tidak dikenal lagi di negara-negara
demokrasi yang masyarakatnya terbuka. Sama juga dengan black election (pemilu
curang) yang juga sudah jadi ”barang rongsokan” karena tidak kompatibel dengan
demokrasi.
Jangankan
kampanye hitam, negative campaigning (kampanye negatif) saja sudah lama
ditinggalkan. Alasannya sederhana, kampanye hitam atau negatif memukul balik
(backfire) kubu politik yang diduga melancarkannya.
Hal itu
karena simpati justru bertambah untuk mereka yang menjadi korban kampanye
hitam/negatif tersebut. Celakanya, simpati itu berpotensi datang dari undecided
voters yang biasanya menjadi segmen terbesar suara yang menentukan hasil pemilu
presiden.
Sesungguhnya,
fitnah yang ditujukan kepada Jokowi ini bisa dijadikan momentum untuk
menghentikannya dan membuat kampanye pemilu-pemilu presiden lebih berkualitas.
Sayang perbuatan konyol terkesan dibiarkan saja.
Tidak ada
pejabat pemerintahan atau penyelenggara pemilu-pemilu presiden yang peduli.
Padahal, tak terlalu sukar melacak siapa gerangan yang melancarkan perbuatan
tak senonoh itu.
Sebetulnya
perbuatan yang mirip pernah dilakukan saat kampanye Pilkada DKI Jakarta yang
lalu. Kita tahu, rupanya isu-isu SARA itu tetap saja dimanipulasi untuk
tujuan-tujuan politik.
Dengan
kata lain, tetap akan ada pihak-pihak yang tak bertanggung jawab yang akan
melakukannya di pemilu presiden mendatang. Biasanya pihak-pihak yang panik yang
membabi buta melancarkan fitnah-fitnah kejam.
Mereka
berharap yang dinamakan dengan hail Mary. Targetnya mengharapkan dukungan yang
berbalik dari pemilih korban fitnah pada injury time.
Terlihat
kasatmata, kampanye hitam/negatif kini lebih mengerikan dibandingkan dengan
2004. Tahun 2004, pesan pendek telepon seluler jadi alat penyebar efektif untuk
menyerang.
Masih
segar dalam ingatan, ada ratusan pesan pendek lalu lalang selama kampanye 2004.
Walau kocak, pesan-pesan itu membuat kesal.
”Diam-diam,
ada yang bikin poll ttg capres Amerika, dgn sampel 3.000 orang scr random.
Hasilnya, yg diinginkan rakyat AS sbg presiden mrk adl SBY”, tulis sebuah
pesan. Ada pula pesan pendek yang mengatakan, mayoritas wakil rakyat terpilih
Partai Demokrat bukanlah Muslim.
Wiranto
terkena getah setelah Mayjen (Purn) Kivlan Zein menguak tabir Pamswakarsa.
Sebelum itu muncul kampanye menyebut Wiranto bertanggung jawab atas Tragedi Mei
1998.
Megawati
terkena ”fatwa haram” Nahdlatul Ulama, yakni haram bagi warga Muslim dipimpin
perempuan. Sebelum itu sebutan ”moncong putih” bagi Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan dipelintir jadi ”celeng putih” atau ”wong cilik” jadi ”wong licik”.
Lain lagi
nasib Hasyim Muzadi, calon wakil presiden yang berpasangan dengan Megawati. Ia
diberitakan terkena penyakit lumpuh.
Ada juga
pihak-pihak yang mengeluarkan pernyataan mengancam mereka tidak akan
bertanggung jawab jika ada massa yang mengamuk karena jagonya gagal. Ngeri,
kan?
Mengapa
terjadi saling kampanye hitam/negatif? Penyebabnya hanya satu, yakni politisi
memiliki kecenderungan berbohong, baik kepada orang-orang lain maupun kepada
dirinya.
Mengapa
politisi suka bohong? Untuk menjawabnya sebaiknya bertanya langsung kepada para
politisi yang Anda kenal.
Sudah menjadi
teori universal tak ada politisi yang tak menyimpan rahasia hitam pada masa
lalu. Dan, biasanya, yang namanya bau busuk pada akhirnya bakal menebar ke
mana-mana.
Itu
sebabnya lebih baik buka rahasia sebelum nyaleg atau nyapres. Kampanye akan
lebih tokcer jika tak ada lagi rahasia di antara kita.
Contohnya,
Bill Clinton dan Barack Obama mengaku pernah menikmati narkoba saat muda. Beda
dengan George W Bush yang alkoholik dan berbohong tentang itu.
Clinton
dan Obama diakui sebagai pemimpin jujur dan presiden sukses. Beda dengan Bush
yang dianggap tak jujur dan presiden gagal yang kini bak hidup dalam
pengasingan.
Lebih
penting lagi, kampanye hitam/negatif subur di dalam masyarakat yang lebih
percaya takhayul daripada fakta dan gemar konspirasi daripada bukti. Itu
barangkali realitas yang tak mengenakkan yang kita hadapi pada saat ini. []
KOMPAS,
17 Mei 2014
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar